Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

DEFISIT PERAWATAN DIRI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mata kuliah Keperawatan Jiwa

Disusun Oleh :
Rosalina Sinaga
14901-16282

PROGRAM PROFESI NERS XVII


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IMMANUEL
BANDUNG
2017
DEFISIT PERAWATAN DIRI

A. Pengertian
Orem (1991) dalam Susanti Herni (2010), menyatakan bahwa perawatan diri seseorang
dipengaruhi oleh beberapa factor yang disebut sebagai factor kondisi dasar (basic
functioning factors), meliputi umur, jenis kelamin, tingkat perkembangan, system
pelayanan kesehatan, social budaya, system keluarga, dan ketersediaan sumber-sumber
pendukung.
Orem mendefinisikan perawatan diri sebagai, kegiatan-kegiatan, yaitu individu memulai
dan melaksanakannya untuk diri sendiri, dalam hal mempertahankan kehidupan,
kesehatan, dan kesejahteraan.
Upaya perawatan diri dilakukan untuk memenuhi tiga macam kebutuhan perawatan diri,
yaitu universal, perkembangan, dan deviasi kesehatan. Kebutuhan universal meliputi
aktivitas dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti udara, air, dan makanan; eliminasi ;
istirahat dan aktivitas; mencari ketenangan (solitude) dan interaksi social; mendapat
kesempatan untuk hidup dan sejahtera; dan kebutuhan merasa normal. Kebutuhan
perkembangan meliputi proses dan kejadian perkembangan manusia, seperti kehamilan
atau kehilangan anggota keluarga. Deviasi kesehatan meliputi kegiatan yang muncul
akibat adanya kecacatan pada struktur tubuh manusia akibat penyakit atau tindakan medic.

Defisit perawatan diri adalah kelemahan kemampuan untuk melakukan atau melengkapi
aktifitas mandi/kebersihan diri (NANDA, 2012-2014). Defisit perawatan dirimerupakan
ketidakmampuan merawat kebersihan diri, makan secara mandiri, berhias diri secara
mandiri, dan eliminasi/toileting secara mandiri (Keliat,2014).

B. Patofisiologi
Struktur Otak Manusia menurut Claproth, R. (2010) Otak besar (forebrain) berfungsi
paling dominan dalam proses berpikir. Otak besar memiliki dua belahan, kanan dan kiri
dimana setiap belahan melayani bagian tubuh yang berlawanan. Di samping itu, otak besar
juga terdiri dari otak bagian dalam dan otak bagian luar. Otak bagian dalam (medial) terdiri
dari system limbiks yang berfungsi untuk mengatur emosi, pusat memori, mengatur
pencernaan, dan khusus pada binatang mengatur indra penciuman.
Selain itu juga ada ganglia basalis yang berfungsi sebagai pusat pengontrol gerakan. Otak
bagian luar (korteks) terdiri dari empat bagian, yaitu kortkes frontal, sebagai pusat atensi
dan bicara, korteks temporal sebagai pusat pendengaran dan bicara, korteks parietal
sebagai pusat somatosensorik, logis matematis, dan imajinasi tiga dimensi, korteks
oksipital sebagai pusat penglihatan. Kedua belahan otak dihubungkan oleh sebuah kabel
saraf tebal, berada di tengahtengah yang disebut corpus collosum. Sisi kiri seluruh tubuh
dihubungkan dengan kabel saraf ke otak kanan dan sebaliknya. Itu berarti bahwa semua
masukan sensorik dari tubuh kiri dimasukkan ke dalam otak kanan dan otak kananlah yang
mengontrol semua kegiatan motoric dari tubuh kiri. Cedera kepala merupakan proses
dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan
kerusakan tengkorak dan otak.
Cedera kepala sangat sering dijumpai, sekitar satu juta pasien setiap tahunnya dating ke
departemen kecelakaan dan kegawadaruratan di Inggris dengan cedera kepala dan sekitar
5000 pasien meninggal setiap tahunnya setelah mengalami cedera kepala. Adapun cedera
kepala disebabkan oleh pukulan langsung, adanya rotasi/deselerasi, tabrakan, dan peluru.
Gambaran klinisnya pasien dapat mengalami sakit kepala, mual, muntah, frekuensi nadi
menurun, peningkatan tekanan darah yang menunjukkan adanya edema serebral.
Perdarahan intraserebral merupakan perdarahan ke dalam substansi otak yang
menyebabkan kerusakan ireversibel. Usaha yang dilakukan untuk mencegah cedera
sekunder (kerusakan yang berkembang menjadi komplikasi) dengan memastikan
oksigenasi dan nutrisi yang adekuat (Grace, P.,A., 2007). Jika usaha ini tidak berhasil
makan akan dapat menyebabkan deficit kognitif multipleks termasuk gangguan memori.
Klien tersebut dapat mengalami penurunan fungsi intelektual seperti daya ingat,
pemecahan masalah, dan penalaran dan berlanjut dengan kerusakan komunikasi verbal
yang mana klien akan sulit mengungkapkan ataupun merencanakan pemenuhan kebutuhan
dan kegiatan sehari hari sehingga klien akan mengalami maasalah keperawatan deficit
perawatan diri.

C. Psikodinamika
I. Faktor Predisposisi
a. Faktor biologi
Menurut Stuart, G.,W. (2013), antara lain status nutrisi, kelemahan dan kelelahan,
gangguan neuromuskuler, gangguan musculoskeletal, kecacatan, paparan terhadap
racun, dan latar belakang genetic (riwayat gangguan jiwa dan penyakit dalam
keluarga). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rochmawati (2013), bahwa
44,4% klien dipengaruhi oleh factor genetic (retardasi mental, dimensia). Retardasi
mental adalah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap,
yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa
perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh.
Retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau ganggua fisik
lainnya. Hendaya perilaku adaptif selalu ada, tetapi dalam lingkungan social
terlindung dimana sarana pendukung cukup tersedia, hendaya ini mungkin tidak
tampak sama sekali pada penyandang retardasi mental ringan. Penegakan diagnostic
yang pasti dengan adanya penurunan tingkat kecerdasan yang mengakibatkan
berkurangnya kemampuan adaptasi terhadap tuntutan dari lingkungan social biasa
sehari-hari (Maslim, 2001). Demensia merupakan suatu sindrom akibat
penyakit/gangguan otak yang biasanya bersifat kronik-progresif, dimana terdapat
gangguan fungsi luhur kortikal yang multiple, termasuk didalamnya daya ingat, daya
piker, orientasi, daya tangkap, berhitung, kemampuan belajar, berbahasa, dan daya
nilai. Pedoman diagnostic meliputi adanya penurunan kemampuan daya ingat dan
daya piker, yang sampai mengganggu kegiatan harian seseorang seperti mandi,
berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar dan kecil. Selain itu, tidak
adanya gangguan kesadaran, dan gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling
sedikit 6 bulan (Maslim, 2001).

b. Faktor Psikologis
Menurut Stuart, G.,W. (2013), antara lain kemampuan verbal, moral, kepribadian,
intelegensia (gangguan dalam kognitif dan persepsi), pengalaman masa lalu yang
tidak menyenangkan, gangguan konsep diri, motivasi, self control yang menurun.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rochmawati (2013), bahwa 100% klien
disebabkan oleh masalah dengan komunikasi verbal dalam ketidakmampuan
mengungkapkan keinginan dengan baik. Intelligence sering didefinisikan sebagai
kemampuan verbal dan keterampilan memecahkan masalah, juga mencakup
kemampuan untuk belajar dari dan menyesuaikan diri terhadap pengalaman dalam
hidup sehari-hari. Intelegensi terdiri dari tujuh kemampuan mental yaitu pemahaman
verbal, kemampuan mengolah angka, kelancaran kata, pengamatan visual
keruangan, ingatan assosiatif, penalaran dan kecepatan mempersepsi (Santrock,
2003).
c. Faktor Sosial Kultural
Menurut Stuart, G.,W. (2013), antara lain usia, gender, pendidikan, pendapatan,
pekerjaan, status social, latar belakang budaya, agama dan keyakinan, pengalaman
social, peran social. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rochmawati (2013),
bahwa 83,3% klien memiliki masalah perekonomian atau ekonomi rendah.

II. Faktor Presipitasi


a. Faktor biologis
Menurut Stuart, G.,W. (2013), antara lain sakit fisik (kecacatan, kelemahan,
kelelahan, nyeri, gangguan neuromuscular). Dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh Rochmawati (2013), bahwa 55,6% klien mempunyai riwayat putus obat. Pasien
yang menggunakan cukup bsnyak obat dalam jangka waktu cukup lama, akan
menjadi toleran terhadap obat tersebut dan tampak tanda-tanda fisiologik putus zat
bila obat dihentikan. Kenali gejala putus zat dengan riwayat penggunaan obat yang
bermakna, gejala psikologis (perasaan cemas berat yang subjektif, kegelisahan,
ketakutan akan sesuatu yang akan terjadi, mudah marah, insomnia, dan anoreksia)
(Tomb, 1999).
b. Faktor Psikologis
Menurut Stuart, G.,W. (2013), antara lain menurunnya motivasi dan malas. Dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Rochmawati (2013), bahwa 77,8% klien
memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan.
c. Factor social cultural
Menurut Stuart, G.,W. (2013), antara lain adanya pembatasan kontak social dengan
teman dan keluarga dikarenakan adanya perbedaan budaya, dan lokasi tempat
tinggal yang terisolasi. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rochmawati
(2013), bahwa 88,9% klien memiliki masalah ekonomi.
d. Asal Stresor
Menurut Stuart, G.,W. (2013), antara lain internal (persepsi individu yang buruk
tentang pentingnya personal hygiene) dan eksternal (kurang dukungan dan tidak
tersedianya fasilitas). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rochmawati (2013),
bahwa 88,9 % berasal dari individu itu sendiri
e. Waktu stressor
Menurut Stuart, G.,W. (2013), antara lain stress terjadi dalam waktu dekat, waktu
yang cukup lama, dan terjadi secara berulang. Dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh Rochmawati (2013), bahwa 55,6% terpapar kurang dari 10 tahun
f. Jumlah Stresor
Menurut Stuart, G.,W. (2013), antara lain sumber stress lebih dari satu, stress
dirasakan sebagai masalah yang sangat berat. Dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh Rochmawati (2013), bahwa 100% memiliki stressor lebih dari 3.

III. Penilaian Stresor


a. Respon kognitif Menurut Stuart, G.,W. (2013), antara lain menyatakan kurang
mood, kurang konsentrasi, penurunan produktivitas, bingung, penurunan kesadaran
diri, dan kerusakan/gangguan perhatian. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Rochmawati (2013), bahwa 88,9% klien tidak mampu mengambil keputusan
b. Respon afektif : Menurut Stuart, G.,W. (2013), antara lain pemalu, gugup/nervous,
frustasi, merasa bersalah, tidak punya harapan, marah. Dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Rochmawati (2013), bahwa 66,7% klien merasa tidak mampu
merawat diri
c. Respon fisiologis : Menurut Stuart, G.,W. (2013), antara lain neuromuscular
(iritabel, apatis, kelemahan otot, nyeri tulang/sendi pada saat beraktivitas, hambatan
pertumbuhan tulang, osteoporosis, kerusakan otot, dan kecacatan). Dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Rochmawati (2013), bahwa 72,2% klien mengeluh
adanya kelelahan, kelemahan, dan keletihan.
d. Respon perilaku : Menurut Stuart, G.,W. (2013), antara lain menggaruk badan,
rambut, menarik diri dari hubungan interpersonal, diam, gelisah. Dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Rochmawati, (2013), bahwa 72,2 % klien tidak
toileting
e. Respon social : Menurut Stuart, G.,W. (2013), antara lain kadang menghindari
kontak/aktivitas social. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rochmawati
(2013), bahwa 83,3% klien mengurung diri
IV. Sumber Koping
a. Personal ability :
Menurut Stuart, G.,W. (2013), antara lain kurang komunikatif, kurang baik dalam
membina hubungan interpersonal, kurang memiliki kecerdasan dan bakat tertentu,
mengalami gangguan fisik, perawatan diri yang buruk, dan tidak kreatif. Dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Rochmawati (2013), bahwa 66,7% klien berupa
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri seperti mandi,
berhias, makan dan minum, dan toileting
b. Social support :
Menurut Stuart, G.,W. (2013), antara lain hubungan interpersonal yang kurang
baik, kurang terlibat dalam organisasi social, adanya konflik nilai budaya. Dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Rochmawati (2013), bahwa 94,4% klien tidak
mendapat dukungan keluarga.
c. Material asset :
Menurut Stuart, G.,W. (2013), antara lain penghasilan individu/keluarga yang
tidak mencukupi, sulit mendapatkan pelayanan kesehatan, tidak memiliki
pekerjaan/vokasi/posisi.
d. Positif belief : Menurut Stuart, G.,W. (2013), antara lain tidak memiliki keyakinan
dan nilai yang positif, kurang memiliki motivasi, kurang berorientasi kesehatan
pada upaya pencegahan dan lebih dominan pada upaya pengobatan. dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Rochmawati (2013), bahwa 88,9% klien merasa
tidak yakin terhadap tenaga kesehatan

V. Mekanisme Koping
a) Konstruktif Negosiasi, kompromi, meminta saran, perbandingan yang positif,
penggantian reward, antisipasi.
b) Destruktif Supresi, proyeksi, represi, regresi, kompensasi, isolasi, displacement

D. Psikopatologi
Manifestasi deficit perawatan diri pada klien skizofrenia dapat didefinisikan sebagai
ketidakmampuan klien dalam melakukan kegiatan sehari-hari, seperti makan, kebersihan
(mandi, buang air kecil dan buang air besar), berpakaian, dandan, dan tidur (Townsend,
2005 dalam Susanti Herni, 2010). Kegiatan ini dapat disatukan menjadi satu sebutan yaitu
kegiatan sehari-hari (Activities of Daily Living/ADL) (Carpenito, 1999 dalam Susanti
Herni, 2010). Deficit perawatan diri juga dapat muncul apabila individu tidak mampu
berinteraksi social, melakukan tindakan untuk keselamatan diri (safety). Dengan demikian
kebutuhan perawatan diri tidak hanya terbatas pada aktivitas secara biologis namun juga
psikososial (Susanti Herni, 2010). Tanda dan gejala yang muncul pada klien juga sesuai
dengan yang didefinisikan oleh NANDA (2007) dalam Susanti H (2010), diantaranya tidak
ada keinginan mandi secara teratur, perawatan diri harus dimotivasi, penampilan tidak
rapi, dan pakaian kotor.
Tanda dan gejala klien dengan deficit perawatan diri (Keliat, 2014) :
1. Gangguan kebersihan diri ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki dan
bau, kuku panjang dan kotor
2. Ketidakmampuan berhias/berdandan, ditandai dengan rambut acakacakan, pakaian
kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki-laki tidak bercukur, pada
pasien wanita tidak berdandan
3. Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai dengan ketidakmampuan
mengambil makan sendiri, makan berceceran, dan makan tidak pada tempatnya
4. Ketidakmampuan defekasi/berkemih secara mandiri, ditandai dengan
defekasi/berkemih tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik setelah
defekasi/berkemih

E. Diagnosa Keperawatan
Defisit Perawatan Diri : (kebersihan diri, makan, berdandan, defekasi/berkemih)

F. Tatalaksana
I. Generalis
Tujuan : klien Mampu
1) Mengidentifikasi perawatan kebersihan diri (mandi, berhias, makan minum,
toileting)
2) Melatih cara melakukan perawatan diri; mandi
3) Melatih cara perawatan diri: berdandan/berhias
4) Melatih cara perawatan diri; makan/minum
5) Melatih cara perawatan diri; BAB/BAK
Tindakan Keperawatan
1. Melatih pasien tentang cara-cara perawatan kebersihan diri. untuk melatih pasien
dalam menjaga kebersihan diri. anda dapat melakukan tahapan tindakan yang
meliputi :
Menjelaskan pentingnya menjaga kebersihan diri
Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
Melatih pasien mempraktikkan cara menjaga kebersihan diri
Melatih pasien berdandan/berhias. Anda sebagai perawat dapat melatih pasien
berdadan. Untuk pasien laki-laki tentu harus dibedakan dengan wanita. Untuk
pasiennlaki-laki latihan meliputi:
a. Berpakaian
b. Menyisir rambut
c. Bercukur
Untuk pasien wanita, latihannya meliputi:
a. Berpakaian
b. Menyisir rambut
c. Berdandan
2. Melatih pasien makan secara mandiri. Untuk melatih makan pasien anda dapat
melakukan tahapan sebagai berikut:
a. Menjelaskan cara mempersiapkan makan
b. Menjelaskan cara makan yg tertib
c. Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
d. Praktik makan sesuai dengan tahapan makan yg baik
3. Menerjakan pasien melakukan defekasi/berkemih secara mandiri .anda dapat melatih
pasien untuk defekasi dan berkemih mandiri sesuai tahapan berikut :
a. Menjelaskan tempat defekasi/berkemih yg sesuai
b. Menjelaskan cara membersihkan diri setelah defekasi dan berkemih
c. Menjelaskan cara membersihkan tempat defekasi dan berkemih
Tindakan Keperawatan pada keluarga
a. Tujuan keperawatan
Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah defisit
perawatan diri
b. Tindakan keperawatan
Untuk memantau kemampuan pasien dalam melakukan cara perawatan diri
yang baik, perawat harus melakukan tindakan agar keluarga dapat meneruskan
melatih dan mendukung pasien sehingga kemampuan pasien dalam perawatan
diri meningkat. Tindakan yang dapat perawat lakukan adalah sebagai berikut:
a. Diskusikan dengan keluarga tentang masalah yang dihadapi keluarga dalam
merawat pasien
b. Jelaskan pentingnya perawatan diri untuk mengurangi stigma
c. Diskusikan dengan keluarga tentang fasilitas kebersihan diri yang
dibutuhkan oleh pasien untuk menjaga perawatan diri pasien
d. Ajurkan keluarga untuk terlibat dalam merawat diri pasien dan membantu
mengingatkan pasien dalam merawat diri (sesuai jadwal yang telah
disepakati)
e. Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian atas keberhasilan pasien
dalam merawat diri
f. Bantu keluarga melatih cara merawat pasien defisit perawatan diri.
DAFTAR PUSTAKA

Claproth, R. (2010). Dahsyatnya Bahaya Aktivasi Otak Tengah. Jakarta : EGC


Grace, P.,A., Borley, N.,R. (2007). At a Glance Ilmu Bedah. Edisi Ketiga. Jakarta : Erlangga
Gunarsa, S.,D. (2007). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta : Gunung Mulia
Keliat, B.A., Akemat, Helena, N., Nurhaeni, H. (2014). Keperawatan Kesehatan Jiwa
Komunitas. Jakarta : EGC
Maslim Rusdi. (2001). Buku Saku DIAGNOSIS GANGGUAN JIWA. Jakarta : Nuh Jaya
NANDA. (2012-2014). Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC
Rochmawati, D.H., Keliat, B.A., Wardani, I. Y. (2013). Manajemen Kasus Spesialis Jiwa
Defisit
Perawatan Diri Pada Klien Gangguan Jiwa Di RW 02 Dan RW 12 Kelurahan
Baranangsiang Kecamatan Bogor Timur. Jurnal Keperawatan Jiwa, 1(2), 107 120.
Santrock, J.,W. (2003). Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta : Erlangga.
Stuart, G.,W. (2013). Principles and Practice of PSYCHIATRIC NURSING. (10th Ed). St Louis
: MOSBY.
Susanti Herni. (2010). Defisit Perawatan Diri Pada Klien Skizofrenia : Aplikasi Teori
Keperawatan Orem. Jurnal Keperawatan Indonesia, 13(2), 87 97.
Tomb, D.,A. (1999). Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai