Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
HIV dan AIDS menjadi salah satu isu permasalahan di dunia, sehingga
menjadi satu agenda dalam Millenium Development Goals (MDG’s) tahun 2015,
disamping pengurangan angka kemiskinan dan masalah sosial lainnya
(Friedmann, Kippax, Mafuya, Rossi and Newman, 2006; Poindexter, 2010).
Masalah HIV dan AIDS menjadi masalah kontemporer yang berkaitan dengan
perilaku berisiko manusia, karena masalah ini bukanlah masalah kesehatan
semata, tetapi juga sebagai masalah sosial yang berkaitan dengan relasi seseorang
dengan lingkungannya. Tak hanya permasalahan sosial saja namun permasalahan
dari berbagai aspek seperti ekonomi, budaya, dan politik orang dengan HIV/AIDS
(ODHA) menjadi permasalahan yang perlu diperhatikan.
Permasalahan yang dihadapi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) bukan
hanya masalah medis atau kesehatan, tetapi juga menyangkut permasalahan sosial,
politik, dan ekonomi (baba, 2005; Nurul Arifin, 2005). Banyak perubahan yang
terjadi dalam diri individu setelah terinfeksi HIV/AIDS. Perubahan fisik akibat
gejala-gejala penyakit yang disebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh pada
diri ODHA mempengaruhi kehidupan pribadi, sosial, belajar, karir dan bahkan
kehidupan keluarga. Selain itu juga isu-isu stigma dan diskriminasi yang dialami
ODHA, baik dari keluarga, tetangga, dunia kerja, sekolah, dan anggota
masyarakat lainnya, semakin memperparah kondisi dirinya dan bahkan lebih sakit
daripada dampak penyakit yang dideritanya.
Perubahan yang terjadi di dalam diri dan di luar diri ODHA membuat
mereka memiliki persepsi yang negatif tentang dirinya dan mempengaruhi
perkembangan konsep dirinya. ODHA cenderung menunjukkan bentuk-bentuk
reaksi sikap dan tingkah laku yang salah. Hal ini disebabkan ketidakmampuan
ODHA menerima kenyataan dengan kondisi yang dialami. Keadaan ini
diperburuk dengan anggapan bahwa HIV merupakan penyakit yang belum ada
obatnya.
Beberapa masalah yang dialami ODHA baik secara fisik maupun
psikologis, antara lain: muncul stress, penurunan berat badan, kecemasan,
gangguan kulit, frustasi, bingung, kehilangan ingatan, penurunan gairah kerja,

1
perasaan takut, perasaan bersalah, penolakan, depresi bahkan kecenderungan
untuk bunuh diri. Kondisi ini menghambat aktivitas dan perkembangan ODHA
sehingga kehidupan efektif sehari-harinya terganggu.
Kurangnya pemahaman keluarga dan masyarakat mengenai HIV/AIDS
menambah buruk situasi yang dialami penderita. HIV/AIDS masih dianggap
sebagai momok menyeramkan, karena saat divonis sebagai ODHA, yang
terbayang adalah kematian. Di masyarakat penderita sering menerima perlakuan
yang tidak adil atau bahkan mendapatkan diskriminasi dari lingkungan keluarga
dan masyarakat.
Diskriminasi yang dialami ODHA membuat mereka menarik diri dari
lingkungan sekitar, serta stigmatisasi yang berkembang dalam masyarakat
mengenai HIV/AIDS merupakan suatu vonis mati bagi mereka sehingga
membatasi ruang gerak dalam menjalankan aktivitas mereka sebelumnya.
Permasalahan yang dihadapi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) bukan hanya
masalah medis atau kesehatan, tetapi juga menyangkut permasalahan sosial,
politik, dan ekonomi (baba, 2005; Nurul Arifin, 2005). Banyak perubahan yang
terjadi dalam diri individu setelah terinfeksi HIV/AIDS. Perubahan fisik akibat
gejala-gejala penyakit yang disebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh pada
diri ODHA mempengaruhi kehidupan pribadi, sosial, belajar, karir dan bahkan
kehidupan keluarga. Selain itu juga isu-isu stigma dan diskriminasi yang dialami
ODHA, baik dari keluarga, tetangga, dunia kerja, sekolah, dan anggota
masyarakat lainnya, semakin memperparah kondisi dirinya dan bahkan lebih sakit
daripada dampak penyakit yang dideritanya.
Perubahan yang terjadi di dalam diri dan di luar diri ODHA membuat
mereka memiliki persepsi yang negatif tentang dirinya dan mempengaruhi
perkembangan konsep dirinya. ODHA cenderung menunjukkan bentuk-bentuk
reaksi sikap dan tingkah laku yang salah. Hal ini disebabkan ketidakmampuan
ODHA menerima kenyataan dengan kondisi yang dialami. Keadaan ini
diperburuk dengan anggapan bahwa HIV merupakan penyakit yang belum ada
obatnya. Beberapa masalah yang dialami ODHA baik secara fisik maupun
psikologis, antara lain: muncul stress, penurunan berat badan, kecemasan,
gangguan kulit, frustasi, bingung, kehilangan ingatan, penurunan gairah kerja,
perasaan takut, perasaan bersalah, penolakan, depresi bahkan kecenderungan

