Anda di halaman 1dari 8

Konsumsi Alkohol Meningkatkan Risiko Periodontitis

Abstrak
Konsumsi alkohol merusak neutrofil, makrofag, dan fungsi sel T, meningkatkan kerentanan
terjadinya infeksi. Kami memeriksa keterkaitan antara konsumsi alkohol dan periodontitis,
secara prospektif, pada 39.461 orang tenaga kesehatan profesional laki-laki berusia 40 hingga
75 tahun dan tidak mengidap periodontitis saat follow up dimulai. Konsumsi alkohol dinilai
dari angka dasar dan diperbaharui setiap 4 tahun dengan kuesioner frekuensi-makanan.
Status penyakit periodontal dilaporkan secara pribadi dan divalidasi dengan radiografi.
Analisis multivarian disesuaikan berdasarkan usia, kebiasaan merokok, diabetes, BMI (body-
mass index), aktivitas fisik, periode waktu, dan asupan kalori. Selama follow up 406.160 orang-
tahun, terdapat 2125 kasus periodontitis. Dibandingkan dengan orang yang bukan peminum,
risiko relatif (95% confidence interval) di antara laki-laki yang biasanya mengonsumsi alkohol
0,1-4,9 g/hari adalah 1,24 (1,09, 1,42); 5,0 hingga 14,9 g/hari, 1,18 (1,04, 1,35); 15 hingga 29,9
g/hari, 1,18 (1,01, 1,38); dan ≥ 30 g/hari, 1,27 (1,08, 1,49). Hasilnya mengarah pada konsumsi
alkohol adalah faktor risiko mandiri yang dapat dimodifikasi untuk terjadinya periodontitis.
Kata kunci: konsumsi alkohol, epidemiologi, penyakit periodontal, periodontitis.

PENDAHULUAN
Alkohol merusak neutrofil, makrofag, dan fungsi sel T, meningkatkan risiko terjadinya infeksi
(Szabo, 1999), yang mungkin dapat menyebabkan periodontitis. Meskipun mekanismenya
sudah lumayan jelas, informasi yang berkaitan dengan konsumsi alkohol dan risiko
periodontitis masih kurang jelas. Penelitian cross-sectional terdahulu (Sakki dkk, 1995;
Shizukuishi dkk, 1998; Tezal dkk, 2001) dan case control (Pan dkk, 1998) telah menunjukkan
keterkaitan yang positif antara penggunaan alkohol dan penyakit periodontal; namun, data
prospektif belum tersedia. Kemudian, hanya ada satu penelitian yang menilai efek dari tipe
alkohol yang berbeda terhadap risiko penyakit periodontal (Tezal dkk, 2001). Maka dari itu
kami memeriksa prospek dari keterkaitan alkohol dan periodontitis di antara laki-laki yang
berpartisipasi dalam HPFS (Health Professionals Follow-up Study).

BAHAN DAN METODE


Populasi Penelitian
HPFS adalah penelitian prospektif terhadap 51.529 tenaga kesehatan profesional laki-laki
yang berusia 40-75 tahun pada 1986. Kohortnya meliputi dokter gigi (58%), dokter hewan
(20%), apoteker (8%), optometris (7%), dokter osteopati (4%), dan podiatris (3%). Insidensi
penyakit dan paparan yang diperbaharui diketahui dengan cara kuesioner setiap dua tahun
sekali. Respon dari kuesioner tersebut merupakan bagian dari informed consent terhadap
protokol yang telah disetujui oleh Komite Tinjauan Institusional di bagian Kesehatan
Masyarakat Sekolah Harvard.
Kami tidak melibatkan laki-laki yang telah meninggal (n=4), yang sudah dilaporkan
periodontitis (n=8955), yang mengalami sumbatan miokardial atau stroke (n=1884), atau
memberikan informasi diet yang tidak adekuat (n=1225) pada tahun 1986, yang menyisakan
39.461 laki-laki yang dapat diikutsertakan dalam follow-up.

Penilaian Konsumsi Alkohol


Kami memperkirakan asupan alkohol selama setahun lalu dari kuesioner FFQ (Food-frequency
Questionnaire) yang semi kuantitatif, yang dikirim ke peserta penelitian di tahun 1986, 1990,
dan 1994. FFQ meliputi pertanyaan mengenai seberapa sering, dalam angka rata-rata, laki-
laki mengonsumsi bir (1 botol atau kaleng), wine (gelas 4 cc), dan minuman keras (1 teguk)
selama setahun yang lalu. Untuk masing-masing pertanyaan ini, peserta dapat memilih 1 dari
9 pilihan, berkisar dari tidak pernah atau kurang dari sekali/bulan hingga ≥ 6 kali/hari.
Kandungan alkohol diperkirakan adalah 12,8 g untuk tiap sebotol bir, 11,0 g untuk segelas
wine, dan 14,0 g untuk minuman keras. Kami menghitung total konsumsi alkohol dalam gram
dengan cara menambahkan produk minuman spesifik dari konsumsi bir, wine, serta minuman
keras yang dikonsumsi setiap hari dengan kandungan alkohol dari minuman tersebut.
Kami mengevaluasi validitas dari FFQ pada sebuah sampel acak dari 136 pria yang
tinggal di area Boston (Giovannucci dkk, 1991). Asupan alkoholnya yang dilaporkan setahun
yang lalu oleh FFQ berkorelasi tinggi dengan asupan yang dinilai oleh rekor yang
dirampungkan dalam periode ini (Spearman r = 0,86, p < 0,001).

Penilaian Periodontitis
Kami menilai periodontitis setiap 2 tahun dari 1986 hingga 1988 dengan pertanyaan, “Apakah
anda pernah didiagnosa penyakit periodontal dengan kehilangan tulang secara profesional?”
Nilai prediktif positif dan negatif dari laporan mandiri dibandingkan dengan radiografi (dinilai
pada subsampel) adalah 76% dan 74% di antara dokter gigi (Joshipura dkk, 1996) dan 83%
dan 69% untuk tenaga kesehatan profesional lainnya (Joshipura dkk, 2002).

Analisa Statistik
Peserta berkontribusi dalam orang-waktu dari tanggal kembalinya standar kuesioner hingga
terjadinya periodontitis, kematian akibat sebab apapun, atau 31 Desember 1998, manapun
yang tiba lebih dulu. Pria yang dilaporkan mengidap periodontitis pada kuesioner sebelumnya
dieksklusikan dari follow-up selanjutnya; maka, setiap peserta hanya dapat berkontribusi
dalam satu hal saja.
Kami menggunakan regresi logistik multivarian (D’Agostino dkk, 1990) dengan interval
waktu dua tahun untuk memperkirakan model hazard proporsional Cox. Untuk analisa awal,
kami mengelompokkan risiko periodontitis dan konsumsi alkohol rata-rata yang
diakumulasikan (Hu dkk, 1999). Dalam analisa ini, jika seseorang terkena angina, operasi
bypass graft arteri koroner, sumbatan miokardial, stroke, kanker, atau asma, kami akan
menghentikan peninjauan terhadap konsumsi alkoholnya, karena ia bisa saja mengubah pola
konsumsinya sebagai hasil dari penyakitnya, dan tidak dapat merefleksikan asupan jangka
panjang. Pada analisa tambahan, kami mengaitkan insidensi periodontitis dengan asupan
alkohol pada nilai standar dan dengan asupan terbarunya.
Model multivarian disesuaikan untuk usia, periode waktu, kebiasaan merokok,
diabetes, BMI (Body Mass Index), aktivitas fisik (ekuivalen metabolis/wk), dan kalori total.
Kovariat yang dipengaruhi waktu adalah usia, kebiasaan merokok, diabetes, BMI (Body Mass
Index), aktivitas fisik, dan kalori total diperbaharui setiap 2 tahun, karena status terbarunya
lebih relevan terhadap penyakitnya. Kami memperbaharui aktivitas fisiknya dengan
menggunakan aktivitas rata-rata akumulatif selama periode follow-up untuk mewakili level
aktivitas fisik jangka panjang dari masing-masing individual, dan mengurangi kesalahan
pengukuran (Hu dkk, 1999). Kami menyesuaikan dan menggunakan energi sebagai pengganti
pengukuran efisiensi metabolis dan efek termogenik dari makanan, yang dapat menjadi
sumber potensial penemuan residual.
Munculnya tren linier dari risiko relatif (RR) di sepanjang kategori alkohol diuji dengan
masing-masing median dari kategori sebagai variabel ordinalnya. Kami juga melakukan
analisis yang terpisah di antara non-perokok dan di antara peserta yang tidak terdapat
perubahan kebiasaan minum selama dilakukan follow-up. Untuk memeriksa adanya interaksi,
kami melakukan analisis yang dibedakan atas usia, kebiasaan merokok, dan BMI. Kami
menggunakan tes rasio perkiraan untuk membandingkan model dengan dan tanpa interaksi.
Semua melaporkan nilai p dua arah.

