Anda di halaman 1dari 12

Fortifikasi Garam Tingkatkan Kualitas Sumber Daya

Manusia Indonesia
Surabaya, Mengawali tahun 2019 pemerintah fokus pada peningkatan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM). Peningkatan kualitas SDM juga sesuai dalam tujuan pembangunan
millennium (millennium development goals) melalui perbaikan kualitas nutrisi agar tumbuh
kembang terjaga sejak dalam kandungan. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman
melalui Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa mendorong peningkatan
kualitas SDM, salah satunya melalui fortifikasi yodium pada garam konsumsi yang beredar di
Indonesia. Hal ini ditegaskan kembali oleh Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan
Jasa Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Agung Kuswandono dalam FGD
Fortifikasi Garam Pangan: Harmonisasi Tujuan Peningkatan Kualitas Kesehatan Masyarakat
dan debottlenecking Upaya Peningkatan Nilai Tambah Produk Pergaraman, Surabaya (04
April 2019).
Fortifikasi yodium pada garam konsumsi bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia Indonesia. Yodium merupakan unsur mineral yang menjadi nutrisi penting
bagi tubuh. Yodium menjaga fungsi tiroid tetap stabil. Hormon tiroid yang baik berperan
dalam mengoptimalkan fungsi otak dan sistem saraf. Selama masa pertumbuhan sejak dari
dalam kandungan. Hormon tiroid membantu perkembangan janin, agar fungsi otak dan
sistem saraf berkembang normal. Defisiensi (kekurangan) yodium pada ibu hamil, bila sudah
parah dapat berdampak pada retardasi kesehatan dan pertumbuhan yang terhambat. Begitu
pentingnya yodium bagi kesehatan dan tumbuh kembang anak, Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) mendorong upaya pencegahan defisiensi yodium melalui fortifikasi yodium pada
bahan pangan. Karena fortifikasi yodium pada garam konsumsi dapat mencegah masalah
stunting (kondisi gagal tumbuh kembang pada balita) di Indonesia. “Tujuan utamanya
sebetulnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tapi kalau kita angkat ini kan
salah enggak jelas kesejahteraan seperti apa ini kita arahkan kepada masalah yang sangat
krusial yaitu fortifikasi garam itu pemberian zat yodium agar terhindar masalah stunting”
pungkas Deputi Agung.
Fenomena stunting di Indonesia sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan. Pada tahun
2013 37% anak Indonesia dibawah usia 5 tahun atau lebih kurang 9 juta anak
mengalami stunting. Pemerintah Indonesia telah melakukan akselerasi demi
mencegahstunting, bahkan pencegahan stunting telah menjadi komitmen nasional. Pada
tahun 2018, telah terjadi penurunan stunting yakni 30.8%
Deputi Agung dalam paparannya menegaskan kembali, signifikansi fortifikasi yodium pada
garam konsumsi serta masalah-masalah yang menjadi kendala fortifikasi yodium khususnya
pada produsen garam pangan skala kecil.
“Saat ini hanya ada satu provider kalium iodat (yodium) di Indonesia, yaitu PT.Kimia Farma.
Sekarang bagaimana cara memastikan distribusi kalium iodat untuk produsen garam seluruh
Indonesia? Siapa yang menangani monitoring dan evaluasi fortifikasi yodium, khususnya
untuk garam rakyat produksi UMKM, bagaimana pengawasan standarisasi kadar
yodiumnya?” ujar Deputi Agung.
Deputi Agung juga menekankan poin-poin penting dalam FGD ini yakni fortifikasi yodium
untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia, mencegah dan mengeliminasistunting, mencari
solusi demi mengatasi kendala dalam fortifikasi yodium dan meningkatkan nilai tambah
produk pergaraman. Solusi-solusi terbaik yang dapat dimplementasikan dalam tata kelola
garam.
“Ada dua hal penting, yakni meningkatkan kualitas SDM melalui eliminasi stunting, dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.” Deputi Agung juga mengajak semua pihak untuk
menjadi solusi. “Ini masalah kita semua, mari bekerja sama, mari kita satukan semua kegiatan
yang ada, sehingga semuanya tahu dan mengerti. Yang paling penting tujuan utama kita
adalah kesejahteraan masyarakat dan mengatasistunting. Untuk masa depan Indonesia, masa
depan kita semua”, tambah Deputi Agung.
Kegiatan ini akan dilanjutkan dengan peninjauan lapangan fortifikasi garam ke Watudakon
pada tanggal 05 April 2019. Kegiatan FGD ini diikuti oleh Kementerian Kesehatan, BPOM,
BPPT, BSN, Kementerian Perindustrian, pemerintah daerah, PT.Kimia Farma, PT Garam,
pelaku usaha garam, asosiasi pergaraman, dan media massa.
Fortifikasi Garam Beryodium Masih Terkendala
Pengawasan
04 Apr 2019 15:52
View non-AMP version at Ngopibareng.id

Meski fortifikasi atau penambahan gizi pada makanan untuk memperbaiki


kandungan gizi warga sudah lama dijalankan di Indonesia, namun masih ada
kebingungan soal siapa yang akan mengawasi pelaksanaan fortifikasi di Indonesia.
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman pun melalui Deputi Bidang
Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa pun mengadakan Focus Group Discussion
untuk membahas masalah ini.

Fortifikasi pada makanan, saat ini sudah diwajibkan untuk untuk beberapa produk
makanan seperti penambahan yodium dalam garam dan vitamin A dalam minyak
goreng. Yodium sendiri bermanfaat untuk menjaga fungsi tiroid tetap stabil.
Hormon tiroid ini yang berperan dalam mengoptimalkan fungsi otak dan sistem
syaraf. Hormon tiroid juga dipercaya membantu perkembangan janin, agar fungsi
otak dan sistem syaraf berkembang normal.

"Tujuan fortifikasi yodium pada garam tentunya untuk peningkatan kualitas


kesehatan masyarakat. Mengantisipasistunting sejak anak dalam kandungan yang
dapat terjadi karena kekurangan yodium," ujar Agung Kuswandono Deputi Bidang
Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa, Kementerian Koordinator Kemaritiman
di sela-sela Focus Group Discussion di Hotel Hotel Fairfield Marriott, Kamis 4
April 2019.

Kata Agung, meski sudah ada landasan hukum soal produsen garam yang wajib
fortifiksi yodium, namun dalam pelaksanaanya siapa yang bakal mengawasi
program ini, menurut dia masih belum jelas.

Kata Agung, selama ini memang sudah banyak garam beryodium yang muncul di
pasaran. Namun berapa jumlah yodium yang ditambahkan dalam garam dan siapa
yang mengawasi masih menjadi pertanyaan.
Agung mencontohkan garam yang diproduksi oleh Usaha Kecil dan Menengah
(UMKM) yang juga memproduksi garam. Pertanyaannya apakah mereka juga
sudah melakukan fortifikasi yodium dalam produk garamnya?

Kata dia, UKM yang memproduksi garam juga harus mendapat perhatian dari
pemerintah derah setempat. Pasalnya, ada banyak sekali harus diawasi, mulai dari
proses pemberian yodium sampai proses pemasarannya.

“Saat ini hanya ada satu provider kalium iodat (yodium) di Indonesia, yaitu
PT.Kimia Farma. Sekarang bagaimana cara memastikan distribusi kalium iodat
untuk produsen garam seluruh Indonesia? Siapa yang menangani monitoring dan
evaluasi fortifikasi yodium, khususnya untuk garam rakyat produksi UMKM,
bagaimana pengawasan standarisasi kadar yodiumnya?” tanya dia.

Seolah menjawab kebingungan dari Kementerian Koordinator Kemaritiman,


Direktur Pengawas Pangan Risiko Rendah dan Sedang Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM), Ema Setyawati menyebut jika sudah ada acuan untuk
memberikan kadar yodium dalam garam. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 165/MEN.KES/SK/II/1986 sudah menentukan standar yodium
yang harus ada dalam garam.

"Yaitu sebesar 40-50 bagian per sejuta kalium yodat (40-50 mg/kg KIO3) pada
tingkat produksi. Sedangkan untuk tingkat distribusi sebesar 30-50 bagian per
sejuta kalium yodat (30-t0 mg/kg KIO3)," kata Ema.

Ema Setyawati juga menjawab kebingungan Agung soal siapa yang akan
mengawasi fortifikasi yodium dalam garam. Ema mengatakan jika BPOM yang
akan melakukan pengawasan fortifikasi yodium dalam garam tersebut.

"Seperti yang ditanyakan Pak Deputi tadi siapa yang melakukan pengawasan,
BPOM yang akan melakukan pengawasan fortifikasi garam beryodium," tambah
Ema.

Menurut catatan BPOM, tahun 2013 masih ditemukan kekurangan yodium pada
ibu hamil di wilayah Indonesia Timur. Selain itu, BPOM juga menemukan kualitas
garam di daerah-daerah terpencil semakin menurun. (pit)
Fortifikasi Pangan : Kekurangan Iodium

RINGKASAN
Masalah gizi mikro utama di Indonesia diantaranya adalah Gangguan akibat Kekurangan
Yodium (GAKY). GAKY merupakan salah satu permasalahan gizi yang sangat serius, karena dapat
menyebabkan berbagai penyakit yang mengganggu kesehatan antara
lain gondok,kretenisme, reterdasi mental dll. Iodium merupakan zat gizi esensial bagi tubuh, karena
merupakan komponen dari hormon tirokin. Apabila jumlah iodium yang tersedia tidak mencukupi,
produksi tiroksin menurun, akibatnya sekresi triglobulin oleh sel tiroid meningkat yang
menyebabkan kelenjar membesar dan terjadi hiperplasia yang mengakibatkan gondok (Cahyadi,
2004).

Defisiensi iodium memberikan berbagai gambaran klinik, yang kesemuanya disebut Iodium
Deficiency Deseases (IDD), atau Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI). Salah satu untuk mencegah
GAKY adalah dengan fortifikasi makanan dengan iodium. Iodisasi garam menjadi metode paling
umum yang dapat diterima oleh banyak negara di dunia, sebab garam merupakan bahan pangan
yang murah, mudah didapat dan dikonsumsi setiap hari oleh seluruh lapisan masyarakat disegala
tingkat ekonomi. Iodat lebih stabil dalam garam murni pada penyerapan dan kondisi lingkungan
(kelembapan) yang buruk, tidak menyebabkan perubahan warna dan rasa garam.
I. PENDAHULUAN
Masalah kekurangan zat gizi mikro merupakan fenomena yang sangat jelas menunjukkan
rendahnya asupan zat gizi dari menu sehari-hari. Indonesia sampai sekarang masih menghadapi
masalah gizi mikro. Masalah gizi mikro utama di Indonesia diantaranya adalah Gangguan akibat
Kekurangan Yodium (GAKY). GAKY merupakan salah satu permasalahan gizi yang sangat serius,
karena dapat menyebabkan berbagai penyakit yang mengganggu kesehatan antara
lain gondok,kretenisme, reterdasi mental dll.
Beberapa negara menetapkan target untuk menghilangkan kekurangan zat gizimikro pada
tahun 2000. Tujuan dasar dari semua program-program zat gizi mikro nasional adalah untuk
manjamin bahwa zat gizi mikro yang dibutuhkan tersedia dan dikonsunsi dalam jumlah yang cukup,
oleh penduduk (terutama penduduk yang rentan terhadap kekurangan zat gizi mikro tersebut).
Strategi-strategi yang digunakan harus tepat untuk menjawab kebutuhan dan harus menggunakan
sistem dan teknologi yang tersedia. Kombinasi beberapa intervensi mencakup promosi pemberian
ASI, modifikasi makanan (misalnya meningkatkan ketersediaan pangan dan meningkatkan konsumsi
pangan), fortifikasi pangan dan suplementasi.