2
untuk bunuh diri. Kondisi ini menghambat aktivitas dan perkembangan ODHA
sehingga kehidupan efektif sehari-harinya terganggu.
Kurangnya pemahaman keluarga dan masyarakat mengenai HIV/AIDS
menambah buruk situasi yang dialami penderita. HIV/AIDS masih dianggap
sebagai momok menyeramkan, karena saat divonis sebagai ODHA, yang
terbayang adalah kematian. Di masyarakat penderita sering menerima perlakuan
yang tidak adil atau bahkan mendapatkan diskriminasi dari lingkungan keluarga
dan masyarakat.
Diskriminasi yang dialami ODHA membuat mereka menarik diri dari
lingkungan sekitar, serta stigmatisasi yang berkembang dalam masyarakat
mengenai HIV/AIDS merupakan suatu vonis mati bagi mereka sehingga
membatasi ruang gerak dalam menjalankan aktivitas mereka sebelumnya.
Keterlantaran ODHA pada umumnya selain karena penolakan dari
keluarga juga disebabkan kondisi keluarga yang cenderung tidak memiliki
kemampuan untuk merawat anggota keluarganya. Ketidakmampuan keluarga
selain karena faktor ekonomi sehingga tidak mampu membiayai perawatan
kesehatan penderita HIV dan AIDS. Penderita memerlukan perawatan kesehatan
yang memadai karena Infeksi HIV juga memerlukan penggunaan obat-obatan
untuk meningkatkan CD 4 sehingga penderita tidak drop kondisinya.
Ketidakmampuan keluarga lainnya karena keluarga tidak memiliki pengetahuan
yang memadai tentang penyakit HIV dan AIDS, sehingga keluarga menolak
merawat dengan cara mengisolasi, atau membatasi interaksi dengan penderita.
Fleishman (1998) mengemukakan bahwa orang yang terjangkit HIV/AIDS
akan berhadapan dengan situasi dimana dia harus berhadapan dengan hasil tes
HIV yang positif, berhadapan dengan stigma dan diskriminasi, menghadapi rasa
sakit akut yang terus menerus, dan berhadapan dengan berbagai sistem pelayanan
medis, sosial dan hukum yang kompleks yang menghasilkan kecemasan dan
hambatan secara berlebihan diluar kemampuan mereka. Oleh karena itu, individu,
pasangan atau keluarga yang menghadapi penyakit dan masalah HIV seringkali
membutuhkan seorang manajer kasus dan pembela untuk dapat membimbing
mereka dalam menghadapi lingkaran masalah kehidupan yang menyulitkan
tersebut.

3
Assesmen kebutuhan dan assesmen permasalahan apa saja yang dihadapi
orang dengan HIV/AIDA (ODHA) menjadi kunci utama dalam memberikan
pertolongan atau intervensi kepada ODHA. Dengan memahami permasalahan dari
berbagai aspek seperti aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya, pekerja sosial
dapat menggunakan pendekatan yang tepat bagi ODHA. Maka dari itu, didalam
makalah ini penulis akan mencoba menjabarkan apa saja permasalahan yang
dihadapi orang dengan HIV/AIDS dari berbagai aspek.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah pengertian HIV/AIDS ?
2. Bagaimana Penularan dan Penanggulangan HIV/AIDS
3. Bagaimana permasalahan HIV/AIDS dilihat pencegahan dan pemberantasan aids?
4. Bagaimana penanganan pasien HIV/AIDS dalam aspek budaya ?
5. Bagaiman penyimpangan budaya ?
6. Bagaimana landasan budaya ?
7. Bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh HIV/AIDS?

C.Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan makalah ini adalah untuk gambaran tentang:
1. Pengertian HIV/AIDS
2. Penularan dan Penanggulangan HIV/AIDS
3. Permasalah HIV/AIDS dilihat pencegahan dan pemberantasan aids
4. Penanganan pasien HIV/AIDS dalam aspek budaya
5. Penyimpangan budaya
6. Landasan budaya
7. Dampak yang ditimbulkan oleh HIV/AIDS

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian HIV dan AIDS


AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome, yaitu
menurunnya daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit karena adanya infeksi Virus
HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS adalah kumpulan gejala penyakit akibat
menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency
Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom)
yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus
HIV; atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya
(SIV, FIV, dan lain-lain). Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency
Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh
manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi
oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada
dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-
benar bisa disembuhkan.

B. Penularan HIV/AIDS dan Penanggulangannya


Penularan dapat terjadi melalui tiga cara, sebagai berikut.
1) Penularan HIV/AIDS
Penularan Virus HIV/AIDS dapat melalui berbagai macam cara, yaitu:
a. Seks Bebas serta seks yang kurang sehat dan aman
Berhubungan intim yang tidak sehat dan tidak menggunakan pengaman adalah
peringkat pertama terbesar penyebab menularnya virus HIV AIDS, transmisi atau
penularan HIV (Human Immunodeficiency Virus) dalam hubungan seksual peluang
terjadinya sangat besar, karena pada saat terjadi kontak antara sekresi pada cairan
vagina pada alat kelamin.
Hubungan seksual kurang aman dan tanpa dilengkapi pelindung (Kondom)
akan lebih sangat berisiko dibandingkan hubungan seksual yang tanpa dilengkapi
pelindung (Kondom) dan risiko hubungan seks anal lebih besar dibanding hubungan

5
seks biasa dan oral seks, meskipun tidak berarti bahwa kedua jenis seks tersebut tidak
beresiko.
b. Penggunaan Jarum Suntik yang tidak Steril
Penggunaan jarum suntik yang tidak steril sangat mampu mendorong
seseorang terkena penyakit AIDS, para pengguna Narkoba yang terkadang saling
bertukar jarum suntik sangat rentan tertular penyakit ini, karena penularan HIV AIDS
sangat besar presentasenya terjadi karena cairan pada tubuh penderita yang terkena
HIV AIDS berpindah ke tubuh normal (sehat).
c. Penyakit Menurun
Seseorang ibu yang terkena AIDS akan dapat menurunkan penyakitnya pada
janin yang dikandungnya, transmisi atau penularan HIV melalui rahim pada masa
parinatal terjadi pada saat minggu terakhir pada kehamilan dan pada saat kehamilan,
tingkat penularan virus ini pada saat kehamilan dan persalinan yaitu sebesar 25%.
Penyakit ini tergolong penyakit yang dapat dirutunkan oleh sang ibu terhadap
anaknya, menyusui juga dapat meningkatkan resiku penulaan HIV AIDS sebesar 4%.
d. Tranfusi darah yang tidak steril
Cairan didalam tubuh penderita AIDS sangat rentan menular sehingga
dibutuhkan pemeriksaan yang teliti dalam hal transfusi darah pemilihan dan
penyeleksian donor merupakan tahap awal untuk mencegah penularan penyakit AIDS,
Resiko penularan HIV AIDS di sangat kecil presentasenya di negara-negara maju, hal
ini disebabkan karena dinegara maju keamanan dalam tranfusi darah lebih terjamin
karena proses seleksi yang lebih ketat.
e. Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum
Pada petugas kesehatan risikonya sekitar kurang dari 0,5% dan telah terdapat
kurang dari 0,1 dari total kasus sedunia.
f. Secara vertikal dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya selama hamil
Saat melahirkan atau pun setelah melahirkan. Sekitar 25-40% terdapat 0,1%
dari total kasus sedunia, (Dexamedia, 1996).

