Anda di halaman 1dari 9

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PENDAHULUAN LANSIA DENGAN INSOMNIA

PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN GERONTIK

EKA TLAGA HERAWATI


1306377966

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM PROFESI NERS
DEPOK
SEPTEMBER 2017
LAPORAN PENDAHULUAN (LP)
KASUS INDIVIDU LANSIA DENGAN INSOMNIA

Lahan Praktik : Panti Sosial Tresna Werdha


Praktik Minggu ke : 3 (tiga)
Topik LP : Insomnia

I. Latar Belakang
1. Definisi Kasus
Lansia mengalami penurunan 70%-80% efektivitas tidur pada malam hari, hal
tersebut didukung oleh penelitian Adiyati tahun 2010 bahwa 32 dari 42 lansia di Panti
Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kasongan Bantul mengalami insomnia. Insomnia
merupakan gangguan pada kuantitas dan kualitas tidur yang menghambat fungsi
(Herdman & Kamitsuru, 2014). Selain itu, insomnia merupakan ketidakmampuan
untuk tidur dengan jumlah atau kualitas yang cukup (Kozier, Erb, Berman, & Snyder,
2011).

2. Etiologi
Terdapat beberapa etiologi dari insomnia yaitu faktor psikososial, faktor lingkungan,
dan faktor penyakit (Miller, 2012).
a. Psikososial
Keyakinan memiliki dampak yang kuat terhadap tidur seperti berlebihan khawatir
tentang kuantitas maupun kualitas tidur dapat mengakibatkan dampak negatif
pada tidur. Selain itu, demensia dan depresi adalah gangguan psikososial yang
dapat mempengaruhi tidur. Lansia dengan demensia dapat mengalami perubahan
tidur yaitu waktu meningkat dalam tahap tidur ringan, sangat sedikit REM,
penurunan waktu tidur total, siklus tidur-bangun terganggu, dan sering mengantuk
pada siang hari. Sementara itu, lansia dengan depresi biasanya memakan waktu
lebih lama untuk jatuh tertidur, kurang tidur, sering terbangun pada malam hari
dan awal di pagi hari, serta merasa kurang beristirahat saat bangun di pagi hari.
Selain itu, lansia yang tidak memiliki kegiatan, tidak memiliki tuntutan pekerjaan,
dan tidak memiliki tanggung jawab sosial sangat sulit untuk membangun pola
tidur yang sehat. Hal tersebut terjadi karena pada siang hari biasanya lansia akan
tidur untuk menghindari kebosanan, kurangnya motivasi, dan keinginan untuk
menarik diri dari situasi stres.
b. Lingkungan
Perubahan dalam lingkungan tidur biasanya membutuhkan periode penyesuaian
sebelum pola tidur optimal didirikan. Oleh karena itu, lansia akan mengalami
kesulitan tidur selama beberapa malam pertama di lingkungan baru. Selain itu,
kesulitan tertidur juga dapat timbul jika keadaan lingkungan tidak mengizinkan
kinerja prebedtime seperti mendengarkan musik atau membaca buku. Lingkungan
di sekitar lansia seperti kurangnya ketenangan, kurangnya privasi, tidak terbiasa
tidur didekat dengan orang lain, panas, lembab, bising, dan pencahayaan adalah
faktor yang dapat mengganggu tidur. Pengaruh kuat cahaya pada tidur dikaitkan
dengan fakta bahwa tubuh membutuhkan cahaya untuk menghasilkan melatonin,
hormon yang mengatur banyak fungsi fisiologis, termasuk tidur, suhu tubuh dan
pengaturan ritme sirkadian.
c. Penyakit
Proses patologis, sakit fisik atau ketidaknyamanan, gangguan neuromuskular, dan
efek bahan kimia serta obat-obatan adalah faktor fisiologis yang dapat
mengganggu tidur. Proses penyakit dan ketidaknyamanan fisik yang mengganggu
pola tidur seperti keganasan, sakit kronis, diabetes melitus, penyakit Parkinson,
penyakit ginjal kronis, PPOK, dan kram.