HASIL
Di kohor ini, kebanyakan peserta (52%) memiliki konsumsi alkohol rendah-sedang (0,1-14,9
g/hari). Dibandingkan dengan laki-laki yang dilaporkan meminum minuman non alkohol, laki-
laki yang biasa meminum alkohol cenderung merupakan perokok, secara fisik lebih aktif,
mengonsumsi lebih banyak kalori, dan cenderung tidak terkena diabetes (Tabel 1).
Selama follow-up 406.610 orang-waktu, 2125 peserta mengeluhkan periodontitis
untuk pertama kali. Insidensi kasar dari periodontitis adalah 4,3 per 1000 orang-tahun di
antara non-peminum dan berkisar dari 5,2 hingga 6,9 per 1000 orang-waktu di antara
peminum (Tabel 2). Setelah usia disesuaikan, laki-laki peminum alkohol memiliki risiko yang
lebih tinggi terhadap penyakit periodontal dibandingkan dengan non peminum. Penyesuaian
lebih jauh untuk kebiasaan merokok sedikitnya berkaitan dengan hal ini. Terdapat asosiasi
positif antara alkohol dengan periodontitis di seluruh kategori asupan setelah penyesuaian
yang simultan untuk usia, kebiasaan merokok, diabetes, BMI, aktivitas fisik, dan kalori total.
Dibandingkan dengan non peminum, RR multivarian pada pria yang biasa meminum alkohol
selama 0,1-14,9 g/hari adalah 1,24 (95% Confidence Interval); 1,09, 1,42) dan untuk ≥ 30
g/hari, 1,27 (95% CI, 1,08, 1,49). Analisa lebih lanjut tidak dilanjutkan pada non perokok (800
kasus) dan peserta yang tidak pernah mengubah kebiasaan minumnya (1823 kasus) memiliki
hasil yang mirip (data tidak ditampilkan). Kami mengobservasi tidak ada bukti dari efek
modifikasi oleh usia, kebiasaan merokok, dan BMI (data tidak ditampilkan.
Asupan alkohol dinilai sebagai rerata kumulatif, atau sebagai nilai standar pengukuran
tunggal, memiliki hubungan yang serupa dengan risiko periodontitis (Gambar). Hubungan
antara asupan alkohol yang paling baru dan risiko periodontitis adalah lebih lemah.
Pada nilai standar, total asupan alkohol dihubungkan dengan peningkatan risiko
periodontitis yang signifikan di antara semua tingkatan asupan (p untuk tren = 0,03)
(Gambar). Ketika kami menganalisis asupan alkohol berdasarkan berapa kali peserta
meminum bir, anggur putih, anggur merah, atau minuman keras (masing-masing disesuaikan
untuk tipe alkohol lainnya), tidak ada hubungan yang jelas dengan risiko periodontitis (Tabel
3). Terdapat hubungan terbalik yang lemah dengan risiko periodontitis pada kategori ketiga
konsumsi bir, tetapi trennya tidak signifikan. Laki-laki yang meminum 2 atau lebih gelas
anggur merah per hari memiliki peningkatan risiko periodontitis, RR = 1,50 (95% CI, 0,98, 2,30,
p untuk tren = 0,05). Anggur putih dan minuman keras tidak memiliki efek yang jelas terhadap
periodontitis. Kami tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam tes untuk tren antara
anggur merah dan minuman lainnya.

DISKUSI
Dalam penelitian prospektif besar ini, kami menemukan hubungan yang positif antara
konsumsi alkohol dengan periodontitis. Laki-laki yang meminum alkohol memiliki risiko
penyakit yang lebih tinggi 18-27% dibandingkan dengan non-peminum. Hasil ini serupa
dengan saat nilai standar asupan alkohol digunakan secara mandiri, ketika pengukuran ini
diperbaharui setiap 2 tahun dengan informasi terbaru, atau ketika rerata asupan selama
periode follow-up digunakan untuk analisa. Asupan alkohol terbaru memiliki hubungan yang
paling lemah, seperti perkiraan, karena hanya meliputi periode induksi yang paling singkat.
Beberapa penelitian memeriksa kemungkinan hubungan antara alkohol dan
periodontitis. Penelitian awal mengobservasi meningkatnya prevalensi dan keparahan
penyakit periodontal pada pasien dengan sirosis (Sandler dan Stahl, 1960; Movin, 1981), dan
menghubungkannya dengan kesehatan gigi dan mulut yang buruk (Movin, 1981). Penelitian
lainnya melaporkan kondisi periodontal yang lebih parah pada pasien alkoholik dengan dan
tanpa sirosis dibandingkan dengan subyek yang sehat (Dunkley dan Carsonm 1968; Novvack
dkk, 1995) dan pada pasien non-alkoholik dengan sirosis (Novvack dkk, 1995). Ada asosiasi
yang signifikan antara konsumsi alkohol dan penyakit periodontal pada pekerja pabrik Jepang,
tetapi hanya pada analisa bivariat (Shizukuishi dkk, 1998). Pada penelitian kecil di antara
pasien gigi, penyakit periodontal dikaitkan secara positif dengan indikator alkoholik pada laki-
laki saja, tetapi hanya ada 25 orang wanita (Kranzler dkk, 1990).
Penelitian cross-sectional pada 780 pria dan wanita berkebangsaan Finlandia
menunjukkan odds ratio (OR) sebesar 1,76 pada peserta yang minum < 7 kali per 2 minggu,
dan 2,52 pada orang yang minum ≥ 7 kali per 2 minggu dibandingkan dengan non-peminum,
yang mengontrol kebiasaan dietnya, kebiasaan merokok, dan frekuensi menyikat gigi (Sakki
dkk, 1995). Pada sebuah penelitian case-control di Cina, peminum 1,86 kali lebih rentan
terkena periodontitis dibandingkan non-peminum (analisa yang belum disesuaikan) (Pan dkk,
1998). Penemuan terbaru dari Erie County Study juga menunjukkan hubungan positif antara
konsumsi alkohol dan kehilangan perlekatan yang lebih parah serta perdarahan gingiva (Tezal
dkk, 2001). Konsumsi alkohol ≥ 5 kali/minggu dihubungkan dengan meningkatnya kehilangan
perlekatan, OR 1,36 (95% CI, 1,02, 1,80), dibandingkan dengan konsumsi < 5 kali/minggu. OR
lebih besar (OR = 1,44; 95% CI, 1,04, 2,00) saat 10 kali/minggu digunakan sebagai titik acuan.
Pada penelitian yang sama, anggur, bir, atau minuman keras memiliki kaitan yang serupa
dengan risiko periodontitis.
Kami tidak menemukan pola yang jelas dari kaitan minuman yang spesifik dengan
risiko periodontitis. Konsumsi anggur merah yang tinggi meningkatkan risiko periodontitis
yang lebih tinggi dibandingkan minuman lainnya, tetapi hasilnya tidak signifikan. Kami seakan
terbatas dalam analisa minuman spesifik karena jumlah kasus yang terbatas pada peminum
berat; maka estimasi risiko harus diinterpretasikan dengan hati-hati.
Penelitian sebelumnya melaporkan hubungan abjad J antara konsumsi alkohol dan
mortalitas semua-sebab (Camargo dkk, 1997), ditambah dengan berkurangnya risiko penyakit
kardiovaskuler akibat kebiasaan minum yang tidak terlalu parah dan meningkatnya risiko
kematian akibat kanker oleh karena kebiasaan minum yang berat. Perbedaan hasilnya
disebabkan oleh mekanisme yang dihipotesiskan berbeda secara substansial dalam
menjelaskan keterkaitan alkohol dengan mortalitas dan periodontitis.
Ada beberapa penjelasan biologis yang cukup masuk akal untuk efek detrimental
alkohol pada risiko periodontitis. Penelitian menunjukkan fagositosis neutrofil yang
terganggu yang dihubungkan dengan penyakit periodontal (Hart dkk, 1994; Van Dyke dan
Vaikuntam, 1994). Alkohol merusak fungsi neutrofil, berkontribusi dalam perkembangan
bakteri yang berlebihan dan meningkatnya penetrasi bakteri (Szabo, 1999) yang dapat
mengakibatkan peradangan periodontal. Kedua, bukti penelitian in vitro (Cheung dkk, 1995),
hewan (Farley dkk, 1985; Turner dkk, 2001), dan manusia (Pepersack dkk, 1992) menyatakan
bahwa alkohol dapat menstimulasi resorpsi tulang dan menekan fungsi pertumbuhan tulang.
Ketiga, alkohol mungkin memiliki efek toksik langusng pada periodonsium dan juga jaringan
lainnya di orofaring (Maier dkk, 1994; Ogden dkk, 1999). Terakhir, asupan alkohol yang tidak
banyak dapat mengurangi produksi monosit sitokin inflamasi seperti TNF-, IL-1, IL-6,
memungkinkan terjadinya proliferasi mikroba (Szabo dkk, 1996). Dengan asupan yang lebih
tinggi, terdapat produksi sitokin yang lebih banyak (Szabo, 1999), dan telah ditunjukkan juga
pelepasan monosit dari IL-1, IL-6, dan TNF- pada servikal gingiva berkaitan dengan
periodontitis (Offenbacher, 1996).
Meminum alkohol dikaitkan dengan kesehatan gigi dan mulut yang buruk (Sakki dkk,
1995), yang bisa meningkatkan risiko periodontitis. Meskipun kami tidak mengumpulkan
informasi kesehatan gigi dan mulut selama kohort, analisa data dari sampel 152 pria
menyatakan bahwa populasi tenaga kesehatan profesional memiliki kesehatan gigi dan mulut
yang baik. Tidak ada hubungan yang signifikan antara praktik menjaga kesehatan gigi dan
mulut pada populasi ini (Merchant dkk, 2002), juga pada penelitian lainnya (Badersten dkk,
1990; Machtei dkk, 1993; AAP, 1996). Maka dari itu, kesehatan gigi dan mulut tidak dapat
digunakan sebagai efek alkohol terhadap periodontitis dalam kohort ini.
Penelitian prospektif ini adalah yang pertama dalam mengevaluasi alkohol sebagai
faktor risiko periodontitis. Desain prospektif memungkinkan sifat sementara dari
keterkaitannya dan mengeliminasi kemungkinan bias. Tingginya kadar follow-up mengurangi
potensi bias karena hilangnya follow-up. Pria dieksklusikan karena data diet yang tidak
adekuat serupa dengan peserta yang diikutkan dalam analisa berdasarkan usia, kebiasaan
merokok, aktivitas fisik, dan BMI, jadi hal seperti bias tidak banyak terjadi. Peserta homogen
secara relatif, maka dapat meminimalisir gagalnya penemuan seperti ras, status sosio-
ekonomi, akses perawatan, dan praktik menjaga kesehatan gigi dan mulut.
Seperti studi observasional lainnya, kami tidak dapat mengecualikan kemungkinan
penemuan residual oleh kebiasaan lainnya dan faktor gaya hidup. Karena merokok adalah
faktor risiko yang penting dan dihubungkan dengan meminum alkohol, beberapa derajat
asosiasi yang telah diobservasi bisa jadi merupakan penemuan residual akibat merokok. Pada
analisa yang terbatas hanya pada non-perokok, hasilnya tidak berubah secara substansial,
mengindikasikan tidak adanya penemuan residual dari merokok. Pada analisis yang
mengecualikan peserta yang melaporkan perubahan substansial pada kebiasaan meminum
alkohol (kemungkinan akibat alasan kesehatan), hasilnya serupa dengan analisis utamanya.
Batasan lainnya termasuk penggunaan laporan mandiri sebagai penilaian hasil. Pada
penelitian prospektif besar, hal ini tidak praktis dalam melakukan evaluasi klinis penyakit
periodontal. Studi validasi kami menunjukkan bahwa laporan madniri periodontitis (Joshipura
dkk, 1996, 2002) pada populasi HPFS adalah valid. Kemudian, misklasifikasi dari laporan
mandiri cenderung menjadi acak, mengakibatkan titik pusat asosiasi yang terganggu, dengan
pengukuran periodontitis yang sempurna, hubungannya mungkin akan lebih kuat.
Kesimpulannya, hasil penelitian mendukung bahwa meminum alkohol adalah faktor
risiko mandiri untuk periodontitis. Tipe minuman beralkohol tidak memiliki efek terpisah yang
jelas terhadap periodontitis. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menilai hubungannya
dengan populasi lain, dan untuk menentukan mekanisme biologis dari alkohol pada penyakit
periodontal. Praktisi kesehatan perlu awas terhadap pasien yang peminum karena memiliki
risiko periodontitis yang lebih tinggi dan dapat diberikan saran untuk berhenti merokok dan
rutin berkunjung ke dokter gigi.

Anda mungkin juga menyukai