6
2) Penanggulangan HIV/AIDS
Cara penanggulangan Aids upaya cara penanggulangan Aids upaya
pencegahan program cara Penanggulangan Aids pencegahan HIV/AIDS hanya
dapat efektif bila dilakukan dengan komitmen masyarakat dan komitmen
politik yang tinggi untuk mencegah dan atau mengurangi perilaku risiko tinggi
terhadap penularan HIV. Upaya pencegahan meliputi :
1. Pemberian penyuluhan kesehatan di sekolah dan di masyarakat harus
menekankan bahwa mempunyai pasangan seks yang berganti-ganti serta
penggunaan obat suntik bergantian dapat meningkatkan risiko terkena
infeksi HIV. Pelajar juga harus dibekali pengetahuan bagaimana untuk
menghindari atau mengurangi kebiasaan yang mendatangkan risiko
terkena infeksi HIV. Program untuk anak sekolah harus dikembangkan
sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan mental serta kebutuhan
mereka, begitu juga bagi mereka yang tidak sekolah. Kebutuhan
kelompok minoritas, orang-orang dengan bahasa yang berbeda dan bagi
penderita tuna netra serta tuna rungu juga harus dipikirkan.
2. Satu-satunya jalan agar tidak terinfeksi adalah dengan tidak melakukan
hubungan seks atau hanya berhubungan seks dengan satu orang yang
diketahui tidak mengidap infeksi. Pada situasi lain, kondom lateks harus
digunakan dengan benar setiap kali seseorang melakukan hubungan seks
secara vaginal, anal atau oral. Kondom lateks dengan pelumas berbahan
dasar air dapat menurunkan risiko penularan melalui hubungan seks.
3. Memperbanyak fasilitas pengobatan bagi pecandu obat terlarang akan
mengurangi penularan HIV. Begitu pula Program “Harm reduction”yang
menganjurkan para pengguna jarum suntik untuk menggunakan metode
dekontaminasi dan menghentikan penggunaan jarum bersama telah
terbukti efektif.
4. Menyediakan fasilitas Konseling HIV dimana identitas penderita
dirahasiakan atau dilakukan secara anonimus serta menyediakan tempat-
tempat untuk melakukan pemeriksaan darah. Faslitas tersebut saat ini
telah tersedia di seluruh negara bagian di AS. Konseling, tes HIV secara
sukarela dan rujukan medis dianjurkan dilakukan secara rutin pada klinik
keluarga berencana dan klinik bersalin, klinik bagi kaum homo dan

7
terhadap komunitas dimana seroprevalens HIV tinggi. Orang yang
aktivitas seksualnya tinggi disarankan untuk mencari pengobatan yang
tepat bila menderita Penyakit Menular Seksual (PMS).
5. Setiap wanita hamil sebaiknya sejak awal kehamilan disarankan untuk
dilakukan tes HIV sebagai kegiatan rutin dari standar perawatan
kehamilan. Ibu dengan HIV positif harus dievaluasi untuk
memperkirakan kebutuhan mereka terhadap terapi zidovudine (ZDV)
untuk mencegah penularan HIV melalui uterus dan perinatal.
6. Berbagai peraturan dan kebijakan telah dibuat oleh USFDA, untuk
mencegah kontaminasi HIV pada plasma dan darah. Semua darah donor
harus diuji antibodi HIV nya. Hanya darah dengan hasil tes negatif yang
digunakan. Orang yang mempunyai kebiasaan risiko tinggi terkena HIV
sebaiknya tidak mendonorkan plasma, darah, organ-organ untuk
transplantasi, sel atau jaringan (termasuk cairan semen untuk inseminasi
buatan). Institusi (termasuk bank sperma, bank susu atau bank tulang)
yang mengumpulkan plasma, darah atau organ harus menginformasikan
tentang peraturan dan kebijakan ini kepada donor potensial dan tes HIV
harus dilakukan terhadap semua donor.
7. Jika hendak melakukan transfusi Dokter harus melihat kondisi pasien
dengan teliti apakah ada indikasi medis untuk transfusi. Transfusi
otologus sangat dianjurkan.
8. Hanya produk faktor pembekuan darah yang sudah di seleksi dan yang
telah diperlakukan dengan semestinya untuk menonaktifkan HIV yang
bisa digunakan.
9. Sikap hati-hati harus dilakukan pada waktu penanganan, pemakaian dan
pembuangan jarum suntik atau semua jenis alat-alat yang berujung tajam
lainnya agar tidak tertusuk. Petugas kesehatan harus menggunakan
sarung tangan lateks, pelindung mata dan alat pelindung lainnya untuk
menghindari kontak dengan darah atau cairan yang mengandung darah.
Setiap tetes darah pasien yang mengenai tubuh petugas kesehatan harus
dicuci dengan air dan sabun sesegera mungkin. Kehati-hatian ini harus di
lakukan pada semua pasien dan semua prosedur laboratorium (tindakan
kewaspadaan universal).

8
10. WHO merekomendasikan pemberian imunisasi bagi anak-anak dengan
infeksi HIV tanpa gejala dengan vaksin-vaksin EPI (Expanded
Programme On Immunization); anak-anak yang menunjukkan gejala
sebaiknya tidak mendapat vaksin BCG. Di AS, BCG dan vaksin oral
polio tidak direkomendasikan untuk diberikan kepada anak-anak yang
terinfeksi HIV tidak perduli terhadap ada tidaknya gejala, sedangkan
vaksin MMR (measles-mumps-rubella) dapat diberikan kepada anak
dengan infeksi HIV.

C. Permasalahan HIV/AIDS Yang Menyulitkan Pencegahan Dan Pemberantasan


AIDS
Beberapa masalah yang menyulitkan pencegahan dan
pemberantasanAIDS, sebagai berikut.
a. Belum terdapat pengobatan yang efektif untuk mempertahankan fungsi
imunologis, infeksi yang oportunistik dan menghilangkan aktivitas HIV.
b. Tidak ada vaksin (immunoglobulin) yang efektif untuk mencegah infeksi HIV dan
pengadaan vaksin (imunologlobulin) tersebut belum dimungkinkan dalam waktu
lima tahun mendatang bahkan lebih lama lagi.
c. Lokasi/ karantina bukanlah merupakan cara pengawasan rutin yang
praktis dan efektif.
d. Pelacakan kontak atau pendekatan terhadap efektivitasnya terbatas, karena
penyakit tersebut mempunyai masa inkubasi yang panjang juga karena banyak
orang kelompok risiko tinggi. (Dexamedia, 1996).

D. Penanganan Pasien HIV AIDS Dalam Aspek Budaya


1) Aspek Budaya
Clifford Geertz ilmuwan antropologi mendefinisikan kebudayaan sebagai
sebuah sistim makna simbolik yang mendeskripsikan obyek, tindakan atau peristiwa
dalam dunia yang dapat disaksikan, dirasakan, dan dapat dipahami yang
mengisyaratkan makna-makna antara pikiran angota-anggota individual masyarakat.
Bagi Geertz, kebudayaan adalah kenyataan sosial yang dimiliki bersama-sama oleh
aktor-aktor sosial.
HIV dan AIDS adalah peristiwa yang mengandung suatu sistem makna dan
simbol yang merupakan suatu kenyataan sosial. Pemaknaan HIV dan AIDS bagi

9
masyarakat dipahami dengan menganalisis nilai kolektif yang dijadikan sebagai
pedoman dalam mengembangkan pola tindak dan perilaku. Uraian perilaku sendiri
dapat dijabarkan dalam tiga domain yaitu kognisi, afeksi, dan psikomotorik.
Pada kasus HIV dan AIDS, domain kognitif memegang peranan yang penting
dalam mempengaruhi pembentukan sikap dan perilaku. Menurut konsep ini, kognisi
seseorang mendorong lahirnya sikap dan tindakan secara linear. Tindakan
diskriminatif bagi populasi kunci yang rentan HIV dan AIDS adalah parameter dari
pemahaman kolektif yang disadari secara bersama pada suatu masyarakat tertentu.
Kolektivitas tindakan inilah yang kemudian mengkristal menjadi nilai dan norma
masyarakat.
Perubahan sosial dialami oleh setiap masyarakat yang pada dasarnya tidak
dapat dipisahkan dengan perubahan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
Perubahan sosial dapat meliputi semua segi kehidupan masyarakat, yaitu perubahan
dalam cara berpikir dan interaksi sesama warga menjadi semakin rasional; perubahan
dalam sikap dan orientasi kehidupan ekonomi menjadi makin komersial; perubahan
tata cara kerja sehari-hari yang makin ditandai dengan pembagian kerja pada
spesialisasi kegiatan yang makin tajam; Perubahan dalam kelembagaan dan
kepemimpinan masyarakat yang makin demokratis; perubahan dalam tata cara dan
alat-alat kegiatan yang makin modern dan efisien, dan lain-lainnya.
Perubahan sosial dalam suatu masyarakat diawali oleh tahapan perubahan
nilai, norma, dan tradisi kehidupan sehari-hari masyarakat yang bersangkutan, yang
juga dapat disebut dengan perubahan nilai sosial. Berlangsungnya
Perubahan nilai budaya tersebut disebabkan oleh tindakan diskriminasi dari
masyarakat umum terhadap penderita HIV/AIDS, serta pengabaian nilai-nilai dari
kebudayaan itu sendiri.
Perilaku seksual yang salah satunya dapat menjadi faktor utama tingginya
penyebaran HIV/AIDS dari bidang budaya. Ditemukan beberapa budaya tradisional
yang ternyata meluruskan jalan bagi perilaku seksual yang salah ini. Meskipun kini
tidak lagi nampak, budaya tersebut pernah berpengaruh kuat dalam kehidupan
masyarakat. Seperti budaya di salah satu daerah di provinsi Jawa Barat, kebanyakan
orangtua menganggap bila memiliki anak perempuan, dia adalah aset keluarga.
Menurut mereka, jika anak perempuan menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) di luar
negeri akan meningkatkan penghasilan keluarga. Dan bagi keluarga yang anak
wanitanya menjadi PSK, sebagian warga wilayah Pantura tersebut bisa menjadi orang

10
kaya di kampungnya. Hal tersebut merupakan permasalahan HIV/AIDS dalam aspek
budaya, dan budaya adat seperti ini seharusnya dihapuskan.
Perubahan nilai budaya tersebut disebabkan oleh tindakan diskriminasi dari
masyarakat umum terhadap penderita HIV/AIDS, serta pengabaian nilai-nilai dari
kebudayaan itu sendiri.
Perilaku seksual yang salah satunya dapat menjadi faktor utama tingginya
penyebaran HIV/AIDS dari bidang budaya. Ditemukan beberapa budaya tradisional
yang ternyata meluruskan jalan bagi perilaku seksual yang salah ini. Meskipun kini
tidak lagi nampak, budaya tersebut pernah berpengaruh kuat dalam kehidupan
masyarakat. Seperti budaya di salah satu daerah di provinsi Jawa Barat, kebanyakan
orangtua menganggap bila memiliki anak perempuan, dia adalah aset keluarga.
Menurut mereka, jika anak perempuan menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) di luar
negeri akan meningkatkan penghasilan keluarga. Dan bagi keluarga yang anak
wanitanya menjadi PSK, sebagian warga wilayah Pantura tersebut bisa menjadi orang
kaya di kampungnya. Hal tersebut merupakan permasalahan HIV/AIDS dalam aspek
budaya, dan budaya adat seperti ini seharusnya dihapuskan.
Budaya sering juga disebut kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar, (Koentjaraningrat, 1984). J.J. Honigmann (1959),
membedakan adanya tiga gejala kebudayaan, yaitu ideas, activities, dan artifacts.
Sejalan dengan hal tersebut Koentjaraningrat mengemukakan bahwa
kebudayaan dapat digolongkan dalam tiga wujud.
1. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, dan peraturan.
Wujud pertama merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang bersifat
abstrak (tidak dapat diraba, dipegang, atau difoto), berada di alam pikiran
warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Kebudayaan
ideal ini disebut pula tata kelakukan yang berfungsi mengatur, mengendalikan,
dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan, dan perbuatan manusia dalam
masyarakat. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut wujud ideal dari
kebudayaan ini dengan cultural system (sistem budaya) yang dalam bahasa
Indonesia dikenal dengan istilah adat atau adat istiadat (dalam bentuk jamak).

11
2. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat.
Wujud kebudayaan tersebut dinamakan sistem sosial (social system).
Wujud kebudayaan ini dapat diobservasi, difoto, dan didokumentasi karena
dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas manusia yang berinteraksi satu
dengan yang lain. Sistem sosial merupakan perwujudan kebudayaan yang
bersifat konkret dalam bentuk perilaku dan bahasa. Ketiga, wujud kebudayaan
sebagai benda hasil karya manusia; bersifat paling konkret dan berupa benda
atau hal yang dapat dilihat, diraba, dan difoto. Wujud kebudayaan yang ketiga
ini disebut kebudayaan fisik (material culture).
3. wujud kebudayaan dalam realitas kehidupan masyarakat tentu tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain.
Kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan
karya manusia. Ide dan tindakan menghasilkan benda yang merupakan
kebudayaan fisik. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk lingkungan hidup
tertentu yang dapat mempengaruhi tindakan dan cara berpikir masyarakat,
(Koentjaraningrat,1986).

2) Aspek Budaya Pada Masyarakat


Setiap unsur kebudayaan yang telah disebutkan beserta subunsurnya dapat
dipastikan mengandung nilai yang berguna bagi masyarakat pemiliknya. Kebergunaan
itu terdapat misalnya dalam hal sebagai berikut. Nilai budaya dan norma dalam
kebudayaan tertentu tetap dianggap sebagai pemandu perilaku yang menentukan
keberadaban, seperti kebajikan, kesantunan, dan keanggunan. Walaupun kebudayaan
mengalami perubahan dan perkembangan, namun jati diri suatu kebudayaan dapat
lestari; artinya lestari yang dinamis, yaitu ciri pengenalnya secara keseluruhan tetap
dimiliki, meskipun bentuk ungkapan di dalamnya dapat mengalami perubahan
(Sedyawati, 2008: 290). Oleh karena itu, pelestarian yang dilakukan pun juga
merupakan pelestarian dinamis.
Berkaitan dengan seni dan budaya daerah, upaya pelestarian dinamis yang
dapat ditempuh antara lain pembahasan dalam rangka penyadaran, khususnya tentang
nilai budaya, norma, dan estetika. Pada dasarnya perubahan dalam masyarakat
disebabkan oleh adanya usaha pemenuhan kebutuhan dan sebagai makhluk yang
memiliki akal dan pikiran, manusia akan mengerahkan segala daya dan usahanya

12
untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam melakukan perubahan perilaku
(penyuluhan) pada suatu sistem sosial kita perlu mengidentifikasi permasalahan yang
terjadi dalam masyarakat baik yang terjadi maupun yang akan terjadi, kebutuhan
nyata yang diinginkan masyarakat untuk dipenuhi (perubahan yang diinginkan
masyarakat), sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat sehingga perubahan dapat
berjalan tanpa masyarakat kehilangan jati diri (identitas) sehingga penyuluh dapat
menentukan bagaimana dia akan memulai suatu perubahan. Dengan demikian, dalam
melakukan penyuluhan pasti berkaitan dengan teori sosiologi.
Beberapa teori sosiologi yang dapat digunakan dalam penyuluhan antara lain:
a) Teori Fungsional
Suatu masyarakat manusia akan sejahtera, hidup harmonis dan nyaman jika fungsi
masing-masing anggota masyarakat bersangkutan tidak lepas dari status, posisi dan
peranannya yang telah disepakati bersama dan tidak menyimpang dari tatanan
perilaku atau pranata sosial (social order) yang manusiawi dan bermartabat, sehingga
gejala konflik atau kejadian konflik sosial tidak terjadi.
b) Teori Konflik
Teori ini mengacu pada adanya pertentangan dalam diri individu yang disebabkan
oleh adanya kesenjangan antara kebutuhan dan kenyataan, kesenjangan antara
harapan dan kenyataan, kesenjangan distribusi kekuasaan, kesenjangan dalam hal
berkeadilan dan kesenjangan dalam hal keterpercayaan sosial (Social trust). Konflik
bisa terjadi dalam diri individu mau pun antar individu. Terkadang konflik diperlukan
individu untuk mengetahui kualitas diri (sendiri atau orang lain). Konflik
menimbulkan ketidaknyamanan hidup seseorang sebagai akibat dari
ketidakmampuannya untuk berinteraksi, biasanya konflik mendorong individu untuk
melakukan semacam pelampiasan (kompensasi) atas segala sesuatu yang dianggap
salah pada dirinya yang terrefleksi pada perilaku yang tidak normal (menyimpang).
c) Teori interaksi sosial.
Interaksi sosial merupakan hubungan antar individu berdasarkan nilai-nilai umum
atau perilaku yang dianut bersama.
d) Teori Perubahan Sosial.
Perubahan sosial mengacu pada kondisi masyarakat yang mulai meninggalkan nilai
lama secara bertahap dan mulai menganut/mengadopsi nilai baru. Sebagai contoh,
dahulu hubungan diluar nikah merupakan hal yang tabu tapi pada saat ini di beberapa
kota besar asal suka sama suka hal tersebut dianggap biasa.

13
e) Teori Sistem Nilai, Sistem Sosial.
Masyarakat sebagai suatu sistem social dimana setiap unit sosial yang sifatnya
berkelanjutan, memiliki identitas tersendiri dan bisa dibedakan dengan unit sosial
lainnya bisa dipandang sebagai sebuah sistem sosial. Artinya bahwa ada susunan
skematis yang menjadi bagian dari unit tersebut yang memiliki hubungan
ketergantungan antar bagian. Masyarakat memiliki batas yang berhubungan dengan
lingkungan (secara fisik, teknis, dan sosial), yang memiliki proses eksternal dan
internal. Loomis (dalam Boyle, 1981), menyatakan bahwa suatu sistem sosial
merupakan komposisi pola interaksi anggotanya. Boyle (1981), mendefinisikan
beberapa unsur dalam sistem sosial yaitu tujuan, norma, status peran, kekuatan,
jenjang sosial, sangsi, fasilitas, dan daerah kekuasaan. Selain itu, terdapat proses yang
terjadi dalam sistem tersebut yaitu komunikasi, pembuatan keputusan, pemeliharan
batasan, keterkaitan sistem. Sistem nilai mengacu pada bagaimana anggota
masyarakat menyesuaikan dirinya untuk bertingkah laku berdasarkan acuan.
f) Teori Perilaku Kolektif
Perilaku kolektif (collective behaviour) merupakan cara pandang, bersikap dan
bertindak yang dianut dan diterapkan dalam masyarakat. Perilaku kolektif terjadi pada
saat kebutuhan mereka tidak terpenuhi dan/atau harga diri mereka direndahkan oleh
individu di luar sistem sosialnya. Bentuk perilaku kolektif bermacam macam mulai
paling sopan, toleran dan sabar sampai pada paling keras, beringas dan anarkis.
Perilaku kolektif umumnya ditunjukkan oleh masyarakat yang relatif homogen dan
tertutup.

E. Penyimpangan Budaya
Perilaku menyimpang terjadi pada masyarakat yang memiliki nilai sub
kebudayaan yang menyimpang, yaitu suatu kebudayaan khusus yang normanya
bertentangan dengan norma budaya yang dominan pada umumnya. Contoh
masyarakat yang tinggal di lingkungan kumuh, masalah etika dan estetika kurang
diperhatikan, karena umumnya mereka sibuk dengan usaha memenuhi kebutuhan
hidup yang pokok (makan), sering cekcok, mengeluarkan kata-kata kotor, buang
sampah sembarangan dan sebagainya. Hal itu, oleh masyarakat umum dianggap
perilaku menyimpang.
Penyimpangan sebagai hasil sosialisasi dari nilai-nilai sub kebudayaan yang
menyimpang. Menurut Edwin H. Sutherland, perilaku menyimpang bersumber pada

14
pergaulan yang berbeda. Pergaulan dengan teman tidak selalu positif. Hasil yang
negatif dapat menimbulkan perilaku yang menyimpang. Menurut Shaw dan Me Kay,
daerah yang tidak teratur dan tidak ada organisasi yang baik, akan cenderung
melahirkan daerah kejahatan. Di daerah yang demikian, perilaku menyimpang
(kejahatan) dianggap sebagai sesuatu yang wajar yang sudah tertanam dalam
kepribadian masyarakat itu. Dengan demikian proses sosialisasi tersebut merupakan
proses pembentukan nilai dari sub kebudayaan yang menyimpang. Contoh di daerah
lingkungan perampok terdapat nilai dan norma yang menyimpang dari kebudayaan
masyarakat setempat. Nilai dan norma sosial itu sudah dihayati oleh anggota
kelompok, sebagai proses sosialisasi yang wajar.
Proses belajar perilaku yang menyimpang, seseorang bisa belajar perilaku
yang menyimpang melalui media buku majalah, koran dan yang paling mudah adalah
melalui TV, karena hampir setiap hari menayangkan acara yang bernuansa kejahatan.
Bergaul dengan orang yang menggunakan narkoba. Seseorang akan memperoleh
pelajaran bagaimana cara mengkonsumsi narkoba dan dimana memperolehnya
bagaimana cara mencuri, menjambret dan sebagainya.
Perubahan pokok dalam moralitas selama masa remaja terdiri dari mengganti
konsep moral khusus dengan konsep moral tentang benar dan salah yang bersifat
umum, membangun kode moral berdasarkan pada prinsip moral individual, dan
mengendalikan perilaku melalui perkembangan hati nurani. Hubungan antara remaja
dengan anggota keluarga cenderung merosot pada awal masa remaja meskipun
hubungan ini seringkali membaik menjelang berakhirnya masa remaja, terutama
hubungan remaja putri terhadap anggota keluarganya. Meskipun sebagian besar
remaja ingin sekali memperbaiki kepribadian dengan harapan meningkatkan status
mereka di dalam kelompok sosial, namun banyak kondisi yang mempengaruhi konsep
diri berada di luar pengendalian mereka.

F. Landasan Budaya
Landasan budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman
kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor
yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya
merupakan produk lingkungan budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah
dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan
tuntutan sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan

15
budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan budaya yang
melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan
perbedaan pula dalam proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang
bersangkutan. Apabila perbedaan dalam budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak
mustahil akan timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat
menghambat terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang
besangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.
Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor
dengan klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar sosial dan
budaya yang berbeda.
Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber
hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar
budaya, yaitu :
a. perbedaan bahasa;
b. komunikasi non-verbal;
c. stereotipe;
d. kecenderungan menilai; dan
e. kecemasan.

Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh pihak-pihak yang


berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa non-verbal pun sering
kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak belakang.
Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan
tertentu berdasarkan prasangka subyektif (social prejudice) yang biasanya tidak tepat.
Penilaian terhadap orang lain disamping dapat menghasilkan penilaian positif tetapi
tidak sedikit pula menimbulkan reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika
seorang individu memasuki lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan
asing. Kecemasan yanmg berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya
dapat menuju ke culture shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa,
dimana dan kapan harus berbuat sesuatu.

16
G. Dampak yang Ditimbukan oleh HIV/AIDS
Selain menimbulkan masalah pada diri ODHA, adapun dampak-dampak
lain yang ditimbulkan dari HIV AIDS yaitu :
1. Dampak Demografi
Salah satu efek jangka panjang endemi HIV dan AIDS yang telah meluas
seperti yang telah terjadi di Papua adalah dampaknya pada indikator demografi.
Karena tingginya proporsi kelompok umur yang lebih muda terkena penyakit yang
membahayakan ini, dapat diperkirakan nantinya akan menurunkan angka harapan
hidup. Karena semakin banyak orang yang diperkirakan hidup dalam jangka waktu
yang lebih pendek, kontribusi yang diharapkan dari mereka pada ekonomi nasional
dan perkembangan sosial menjadi semakin kecil dan kurang dapat diandalkan. Hal ini
menjadi masalah yang penting karena hilangnya individu yang terlatih dalam jumlah
besar tidak akan mudah dapat digantikan. Pada tingkat makro, biaya yang
berhubungan dengan kehilangan seperti itu, seumpama meningkatnya pekerja yang
tidak hadir, meningkatnya biaya pelatihan, pendapatan yang berkurang, dan sumber
daya yang seharusnya dipakai untuk aktivitas produktif terpaksa dialihkan pada
perawatan kesehatan, waktu yang terbuang untuk merawat anggota keluarga yang
sakit, dan lainnya,juga akan meningkat.
2. Dampak Terhadap Sistem Pelayanan Kesehatan
Tingginya tingkat penyebaran HIV dan AIDS pada kelompok manapun
berarti bahwa semakin banyak orang menjadi sakit, dan membutuhkan jasa pelayanan
kesehatan. Perkembangan penyakit yang lamban dari infeksi HIV berarti bahwa
pasien sedikit demi sedikit menjadi lebih sakit dalam jangka aktu yang panjang,
membutuhkan semakin banyak perawatan kesehatan. Biaya langsung dari perawatan
kesehatan tersebut semakin lama akan menjadi semakin besar. Diperhitungkan juga
adalah waktu yang dihabiskan oleh anggota keluarga untuk merawat pasien, dan tidak
dapat melakukan aktivitas yang produktif. Waktu dan sumber daya yang diberikan
untuk merawat pasien HIV dan AIDS sedikit demi sedikit dapat mempengaruhi
program lainnya dan menghabiskan sumber daya untuk aktivitas kesehatan lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh John Kaldor dkk pada tahun 2005
memprediksi bahwa pada tahun 2010, bila upaya penanggulangan tidak ditingkatkan
maka 6% tempat tidur akan digunakan oleh penderita AIDS dan di Papua mencapai
14% dan pada tahun 2025 angka – angka tersebut akan menjadi 11% dan 29%.

17
Meningkatnya jumlah penderita AIDS berarti meningkatnya kebutuhan ARV.
Rusaknya sistem kekebalan tubuh telah memperparah masalah kesehatan masyarakat
yang sebelumnya telah ada yaitu tuberkulosis. Banyak penelitian yang menunjukkan
bahwa kejadian TB telah meningkat secara nyata di antara kasus HIV. TB masih
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia dimana
setiap tahunnya ditemukan lebih dari 300.000 kasus baru, maka perawatan untuk
kedua jenis penyakit ini harus dilakukan secara bersamaan.
3. Dampak Terhadap Ekonomi Nasional
Mengingat bahwa HIV lebih banyak menjangkiti orang muda dan mereka
yang berada pada umur produktif utama (94% pada kelompok usia 19 sampai 49
tahun), epidemi HIV dan AIDS memiliki dampak yang besar pada angkatan kerja,
terutama di Papua. Epidemi HIV dan AIDS akan meningkatkan terjadinya kemiskinan
dan ketidakseimbangan ekonomi yang diakibatkan oleh dampaknya pada individu dan
ekonomi. Dari sudut pandang individu HIV dan AIDS berarti tidak dapat masuk kerja,
jumlah hari kerja yang berkurang, kesempatan yang terbatas untuk mendapatkan
pekerjaan dengan gaji yang lebih baik dan umur masa produktif yang lebih pendek.
Dampak individu ini harus diperhitungkan bersamaan dengan dampak
ekonomi pada anggota keluarga dan komunitas. Dampak pada dunia bisnis termasuk
hilangnya keuntungan dan produktivitas yang diakibatkan oleh berkurangnya
semangat kerja, meningkatnya ketidakhadiran karena izin sakit atau merawat anggota
keluarga, percepatan masa penggantian pekerja karena kehilangan pekerja yang
berpengalaman lebih cepat dari yang seharusnya, menurunnya produktivitas akibat
pekerja baru dan bertambahnya investasi untuk melatih mereka. HIV dan AIDS juga
berperan dalam berkurangnya moral pekerja (takut akan diskriminasi, kehilangan
rekan kerja, rasa khawatir) dan juga pada penghasilan pekerja akibat meningkatnya
permintaan untuk biaya perawatan medis dari pusat pelayanan kesehatan para pekerja,
pensiun dini, pembayaran dini dari dana pensiun akibat kematian dini, dan
meningkatnya biaya asuransi.
Pengembangan program pencegahan dan perawatan HIV di tempat kerja yang
kuat dengan keikutsertaan organisasi manajemen dan pekerja sangatlah penting bagi
Indonesia. Perkembangan ekonomi akan tertahan apabila epidemi HIV menyebabkan
kemiskinan bagi para penderitanya sehingga meningkatkan kesenjangan yang
kemudian menimbulkan lebih banyak lagi keadaan yang tidak stabil. Meskipun
kemiskinan adalah faktor yang paling jelas dalam menimbulkan keadaan resiko tinggi

18
dan memaksa banyak orang ke dalam perilaku yang beresiko tinggi, kebalikannya
dapat pula berlaku pendapatan yang berlebih, terutama di luar pengetahuan keluarga
dan komunitas dapat pula menimbulkan resiko yang sama. Pendapatan yang besar
(umumnya tersedia bagi pekerja terampil pada pekerjaan yang profesional) membuka
kesempatan bagi individu untuk melakukan perilaku resiko tinggi yang sama:
berpergian jauh dari rumah, pasangan sex yang banyak, berhubungan dengan PS, obat
terlarang, minuman keras, dan lainnya.
4. Dampak Terhadap Tatanan Sosial
Adanya stigma dan diskriminasi akan berdampak pada tatanan sosial
masyarakat. Penderita HIV dan AIDS dapat kehilangan kasih sayang dan kehangatan
pergaulan sosial. Sebagian akan kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan yang
pada akhirnya menimbulkan kerawanan sosial. Sebagaian mengalami keretakan
rumah tangga sampai perceraian. Jumlah anak yatim dan piatu akan bertambah yang
akan menimbulkan masalah tersendiri. Oleh sebab itu keterbukaan dan hilangnya stiga
dan diskriminasi sangat perlu mendapat perhatian di masa mendatang.
5. Dampak Sosial Ekonomi
Dampak ekonomi yang akibat dari HIV / AIDS sendiri terjadi bukan hanya
semata-mata karena dikarenakan jumlah orang yang terinfeksi HIV yang tinggi, tetapi
juga karena orang yang terinfeksi kebanyakan berada pada usia yang produktif yaitu
antara 15 – 40 tahun. Dalam rentan usia yang produktif tersebut, terdapat ODHA yang
tidak dapat melaksanakan fungsinya untuk mencari nafkah, membesarkan anak,
memberikan pendidikan terhadap anak dan lain – lain. Dampak sosial ini tidak hanya
terjadi pada saat orang yang terinfeksi HIV berupa kehilangan pekerjaan, tetapi juga
mempunyai dampak ekonomi karena memerlukan biaya perawatan dan biaya
pengobatan yang cukup besar. Demikian juga untuk masa yang akan datang dampak
ini akan terasa pada generasai penerus yakni akan terjadi kemiskinan yang lebih berat
bagi keluarga maupun bagi negara. Anak – anak dari orang tua yang terinfeksi HIV
akan menjadi yatim piatu, kehilangan pendidikan dan sebagainya.
HIV tidak hanya menyerang sistem kekebalan tubuh. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa virus ini juga merusask otak dan sistem saraf pusat. Otopsi yang
dilakukan pada otak pengidap AIDS yang telah meniggal mengungkapkan bahwa
virus ini juga menyebabkan hilangnya banyak sekali jaringan otak. Pada waktu yang
bersamaan, peneliti lain telah berusaha untuk mengisolasi HIV dengan cairanl dari
orang yang tidak menunjukkan gejala-gejala terjangkit AIDS. Penemuan ini benar-

19
benar membuat risau. Sementara para peneliti masih berpikir bahwa HIV hanya
menyerang sistem kekebalan, semua orang yang terinfeksi virus ini tetapi tidak
menunjukkan gejala terjangkit AIDS atau penyakit yang berhubungan dengan HIV
dapat dianggap bisa terbebas dari kerusakan jaringan otak. Saat ini hal yang cukup
mengerikan adalah bahwa mereka yang telah terinfeksi virus Para ilmuwan umumnya
berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara. Kini AIDS telah menjadi
wabah penyakit.
Dalam upaya penanggulangan masalah HIV / AIDS, khususnya masalah-
masalah yang dihadapi oleh ODHA dituntut adanya kesediaan masyarakat memberi
pelayanan sosial dan dukungan dalam perawatan serta pendampingan. Hal ini
dikarenakan permasalahan yang dihadapi oleh ODHA berkaitan dengan status HIV
positif dan bernagai penyakit penyerta atau infeksi oportunistik yang mungkin
memperburuk derajat kesehatan mereka, membutuhkan penanganan secara lintas
sektoral yang melibatkan unsur LSM atau orsos dan masyarakat serta Kelompok
Dukungan Sebaya.
Upaya kerjasama lintas sektoral ini juga diduking dengan adanya pergeseran
paradigma dalam penyelenggaraam pemerintah di Indonesia yang memberi peluang
kepada masyarakat untuk aktif ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan penanganan
masalah sosial, termasuk penanganan masalah HIV / AIDS. Selain itu kemampuan
pemerintah sangat terbatas, sementara jumlah pertambahan kasus HIV positif masaih
masih terus meningkat. Sehubungan dengan itu perlu di upayakan strategi baru
dengan menempatkan partisipasi masyarakat di depan.
Adapun cara penanggulangan HIV/AIDS dalam konteks sosial-budaya adalah dengan:
1. Mengubah puilaku masyarakat mtuk hidrp sehat, bers'h dan teratu sesni
dengan nonna-nonrul dan budaya yang ada.
2. Mengubah persepsi dan kepercayaan yang salah tentang penyakit aids;
3. Memberikan pmgetahuan-pengetahuan tentang bahaya aids dengan progftm
penyrhrhan yang intensif dan berkesinambungan dangan mayertakan peran
aktif masyarakat.
4. Memberikan dukungan sosial yang efektif dan efsien tuhadap penderita (odha)
sehingga parderita bisa hidup wajar dan tidak terisolasi serta tidak berbuat
ymg merugikan orang

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan
menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor.
Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan
virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
Permasalahan yang dihadapi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) bukan
hanya masalah medis atau kesehatan, tetapi juga menyangkut permasalahan
sosial, politik, dan ekonomi (baba, 2005; Nurul Arifin, 2005). Kita sering dengar
bahwa orang dengan HIV/AIDS menghadapi banyak masalah sosial. Di
perlakukan berbeda oleh orang lain. dalam pergaulan dikucilkan oleh teman-
temannya, bahkan oleh keluarga sendiri.
Dampak HIV dan AIDS pada bidang politik merupakan akibat yang
ditimbulkan oleh dampak HIV dan AIDS pada bidang lainnya seperti kesehatan,
sosial, ekonomi, budaya dan agama. Akibat sosial yang disebabkan oleh wabah HIV
dan AIDS berdampak secara langsung pada bidang keamanan dan ketertiban
masyarakat. Perilaku seksual yang salah satunya dapat menjadi faktor utama
tingginya penyebaran HIV/AIDS dari bidang budaya.
Seperti budaya di salah satu daerah di provinsi Jawa Barat, kebanyakan
orangtua menganggap bila memiliki anak perempuan, dia adalah aset keluarga.
Menurut mereka, jika anak perempuan menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK)
di luar negeri akan meningkatkan penghasilan keluarga.
Pada aspek ekonomi, HIV dan AIDS memperlambat pertumbuhan
ekonomi dengan menghancurkan jumlah manusia dengan kemampuan produksi
(human capital).
B. Saran
Agar terhindar dari HIV/AIDS sebaiknya masyarakat berperilaku seks yang
sehat dan aman seperti tidak berganti-ganti pasangan dan menggunakan kondom
saat melakukan hubungan seksual. Meningkatkan konseling pencegahan HIV
AIDS dan penyuluhan kepada masyarakat

21
DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih (2004). Pengaruh Pergaulan Bebas dan Vcd Porno Terhadap Perilaku
Remaja di Masyarakat. http/kbi.gemari.or.id/beritadetail.php.id. 2569 (diakses
tanggal 16 Juni 2013)

Anne N. Astrom, Elwalid F. Nasir (2003) Memprediksi Niat untuk Mengobati


Pasien yang Terinfeksi HIV antara Tanzania dan Sudan Medis dan Mahasiswa
Kedokteran Gigi. Menggunakan Teori Perilaku Terencana - Sebuah Studi Cross
Sectional.

Aritohang, A. Nelson, et al.(2014) Konsep Diri Orang Dengan HIV/AIDS,


Pusat Kajian HIV/AIDS, STKS Bandung.

Susilawati, Ellya, et al. (2012) Manajemen Kasus Bagi Orang Dengan


HIV/AIDS (ODHA) Di Rumah Perlindungan Sosial Phalamartha
Sukabumi. Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial Volume 11 Nomor 2.

Cannon, Cynthia, (2010) Handbook of HIV and Social Work, New Jersey.
John Wiley & Sons, Inc.

Rahmat, box. (2013) Analisis Masalah Sosial HIV (online), Tersedia di


http://rachmatbox.blogspot.co.id/2013/09/analisis-masalah-sosia-
hiv.html. Diakses pada tanggal 22 Sept 2016.

22

Anda mungkin juga menyukai