3. Patofisiologi
Terdapat tiga tipe insomnia yaitu sulit tertidur (insomnia awal), sulit untuk tetap tidur
karena sering terbangun (insomnia intermiten), dan terbangun sebelum waktunya
(insomnia terminal) (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011). Insomnia sering
dihubungkan dengan hipotesis peningkatan arousal. Arousal dikaitkan dengan struktur
yang memicu kesiagaan di ascending reticular activating system (ARAS),
hipotalamus, dan basal forebrain yang berinteraksi dengan pusat-pusat pemicu tidur
pada otak di anterior hipotalamus dan thalamus. Hyperarousal merupakan keadaan
yang ditandai dengan tingginya tingkat kesiagaan yang merupakan respon terhadap
situasi spesifik seperti lingkungan tidur (Buysse, 2005). Data psikofisiologi dan
metabolik dari hyperarousal pada pasien insomnia meliputi peningkatan suhu tubuh,
peningkatan denyut nadi dan penurunan variasi periode jantung selama tidur.
Kecepatan metabolik seluruh tubuh dihitung melalui penggunaan O2 persatuan waktu
ternyata lebih tinggi pada pasien insomnia dibandingkan pada orang normal (Buysse,
2005).
Data elektrofisiologi hyperarousal menunjukkan peningkatan frekuensi gelombang
beta pada EEG selama tidur NREM. Aktivitas gelombang beta dikaitkan dengan
aktivitas gelombang otak selam terjaga. Penurunan dorongan tidur pada pasien
insomnia dikaitkan dengan penurunan aktivitas gelombang delta (Buysse, 2005).
Selain itu, data neuroendokrin tentang hyperarousal menunjukan peningkatan level
kortisol dan adrenokortikoid (ACTH) sebelum dan selama tidur, terutama pada
setengah bagian pertama tidur pada pasien insomnia (Buysse, 2008).
Data menurut functional neuroanatomi studies of arousal tentang hyperarousal
menunjukan pola-pola aktivitas metabolisme regional otak selama tidur NREM
melalui SPECT (single-photon emission computer tomography) dan PET ( positron
emission tomography). Penelitian PET yang pertama pada insomnia primer terjadi
peningkatan kecepatan metabolisme glukosa baik pada waktu tidur maupun terjaga.
Selama terjaga, pada pasien insomnia primer ditemukan penurunan aktivitas
dorselateral prefrontal cortical. Dari hasil penelitian-penelitian tersebut menunjukkan
hyperarousal pada tidur NREM dan hypoarousal frontal selama terjaga, hal inilah
yang menyebabkan keluhan-keluhan yang dirasakan oleh pasien baik pada saat terjaga
maupun tidur.
Klien yang mengalami insomnia karena depresi berat terjadi peningkatan gelombang
beta yang berkaitan dengan peningkatan aktivitas metabolik di kortek orbita frontal
dan mengelukan kualitas tidur yang buruk, hal ini juga mendukung hipotesis
mengenai hyperarousal. Pada pemeriksaan SPECT pada pasien insomnia primer,
selama tidur NREM terjadi hipoperfusi diberbagai tempat yang paling jelas pada basal
ganglia. Kesimpulan penelitian imaging mulai menunjukkan perubahan fingsi
neuroanatomi selama tidur NREM yang berkaitan dengan insomnia primer maupun
sekunder

4. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klien mencakup pemantauan penampakan wajah, perilaku, dan tingkat
energi klien. Area kehitaman di sekitar mata, kelopak mata yang membengkak,
konjungtiva memerah, mata berkaca-kaca, dan ekspresi wajah datar adalah tanda-
tanda kurang tidur (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011). Perilaku seperti mudah
marah, gelisah, tidak perhatian, berbicara lambat, postur tidak tegap, tremor tangan,
menguap, menggosok mata, menarik diri, kebingungan, dan tidak berkordinasi juga
merupakan petunjuk adanya masalah tidur. Kurang energi dapat dilihat dengan
memantau apakah klien tampak lemah, letargi, atau letih secara fisik. Selain itu,
perawat mengkaji apakah klien mengalami deviasi septu nasal, pembesaran leher, atau
mengalami kegemukan. Temuan ini dapat dihubungkan dengan apnea tidur, obstruktif
atau mendengkur (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011).

