Anda di halaman 1dari 13

Penanganan dan Pencegahan Osteoporosis

Dibuat untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Bahasa Indonesia

Ditujukan kepada :

Bapak M. Rizqi Romadlon, S.Pd., M. Pd.

Disusun oleh :

Maharotullaili Nur Azizah J500180126

Fakultas Kedokteran

Program Studi Pendidikan Dokter

Universitas Muhammadiyah Surakarta

2019

0
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Osteoporosis adalah salah satu penyakit degeneratif yang sebagian
besar didertita oleh orang lanjut usia (lansia). Kasus medis ini kerap kali
dikeluhkan di instansi medis seperti puskesmas, klinik, dan rumah sakit.
Osteoporosis berkaitan dengan nyeri, ketidakmampuan, dan
peningkatan risiko mortalitas. Osteoporosis terjadi ketika proses pengikisan
tulang dan pembentukan tulang menjadi tidak seimbang. Sel-sel yang
menyebabkan pengikisan tulang (osteoklas) mulai membuat kanal dan lubang
dalam tulang lebih cepat daripada kerja sel-sel pemicu pembentukan tulang
(osteoblas) yang membuat tulang baru untuk mengisi lubang tersebut, sehingga
tulang mengalami penurunan densitas massa tulang dan perburukan
mikroarsitektur tulang,
Osteoporosis (tulang rapuh) adalah penyakit yang memiliki ciri massa
tulang rendah dan kemunduran struktur jaringan tulang, menyebabkan
kerentanan tulang dan peningkatan risiko fraktur pada pinggul, tulang belakang,
dan pergelangan tangan. Pria maupun wanita dapat terpengaruh oleh
osteoporosis, penyakit ini dapat dicegah dan diobati.
Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya osteoporosis. Dua
diantaranya adalah aktivitas fisik dan kebiasaan merokok. Sikap merupakan
salah satu bagian dari perilaku yang dapat mempengaruhi seseorang dalam
melakukan pencegahan suatu penyakit. Selain itu juga dipengaruhi kepadatan
tulang yaitu komposisi tubuh berupa total lemak tubuh dan lean mass.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah definisi osteoporosis?
2. Apa saja faktor risiko terjadinya osteoporosis?
3. Bagaimanakah metode penanganan dan pencegahan osteoporosis?

1
C. TUJUAN
1. Mengetahui definisi osteoporosis.
2. Mengetahui faktor risiko terjadinya osteoporosis.
3. Mengetahui metode penanganan dan pencegahan osteoporosis

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI OSTEOPOROSIS
Osteoporosis merupakan gabungan dari kata osteo dan porous, osteo
adalah tulang dan porous adalah berlubang-lubang atau keropos. Sehingga
osteoporosis merupakan pengeroposan tulang, yang bercirikan massa tulang
yang sedikit serta terganggunya bentuk susunan tulang dan kualitas jaringan
tulang yang menurun, yang dapat berakibat pada pengeroposan tulang sehingga
meningkatkan risiko tulang patah (Tandra, 2009 dalam Dimyati, 2017).
Menurut WHO pada International Consensus Development
Conference, di Roma, Itali, 1992 osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat
khas berupa massa tulang yang rendah, disertai perubahan mikroarsitektur
tulang, dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang pada akhirnya
menimbulkan akibat meningkatnya kerapuhan tulang dengan risiko terjadinya
patah tulang.
Dalam buku ajar Ilmu Penyakit Dalam diungkapkan bahwa
osteoporosis adalah kelainan skeletal sistemik yang ditandai oleh compromised
bone strength sehingga tulang mudah fraktur. Osteoporosis dibagi 2 kelompok,
yaitu osteoporosis primer (involusional) dan osteoporosis sekunder.
Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya,
sedangkan osteoporosis sekunder adalahosteoporosis yang diketahui
penyebabnya.
Pada tahun 1940-an, Albright mengernukanan pentingnya estrogen
pada patogenesis osteoporosis. Kernudian pada tahun 1983, Riggs den Melton,
membagi osteoporosis primer atas osteoporosis tipe I dan tipe II. Osteoporosis
tipe I, disebut juga osteoporosis pasca menopause, disebabkan oleh defisiensi
estrogen akibat rnenopause. Osteoporosis tipe II, disebut juga osteoporosis
senilis, disebabkan oleh gangguan absorpsi kalsiurn di usus sehingga
menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan timbulnya
osteoporosis. Belakangan konsep itu berubah, karena ternyata peran estrogen

3
juga menonjol pada osteoporosis tipe II. Selain itu pernberian kalsium dan
vitamin D pada osteoporosis tipe lljuga tidak rnernberikan hasil yang adekuat.
Akhirnya pada tahun Tipe l 1990-an, Riggs dan Melton memperbaiki
hipotesisnya dan mengemukakan bahwa estrogen menjadi faktor yang sangat
berperan pada timbulnya osteoporosis primer, baik pasca menopause maupun
senilis (Sudoyo et al., 2017).

B. FAKTOR RISIKO OSTEOPOROSIS


Dasar terjadinya osteoporosis adalah ketidakseimbangan antara
reabsopsi tulang dengan formasi tulang. Apabila penghancuran lebih banyak
daripada pembentukan tulang akan menjadi keropos. Banyak faktor yang dapat
memengaruhi timbulnya osteoporosis seperti genetik atau keturunan, usia,
kurang aktifitas fisik, postur tubuh, komposisi tubuh (indeks massa
tubuh, lean body mass, total lemak dalam tubuh). Faktor lain yang menjadi
faktor terjadinya osteoporosis adalah menopause, riwayat patah tulang, adanya
penyakit seperti tiroid, diabetes melitus, kanker hati, ginjal, usus, pola makan,
stres, polusi bahan kimia, gaya hidup tidak sehat misalnya kebiasaan merokok,
minum alkohol, asupan makanan seperti kalsium, vitamin D, protein, garam, dan
konsumsi obat thyroid, steroid, GNRH agonist, diuretik, dan antasid. Wanita
memiliki risiko penurunan massa tulang lebih cepat dibandingkan pria.
Penurunan massa tulang pada wanita dapat disebabkan oleh berkurangnya
produksi hormon estrogen pada wanita menopause yang membuat peningkatan
penghancuran tulang oleh sel osteoklas dan penurunan pembentukan tulang oleh
sel osteoblas (Widyanti, 2017).
Menurut International Osteoporosis Foundation, jumlah kejadian
fraktur osteoporosis per tahun pada wanita lebih dari 45 tahun menyebabkan
lebih lama mendapatkan perawatan di rumah sakit dibandingkan penyakit
serangan jantung, stroke, dan kanker. Usia antara 20 sampai 49 tahun termasuk
dalam usia produktif bagi wanita. Pada usia ini wanita masih mendapatkan
menstruasi secara teratur yang disebut usia subur. Pada fase ini diharapkan
wanita lebih waspada pada penyakit yang akan muncul ketika usia setelah
menopause dengan cara menjaga kondisi badan dengan prima dan bugar.

4
Osteoporosis disebabkan oleh beberapa faktor risiko, antara lain
riwayat keluarga pernah mengalami osteoporosis, riwayat pernah mengalami
patah tulang, ras kulit putih atau Asia, lanjut usia, jenis kelamin wanita, berat
badan rendah atau kurus, kebiasaan merokok, kurang mengkonsumsi zat kapur
dan vitamin D, minum alkohol, penglihatan kabur atau rabun, kurang aktivitas
fisik, dan kekurangan hormon estrogen atau menopause dini (Tandra, 2009
dalam Dimyati, 2017). Apabila seseorang tidak banyak melakukan aktivitas fisik
maka risiko untuk menderita osteoporosis semakin meningkat. Apabila
seseorang rajin melakukan aktivitas fisik, maka banyak manfaat yang diperoleh
seperti otot semakin kuat, pertumbuhan tulang berjalan dengan baik, dan sistem
metabolisme tubuh menjadi lebih baik (Wirakusumah, 2007 dalam Dimyati,
2017).
Menurut Humaryanto, faktor yang mempengaruhi terjadinya
osteoporosis adalah :
1. Genetik
Perbedaan genetik mempengaruhi kepadatan masa tulang, misalnya pada
ukuran tulang besar dan tulang kecil, defek pada sintesis atau struktur
kolagen.
2. Kalsium
Kalsium (Ca) disebut juga zat kapur. Fungsinya adalah suatu mineral yang
berperan dalam membentuk tulang dan gigi serta memiliki peran vitalitas
pada otot. Sebagian besar kalsium pada tubuh disimpan dalam tulang. Gejala
awal kekurangan kalsium adalah malaise, banyak keringat, gelisah, sesak
nafas, berkurangnya daya tahan tubuh, anoreksia, sembelit, insomnia, kram,
dan kerapuhan tulang. Penyerapan kalsium di usus dan reabsorpsi di ginjal
tergantung pada estrogen. Itulah sebabnya mengapa wanita paskamenopause
mengalami kehilangan kalsium melalui saluran kemih. Ini disertai absorpsi
yang tidak adekuat dari usus. Kadar serum normal dipelihara melalui
adsorpsi kalsium
dari tulang. Pada akhirnya akan terjadi osteopenia, osteoporosis dan fraktur
jika kalsium yang diberikan secara oral dan/atau parenteral tidak dapat
memenuhi kebutuhan ini. Dosis harian kalsium yang lebih tinggi dibutuhkan

5
untuk memelihara absorpsi intestinal dan mempertahankan kadar serum
kalsium yang normal pada wanita paskamenopause.
3. Estrogen
Berkurangnya masa tulang dipercepat setelah overektomi dan selama masa
menopause. Dosis estrogen mencegah atau memperlambat penurunannya.
Menopause mempunyai pengaruh lebih besar pada kehilangan tulang
daripada umur kronologis.
4. Usia
Masa kalsium dalam tulang mencapai puncaknya pada usia 35 tahun. Setelah
itu, akan terus menurun. Memang, secara alami setiap 3-4 bulan tulang
dirusak oleh tubuh bersamaan dengan penggunaan kalsium yang cukup
banyak. Namun, kemudian terbentuk kembali kalsium tulang yang baru.
Setelah mencapai umur 40-45 tahun baik pria maupun wanita akan
mengalami penipisan tulang bagian korteks. Kehilangan masa tulang
merupakan fenomena universal yang berkaitan dengan usia. Dengan
bertambahnya usia terjadi penurunan kalsitonin (menghambat resorbsi tulang
dan merangsang pembentukan tulang), estrogen (menghambat pemecahan
tulang). Terjadi peningkatan hormon paratiroid (meningkatkan reasorbsi
tulang). Pada wanita yang telah mengalami masa menopause, produksi
hormon estrogen yang ikut membantu penyerapan kalsium memang
menurun secara drastis, sehingga kalsium dalam tulang ikut berkurang.
Akibatnya, tulang akan kehilangan masa dalam jumlah besar, dan
kekuatannya juga merosot tajam. Sayangnya, pengeluaran kalsium dalam
tubuh wanita menopause lebih banyak daripada yang terbentuk kembali.
Dampaknya tulang-tulang lama menjadi rapuh dan keropos. Bila kondisi ini
tidak cepat ditanggulangi, maka risiko terjadinya patah tulang akan sulit
ditanggulangi.
5. Jenis kelamin
Wanita lebih sering mengalami osteoporosis dan lebih ekstensif daripada
pria karena puncak masa tulang lebih rendah serta terdapat efek kehilangan
estrogen selama menopause, juga disebabkan karena pada wanita
pertumbuhan masa tulang terjadi lebih lambat.

6
6. Ras
Tidak semua wanita memiliki risiko yang sama untuk menderita
osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan wanita daerah timur
lebih mudah menderita osteoporosis daripada wanita kulit hitam.
7. Vitamin D
Defisiensi vitamin dapat terjadi pada lanjut usia. Hal ini terjadi karena
individu mengalami penurunan paparan sinar matahari dan mengalami
gangguan kemampuan untuk membentuk prekursor
vitamin D dalam kulit serta terdapat penurunan reseptor vitamin D dalam
duodenum. Keadaan ini menyebabkan resisitensi usus terhadap kerja vitamin
D aktif (1,25102D3) selanjutnya absorbi kalsium terganggu yang
menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder engan akibat penurunan
kandungan tulang.
8. Bahan katabolik endogen dan eksogen
Kortikosteroid berlebihan, hyperparatiroidisme, hypertiroidisme, cushing
syndrome menyebabkan kehilangan tulang.
9. Keadaan medis penyerta
Sindrom malabsorbsi, alkohol, gagal ginjal, intoleransi laktosa, gangguan
endokrin mempengaruhi pertumbuhan osteoporosis. Obat-obatan (isoniasid,
heparin, tetrasiklin) mempengaruhi metabolisme kalsium.
10. Merokok
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa rokok berhubungan dengan
penurunan masa tulang dan kadar estrogen. Wanita paska- menopause yang
merokok dan mendapatkan tambahan estrogen masih akan kehilangan masa
tulang dan dapat diartikan memiliki risiko tinggi terjadi osteoporosis.
11. Imobilisasi
Pembentukan tulang akan dipercepat dengan adanya stres, berat badan, dan
aktifitas otot. Imobilisasi mempengaruhi terjadinya osteoporosis.
Immobilisasi dapat menurunkan masa tulang. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa kehilangan tulang post-menopause dapat dicegah
dengan latihan sedang.
12. Penggunaan kortikosteroid

7
Kortikosteroid banyak digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit,
terutama penyakit autoimun, namun kortikosteroid yang digunakan dalam
jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya
osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik. Kortikosteroid dapat
menginduksi terjadinya osteoporosis bila dikonsumsi lebih dari 7,5 mg per
hari selama lebih dari 3 bulan.

C. PENANGANAN DAN PENCEGAHAN OSTEOPOROSIS


Menurut Humaryanto, penanganan osteoporosis bisa dilakukan
dengan beberapa cara seperti:
1. Mengurangi timbulnya faktor risiko lain
Mengurangi atau bahkan menghilangkan faktor risiko yang dapat
memengaruhi kesehatan tulang, mengurangi pencapaian massa tulang
maksimum atau meningkatkan pengeroposan tulang adalah salah satu faktor
penting.
2. Pengaturan makanan
Pengaturan nutrisi kalsium dan vitamin D yang direkomendasikan berbeda-
beda sesuai perkembangan tubuh.
Keperluan kalsium harian untuk usia 1-3 tahun sebesar 500 mg, usia 4-8
tahun sebesar 800 mg, 9-18 tahun sebesar 1300 mg, 19-50 tahun sebesar
1000 mg, dan usia 51 tahun atau lebih sebesar 1200 mg. Asupan kalsium ini
bisa didapat dari susu dan produk olahannya (yoghurt dan keju), susu
kedelai, ikan (terutama tulangnya), dan sayuran (terutama kubis cina, lobak
cina, dan brokoli).
Di samping keperluan kalsium, vitamin D juga diperlukan. Vitamin D
adalah satu-satunya vitamin yang dapat dibuat oleh tubuh ketika terkena
sinar matahari. Sinar matahari yang mengandung UV B yang dapat
membantu memproduksi vitamin D adalah pada pagi hari sebelum pukul
09.00 dan sore hari sesudah pukul 16.00.
3. Aktivitas fisik (olahraga)
Dua jenis olahraga yang bisa memperbaiki kesehatan tulang yaitu latihan
tumpu bobot (weight-bearing) seperti berjalan, berlari, senam, aerobic,

8
hiking, naik tangga, menari, enis, dan lompat tali. Selain itu ada latihan
resistif seperti mendorong atau menarik beban sehingga menimbulkan
tahanan atau resistensi terhadap otot dan tulang.
4. Terapi penggantian hormone (HRT)
Terapi penggantian hormone (HRT) dapat digunakan pada wanita saat
menopause untuk memperlambat penurunan kandungan tulang. Penggunaan
terapi pengganti hormon dilakukan dengan pengawasan dokter untuk
menentukan tindakan yang terbaik. HRT pernah dianggap sebagai
Gold Standard untuk pengobatan osteoporosis, tetapi dalam percobaan
penelitian terbaru terdapat keraguan mengenai penggunaan jangka panjang
yang dapat meningkatkan penyakit jantung koroner, stroke dan kanker
payudara. HRT masih akan menjadi obat pilihan hanya jika
tidak ada kontraindikasi.
Sedangkan untuk mendeteksi dini terjadinya osteoporosis bisa dengan
mengukur kepadatan mineral tulang. Beberapa teknik yang dapat digunakan
untuk mengukur kepadatan mineral tulang adalah sebagai berikut:
1. Dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA)
Teknik ini menggunakan dua sinar -X berbeda, dapat digunakan untuk
mengukur kepadatan tulang belakang dan pangkal paha. Sejumlah sinar –X
dipancarkan pada bagian tulang dan jaringan lunak yang dibandingkan
dengan bagian yang lain. Tulang yang mempunyai kepadatan tulang
tertinggi hanya mengizinkan sedikit sinar-X yang
melewatinya.
DEXA merupakan metode yang paling akurat untuk mengukur kepadatan
mineral tulang. DEXA dapat mengukur sampai 2% mineral tulang yang
hilang tiap tahun. Penggunaan alat ini sangat cepat dan hanya menggunakan
radiasi dengan dosis yang rendah tetapi lebih mahal dibandingkan dengan
metode ultrasounds.
2. Peripheral dual-energy X-ray absorptiometry (P-DEXA)
Alat ini merupakan hasil modifikasi dari DEXA. Alat ini mengukur
kepadatan tulang anggota badan seperti pergelangan tangan, tetapi tidak
dapat mengukur kepadatan tulang yang berisiko patah tulang seperti tulang

9
belakang atau pangkal paha. Jika kepadatan tulang belakang dan pangkal
paha sudah diukur maka pengukuran dengan P-DEXA tidak diperlukan.
Mesin P-DEXA mudah dibawa, menggunakan radiasi sinar-X dengan dosis
yang sangat kecil, dan hasilnya lebih cepat dan konvensional dibandingkan
DEXA.
3. Dual photon absorptiometry (DPA)
Alat ini menggunakan zat radioaktif untuk menghasilkan radiasi. Dapat
mengukur kepadatan mineral tulang belakang dan pangkal paha, juga
menggunakan radiasi sinar dengan dosis yang sangat rendah tetapi
memerlukan waktu yang cukup lama.
4. Ultrasounds
Alat ultrasound pada umumnya digunakan untuk tes pendahuluan. Jika
hasilnya mengindikasikan kepadatan mineral tulang rendah maka dianjurkan
untuk tes menggunakan DEXA. Ultrasounds menggunakan gelombang
suara untuk mengukur kepadatan mineral tulang, biasanya pada telapak kaki
Frekuensi yang digunakan pada QUS biasanya terletak antara 200 kHz dan
1,5 MHz. Sebagian mesin melewatkan gelombang suara melalui udara dan
sebagian lagi melalui air. Ultrasounds dalam penggunaannya cepat, mudah
dan tidak menggunakan radiasi seperti sinar-X. Salah satu kelemahan
Ultrasounds tidak dapat menunjukkan kepadatan mineral tulang yang
berisiko patah tulang karena osteoporosis. Penggunaan Ultrasounds juga
lebih terbatas dibandingkan DEXA.
5. Quantitative computed tomography (QTC)
Suatu model dari CT-scan yang dapat mengukur kepadatan tulang belakang.
Salah satu model dari QTC disebut peripheral QCT (pQCT) yang dapat
mengukur kepadatan tulang anggota badan seperti pergelangan tangan. Pada
umumnya pengukuran dengan QCT jarang dianjurkan karena sangat mahal,
menggunakan radiasi dengan dosis tinggi, dan kurang akurat dibandingkan
dengan DEXA, PDEXA, atau DPA.

10
BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN
Osteoporosis adalah kelainan skeletal sistemik berupa kondisi
menurunnya massa tulang sampai rendah, perubahan mikroarsitektur tulang, dan
penurunan kualitas jaringan tulang yang menyebabkan tulang mudah fraktur.
Osteoporosis bisa terjadi pada siapa saja dengan rentang usia muda
sampai tua bergantung pada kepadatan mineral tulang, keturunan, kebiasaan,
aktivitas, kondisi kesehatan terkait penyakit pendukung osteoporosis, dan
pengaturan konsumsi yang sesuai dengan kebutuhan tulang. Selain itu juga
karena kondisi paskamenopause yang mengakibatkan turunnya estrogen di mana
sangat berperan penting bagi pembentukan tulang.
Osteoporosis dapat ditangani dengan mengurangi faktor risiko,
pengaturan konsumsi, aktivitas fisik, dan penggunaan HRT yang memungkinkan
sesuai kondisi pasien. Pencegahan osteoporosis bisa dilakukan dengan
melakukan deteksi dini menggunakan alat ukur kepadatan mineral tulang seperti
DEXA, PDEXA, DPA, ultrasounds, atau QTC sehingga dapat mengurangi
kerentanan tulang seseorang untuk terjadi osteoporosis.

B. IMPLIKASI
Hasil pembahasan menunjukkan adanya keterkaitan antara
penanganan segera yang dapat mengurangi berkembangnya osteoporosis ke
faktor risiko lainnya. Konsumsi nutrisi tulang yang teratur juga berkaitan dengan
kebutuhan yang diperlukan untuk menjaga massa tulang dan kepadatan mineral
tulang agar penanganan tepat dan sesuai. Selain itu, pencegahan berupa deteksi
dini juga berkaitan dengan berkurangnya populasi subyek yang mungkin akan
mengalami osteoporosis sejak muda.

11
DAFTAR PUSTAKA

Dimyati, K. F., 2017. Pengaruh Antara Aktivitas Fisik, Kebiasaan Merokok, dan Sikap
Lansia Terhadap Kejadian Osteoporosis. Jurnal Berkala Epidemiologi, 5 (1),
hal. 107-117.

Humaryanto, 2017. Deteksi Dini Osteoporosis Pasca Menopause. JMJ, 5 (2), hal. 164-
177.

Sudoyo, A. W. et al., 2016. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta : Interna
Publishing.

Widyanti, L. R. E. et al., 2017. Hubungan Komposisi Tubuh dengan Kepadatan Tulang


Wanita Usia Subur di Kota Bandung. Indonesian Journal of Human
Nutrition, 4 (1), hal. 23-33.

12

Anda mungkin juga menyukai

  • Format Mikroplaning 27 Des 2020
    Format Mikroplaning 27 Des 2020
    Dokumen29 halaman
    Format Mikroplaning 27 Des 2020
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • Someday
    Someday
    Dokumen2 halaman
    Someday
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • RM 40 A Surat Rujukan Fix
    RM 40 A Surat Rujukan Fix
    Dokumen4 halaman
    RM 40 A Surat Rujukan Fix
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • RM 40 A Surat Rujukan Fix
    RM 40 A Surat Rujukan Fix
    Dokumen4 halaman
    RM 40 A Surat Rujukan Fix
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • Morning Report
    Morning Report
    Dokumen11 halaman
    Morning Report
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • Akre
    Akre
    Dokumen2 halaman
    Akre
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • Juknis CPNS PDF
    Juknis CPNS PDF
    Dokumen36 halaman
    Juknis CPNS PDF
    David Sigalingging
    Belum ada peringkat
  • Refreshing
    Refreshing
    Dokumen1 halaman
    Refreshing
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • Cover Daftar Isi
    Cover Daftar Isi
    Dokumen3 halaman
    Cover Daftar Isi
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • Laporan ERISIFELAS
    Laporan ERISIFELAS
    Dokumen11 halaman
    Laporan ERISIFELAS
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • Refreshing
    Refreshing
    Dokumen30 halaman
    Refreshing
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • Refreshing
    Refreshing
    Dokumen30 halaman
    Refreshing
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • Refreshing
    Refreshing
    Dokumen16 halaman
    Refreshing
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • Referat SKABIES
    Referat SKABIES
    Dokumen21 halaman
    Referat SKABIES
    Chicilia Windia T. W
    Belum ada peringkat
  • REFERAT Skabies Ok
    REFERAT Skabies Ok
    Dokumen21 halaman
    REFERAT Skabies Ok
    irahervandry17
    Belum ada peringkat
  • Status ND
    Status ND
    Dokumen3 halaman
    Status ND
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • Tutorial Infeksi Menular Seksual
    Tutorial Infeksi Menular Seksual
    Dokumen115 halaman
    Tutorial Infeksi Menular Seksual
    Chicilia Windia T. W
    Belum ada peringkat
  • Refreshing Infeksi Jamur
    Refreshing Infeksi Jamur
    Dokumen39 halaman
    Refreshing Infeksi Jamur
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • Tutorial
    Tutorial
    Dokumen123 halaman
    Tutorial
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • Pio Derma
    Pio Derma
    Dokumen30 halaman
    Pio Derma
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • Tutorial
    Tutorial
    Dokumen123 halaman
    Tutorial
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus
    Laporan Kasus
    Dokumen37 halaman
    Laporan Kasus
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus 1
    Laporan Kasus 1
    Dokumen34 halaman
    Laporan Kasus 1
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Herpes Zoster 2
    Laporan Kasus Herpes Zoster 2
    Dokumen20 halaman
    Laporan Kasus Herpes Zoster 2
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • PIODERMA
    PIODERMA
    Dokumen38 halaman
    PIODERMA
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • Refreshing Infeksi Jamur
    Refreshing Infeksi Jamur
    Dokumen39 halaman
    Refreshing Infeksi Jamur
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • Absess Leher Dalam
    Absess Leher Dalam
    Dokumen26 halaman
    Absess Leher Dalam
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • Anamnesis & PemFis Telinga & Hidung (Refreshing EL)
    Anamnesis & PemFis Telinga & Hidung (Refreshing EL)
    Dokumen17 halaman
    Anamnesis & PemFis Telinga & Hidung (Refreshing EL)
    MutiaraSartikaSuhardi
    Belum ada peringkat
  • Otitis Media Akut (Lapkas)
    Otitis Media Akut (Lapkas)
    Dokumen22 halaman
    Otitis Media Akut (Lapkas)
    Selena Septianri
    Belum ada peringkat