Anda di halaman 1dari 3

PESAN UNIVERSAL ASYURA : Perjuangan Tidak Mengenal Zaman dan Tempat

<http://www.fatimah.org> <http://www.fatimah.org> <../indexartikel.htm> <../indexartikel.htm> Tiap


10 Muharram, dihari Asyura kita yang mengaku para pengikut Ahlibayt dan para simpatisannya selalu mengenang dan
memperingati syahidnya Aba Abdillah, Al - Husain, cucu tercinta Rasulullah Saaw. Di tempat - tempat lain di Indonesia
dan di seluruh dunia juga banyak diadakan peringatan yang sama. Di tahun ini, peringatan Asyura di Jakarta berpusat di
gedung Balai Sudirman, dengan dihadiri tak kurang dari 5000 orang. Sebuah jumlah yang berlipat kali jika melihat
simpatisan yang menghadiri peringatan Asyura 2 - 3 tahun yang lalu. Di tempat yang cukup mewah untuk sebuah gedung
pertemuan tersebut pada puncak acara dibacakan maqtal - kronologi pembacaan syahidnya Imam Husain as, yang
dibawakan oleh Ust. Husein Shahab. Sementara ceramah disampaikan oleh Ust. Abdullah Assegaf. Syukur alhamdulillah,
atsmosfer kecintaan kepada Ahlilbayt telah mewarnai bumi Indonesia, khususnya di Jakarta. Selalu saja usai menghadiri,
kita banyak mendapatkan hikmah, semangat dari peringatan tersebut. Terkadang kita diliputi oleh kegelisahan yang
positif. Pertanyaan - pertanyaan yang sulit dijawab dan membingungkan tiba - tiba saja sering muncul di kepala kita,
seperti, bagaimana cara kami mengikuti perjuanganmu? Bagaimana cara kami wahai Aba Abdillah, menunjukan
kecintaan kepadamu? Bagaimana pula cara kami wahai penghulu para syahid menunjukan kesetiaan padamu? Hidup
ditengah era konsumerisme, kuatnya tarikan materialisme dan telah memudarnya penghargaan terhadap nilai - nilai
kesucian seperti sekarang telah membelenggu kita untuk dapat memahami hal tersebut. Kecintaan kita kepada Imam
Husain as. tentu tidak cukup dan hanya kita tunjukan di hari tersebut. Semboyan "Kullu Yaumin Asyura wa Kullu Ardhin
Karbala - Tiap Hari adalah Asyura dan Tiap Tempat adalah Karbala", mengisyaratkan bahwa momentum hari tersebut
harus selalu ada di tiap hati para pencintanya dimanapun dan kapanpun. Lalu bagaimana pengejawantahannya?
Bagaimana wujud realisasinya? Tulisan dibawah ini adalah sebuah potret dan renungan dari kegelisahan mengenai
seputar diatas yang mencoba dikomunikasikan dan diharapkan menjadi wacana perenungan bersama. Ditulis untuk
mengenang 40 (arbain) hari syahidnya Imam Husain as. Asyura : Hari Syahid Umat Islam Hari Asyura adalah hari yang
sangat penting kedudukannya di dalam Islam. Hari yang oleh Murtadha Muthahari disebut sebagai hari syahid bagi kaum
muslimin di seluruh dunia. Hari yang pesan dan maknanya abadi, tak pernah habis untuk di ungkap di setiap masa.