5. Pemeriksaan Penunjang
Tidur diukur secara objektif dalam laboratorium gangguan tidur dengan
polisomnografi yaitu sebuah elektroensefalogram (EEG), elektromiogram (EMG),
dan elektrookulogram (EOG) direkam secara bersamaan (Kozier, Erb, Berman, &
Snyder, 2011). Elektorda dipasang di pertengahan kulit kepala untuk mencatat
gelombang otak (EEG), di bagian terluar kantus masing-masing mata untuk merekam
pergerakan mata (EOG), dan di otot dagu untuk merekam elektromiogram struktural
(RMG). Selain itu juga dipantau bergantung pada wawancara awal terkait upaya
pernafasan dan kelancaran aliran udara, EKG, pergerakan tungkai, dan saturasi
oksigen. Saturasi oksigen ditentukan dengan pemantauan oksimeter nadi, sebuah sel
listrik yang sensitif terhap cahaya yang dipasang di telinga atau jari. Saturasi oksigen
dan pengkajian EKG terutama penting jika diperkiraan terdapat apnea tidur. Melalui
polisomnografi, aktivitas klien (pergerakan, upaya, dan pernafasan yang berisik)
selama tidur dapat dikaji. Aktivitas tersebut yang mungkin tidak bisa disadari klien
menjadi penyebab terbangunnya klien selama tidur.

6. Penatalaksanaan Medis-Non Medis Terbaru


Menurut Kozier, Erb, Berman, & Snyder (2011), terdapat beberapa penatalaksanaan
insomnia yang dapat dipaparkan sebagai berikut:
a. Penyuluhan klien
Individu sehat perlu mempelajari pentingnya istirahat dan tidur dalam memelihara
gaya hidup yang aktif dan produktif. Hal yang perlu dipelajari yaitu terkait kondisi
yang meningkatkan tidur, kondisi yang menganggu tidur, penggunaan obat tidur
secara aman, dan pengaruh obat lain yang diresepkan pada tidur.
b. Mendukung ritual waktu tidur
Perawat dapat membantu memberikan ritual waktu tidur yaitu mencuci tangan dan
wajah, menggembungkan bantal, dan mengambil selimut untuk meningkatkan
kenyamanan lansia selama tidur.
c. Menciptakan lingkungan yang tenang
Tidak bising, suhu ruangan nyaman, ventilasi sesuai, dan pencahayaan yang tepat.
Lingkungan yang aman dan nyaman pada lansia dapat dilakukan dengan
penempatan tempat tidur yang rendah serta menempatkan bel panggilan dalam
posisi yang mudah dijangkau.
d. Meningkatkan kenyamanan dan relaksasi
Kenyamanan sangat dibutuhkan lansia dalam proses tidur seperti penggunaan baju
longgar, sprei bersih, posisi nyaman, pemberian analgesik jika klien nyeri,
massage, dan relaksasi.
e. Meningkatkan tidur dengan obat
Terdapat beberapa obat yang digunakan saat mengalami gangguan pola tidur
yaitu, obat sedatif-hipnotik dan antiansietas. Adapun obat-obatan sedatif hipnotik
yaitu hidrat kloral, etklorvinol, flurazepam, glutetimida, larazepam, melatonin,
temazepam, triazolam, zaleplon, dan zolpidem.

