Anda di halaman 1dari 4

TRAGEDI KARBALA

Perjuangan Menegakkan Keadilan dan Kebenaran

Sejarah kemanusiaan pada tanggal 10 Muharam 61 H


tercoreng. Sebuah peristiwa tragis kemanusiaan hadir dalam sejarah
peradaban dunia. Bumi berderak risau oleh genangan darah syuhada
dari pengikut Husain, langit menurunkan hujan kesedihan. Mendung
bergelayut tebal menutupi jiwa kemanusiaan makhluk Ibnu Ziyad yang
dikirim untuk membunuh Husain atas perintah Yazid bin Muawiyah.
Betapa meradang hari itu hati manusia, ketika seorang Imam Maksum
dari keluarga Nabi Muhammad dan pengikutnya harus dibantai
dengan kejam. Pasukan Imam Husain yang berjumlah 70 orang telah
berhadapan dengan pasukan bersenjata lengkap yang berjumlah
30.000 orang. Tangan-tangan kecil, tatapan para orang tua dan wanita
tak meluluhkan sifat kebinatangan dari hati tentara yang telah tertutup
karang kebencian. Kebengisan tidak berubah menjadi kecintaan,
begitu juga keserakahan tidak lagi menjadi kebaikan. Semua telah
terpaku kaku pada sisi gelap manusia tentara Yazid, sebuah
perpaduan antara kebengisan, keserakahan dan kekejaman. Dalam
peperangan tidak berimbang, Husain akhirnya terluka parah.
Tubuhnya yang suci telah berlumur darah, rasa haus pun telah
mencekiknya. Tubuh yang pernah dikecup dan digendong Rasulullah
saww kini telah rebah di atas padang Karbala. Kemudian datanglah
manusia berhati Iblis dan lelaki yang bertampang menakutkan, Syimr,
ia menaiki dada Husain, lalu menebas kepala Husain sehingga lepas
dari badannya. Kemudian Syimr menebas bagian-bagian tubuh
Husain satu demi satu hingga bercerai-berai. Kemudian kepala
Husain diarak keliling kota untuk menakuti kaum muslimin. Husain
dan pengikutnya telah mengikuti jalan kakeknya yakni Rasulullah.
Imam Husain adalah salah seorang ahlul bait Nabi yang dijamin oleh
Allah akan kebenaran jalannya. Namun hati orang yang sudah
tertutup, lupa akan riwayat itu. Dalam suatu riwayat Zaid bin Arqam
berkata: Rasulullah mengatakan: “Amma ba’du, sesungguhnya aku
adalah manusia… Hampir datang utusan Allah kepadaku dan aku
menerimanya. Kutinggalkan kepada kalian dua bekal, yang pertama
ialah Kitabullah, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang.
Ambillah Kitabullah itu dan berpegang teguh padanya…” …dan
ahlulbaitku. Kuingatkan kalian kepada Allah mengenai ahlulbaitku”.
Ya! Rasulullah telah memberikan jaminan kebenaran kepada Imam
Husain. Tetapi orang-orang yang silau akan dunia telah menutup
kebenaran itu. Mereka telah menutup hati mereka dengan kenikmatan
yang tidak kekal. Mereka lebih menikmati kepentingan sesaat,
duniawi dibandingkan ganjaran kekal, di akherat. Kecintaan dan
ketamakan akan harta dan kekuasaan telah menutupi mata ruhani.
Cahaya iman telah tertutup dalam hati, tak ada seberkas pun
memancar dari celah-celah di dinding. Mereka telah terpuruk dalam
kenistaan hidupnya. Berbeda dengan mereka yang tertutup mata
hatinya dari sinar Ilahi. Jalan yang telah ditempuh Imam Husain
bukanlah dimotivasi untuk merebut kekuasaan. Bukanlah untuk
merebut kenikmatan dunia. Imam Husain adalah pribadi agung, yang
tidak termotivasi sedikitpun dalam hidupnya akan kenikmatan
duniawi. Dalam suatu suratnya yang ditulis Husain kepada
Muhammad bin Hanafiah dikatakan: “Sesungguhnya aku melakukan
perlawanan bukan dengan maksud berbuat jahat, sewenang-wenang,
melakukan kerusakan atau kezaliman. Tetapi semuanya ini aku
lakukan semata-mata demi kemaslahatan umat kakekku Muhammad
Saww. Aku bermaksud melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar dan
mengikuti jalan yang telah dirintis oleh kakekku dan juga ayahku Ali
bin Abi Thalib. Ketahuilah barangsiapa yang menerimaku dengan haq,
maka Allah lebih berhak atas yang haq. Dan barangsiapa yang
menentang apa yang telah kuputuskan ini, maka aku akan tetap
bersabar hingga Allah memutuskan antara aku dengan mereka
tentang yang haq dan Dia adalah sebaik-baik pemberi keputusan”.
Tragedi Karbala yang terjadi pada jaman Husain, mungkin kini telah
berulang kembali dalam sejarah manusia. Namun dalam waktu dan
bentuk yang berbeda. Kesamaannya adalah tragedi itu telah merusak
dan menghancurkan sendi-sendi keadilan dan kemanusiaan antar
sesama manusia. Juga membunuh sifat-sifat ruhani manusia, yang
seharusnya dapat mengantarkan manusia pada jalan kemanusiaan.
Hari ini kita menyaksikan sebuah peristiwa Karbala dalam bentuk lain.
Sebuah peristiwa pembantaian antar manusia. Belum hilang dalam
ingatan kita peristiwa tragedi Ambon yang telah membinasakan ribuan
umat Islam, membuat ummat Islam sudah kehilangan harga diri lagi.
Mereka harus mengungsi dari tanah tempat mereka bekerja dan
bahkan tempat mereka dilahirkan, karena identitas kemusliman
mereka. Mereka harus pergi dari sana. Padahal bumi Allah, di seluruh
muka bumi ini adalah sama. Siapa pun berhak tinggal di mana saja.
Allah tidak memandang wilayah untuk tempat tinggal seorang muslim.
Belum lepas dari tragedi Ambon, muncul lagi malapetaka di Sampit, di
Kalimantan Tengah. Di sinipun nilai-nilai manusia hancur menjadi
percuma. Ribuan orang dibantai begitu saja, dan sebagian besar
adalah kaum muslimin. Ini pun atas dasar kepentingan kekuasaan
dan keserakahan. Nafsu berkuasa dan serakah telah menghantui dan
menjadi orientasi dari mereka yang telah melakukan pembantaian.
Mereka telah mengubur kemanusiaan mereka dan membangun nisan
bagi kemanusiaannya. Betapa tidak, bagaimana seorang ayah
dibantai di depan keluarganya, seorang anak kecil tercincang
menggenaskan, tubuh-tubuh tanpa kepala bergeletakan memenuhi
jalan, dan kepala-kepala tanpa badan diarak berkeliling. Apapun
alasannya, atas nama adat atau pembelaan, jelas ini merupakan
tragedi kemanusiaan yang paling besar. Dengan cara ini manusia
telah turun derajatnya melebihi binatang. Karena binatang
membunuh, hanyalah untuk memenuhi kelangsungan hidupnya.
Sedangkan manusia yang saling membantai antar manusia,
membunuh untuk kepentingan syahwat kekuasaan dan keserakahan.
Lalu apa yang sedang terjadi dengan manusia sekarang ini,
khususnya di bumi Indonesia. Manusia Indonesia dengan begitu
mudahnya menumpahkan darah sesamanya. Mereka dengan begitu
mudah menindas sesama manusia. Sungguh ini merupakan tragedi
kemanusiaan. Jika Imam Husain telah mengorbankan dirinya untuk
suatu nilai yang agung, yakni nilai kebenaran yang diridhoi Allah SWT.
Yang kematiannya merupakan Syahid. Lalu apa yang terjadi di negeri
ini. Ketika manusia saling bunuh-membunuh dengan begitu
mudahnya. Apakah berkebudayaan manusia telah hilang dari bangsa
ini? Apakah bangsa ini kembali menjadi primitif? Hal ini sungguh
memuakkan sekaligus mengenaskan. Padahal Islam hadir sebagai
sebuah agama pembebasan. Agama yang membebaskan dari
penindasan sesama manusia. Agama yang menghargai nilai-nilai
kemanusiaan pada tempat yang mulia. Dalam hal ini tidak ada
manusia yang lebih tinggi antar manusia lain karena identitas
kesukuan dan perbedaan ekonomi. Islam hadir memberi persamaan
hak-hak kemanusiaan. Tidak ada suku yang lebih mulia, tidak ada
orang yang lebih mulia karena etnis dan kekayaan.
Keanekaragamaan suku dan bangsa bukanlah untuk saling sombong-
menyombongkan tetapi untuk saling kenal mengenal. Ketika
Muhammad memproklamasikan kenabiannya, maka bangsawan
Quraisy bukanlah menolak kepercayaan akan eksistensi Allah. Tapi
mereka khawatir dominasi mereka terhadap kabilah-kabilah lain akan
sirna jika mereka menerima Islam. Karena Islam mengajarkan
persamaan derajat sebagai manusia di mata Allah. Ketakutan inilah
yang membuat mereka begitu keras sikapnya terhadap Rasulullah.
Hadirnya Islam juga memberikan kepercayaan diri yang besar kepada
masyarakat Arab. Ketika Rasulullah mengutus seorang sahabatnya
bernama Dihiah bin Kalbi untuk menemui kaisar Romawi, Theodosius
Agung. Sahabat Rasulullah itu yang datang dari wilayah gurun yang
terasing dan dengan percaya dirinya mengajak Kaisar Rowami untuk
masuk Islam. Dengan identitas Islam memberikan kepercayaan yang
tinggi pada mereka, ketika sahabat tersebut menemui Kaisar. Islam
mengantarkan manusia untuk sampai ke gerbang persamaan sosial
bagi semua bangsa. Islam memandang derajat ketinggian hanya ada
pada ketakwaan, ilmu dan amal. Disinilah Islam menghargai manusia.
Manusia yang mempunyai kelebihan dari tiga hal itulah yang
mempunyai kedudukan lebih tinggi di banding manusia lainnya.
Peristiwa Karbala adalah perjuangan untuk menegakkan cita-cita
ajaran Islam itu. Dimana keadilan dan nilai-nilai kemanusian sudah
tenggelam jauh kedasar laut, sehingga sulit untuk mencapai
permukaan kemanusiaan. Peristiwa Karbala adalah untuk
mengingatkan bahwa perjuangan untuk melambungkan nilai keadilan
yang tenggelam memerlukan pengorbanan yang tidak kecil. Bahkan
potret kemanusiaan yang buram tergurat dalam kanvas sejarah
peradaban manusia. Pengorbanan dengan darah, air mata, dan harta
berpadu membentuk jalinan indah untuk menuju jalan kebenaran.
Jalan yang telah ditunjuki oleh Husain, bukan jalan Yazid bin
Muawiyah. Jalan yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah Swt.
Karbala telah mengingatkan kita, bahwa kebenaran itu akan tetap
menyeruak diantara timbunan kebohongan. Timbunan kebohongan
akan hancur, dan masyarakat muslim akan menyaksikan bahwa
Husain ada di pihak yang benar, dan Yazid ada di pihak yang salah.
Husain ada di pihak yang dizalimi dan Yazid adalah pihak yang
menzalimi. Husain telah mengingatkan kita, bahwa menegakkan yang
hak itu bukanlah dengan menunggu Mahdi. Tapi kita sebagai kaum
muslimin, diingatkan untuk merebut haq kebenaran itu. Kebenaran
tidak akan mengalahkan kebatilan, jika kebenaran itu tidak
diperjuangkan. Jadi mulai kini dan yang akan datang kita harus
perjuangkan kebenaran, dan hak-hak kaum muslimin di seluruh muka
bumi Allah ini. Baik di Ambon, Sampit bahkan hingga Palestina.
Rudhy Suharto

Anda mungkin juga menyukai