Syahidnya Imam Husain beserta keluarga dan sahabatnya telah memberikan inspirasi dan semangat kepada kaum
muslimin yang hidup sesudahnya untuk menegakan kebenaran - Islam - dan meruntuhkan kezaliman (eksploitasi)
terhadap nilai - nilai kemanusiaan di seluruh dunia. Penunjukan hari Asyura sebagai hari syahid ini menjadi amat relevan
mengingat kedudukan konsep syahid dalam Islam sendiri begitu penting dan mulia, disamping mendorong kaum
muslimin untuk mempelajarinya lebih mendalam. Di setiap berlalunya zaman selalu saja terjadi pengulangan peristiwa
(rekonstruksi sejarah). Imam Ali as pernah dalam sebuah kesempatan mengutarakan hal ini. Dari sudut potensi manusia,
pengulangan ini amat memungkinkan. Manusia adalah mahluk yang berdimensi dua - dimensi lahir dan batin. Potensi ini
dimiliki oleh seluruh manusia yang pernah hidup. Dari zaman ke zaman kita banyak menyaksikan dua kutub (polarisasi)
sikap manusia. Satu kutub selalu memelihara potensi kesucian diri yang dianugerahkan Tuhan, sementara yang satunya
sebaliknya. Kalau di zaman dahulu kita mengenal sosok Yazid bin Muawiyyah, maka di zaman modern ini kita mengenal
tokoh seperti, Ceucescu, Pinochet, Milosevic, Ne Win, Marcos, Hitler, Musollini, yang merupakan tipikal Yazid. Selain itu
kita juga mengenal pribadi seperti Imam Khomeini, Hasan Albanna, Sayid Abbas Musawi - pemimpin Hizbullah dll yang
merupakan tipikal yang mengikuti kepribadian Imam Husain as. Dua kutub ini akan terus mewarnai dan menghiasi
lembaran - lembaran kehidupan di dunia ini. Di zaman kontemporer seperti sekarang, peristiwa Asyura inilah yang
mengilhami dan membakar semangat pejuang Islam untuk menegakan kebenaran seperti yang terjadi di Libanon
(perjuangan Hizbullah), revoulusi Islam di Iran dll. Tokoh besar dalam Islam abad 20 seperti Imam Khomeini - semoga
Allah SWT mensucikan ruhnya, Sayid Abbas Musawi, Murtadha Muthahari dan tokoh - tokoh besar Islam di sepanjang
masa yang amat kita hormati adalah pribadi - pribadi yang menyerap pesan dan hikmah dari peringatan Asyura. Konsep
Bentuk dan Hakikat Jika kita menelusuri literatur sejarah para Imam, maka kita akan menyaksikan benang merah
perbedaan garis perjuangan yang mereka tempuh. Garis perjuangan para Imam satu dengan yang lainnya berbeda - beda.
Perbedaan ini menurut Ust. Husain Alkaff, disebabkan bentuk dari kegelapan yang dihadapi para Imam sangat berbeda,
jadi bukan pada entitas mereka (bulletin Aljawad 10/th. X/Muharram 1422 H). Untuk lebih memudahkan pemahaman,
mungkin yang dimaksud kegelapan disini adalah situasi dan kondisi penyimpangan yang terjadi pada masa para Imam
hidup sangatlah berbeda satu dengan yang lainnya. Bentuk kegelapan yang berbeda itu meniscayakan strategi dan garis
perjuangan yang berbeda pula. Hal seperti ini misalnya dapat dilihat pada masa pemerintahan Imam Ali as. Beliau tidak
secara frontal melakukan perlawanan terhadap penguasa yang merampas kekhalifaannya, padahal kita semua mafhum
bahwa Imam Ali as. adalah panglima perang yang paling berani di zaman Rasulullah Saaw. Lalu Imam Hasan as.
memberikan hak kekhalifaannya kepada Muawiyyah demi menjaga keselamatan kaum muslimin, dan Imam Husain as.
yang dengan gagahnya telah mengorbankan diri, keluarga dan sahabatnya (martyr). Begitupun dengan para Imam - Imam
yang lain. Sebagai sebuah contoh kasus (case study) yang lain, apa yang ada dibenak kita, melihat garis perjuangan Imam
Ali Zaenal Abidin as. misalnya, dimana beliau menyaksikan langsung peristiwa yang amat memilukan yang menimpa
seluruh keluarga, adik, kakak dan ayahnya - syahid. Apakah beliau memilih untuk melakukan garis perjuangan yang sama
dengan apa yang telah ditempuh oleh ayahnya - bertempur melawan pasukan Yazid bin Muawiyyah - la'natullah.
Kenyataannya tidak demikian, beliau malah memilih garis perjuangannya, dengan cara membimbing masyarakat dengan
banyak munajat yang terkumpul dalam karya monumentalnya mutiara - mutiara "Asshahifah Assajadiyyah". Begitupun
dengan apa yang ditempuh Imam Muhammad Albaqir, cucu Imam Husain. Hampir sama dengan ayahnya, Imam Baqir as.
memilih garis perjuangannnya dengan lebih banyak mengajar. Sehingga beliau digelari Albaqir, yang artinya orang yang
menguraikan ilmu. Ia tidak mengikuti cara yang ditempuh kakek ataupun pamannya, Zaid bin Ali Zaenal Abidin. Seperti
diketahui Zaid bin Ali syahid melawan pemerintahan yang zalim pada zamannya, bahkan hingga ia di salib. Apakah, lalu,
kita akan mengatakan bahwa keduanya tidak menyerap dan memahami pesan Asyura? Tentu saja tidak. Kedua Imam
tersebut sangat menghayati dan memahami pesan Asyura. Garis perjuangan yang keduanya tempuh adalah sebagai salah
satu bentuk atau model dari pemahaman mereka yang menyeluruh tentang ajaran Islam. Tidak berarti pula para Imam
seolah lari dari kenyataan seperti para sufi - sufi semu (psedo - sufism), Imam tetap memberikan pandangan - pandangan
dan jawaban atas persoalan yang sedang menimpa kaum muslimin. Namun, para Imam telah memilih strategi yang
disesuaikan dengan kondisi yang tengah menimpa ummat. Sehingga pesan dan ajaran Islam yang utuh dapat lebih efektif
diterima ummat. Hasil perjuangan, para Imam, adalah hasil yang abadi. Kita dapat memastikan bahwa pesan Islam yang
asli (original) yang kita dapat dari sumber - sumber Ahlilbayt, yang kita pelajari sekarang adalah merupakan usaha
kolektif yang diwariskan para Imam Ahlilbayt dan orang - orang yang mengikutinya. Munculnya para ulama besar, yang
sangat kita hormati, seperti At-Thusi, Mulla Sadra, Thabathaba'i, Imam Khomei'ni dll adalah merupakan produk dari
madrasah Ahlilbayt. Kondisi yang berbeda meniscayakan pola dan model yang berbeda pula. Satu hal yang mengikat
(common thread) adalah substansi dan materi penyampaian dan bimbingan mengenai Islam yang mereka sampaikan
adalah pemahaman Ahlilbayt - pemahaman dan kontekstualisasi ajaran - ajaran Islam. Rasulullah telah menyampaikan
seluruh ajaran - ajaran Islam baik yang lahir maupun yang batin. Pada konteks ini Islam telah sempurna. Namun ia belum
sempurna secara manifestasi. Penyempurnaan ini dilanjutkan oleh para Imam. Dengan kata lain Islam telah memberikan
sebuah panduan mengenai masa depan manusia. Para Imamlah yang menjadi juru bicara Al-Qur'an. Merekalah manusia
terpilih, yang sangat mengenal zamannya, sebagai salah satu anugerah dari ilahi, yang menjaga kemurnian ajaran - ajaran
Rasulullah Saaw - Islam yang original. Siapakah yang berani mengklaim sebagai pihak yang memiliki otoritas untuk
menguraikan tentang Al-Qur'an, selain daripada mereka? Antara mereka dengan Al-Qur'an tidak dapat terpisahkan.
Merekalah Al-Qur'an yang hidup. Mereka pulalah yang dapat membimbing manusia untuk dapat sampai menuju Allah
(Sayr wa Suluk). Dalam literatur para sufi rentetan dari inisiasi, yaitu para mursyid, mayoritas berakhir pada para Imam
Ahlilbayt. Perjuangan Dalam Konteks Kekinian Perjuangan model apa yang akan kita pilih? Perjuangan atau gerakan
yang memiliki tujuan harus terlebih dahulu diawali oleh sebuah pemahaman. Perjuangan untuk menyebarkan kepada
ummat mengenai ajaran - ajaran Ahlilbayt harus pula diawali pemahaman yang menyeluruh mengenai Islam itu sendiri.
Bolehlah dikatakan bahwa pemahaman adalah menjadi dasar daripada Islam hakikat. Sementara perjuangan merupakan
Islam bentuk. Yang harus menjadi catatan adalah pada konteks Islam hakikat ini tidak ada toleransi atas pandangan yang
berbeda, yaitu pandangan dunia tauhid. Maksudnya, kita tidak dapat mentoleransi pemahaman - pemahaman yang tidak
menempatkan pemahaman Ahlilbayt sebagai rujukan. Pandangan dunia tauhid yang dibawa Ahlilbayt memberikan
sebuah gambaran pemikiran di kepala kita mengenai hakikat dunia ini. Bagaimana kita dapat memahaminya, hubungan
diri kita dengan dunia luar, dengan pencipta, dll. Pandangan yang berbeda mengenai hal ini hanya akan menghasilkan
masyarakat yang memahami Islam secara parsial. Beberapa pandangan tauhid yang tidak proporsional adalah seperti
jabbariyah (keterpaksaan - determinisme) dan Mu'tazilah (kebebasan - free will). Contoh ekstrim dalam hal ini adalah
kaum Khawarij yang hidup pada masa pemerintahan Imam Ali. Generasi kesekian dari kaum Khawarij ini terus lahir, dan
banyak kita temui di masyarakat kita pada masa sekarang. Khawarij adalah produk dari pemahaman yang tidak utuh
terhadap Islam. Pemahaman yang benar tentang Islam akan membimbing kita untuk dapat merefleksikan dan
memancarkan hal tersebut dalam kehidupan sehari - hari, lebih jauh dalam bentuk perjuangan. Dengan kata lain, sebuah
perjuangan merupakan sebuah pancaran dari gelora dan energi pemahaman. Pribadi - pribadi yang telah menyerap nilai -
nilai Ahlilbayt secara otomatis akan merefleksikannya dalam kehidupan sehari - hari. Hal - hal diatas adalah dalam
konteks yang sifatnya sangat personal (private). Lalu, bagaimana dalam bentuk yang lebih terorganisir (jamaa'ah). Apakah
gerakan dakwah mengalir begitu saja ataukah diperlukan sebuah riset dan analisa mengenai medan dakwah? Jika kita
merujuk pada fragmen para Imam, maka kita akan sepakat bahwa kita harus terlebih dahulu mengenal kegelapan yang
kita hadapi. Dengan kata lain dengan pemahaman yang kita peroleh dan mengenal bentuk kegelapan yang dihadapi.
Menentukan bentuk kegelapan yang dihadapi dan mencoba mencari model metode penyampaian dakwah dengan merujuk
pada garis perjuangan yang para Imam tempuh akan menjadi bahan diskusi yang akan kontroversial dan menyita waktu.
Pertanyaan seperti siapa yang amat berkompeten untuk memberikan jawaban terhadap persoalan ini, hanyalah akan
kontra produktif saja hasilnya. Lebih jauh jika hal ini kita dapat pahami, maka, "kelatahan" untuk mengadopsi sebuah
garis perjuangan gerakan lain akan dapat ditentukan benang merahnya. Lebih jauh pemahaman akan hal ini, dapat
membangun sikap saling menghormati (toleransi), dll. Mungkin outputnya dapat saja adopsi dengan perubahan -
perubahan kondisional, sinergi, ataupun bentuk baru. Pada poin ini - perbincangan mengenai bentuk dan kegelapan yang
kita hadapi, biarlah menjadi sebuah wacana. Kata kuncinya adalah bahwa bentuk atau garis perjuangan adalah sebuah
strategi yang dapat saja berubah dan berbeda disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Dalam bentuk mikro strategi
penyampaian dakwah Ahlilbayt di sebuah kota kecil akan sangat berbeda dengan di kota besar. Bentuk atau garis
perjuangan adalah tidak sakral. Ia adalah produk dari hasil perenungan dan analisa terhadap objek penyampaian
(dakwah). Bentuk ini harus selalu terkait dengan hakikat dari pemahaman yang menyeluruh. Ia tidak lebih dari sebuah
pancaran yang akan dengan sendirinya, berkat bantuan ilahi, akan hadir. Itu sebabnya ia tidak dapat diseragamkan. Itu
pula sebabnya, bentuk tidak menjadi berarti ketika ia terlepas dari hakikat yang sebenarnya. Adanya yayasan, kelompok
studi dll adalah menjadi tidak bermakna dan terputus dari perjuangan ketika hal - hal itu tidak dimaknai sebagai sebuah
sarana dan model dari penyebaran Islam. Alih - alih penyampaian ajaran - ajaran Ahlilbayt yang tersebar malah
kepopuleran yang sangat pribadi (personal tendensius) yang tersebar. Itulah sebabnya bentuk yang ada menjadi sangat
dinamis sifatnya. Kita menghadapi situasi yang terus berubah. Mengutip pernyataan seorang filosof, tidak ada yang abadi
dari sebuah kondisi, melainkan yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Namun begitu, jika kita telah memahami bahwa
bentuk adalah sebuah manifestasi dari sebuah pemahaman, maka ia tidak terlepas dari spirit dan pemahaman yang
menyeluruh. Kita bisa mengambil pelajaran dari Imam Ali Zaenal Abidin as. Kita meyakini, beliau amat memahami arti
syahid dan bagaimana mengaktualisasikannya. Para Imam lain pun selalu mengkaitkan bentuk dengan semangat
pemahaman yang menyeluruh. Konkritnya, do'a yang yang Imam Ali Zaenal Abidin wariskan yang terkandung dalam
Asshahifah Assajadiyyah, misalnya, bagi orang yang memiliki pemahaman yang utuh akan memberikan energi yang amat
besar. Dalam kaitan ini Imam Khomei'ni pada saat beliau mengisi ceraman di TV yang membahas mengenai tafsir dari
basmalah dan hamdalah, beliau mengatakan bahwa doa dan semacamnyalah yang mendorong manusia menjadi insan
kamil sehingga ia dapat memimpin dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu dunia sebagaimana yang seharusnya.
Sebaliknya jika konsep bentuk tidak dikaitkan dengan pemahaman yang menyeluruh, maka hasil yang dicapai adalah
pemahaman yang partikular - pemahaman yang sepotong - sepotong. Pemahaman ini akan menggerogoti pemahaman
Islam yang nantinya akan menjadi ancaman yang sangat berbahaya - pemahaman model Khawarij. Pada akhirnya,
momentum Asyura, buat mereka, tidak akan memiliki konsep dan kontribusi yang berarti. "Setelah Asyura, hari - hari
akan berjalan seperti hari - hari biasanya". Jadi, dari pengantar ini, pertanyaan - pertanyaan mengenai manifestasi dari
kecintaan kita kepada Imam Husain dapat diwujudkan dalam bentuk yang sangat berbeda - beda. Bisa saja hal tersebut
dalam pelayanan kita kepada masyarakat, perjuangan politik, menulis, mengajar, dll. Dimana bentuk perjuangan -
perjuangan tersebut diikat oleh satu ikatan pemahaman Islam yang menyeluruh. Jika kita melihat sketsa sejarah
perjuangan para Imam niscaya kita akan dapat memahaminya. Momentum Asyura Ke depan, kita bisa membayangkan
betapa dahsyatnya pergerakan orang - orang yang telah menyerap energi dan pesan dari peringatan Asyura. Seandainya
saja ada sinergi dan pengorganisasian (organize), mereka akan menjadi kekuatan yang akan merubah masyarakat dan
menyumbangkan nilai - nilai kemanusiaan, dan mengawal perjalanan sejarah dari nilai - nilai yang menyimpang. Pada
akhirnya, buat kita bentuk tidaklah penting, yang penting bagaimana kita dapat memahami ajaran Ahlilbayt ini secara
menyeluruh, tidak partikular. Akhirnya saya amat meyakini, bahwa bentuk merupakan pancaran dari pada pemahaman
kita tentang Islam seperti yang diajarkan para Imam Ahlilbayt. Contoh yang paling monumental dalam hal ini adalah
pada pribadi Imam Khomeini, yang pada mulanya sangat terkenal dengan ulama irfan tetapi ternyata beliau secara strategi
politik mampu memimpin dan menghantarkan bangsa Iran keluar dari kezaliman tiran Syah Reza. Kini di Iran berdiri
sebuah republik Islam yang merupakan prototipe dari model pemerintahan yang islami. Dengan kesucian dirinya dan
pemahamannya yang utuh mengenai Islam, Imam Khomeini, dengan bantuan ilahi mampu merubah dan membangun
sebuah tatanan masyarakat baru. Sepeninggal Imam Khomei'ni, wilayatul faqih, dilanjutkan oleh Rahbar, Ayatullah
Udzma Sayyid Ali Khameine'i. Berbeda masa, berbeda pula gaya dan style serta strategi. Republik Islam Iran, dibawah
Rahbar melakukan banyak terobosan yang tidak dilakukan pada masa Imam Khomei'ni. Sekali lagi kata kuncinya adalah
bentuk kegelapan atau situasi dan kondisi yang dihadapi berbeda meniscayakan pula pada bentuk perjuangan yang
berbeda. Ala kulli hal, perjuangan ini, dalam bentuk apapun, merupakan manifestasi dari rasa cinta dan syukur kita
kepada Ahlilbayt? Kita semua nanti akan ditanya, bagaimana wujud kecintaan kita kepada Ahlilbayt? Ya Ilahi, jadikanlah
perenunganku ini menjadi salah satu bukti akan kecintaanku kepada Ahlilbayt. Mudah - mudahan kita bersama menjadi
bagian dari kafilah pengikut Ahlilbayt yang mendapatkan syafaat dari Imam Husain as. Wallahua'lam. Taufiq Hadddad
Back To Top

Anda mungkin juga menyukai