Fortifikasi pangan (pangan yang lazim dikonsumsi) dengan zat gizi mikro adalah salah satu
strategi utama yang dapat digunakan untuk meningkatkan status mikronutrien pangan. Tujuan
utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk
meningkatkan status gizi populasi. Peran pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan
detisiensi, dengan demikian menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan
manusia dan kerugian sosio ekonomis. Namun demikian, fortitkasi pangan juga digunakan untuk
menghapus dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya.
II. KEKURANGAN IODIUM
Masalah kekurangan konsumsi pangan bukanlah hal baru, namun masalah ini tetap
aktual terutama di negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia. Kehidupan manusia tak
dapat dipisahkan dari masalah kekurangan konsumsi pangan, sehingga sering ditemukan
ketidakmampuan masyarakat dalam hal pengelolaan makanan yang baik sesuai dengan standar gizi
kesehatan. Salah satu upaya yang mempunyai dampak cukup penting terhadap peningkatan kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) adalah peningkatan status gizi yang merupakan salah satu faktor yang
menentukan kualitas hidup dan produktivitas kerja.
Status gizi yang baik tersebut berkaitan dengan pemenuhan zat gizi yang dikonsumsi
masyarakat khususnya zat gizi mikro. Kekurangan akan tiga jenis zat gizi mikro (micronutrient) yaitu
iodium, besi, dan vitamin A secara luas menimpa lebih dari sepertiga penduduk dunia. Konsekuensi
serius dari kekurangan tersebut terhadap individu dan keluarga termasuk ketidakmampuan belajar
secara baik, penurunan produktivitas kerja, kesakitan, dan bahkan kematian.

Yodium merupakan mineral yang termasuk unsur gizi esensial walaupun jumlahnya sangat
sedikit di dalam tubuh, yaitu hanya 0,00004% dari berat tubuh atau sekitar 15-23 mg. Itulah
sebabnya yodium sering disebut sebagai mineral mikro atautrace element. Manusia tidak dapat
membuat unsur yodium dalam tubuhnya seperti membuat protein atau gula. Manusia harus
mendapatkan yodium dari luar tubuhnya (secara alamiah), yakni melalui serapan dari yodium yang
terkandung dalam makanan dan minuman.

Kebutuhan tubuh akan yodium rata-rata mencapai 1-2 mikrogram per kilogram berat badan
per hari. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi menganjurkan konsumsiyodium per hari
berdasarkan kelompok umur. Sesungguhnya kebutuhan terhadapyodium sangat kecil, pada orang
dewasa hanya 150 mikrogram (1 mikrogram = seperseribu miligram).

Kebutuhan yodium setiap hari di dalam makanan yang dianjurkan saat ini adalah:

1. 50 mikrogram untuk bayi (12 bulan pertama)

2. 90 mikrogram untuk anak (usia 2-6 tahun)

3. 120 mikrogram untuk anak usia sekolah (usia 7-12 tahun)

4. 150 mikrogram untuk dewasa (diatas usia 12 tahun)

5. 200 mikrogram untuk ibu hamil dan menyusui.

Yodium merupakan zat gizi esensial bagi tubuh, karena merupakan komponen dari
hormon tirokin. Yodium dikonsentrasikan di dalam kelenjar gondok (glandula thyroide) untuk
dipergunakan dalam sintesa hormon tiroksin. Hormon ini ditimbun dalam folikel kelenjar
gondok, terkonjugasi dengan protein (globulin), dan disebut trioglobulin, bila diperlukan
triglobulin dipecah dan terlepas, hormon tiroksin yang dikeluarkan dari folikel kelenjar masuk
ke dalam aliran darah (Sediaoetama, 2006). Apabila jumlah yodium yang tersedia tidak
mencukupi, produksi tiroksin menurun, akibatnya sekresi triglobulin oleh sel tiroid meningkat
yang menyebabkan kelenjar membesar dan terjadi hiperplasia yang mengakibatkan gondok
(Cahyadi, 2004).

Defisiensi yodium memberikan berbagai gambaran klinik, yang kesemuanya


disebutIodium Deficiency Deseases (IDD), atau Gangguan Akibat Kurang Yodium
(GAKY). GAKY dapat terjadi pada manusia baik pria maupun wanita. Kelompok pria yang
tergolong rentan GAKY adalah sampai dengan usia 20 tahun, sedangkan kelompok wanita
sampai dengan usia 49 tahun. Timbulnya gangguan dapat terjadi pada manusia sejak masih
janin dalam kandungan. Pada janin, kekurangan yodium dapat mengakibatkan abortus
spontan (keguguran), lahir mati, kelainan/kematian perinatal, kematian bayi meningkat, bayi
lahir kretin dan kelambatan perkembangan gerak.

Pada anak remaja dapat mengakibatkan gondok, hipotiroid, gangguan fungsi mental
dan intelejensi, gangguan perkembangan fisik dan kretin. Pada dewasa dapat mengakibatkan
gondok dengan segala komplikasinya, hipotiroid dan gangguan fungsi mental dan intelejensi.
Dampak yang ditimbulkan sudah tentu sangat besar dan luas. Apalagi kelompok yang
beresiko paling tinggi adalah wanita.Kekurangan yodium terutama bagi ibu hamil akan
menagkibatkan bayi atau janin yang dikandung akan mengalami gangguan perkembangan
otak (berat otak berkurang), gangguan perkembangan fetus dan pasca lahir,kematian
perinatal (abortus) meningkat, kemudian setelah bayi dilahirkan mempunyai berat lahir rendah
(BBLR) dan terdapat gangguan pertumbuhan tengkorak sertaperkembangan skelet,
sedangkan bagi tubuh ibu hamil akan mengalami gangguan aktivitas kelenjar tiroid
(gondok). Ibu hamil yang ada di daerah endemik GAKY akan melahirkan generasi penerus
dengan tingkat intelejensi rendah atau melahirkan sumber daya manusia yang rendah.

Kekurangan intake yodium disebabkan karena faktor lingkungan air dan tanah dengan
kandungan yodium yang rendah akibat yodium terkikis dari tanah, sehingga seluruh hewan
dan tumbuhan yang digunakan sebagai sumber bahan makanan bagi manusia akan
kekurangan yodium (Dirjen, 1999). Bahan makanan sumber yodium antara lain seafood,
rumput laut, dan garam yang telah difortifikasi dengan yodium.
III. FORTIFIKASI PANGAN
Tujuan dasar dari program zat gizi mikro nasional adalah untuk menjamin bahwa zat gizi mikro
yang dibutuhkan tersedia dan dikonsumsi dalam jumlah yang cukup oleh penduduk (terutama
penduduk yang rentan terhadap kekurangan zat gizi mikro tersebut). Strategi – strategi yang
digunakan harus tepat untuk menjawab kebutuhan dan harus menggunakan sistem yang tersedia.
Kombinasi beberapa intervensi mencakup promosi pemberian asi, modifikasi makanan
(meningkatkan ketersediaan dan konsumsi pangan), fortifikasi pangan dan suplementasi. Fortifikasi
pangan (pangan yang lazim dikonsumsi) dengan zat gizi.
Diantara strategi - strategi penghapusan GAKY untuk jangka panjang adalah fortifikasi yodium.
Fortifikasi yodium adalah penambahan yodium dalam jumlah tertentu pada suatu produk pangan
sedemikian rupa sehingga produk tersebut dapat berfungsi sebagai sumber penyedia yodium,
terutama bagi masyarakat yang mengalami kekurangan yodium. Sampai tahun 60an, beberapa cara
suplementasi yodium kedalam berbagai jenis pangan pembawa seperti garam, roti, susu, gula dan
air telah dicoba. Iodisasi garam menjadi metode paling umum yang dapat diterima oleh banyak
negara di dunia, sebab garam merupakan bahan pangan yang murah, mudah didapat dan
dikonsumsi setiap hari oleh seluruh lapisan masyarakat disegala tingkat ekonomi. Disamping itu,
kadar dan cara konsumsi garam bisa dikatakan hampir seragam, prosesnya sederhana dan tidak
mahal.

Fortifikasi yang biasa digunakan adalah Kalium Iodida (KI) dan Kalium Iodat (KIO3). Iodat lebih
stabil dalam garam murni pada penyerapan dan kondisi lingkungan (kelembapan) yang buruk, tidak
menyebabkan perubahan warna dan rasa garam. Negara-negara dengan program iodisasi garam,
efektif memperlihatkan pengurangan yang berkesinambungan akan pravelensi GAKY (Siagian, 2003).
Penggunaan garam sebagai pangan tunggangan pada fortifikasi yodium telah dilakukan secara
nasional dan terbukti berhasil menanggulangi defisiensi yodium.

Garam beriodium adalah suatu inovasi yang ditawarkan kepada konsumen atau setiap
keluarga untuk mencegah kekurangan iodium sebagai upaya jangka panjang. Kualitas garam
beriodium mengacu kepada Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-3556-2000 seperti tertera
pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat Mutu Garam Konsumsi Beriodium


Garam beriodium pertama kali digunakan di Switzerland tahun 1920. Penggunaan garam
beriodium di Indonesia dilakukan tahun 1927 di daerah Tengger dan Dieng. Wilayah Tengger dan
Dieng merupakan daerah pegunungan yang endemis GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium),
dibandingkan model penanggulangan GAKY yang lain, penggunaan garam beriodium yang paling
murah biayanya. Hal ini disebabkan garam merupakan kebutuhan sehari-hari, tidak ada pengolahan
makanan yang tidak menggunakan garam.
IV. PENUTUP
A. Simpulan
GAKY merupakan salah satu permasalahan gizi yang sangat serius, karena dapat menyebabkan
berbagai penyakit yang mengganggu kesehatan antara lain gondok, kretenisme,reterdasi mental
dll. Diantara strategi - strategi penghapusan GAKI untuk jangka panjang adalah
fortifikasi yodium.

Fortifikasi yodium adalah penambahanyodium dalam jumlah tertentu pada suatu produk pangan
sedemikian rupa sehingga produk tersebut dapat berfungsi sebagai sumber penyediayodium,
terutama bagi masyarakat yang mengalami kekurangan yodium. Garam beriodium adalah suatu
inovasi yang ditawarkan kepada konsumen atau setiap keluarga untuk mencegah
kekurangan yodium sebagai upaya jangka panjang.

Fortifikasi yang biasa digunakan adalah Kalium Iodida (KI) dan Kalium Iodat (KIO3). Iodat lebih
stabil dalam garam murni pada penyerapan dan kondisi lingkungan (kelembapan) yang buruk,
tidak menyebabkan perubahan warna dan rasa garam. Iodisasi garam menjadi metode paling
umum yang dapat diterima oleh banyak negara di dunia, sebab garam merupakan bahan pangan
yang murah, mudah didapat dan dikonsumsi setiap hari oleh seluruh lapisan masyarakat disegala
tingkat ekonomi.

B. Saran

Untuk melakukan fortifikasi yodium disarankan tidak menyebabkan perubahan warna dan rasa
serta penggunaan garam beriodium yang paling murah biayanya bagi masyarakat yang
mengalami kekurangan yodium.

DAFTAR PUSTAKA
Anonym. 2010. Penyakit akibat kekurangan iodium. (on-
line)http://www.smallcrab.com/kesehatan/458-penyakit-akibat-kekurangan-yodium.
Diakses tanggal 30 April 2012.
Anonym. 2011. Gangguan akibat kekurangan yodium. (on-
line)http://www.scribd.com/doc/25831579/Gangguan-Akibat-Kekurangan-Yodium. Diakses
tanggal 30 April 2012.

Cahyadi, W. 2004. Peranan Iodium dalam Tubuh. (On line).www.pikiranrakyat.com. Diakses


1 Mei 2012

DepKes RI. 2004. Rencana Aksi Nasional Kesinambungan Program Penanggulangan GAKI.
Jakarta: Hal 5.

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia.Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Hal: 694.

Siagan, A. 2003. Pendekatan Fortifikasi Pangan untuk Mengatasi Masalah Kekurangan Zat Gizi
Mikro. On line.http://reporsitory.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 1 Mei 2012.

https://maritim.go.id/fortifikasi-garam-tingkatkan-kualitas-sumber-daya-manusia-indonesia/

https://www.google.com/amp/s/www.ngopibareng.id/timeline/fortifikasi-garam-beryodium-masih-
terkendala-pengawasan-2016154/amp

Anda mungkin juga menyukai