II. Rencana Keperawatan


1. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul (NANDA 2015-2017)
a. Insomnia
b. Deprivasi tidur
c. Gangguan pola tidur
d. Ansietas
e. Depresi
f. Keletihan
g. Risiko cedera
2. Intervensi keperawatan (secara umum berdasarkan NIC)
Outcome Intervention
(0004) Tidur (1850) Peningkatan Tidur

Definisi Definisi
Periode alami mengistirahatkan kesadaran Memfasilitasi tidur atau siklus bagun
dalam memulihkan tubuh. yang teratur

Domain 1 Domain 1
Fungsi Kesehatan Fisiologis Dasar

Kelas A Kelas F
Pemeliharaan Energi Fasilitasi Perawatan Diri

Indikator Aktivitas
1. Jam tidur sampai dengan tidak 1. Tentukan pola tidur dan aktivitas
terganggu (5). klien.
2. Pola tidur sampai dengan tidak 2. Penjelasan pentingnya tidur yang
terganggu (5). cukup.
3. Kualitas tidur sampai dengan tidak 3. Tuliskan perkiraan tidur dalam
terganggu (5). perencanaan.
4. Efisiensi tidur sampai dengan tidak 4. Monitor pola dan jumlah tidur.
terganggu (5). 5. Catat kondisi fisik maupun
5. Tidur rutin sampai dengan tidak psikologis klien secara berkala.
terganggu (5). 6. Sesuaikan lingkungan yang nyaman.
6. Perasaan segar setelah tidur sampai 7. Dorong klien untuk menetapkan
dengan tidak terganggu (5). rutinitas tidur dan bangun.
7. Kesulitan memulai tidur sampai 8. Monitor makanan dan minuman
dengan tidak ada (5). sebelum tidur.
8. Tidur yang terputus sampai dengan 9. Anjurkan klien untuk relaksasi.
tidak ada (5). 10. Sesuaikan pemberian obat jika ada
9. Ketergantungan pada bantuan tidur untuk mendukung siklus tidur dan
sampai dengan tidak ada (5). bangun klien.
(0003) Istirahat (6040) Terapi Relaksasi

Definisi Definisi
Berkurangnya kuantitas dan pola aktivitas Mendorong relaksasi untu mengurangi
untuk memulihkan mental dan fisik. tanda dan gejala yang tidak diinginkan

Domain 1 Domain 3
Fungsi Kesehatan Perilaku

Kelas A Kelas T
Pemeliharaan Energi Peningkatan Kenyamanan Psikologi

Indikator Aktivitas
1. Jumlah istirahat sampai dengan tidak 1. Jelaskan manfaat dari terapi
terganggu (5). relaksasi.
2. Pola istirahat sampai dengan tidak 2. Ciptakan lingkungan yang tenang.
terganggu (5). 3. Berikan posisi nyaman pada klien.
3. Kualitas istirahat sampai dengan tidak 4. Ajarkan klien teknik relaksasi nafas
terganggu (5). dalam.
4. Beristirahat secara fisik sampai 5. Dorong klien untuk mengulang
dengan tidak terganggu (5). teknik relaksasi nafas dalam.
5. Beristirahat secara mental sampai 6. Gunakan teknik relaksasi sebagai
dengan tidak terganggu (5). strategi tambahan selain obat-obatan.
6. Beristirahat secara emosional sampai
dengan tidak terganggu (5).
7. Energi pulih setelah istirahat sampai
dengan tidak terganggu (5).
8. Tampak segar setelah istirahat sampai
dengan tidak terganggu (5).
Daftar Pustaka
Adiyati, S. (2010). Pengaruh aromaterapi terhadap insomnia pada lansia di PTSW Budi
Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta. Jurnal Keperawatan Indonesia, 21-28.
Bulecheck, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013). Nursing
interventions classification (NIC) (6th ed.). Philadephia: Elsevier.
Buysse, D. J. (2005). Insomnia. The Journal of Lifelong Learning In Psychiatry, 3, 558-584.
Buysse, D. J. (2008). Chronic Insomnia. Am J Psychiatry. 2008, 165, 678-686.
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2014). NANDA international nursing diagnoses:
Definitions & Classification 2015-2017 (10th ed.). Oxford: Wiley Blackwel.
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. (2011). Fundamentals of nursing: Concepts,
process, and pratice (7th ed.). New Jersey: Prentice Hall.
Miller, C. A. (2012). Nursing for wellness in older adults. Phiadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing outcomes
classification (5th ed.). Philadelphia: Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai