Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

“SEORANG ANAK LAKI-LAKI USIA 15 TAHUN 2 BULAN 5 HARI DENGAN


DIARE AKUT TANPA DEHIDRASI & DEMAM TYPHOID”
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat Dalam Menempuh
Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang

Disusun Oleh:
Kasyfil Aziz Hafidh
H3A018011

Pembimbing:
dr. Noor Hidayati, Sp. A

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
SEMARANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Kasyfil Aziz Hafidh


NIM : H3A018011
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Universitas Muhammadiyah Semarang (UNIMUS)
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian : Ilmu Kesehatan Anak
Judul : Seorang Anak Laki-Laki Usia 15 Tahun 2 Bulan 5 Hari Dengan
Diare Akut Tanpa Dehidrasi & Demam Typhoid
Pembimbing : dr. Noor Hayati, Sp. A
Telah dipresentasikan di hadapan Pembimbing Kepaniteraan Klinik serta telah
diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk kelulusan dari
Program Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Tugurejo
Semarang.

Semarang, 18 Juni 2019


Mengetahui dan Menyetujui
Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Tugurejo Semarang

Pembimbing,

dr. Noor Hidayati, Sp. A


BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit diare adalah penyebab utama morbiditas dan kematian anak di


negara berkembang, dan penyebab penting kekurangan gizi. Pada tahun 2003
diperkirakan 1.87 juta anak-anak di bawah 5 tahun meninggal karena diare.
Delapan dari 10 kematian ini terjadi dalam dua tahun pertama kehidupan.
Rata-rata, anak-anak di bawah usia 3 tahun pada negara-negara berkembang
mengalami tiga episode diare setiap tahun. Diare yang terjadi pada banyak
negara, termasuk kolera, juga merupakan penyebab penting morbiditas di
antara anak-anak dan orang dewasa.
Banyak kematian diare disebabkan oleh dehidrasi. Sebuah perkembangan
penting telah menemukan bahwa dehidrasi akibat diare akut dari setiap
etiologi dan pada usia berapa pun, kecuali bila parah, dapat dengan aman dan
secara efektif diobati dengan metode sederhana oral rehidrasi menggunakan
cairan tunggal pada lebih dari 90% kasus.
Unsur penting dalam pengelolaan anak dengan diare adalah penyediaan
terapi rehidrasi oral dan terus menyusui, dan penggunaan antimikroba hanya
untuk anak dengan diare berdarah, kasus kolera yang parah, atau infeksi non-
usus serius. Para pengasuh anak-anak yang masih muda juga harus diajarkan
tentang praktek-praktek cara pemberian makanan dan kebersihan yang dapat
mengurangi morbiditas diare.
Pedoman penatalaksanaan diare di Indonesia saat ini merujuk pada
pedoman penatalaksanaan diare yang dikeluarkan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia (Depkes RI) pada tahun 1999. Sedangkan World Health
Organization (WHO) telah mengeluarkan pedoman penatalaksanaan diare
terbaru pada tahun 2005.
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia dengan
angka kejadian yang masih tinggi serta merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan lingkungan dan
sanitasi yang buruk. Demam tifoid juga merupakan salah satu penyakit
menular penyebab kematian di Indonesia (6% dengan n = 1.080), khusus pada
kelompok usia 5 –14 tahun tifoid merupakan 13% penyebab kematian
pada kelompok tersebut.Penegakan diagnosis pada anak dengan demam
juga menjadi tantangan bagi para dokter. Demam Tifoid merupakan
penyebab demam yang umum pada anak dengan tanda dan gejala yang
sangat bervariasi dibandingkan dengan penderita Demam Tifoid yang
dewasa.
Karakteristik Klinis demam tifoid pada anak usia sekolah dengan infant
dan usia <5 tahun berbeda. Pada anak usia sekolah di awitan awal telah
menunjukkan berbagai gejala seperti demam, nyeri perut, malaise, batuk, dan
lain –lain. Pada infant dan <5 tahun, biasanya hanya menunjukkan
kondisi demam dan malaise serta diikuti diare yang sering disangka oleh
praktisi sebagai gejala infeksi virus atau gastroenteritis akut.
Orang tua jarang menyadari bila anaknya mengalami demam tifoid,
kondisi demam yang lama pada anak tidak membuat orang tua untuk
membawa anaknya ke faskes terdekat terlebih dahulu, bahkan pemberian
antibiotic secara mandiri (tanpa resep) sehingga terjadi resistensi dan
komplikasi dari demam tifoid.
BAB II
IDENTITAS PASIEN

A. Identitas
1. Identitas Pasien
a. Nama : An. H
b. Usia : 15 tahun 2 bulan 5 hari
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Alamat : Borobudur VI Semarang
e. Tanggal Masuk RS : 23 Mei 2019
f. Bangsal Rawat Inap : Melati
2. Identitas Ibu Pasien
a. Nama : Ny. A
b. Usia : 37 tahun
c. Pekerjaan : Swasta
3. Identitas Ayah Pasien
a. Nama : Tn. R
b. Usia : 40 tahun
c. Pekerjaan : Swasta
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama : Muntah
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS Tugurejo dengan keluhan muntah sejak 2
hari, hari pertama muntah 3x selama sehari & hari kedua pasien muntah >
10x/hari. Muntah berupa cairan dan makanan, tidak ada darah maupun
lendir. Mual dan muntah meningkat pada saat setelah makan dan minum.
Awal mulanya sebelum pasien mulai muntah, pasien memiliki riwayat
makan tidak teratur, sering makan di luar rumah dan terkadang makan
hidangan takjil buka puasa di masjid. Pasien sempat dibawa ke praktek
dokter diberi obat domperidon tetapi keluhan muntah tidak kunjung
hilang.
Selain itu pasien juga mengeluhkan BAB cair sejak 2 hari. Hari
pertama dan kedua pasien mengeluhkan BAB cair masing-masing 3x
dalam sehari. BAB warna kuning dengan konsistensi cair, tidak ada darah
maupun lendir. Tidak ada faktor yang memperberat dan memperingan
BAB cair. Keluhan lain seperti demam (-), lemas (+), pingsan (-), pusing (-
), pilek (-), batuk (-), sesak (-), rasa haus (-), sulit makan (+), nyeri perut
(+), nyeri saat berkemih (-), BAK jarang (-), BAK sedikit (-).

3. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
b. Riwayat demam typhoid : disangkal
c. Riwayat rawat inap : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
b. Riwayat alergi : disangkal
5. Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien tinggal bersama kedua orangtua. Ayah pasien bekerja di sektor
swasta. Pembayaran menggunakan BPJS. Kesan ekonomi cukup.
6. Riwayat Prenatal, Natal, dan Antenatal
a. Riwayat Kehamilan/Prenatal
Pasien merupakan anak pertama, ANC Teratur di bidan. Keluhan
selama hamil : tidak ada.
b. Riwayat Persalinan/Natal
Lahir spontan usia kehamilan 38 minggu, langsung menangis dengan
BBL 2700 gram.
Kesan : Neonatus aterm, sesuai masa kehamilan
c. Riwayat Pasca persalinan/Post natal
Ibu pasien rutin memeriksakan pasien di puskesmas. Anak dalam
kondisi sehat.
Kesan : riwayat pemeliharaan post natal baik
7. Riwayat Imunisasi
No Jenis Imunisasi Jumlah Usia Keterangan
1. BCG 1x 1 bulan Sudah
2. Polio 4x 0, 1, 2, 4 Sudah
bulan
3. Hepatitis B 4x 0,2,3,4 bulan Sudah
4. DPT 3x 2,4,6 bulan Sudah
5. Campak 1x 9 bulan Sudah
Kesan Imunisasi : Imunisasi dasar lengkap sesuai usia.

8. Riwayat Perkembangan
1) Pasien duduk di kelas 3 SMP
2) Pasien tidak pernah tinggal kelas
3) Pasien dapat mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik
4) Pasien dapat bergaul dengan teman-temannya dengan baik
Kesan : Perkembangan sesuai usia
9. Riwayat Nutrisi
Pasien mendapatkan ASI sampai usia 6 bulan dan untuk seterusnya
menggunakan susu formula. Makanan tambahan diberikan sejak umur 6
bulan.
Kesan : Pemberian nutrisi baik

C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : cukup
2. Kesadaran : compos mentis
3. Vital sign :
a. Heart Rate : 66x/menit,irama reguler, isi dan tegangan cukup
b. Respiratory Rate : 20x/menit
c. Suhu : 36,2°C
4. Status gizi
Berat Badan : 48 kg
Tinggi Badan : 160 cm
1) BB/U : 48/56,5 x 100% = 84,95% (gizi sedang )
2) TB/U : 160/171.5 x 100% = 93,29% (perawakan normal)
Status gizi = baik
5. Kepala : mesocephal, ubun-ubun besar cekung (-)
6. Mata : konjungtiva anemis (-/-), mata cekung (-/-),
sklera ikterus (-/-), mata kering (-/-)
7. Telinga : sekret (-/-). darah (-/-), massa abnormal (-/-)
8. Hidung : pernapasan cuping hidung (-/-), epistaksis (-/-),
massa abnormal (-/-)
9. Mulut : bibir kering (-), sianosis (–), mukosa mulut kering
(-), pernapasan mulut (-), lidah tifoid (+)
10. Leher : perbesaran kelenjar getah bening (-), bantuan
gerakan otot pernapasan (-)
11. Thorax
a. Cor:
1) Inspeksi : ictus cordis tidak tampak, arcus costae 90°
2) Palpasi : ictus cordis tidak teraba, pulsus (-)
3) Perkusi : batas jantung dalam batas normal
4) Auskultasi : irama jantung reguler, suara bising jantung (-)
b. Pulmo:
1) Inspeksi: pergerakan hemitorax dextra sinistra simetris, massa
abnormal(-), retraksi (-), nafas kussmaul (-)
2) Palpasi : nyeri tekan (-/-), pergerakan thorax teraba simetris tidak
ada yang tertinggal, massa abnormal (-/-), stem fremitus (-/-), ICS
dalam batas normal
3) Perkusi : sonor seluruh lapang paru
4) Auskultasi : suara dasar paru vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -
/-, hantaran -/-

12. Abdomen
a. Inspeksi : bentuk datar, warna sama dengan sekitarnya, massa
abnormal (-)
b. Auskultasi : bising usus + normal
c. Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen
d. Palpasi : nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba, turgor lambat (-)
13. Ekstremitas :
a. Atas: akral dingin -/-, edema -/-, sianosis -/-, capillary refill time >
2detik -/-
b. Bawah: akral dingin -/-, edema -/-, sianosis -/-, capillary refill time >
2detik -/-
14. Kulit: pucat (-), ikterus (-)

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah Rutin (23/05/2019) 14:51 WIB
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Leukosit H 16,50 103/ul 4,5 – 13
Eritrosit H 6,11 6
10 /ul 4,4 – 5,9
Hemoglobin 17,00 g/dl 13,2 – 17,3
Hematokrit 50,10 % 40 – 52
MCV 82,00 Fl 80 – 100
MCH 27,80 Pg 26 – 34
MCHC 33,90 g/dl 32 – 36
Trombosit 311 103/ul 140 – 392
RDW 12,40 % 4,5 – 14,5
PLCR 27,0 %
Diff count
Eosinofil Absolute 0,23 103/ul 0,045 – 0,44
Basofil Absolute 0,03 3
10 /ul 0 – 0,3
Netrofil Absolute H 14,10 103/ul 1,8 - 8
Limfosit Absolute L 0,78 103/ul 0,9 – 5,2
Monosit Absolute H 1,36 103/ul 0,16 – 1
Eosinofil L 1,40 % 2-4
Basofil 0,20 % 0-1
Neutrofil H 85,50 % 50 – 70
Limfosit L 4,70 % 25 – 50
Monosit H 8,20 % 1–6

2. Kimia Klinik (Serum) B


Kalium 4,14 mmol/L 3,1 – 5,1
Natrium 144,5 mmol/L 135 – 145
Chlorida 99,9 mmol/L 96 - 111

3. Sero-Imun B Widal (24/05/2019) 09:52 WIB


S. Typhi O 1/160 Negatif
S. Typhi H 1/320 Negatif

E. Daftar Masalah
Anamnesis Pemeriksaan Pemeriksaan Penunjang
Fisik
1. Muntah 7. Lidah 8. Leukosit H 16,50
2. Mual typhoid (+) 9. Eritrosit H 6,11
3. BAB cair 10. Neutrofil absolute H 14,10
4. Lemas 11. Limfosit absolute L 0,78
5. Sulit makan 12. Monosit absolute H 1,36
6. Nyeri perut 13. Eosinofil L 1,40
14. Neutrofil H 85,50
15. Limfosit L 4,70
16. Monosit H 8,20
17. S.Typhi O 1/160
18. S.Typhi H 1/320

F. Diagnosis Banding
1. Diare Akut tanpa dehidrasi
2. Demam Typhoid
G. Diagnosis Kerja
1. Diagnosis klinis : Diare akut tanpa dehidrasi
2. Diagnosis tumbuh kembang : Pertumbuhan dan perkembangan sesuai
usia
3. Diagnosis Gizi : Gizi sedang, perawakan normal
4. Diagnosis Imunisasi : Imunisasi dasar lengkap
5. Diagnosis Sosial Ekonomi : Kesan ekonomi cukup

H. Initial Plan
1. Ip. Diagnosis :
a. Feses Rutin
b. Ig M, Ig G typhoidot
2. Ip. Terapi
a. Cairan
Cairan rehidrasi intravena KaEN 3B maintenance
Kebutuhan cairan BB 48 kg = 1000 + 500 + 560 ml = 2060 ml
2060 x 15 / 24 x 60 = 21 tpm
b. Zinc
1 x 20 mg per hari
c. Nutrisi
Menu nutrisi seperti saat pasien sehat sesuai umur dengan sayuran
yang rendah serat seperti bayam, wortel, buncis dan buah-buahan
seperti pisang, diberikan sedikit-sedikit tetapi sering.
d. Medikamentosa
1) Antibiotik ceftriaxon 2 x 1 gr
2) Inj. Ondansetron 4 mg
3) Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
4) Paracetamol 3x1 tab 500 mg p.r.n

3. Ip. Monitoring
1) Keadaan Umum
2) Tanda-Tanda Vital (khususnya suhu tubuh)
3) Frekuensi dan konsistensi muntah
4) Frekuensi dan konsistensi BAB
5) Tanda-tanda dehidrasi

4. Ip Edukasi
1) Menjelasakan penyebab, pengobatan dan komplikasi Diare dan
Demam Typhoid
2) Menjelaskan dan menginform consent kepada pasien bahwa perlunya
pemeriksaan lebih lanjut seperti pemeriksaan feses rutin dan IgM, IgG
typhoidot untuk mengetahui penyebab diare dan keperluan
penegakkan diagnosis demam typhoid dan memaksimalkan terapi
3) Menjelaskan terapi yang telah diberikan
4) Tirah baring
5) Memberikan makanan rendah serat, hindari makanan yang
merangsang pencernaan
6) Menjelaskan pencegahan diare dan demam typhoid dengan menjaga
kebersihan perorangan, cuci tangan sebelum dan sesudah makan,
menjaga kebersihan lingkungan, buang air besar di jamban,
penyediaan air minum bersih, dan mengonsumsi makanan-minuman
yang sudah dimasak

I. Prognosis
1. Quo Ad Vitam : ad bonam
2. Quo Ad Fungsionam : ad bonam
3. Quo Ad Sanam : ad bonam
J. Follow Up
Tanggal Hasil Pemeriksaan
24/05/2019 S: muntah (-), mual (-), BAB cair (-), lemas (-), sulit makan
(19.00) (-), nyeri perut (-)
O: KU : cukup, HR : 95x/menit, RR : 20x/menit, T: 37,5ºC.
A: Diare akut dehidrasi ringan sedang dan demam typhoid
P:
Inf. KAEN 3B 24 tpm
Zinc 1x20 mg
Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Paracetamol 3x1 tab 500 mg p.r.n

25/05/2019 S: muntah (-), mual (-), BAB cair (-), lemas (-), sulit makan
(07.00) (-), nyeri perut (-)
O: KU : cukup, HR : 90x/menit, RR : 24x/menit, T: 36,8ºC.
Ubun-ubun besar cekung (-)
Mata cekung (-/-), mata kering (-/-)
Bibir kering (-), mukosa mulut kering (-), lidah typhoid
(+)
Thorax : Ronkhi -/-, hantaran (-/-), nafas kussmaul (-)
Turgor abdmen lambat (-), kembung (-)
Akral hangat
A: Diare akut dehidrasi ringan sedang dan demam typhoid
P:
Inf. KAEN 3B 24 tpm
Zinc 1x20 mg
Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Paracetamol 3x1 tab 500 mg p.r.n

25/05/2019 S: muntah (-), mual (-), BAB cair (-), lemas (-), sulit makan
(18.00) (-), nyeri perut (-)
O: KU : cukup, HR : 80x/menit, RR : 20x/menit, T: 37,2ºC.
A: Diare akut dehidrasi ringan sedang dan demam typhoid
P:
Inf. KAEN 3B 24 tpm
Zinc 1x20 mg
Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Paracetamol 3x1 tab 500 mg p.r.n
26/05/2019 S: muntah (-), mual (-), BAB cair (-), lemas (-), sulit makan
(08.00) (-), nyeri perut (-)
O: KU : cukup, HR : 90x/menit, RR : 24x/menit, T: 36,2ºC.
Ubun-ubun besar cekung (-)
Mata cekung (-/-), mata kering (-/-)
Bibir kering (-), mukosa mulut kering (-), lidah typhoid
(+)
Thorax : Ronkhi -/-, hantaran (-/-), nafas kussmaul (-)
Turgor abdmen lambat (-), kembung (-)
Akral hangat
A: Diare akut dehidrasi ringan sedang dan demam typhoid
P:
Inf. KAEN 3B 24 tpm
Zinc 1x20 mg
Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Paracetamol 3x1 tab 500 mg p.r.n

26/05/2019 S: muntah (-), mual (-), BAB cair (-), lemas (-), sulit makan
(18.00) (-), nyeri perut (-)
O: KU : cukup, HR : 94x/menit, RR : 24x/menit, T: 37,4ºC.
A: Diare akut dehidrasi ringan sedang dan demam typhoid
P:
Inf. KAEN 3B 24 tpm
Zinc 1x20 mg
Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Paracetamol 3x1 tab 500 mg p.r.n

27/05/2019 S : muntah (-), mual (-), BAB cair (-), lemas (-), sulit makan
(07.00) (-), nyeri perut (-)
O: KU : baik, HR : 85x/menit, RR : 22x/menit, T: 36,6ºC.
Ubun-ubun besar cekung (-)
Mata cekung (-/-), mata kering (-/-)
Bibir kering (-), mukosa mulut kering (-), lidah typhoid
(+)
Thorax : Ronkhi -/-, hantaran (-/-), nafas kussmaul (-)
Turgor abdmen lambat (-), kembung (-)
Akral hangat
A: Diare akut dehidrasi ringan sedang dan demam typhoid
P:
Inf. KAEN 3B 24 tpm
Zinc 1x20 mg
Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Paracetamol 3x1 tab 500 mg p.r.n
27/05/2019 S : muntah (-), mual (-), BAB cair (-), lemas (-), sulit makan
(12.00) (-), nyeri perut (-)
O: KU : baik, HR : 90x/menit, RR : 20x/menit, T: 37,2ºC.
A: Diare akut dehidrasi ringan sedang dan demam typhoid
P:
Cefixime 2x1 tab 200 mg
Zinc 1x20 mg
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. DIARE
A. Definisi Diare
Diare ialah buang air besar dengan konsistensi lebih encer/cair dari
biasanya, ≥ 3 kali per hari, dapat/tidak disertai dengan lendir/darah yang timbul
secara mendadak dan berlangsung kurang dari 2 minggu.
Diare adalah buang air besar yang sering dan cair, biasanya paling tidak
tiga kali dalam 24 jam. Namun, lebih penting konsistensi tinja daripada jumlah.
Seringkali, buang air besar yang berbentuk bukanlah diare. Hanya bayi yang
diberi ASI sering buang air besar, buang air besar yang "pucat" juga bukan
diare.
B. Jenis-jenis Diare
Diare terdiri dari beberapa jenis yang dibagi secara klinis, yaitu :
1. Diare cair akut (termasuk kolera), berlangsung selama beberapa jam atau
hari. mempunyai bahaya utama yaitu dehidrasi dan penurunan berat badan
juga dapat terjadi jika makan tidak dilanjutkan.
2. Diare akut berdarah, yang juga disebut disentri, mempunyai bahaya utama
yaitu kerusakan mukosa usus,sepsis dan gizi buruk, mempunyai komplikasi
seperti dehidrasi.
3. Diare persisten, yang berlangsung selama 14 hari atau lebih, bahaya
utamanya adalah malnutrisi dan infeksi non-usus serius dan dehidrasi.
4. Diare dengan malnutrisi berat (marasmus atau kwashiorkor) mempunyai
bahaya utama adalah infeksi sistemik yang parah, dehidrasi, gagal jantung
dan kekurangan vitamin dan mineral.
C. Etiologi Diare
Tabel 1. Etiologi Diare Akut
Infeksi
1. Enteral
 Bakteri: Shigella sp, E. Coli patogen, Salmonella sp, Vibrio cholera,
Yersinia entreo colytica, Campylobacter jejuni, V. Parahaemoliticus,
VNAG, Staphylococcus aureus, Streptococcus, Klebsiella, Pseudomonas,
Aeromonas, Proteis, dll
 Virus: Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Norwalk like virus,
cytomegalovirus (CMV), echovirus , virus HIV
 Parasit – Protozoa: Entamoeba histolytica, Giardia lamblia,
Cryptosporadium parvum, Balantidium coli.
 Worm: A. Lumbricoides, cacing tambang, Trichuris trichura, S.
Sterocoralis, cestodiasis dll
 Fungus: Kardia/moniliasis
2. Parenteral: Otitits media akut (OMA), pneumonia, Traveler’s diartthea:
E.Coli, Giardia lamblia, Shigella, Entamoeba histolytica, dll
 Intoksikasi makanan: Makanan beracun atau mengandung logam berat,
makanan mengandung bakteri/toksin: Clostridium perfringens, B. Cereus,
S. aureus, Streptococcus anhaemohytivus, dll
 Alergi: susu sapi, makanan tertentu
 Malabsorpsi/maldifesti: karbohidrat: monosakarida (glukosa, galaktosa,
fruktosa), disakarida(laktosa, maltosa, sakarosa), lemak: rantai panjang
trigliserida, protein: asam amino tertentu, celiacsprue gluten
malabsorption, protein intolerance, cows milk, vitamin &mineral

Imunodefisiensi
Terapi obat, antibiotik, kemoterapi, antasid, dll
Tindakan tertentu seperti gastrektomi, gastroenterostomi, dosis tinggi terapi
radiasi
Lain-lain: Sindrom Zollinger-Ellison, neuropati autonomik (neuropatik diabetik)
Tabel 2. Etiologi Diare kronik berdasarkan patofisiologi
Jenis Diare Etiologi
1. Diare osmotik A. Eksogen
1. Makanan cairan yang aktif osmotik, sulit
diabsorbsi seperti katartik sulfat dan fosfat,
antasida, laktulosa dan sorbitol
2. Obat-obatan lain: kolkisin, paraamino asam
salisilac, antibiotika, anti kanker, anti depresan,
anti hipertensi, anti konvulsan, obat penurun
kolesterol, obat diabetes mellitus, diuretika,
theofilin
B. Endogen
1. Kongenital: kelainan malabsorpsi spesifik,
penyakit malabsorpsi umum
2. Didapat: kelainan malabsorpsi spesifik, penyakit
malabsorpsi umum

2. Diare sekretorik A. Infeksi


B. Neoplasma: Gastrinoma, sindrom Zollinger
Ellison, Ca meduler tirois, Adenoma Vilosa, Kolera
pankreatik/vasoaktif intersinal polypeptide (vipoma),
yumor/sindrome karsinoid
C. Hormon & Neurotransmiter:Secretine,
Prostaglandin E, Cholecystokinine, Kolinergik,
Serotonin, Calcitonine, Gastric Inhibitory Polipeptide,
Glukagon, Substansi P
D. Katartik: hidroksi asam empedu (asam dioksilat
dan kenodioksilat) dan hidroksi asam lemak (resinoleat
kastroli)
E. Kolitis mikroskopik (limfositik), kolagen
F. Lain-lain: Dioctyl natrium sulfosuccinaat, diare asam
empedu karena pasca kolesistektomi, reseksi ileum
terminal, alergi makanan, enterokolitis iskemik

3. Malabsorbsi asam A. Maldigesti intraluminal: Sirosis hati, obstruksi


empedu, saluran empedu, pertumbuhan bakteri yang berlebihan
malansorbsi lemak (Bacterial overgrowth), insufisiensi eksokrin pankreas,
insufisiensi endokrin pankreaik kronik, fibrosis kistik,
somatostatinoma
B. Malabsorpsi mukosa: Obat, penyakit infeksi,
penuakit sistem imun (systemic mastocytosis,
gastroenteritis eosinofilik), spru tropik, spru seliak,
dermatitis herpetiformis, penyakit Whipple,
Abetalipoprote inemia
C. Obstruksi pasca mucosa: limflangiektasia
intestinal kongenital atau didapat karena trauma,
limfoma, karsinoma atau penyakit Whipple
D. Campuran: sindrom usus pendek (short bowel),
penyakit metabolik (tirotoksikodid, indufisiensi
adrenal, malnutrisi protein-kalori), enterokolitis radiasi

4. Defek pada sistem A. Infeksi usus


pertukaran B. Kongenital:
anion/transport 1. Diare klorida kongenital
elektrolit aktif di 2. Diare karena kelainan transpor Na+ usus
enterosit

5. Motilias dan waktu Sindrom kolon iritabel (psikogen), hipertiroid, diabates


transit usus melitus dengan polineuropati otonom, skleroderma,
abnormal amiloidosis, pasca reseksi lambung dan vagotomi,
sindrom karsinoid, obat prostigmin

6. Gangguan A. Penyakit seliak


permeabilitas usus B. Penyakit usus inflamatorik
C. Infeksi usus

7. Eksudasi cairan, Kolitis ulseratif, Penyakit Srohn, Amubiasis, Shigelasis,


elektrolit dan Kampilobakteriasis, Yersiniasis, Enterokolitis radiasi,
mukus berlebihan Gandidiasis, TB usus, Kanker usus, Kolitis
pseudomembran
D. Patogenesis
Diare terjadi karena adanya gangguan proses absorpsi dan sekresi cairan serta
elektrolit di dalam saluran cerna. Pada keadaan normal, usus halus akan
mengabsorbsi Na+, Cl-, HCO3-. Timbulnya penurunan dalam absorpsi
dan peningkatan sekresi mengakibatkan cairan berlebihan melebihi kapasitas
kolon dalam mengabsorpsi.Mekanisme ini sangat dipengaruhi oleh faktor
mukosa maupun faktor intra luminal saluran cerna. Faktor mukosa dapat
berupa perubahan dinamik mukosa yaitu adanya peningkatan cell turnover
dan fungsi usus yang belum matang dapat menimbulkan gangguan
absorpsi-sekresi dalam saluran cerna. Penurunan area permukaan mukosa
karena atrofi vilus, jejas pada brush border serta pemotonganusus dapat
menurunkan absorpsi. Selain itu, gangguan pada sistem pencernaan (enzim
spesifik) atau transport berupa defisiensi enzim disakaridase dan enterokinase
serta kerusakan pada ion transport (Na+/H+, Cl-/HCO3-) juga menimbulkan
gangguan absorpsi.Faktor-faktor dalam intraluminal sendiri juga ikut
berpengaruh, seperti peningkatan osmolaritas akibat malabsorpsi (
defisiensi disakaridase) dan bacterial overgrowth. Insufisiensi pankreatik
eksokrin, defisiensi garam empedu dan parasit adalah faktor intra luminal
lain penyebab penurunan absorbsi. Sedangkan peningkatan sekresi
disebabkan oleh toksin bakteri ( toxin cholera, E. coli), mediator inflamasi (
eicosanoids, produk sel mast lain), asam empedu dihidroksi, asam lemak
hidroksi dan obat-obatan.

E. Diagnosis
1. Gejala Klinis
Mula – mula bayi dan anak menjadi cengeng, suhu tubuh biasanya
meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare.
Tinja cair dan mungkin disertai lendir dan atau darah. Pada diare oleh karena
intoleransi, anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan
tinja makin lama makin asam sebagai akibat banyaknya asam laktat yang
berasal dari laktosa yang tidak dapat diabsorbsi usus selama diare.
Gejala muntah dapat terjadi sebelum / sesudah diare dan dapat disebabkan oleh
lembung yang turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam basa
dan elektrolit. Bila penderita telah kehilangan banyak cairan dan elektrolit,
maka gejala dehidrasi mulai tampak, berat badan turun, turgor kulit berkurang,
mata dan ubun – ubun besar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut
serta kulit tampak kering.
Berdasarkan banyak cairan yang hilang dapat dibagi menjadi :
- Dehidrasi ringan
- Dehidrasi sedang
- Dehidrasi berat
Berdasarkan tonisitas plasma dapat dibagi menjadi :
- Dehidrasi hipotonik
- Dehidrasi isotonik
- Dehidrasi hipertonik
Pada dehidrasi berat, volume darah berkurang sehingga dapat terjadi renjatan
hipovolemik dengan gejala – gejala yaitu denyut jantung menjadi cepat, denyut
nadi cepat dan kecil, tekanan darah menurun, penderita menjadi lemah,
kesadaran menurun (apatis, somnolen sampai soporokomatous). Akibat
dehidrasi, diuresis berkurang (oliguria sampai anuria). Bila sudah ada asidosis
metabolik, tampak pucat dengan pernafasan yang cepat dan dalam (pernafasan
Kussmaul).
Asidosis metabolik terjadi karena :
1. Kehilangan NaHCO3 melalui tinja
2. Ketosis kelaparan
3. Produk – produk metabolik yang bersifat asam tidak dapat dikeluarkan
(karena oliguria atau anuria).
4. Berpidahnya ion Na dari cairan ekstrasel ke cairan intrasel
5. Penimbunan asam laktat (anoksia jaringan tubuh).
Dehidrasi hipotonik (dehidrasi hiponetremia) yaitu kadar Na dalam plasma <
130 mEq/l, dehidrasi isotonik (dehidrasi isonatremia) bila kadar Na dalam
plasma 130 – 150 mEq/l, sedangkan dehidrasi hipertonik (hipernatremia) bila
kadar Na dalam plasma > 150 mEq/l.
Menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010 :
1. Tanpa dehidrasi (kehilangan cairan <5% BB)
 Tidak ditemukan tanda utama dan tanda tambahan.
 Keadaan umum baik, sadar
 Ubun-ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata ada,
mukosa mulut dan bibir basah.
 Turgor abdomen baik, bising usus normal
 Akral hangat

2. Dehidrasi ringan sedang /tidak berat (kehilangan cairan 5-10% BB)


 Apabila didapatkan 2 tanda utama ditambah 2 atau lebih tanda
tambahan.
 Keadaan umum gelisah atau cengeng
 Ubun-ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata
kurang, mukosa mulut dan bibir sedikit kering.
 Turgor kurang
 Akral hangat

3. Dehidrasi ringan sedang /tidak berat (kehilangan cairan 5-10% BB)


 Apabila didapatkan 2 tanda utama ditambah 2 atau lebih tanda
tambahan.
 Keadaan umum lemah, letargi atau koma
 Ubun-ubun besar sangat cekung, mata sangat cekung, air mata tidak
ada, mukosa mulut dan bibir sangat kering.
 Turgor sangat kurang dan akral dingin
 Pasien harus rawat inap
2. Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama diare,
frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada/tidak lendir, dan darah.
Bila disertai muntah: volume dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang,
jarang, atau tidak kencing dalam 6-8 jam terakhir. Makanan dan minuman
yang diberikan selama diare. Adakah panas atau penyakit lain yang menyertai
seperti batuk, pilek, otitis media, campak. Tindakan yang telah dilakukan
ibu selama anak diare: member oralit, membawa berobat ke Puskesmas atau
ke Rumah Sakit dan obat-obatan yang diberikan serta riwayat imunisasinya.
3. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi
denyut jantung dan pernafasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu
dicari tanda-tanda utama dehidrasi: kesadara, rasa haus, dan turgor kulit
abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya, seperti ubun-ubun besar cekung
atau tidak, mata cowong atau tidak, ada atau tidak adanya air mata, bibir,
mukosa mulut, dan lidah kering atau basah. Pernafasan yang cepat dan
dalam indikasi adanya asidosis metabolic. Bising usus yang lemah atau
tidak ada bila terdapat hipokalemia.
4. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan tinja
1) Makroskopis dan mikroskopis
2) pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet
elinitest, bila diduga intoleransi gula.
3) Bila perlu lakukan pemeriksaan biakan / uji resistensi.
b. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah dengan
menentukan pH dan cadangan alkali atau lebih tepat lagi dengan
pemeriksaan analisa gas darah menurut ASTRUP (bila memungkinkan).
c. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.
d. Pemeriksaan kadar elektrolit terutama natrium, kalium, kalsium dan
fosfor dalam serum (terutama bila ada kejang).
e. Pemeriksaan intubasi duodenum untuk mengetahui jasad renik atau
parasit secara kualitatif dan kuantitatif, terutama pada penderita diare
kronik.

F. Penatalaksanaan
Departemen Kesehatan mulai melakukan sosialisasi Panduan Tata Laksana
Pengobatan diare pada balita yang baru didukung oleh Ikatan Dokter Anak
Indonesia, dengan merujuk pada panduan WHO. Tata laksana ini sudah
mulai diterapkan di rumah sakit- rumah sakit. Rehidrasi bukan satu-
satunya strategi dalam penatalaksanaan diare. Memperbaiki kondisi usus
dan menghentikan diare juga menjadi cara untuk mengobati pasien. Untuk
itu, Departemen Kesehatan menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi
semua kasus diare yang diderita anak balita baik yang dirawat di rumah
maupun sedang dirawat di rumah sakit, yaitu:

1. Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru


2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
3. ASI dan makanan tetap diteruskan
4. Antibiotik selektif
5. Nasihat kepada orang tua

1. Rehidrasi dengan oralit baru


Berikan segera bila anak diare, untuk mencegah dan mengatasi
dehidrasi. Oralit formula lama dikembangkan dari kejadian luar biasa
diare di Asia Selatan yang terutama disebabkan karena disentri, yang
menyebabkan berkurangnya lebih banyak elektrolit tubuh, terutama
natrium. Sedangkan diare yang lebih banyak terjadi akhir-akhir ini
dengan tingkat sanitasi yang lebih banyak terjadi akhir-akhir ini dengan
tingkat sanitasi yang lebih baik adalah disebakan oleh karena virus.
Diare karena virus tersebut tidak menyebakan kekurangan
elektrolit seberat pada disentri. Karena itu, para ahli diare
mengembangkan formula baru oralit dengan tingkat osmolaritas yang
lebih rendah. Osmolaritas larutan baru lebih mendekati osmolaritas
plasma,sehingga kurang menyebabkan risiko terjadinya hipernatremia.
2. Oralit
Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah. Keamanan
oralit ini sama dengan oralit yang selama ini digunakan, namun
efektivitasnya lebih baik daripada oralit formula lama. Oralit baru
dengan low osmolaritas ini juga menurunkan kebutuhan suplementasi
intravena dan mampu mengurangi pengeluaran tinja hingga 20% serta
mengurangi kejadian muntah hingga 30%.Selain itu, oralit baru ini
juga telah direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF untuk diare akut
non-kolera pada anak.

Ketentuan pemberian oralit formula baru

a) Beri ibu 2 bungkus oralit formula baru


b) Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 liter air matang
untukpersediaan 24 jam
c) Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar, dengan
d) ketentuan:
Untuk anak berumur < 2 tahun: berikan 50-100 ml tiap kali BAB
Untuk anak 2 tahun atau lebih: berikan 100-200ml tiap BAB
e) Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa, maka
sisa larutan harus dibuang.
3. Zinc diberikan selama 10 hari berturur-turut
Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat
mengembalikan nafsu makan anak. Penggunaan zinc ini memang
popular beberapa tahun terakhir karena memilik evidence based yang
bagus. Beberapa penelitian telah membuktikannya.Pemberian zinc yang
dilakukan di awal masa diare selam 10 hari ke depan secara signifikan
menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien. Lebih lanjut, ditemukan
bahwa pemberian zinc pada pasien anak penderita kolera dapat
menurunkan durasi dan jumlah tinja/cairan yang dikeluarkan. Zinc
termasuk mikronutrien yang mutlak dibutuhkan untuk memelihara
kehidupan yang optimal. Meski dalam jumlah yang sangat kecil, dari
segi fisiologis, zinc berperan untuk pertumbuhan dan pembelahan sel,
anti oksidan, perkembangan seksual, kekebalan seluler, adaptasi gelap,
pengecapan, serta nafsu makan. Zinc juga berperan dalam system
kekebalan tubuh dan meripakan mediator potensial pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatan
diare akut didasarkan pada efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap
struktur dan fungsi saluran cerna dan terhadap proses perbaikan epitel
saluran cerna selama diare. Pemberian zinc pada diare dapat
meningkatkan absorpsi air dan elektrolit oleh usus halus,meningkatkan
kecepatan regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush border
apical, dan meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan
pathogen dari usus. Pengobatan dengan zinc cocok diterapkan di negara-
negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki banyak masalah
terjadinya kekurangan zinc di dalam tubuh karena tingkat
kesejahteraan yang rendah dan daya imunitas yang kurang memadai.
Pemberian zinc dapat menurunkan frekuensi dan volume buang air besar
sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak.
Dosis zinc untuk anak-anak Anak di bawah umur 6 bulan : 10mg
(½ tablet) per hari Anak di atas umur 6 bulan : 20 mg (1 tablet) per hari
Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah
sembuh dari diare. Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air
matang ASI atau oralit, Untuk anak-anak yang lebih besar, zinc dapat
dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit.

Group RDA Zinc

Bayi 4-5 mg

Anak usia 1-3 tahun 3 mg

Anak usia 4-8 tahun 4-5 mg

Wanita yang tidak hamil 8-9 mg

Wanita hamil dan menyusui 9-13mg

Pria 13-19mg

4. ASI dan makanan tetap diteruskan


Pada waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta
pengganti nutrisis yang hilang. Pada diare berdarah nafsu makan akan
berkurang. Adanya perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan.
5. Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare
berdarah atau kolera. Pemberian antibiotic yang tidak rasional justru
akan memperpanjang lamanya diare karena akan megganggu
keseimbangan flora usus dan Clostridiumdifficile yang akan tumbuh dan
menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu,pemberian antibiotic
yang tidak rasional akan mempercepat resistensi kuman terhadap
antibiotic, serta menambah biaya pengobatan yang tidak perlu. Pada
penelitian multiple ditemukan bahwa telah terjadi peningkatan resistensi
terhadap antibiotic yang sering dipakai seperti ampisilin, tetrasiklin,
kloramfenikol, dan trimetoprim sulfametoksazole dalam 15 tahun ini.
Resistensi terhadap antibiotik terjadi melalui mekanisme berikut
inaktivasi obat melalui degradasi enzimatik oleh bakteri, perubahan
struktur bakteri yang menjadi target antibiotik dan perubahan
permeabilitas membran terhadap antibiotik.
6. Nasihat pada ibu atau pengasuh:
Kembali segera jika demam, tinja berdarah, berulang, makan atau
minum sedikit, sangat halus, diare makin sering, atau belum membaik
dalam 3 hari.
7. Terapi medikamentosa
Berbagai macam obat telah digunakan untuk pengobatan diare, seperti
antibiotika, antidiare, adsorben, antiemetic, dan obat yang
mempengaruhi mikroflora usus. Beberapa obat mempunyai lebih dari satu
mekanisme kerja, banyak diantaranya mempunyai efek toksik sistemik dan
sebagian besar tidak direkomendasikan untuk anak umur kurang dari 2-3
tahun. Secara umum,, dikatakan bahwa obat-obat tersebut tidak
diperlukan untuk pengobatan diare akut.
Antibiotik
Antibiotika pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut
oleh karena sebagian besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya
self-limited dan tidak dapat dibunuh dengan antibiotika. Hanya sebagian
kecil (10-20%) yang disebabkan oleh bakteri pathogen sepertiV. cholera,
Shigella, Enterotoksigenik E. coli, Salmonella, Campylobacter,dan
sebagainya.
II. DEMAM TIFOID
A. Definisi Demam Tifoid
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik bersifat akut
yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid ditandai dengan
panas berkepanjangan yang diikuti dengan bakteremia dan invasi bakteri
Salmonella typhi sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear
dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan peyer’s patch.

B. Patogenesis Demam Tifoid


Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke
dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi.
Sebagian kuman dimusnahkan di dalam lambung, sebagian lolos ke dalam
usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral
mukosa (Ig A) usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel
epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman akan
berkembang biak dan di fagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plak Payeri ileum distal dan kemudian kelenjar
getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui ductus torasikus kuman
yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-
organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke sirkulasi
darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya disertai tanda-
tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Kuman dapat masuk ke empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu disekresikan secara intermiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan lewat feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, karena makrofag yang telah teraktivasi hiperaktif, maka saat
fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
gangguan vaskular mental, dan koagulasi.
Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar plak peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan
akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernafasan, dan gangguan organ lainnya.

C. Manifestasi Klinis Demam Typhoid


Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-
gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat,
dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi
hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini serupa dengan gejala
penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, rasa tidak nyaman di perut,
batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya ditemukan suhu tubuh
meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan – lahan terutama saat
sore sampai malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih
jelas berupa demam, bradikardia relatif, lidah tifoid, hepatomegali,
splenomegali, meteroismus, dan gangguan mental.

D. Pemeriksaan Laboratorium
1. Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman
S.Typhi. Pada uji widal terjadi reaksi aglutinasi antigen kuman S.Typhi
dan antibodi yang disebut aglutinin. Maksud uji widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita suspek demam
tifoid yaitu Aglutinin O dari tubuh kuman dan Aglutinin H dari flagel
kuman.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama
demam, kemudian meningkat dan secara cepat mencapai puncak pada
minggu ke 4, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada orang
yang sudah sembuh aglutinin O masih dapat dijumpai setelah 4-6 bulan,
sedangkan aglutinin H menetap antara 9-12 bulan.
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin
yang bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering
dipakai hanya kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini
bahkan berbeda di berbagai laboratorium setempat.
2. Uji Typhoidot
Uji typhoidot mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada
protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhoidot
didapatkan pada hari ke 2-3 setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi
secara spesifik.
Didapatkan sensitivitas uji sebesar 98% dan spesifitas sebesar
76,6% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan (2002).
IgG dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga pemeriksaan IgG saja
tidak direkomendasikan.
3. Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid akan
tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin
disebabkan oleh beberapa hal seperti berikut : telah mendapa terapi
antibiotik, volume darah sampel yang kurang, riwayat vaksinasi dan
waktu pengambilan darah setelah minggu pertama pada saat aglutinin
semakin meningkat.
E. Tatalaksana
Kloramfenikaol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan
penderita demam tifoid. Dosis yang digunakan adalah 50-100 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10-14 hari atau 5-7 hari setelah
demam turun, sedangkan pada kondisi malnutrisi atau penyakit lain, dapat
diperpanjang sampai 21 hari.
Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, stupor, koma, syok,
pemberian deksametason intravena (3 mg/kgBB diberikan dalam 30 menit
untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kgBB tiap 6 jam sampai 48 jam) dapat
menurunkan angka mortalitas dari 35-55% menjadi 10%.
Ampisilin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang jika
dibandingkan dengan kloramfenikol. Amoksisilin dapat memberikan hasil
yang setara dengan kloramfenikol meskipun penurunan demam terjadi lebih
lama. Kombinasi trimethoprim sulfametoksazol memberikan hasil yang
kurang baik dibanding kloramfenikol.

F. Komplikasi
1. Komplikasi intestinal
a) Perdarahan intestinal
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk luka
berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka
menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi
perdarahan
b) Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat dan
biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada
minggu pertama.
2. Komplikasi ekstraintestinal
a. Komplikasi hematologi
Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, peningkatan
prothrombin time sampai koagulasi intravaskuler disseminata
(KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien demam tifoid.
Trombositopenia saja sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi
karena turunnya produksi trombosit di sumsum tulang belakang
selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di
sistem retikuloendotelial.
b. Hepatitis tifosa
Pada hepatitis tifosa, kenaikan enzim transaminase tidak
relevan dengan kenaikan jumlah bilirubin serum. Hepatitis tifosa
dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dna sistem imun yang
kurang.
c) Pankreatitis tifosa
Pankreatitis dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi,
virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologik.
d) Miokarditis
Pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala
kardiovaskuler atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung,
aritmia, sampai syok kardiogenik. Biasanya ditemukan pada pasien
yang sakit berat pada infeksi akut.
BAB IV
PEMBAHASAN

No. Indikator Penerapan pada Kasus Teori Pembahasan


1. Diagnosis Diare Akut Dehidrasi Diare Akut Pada kasus ini tidak didapatkan
Ringan Sedang Tanpa adanya tanda-tanda dehidrasi seperti
Dehidrasi mata cekung, mata kering, mukosa
mulut dan bibir kering, rasa haus,
turgor abdomen menurun, BAK
jarang, dan akral dingin.
2. Pemeriksaan - Feses Rutin Pada diare akut untuk mengetahui
Penunjang penyebab diare tersebut harus
dilakukan pemeriksaan feses rutin
secara makroskopis dan mikroskopis
3. Pemeriksaan Lab darah rutin, uji IgM Sensitivitas dan spesifisitas uji Widal
Penunjang Widal Salmonella lebih rendah dibandingkan dengan uji
Laboratorium IgM Salmonella yang angka
sensitivitasnya mencapai 98%. Uji
Widal juga dapat menetap selama 4-6
bulan pasca sembuh untuk aglutinin
O & 9-12 bulan untuk aglutinin H
pada pasien yang pernah terinfeksi
bakteri S.typhi
4. Tatalaksana Ceftriaxone Kloramfenik Kloramfenikol merupakan lini
ol pertama pada demam tifoid. Namun
karena efek samping dari obat
kloramfenikol yang cukup serius
yaitu anemia aplastic & penekanan
sumsum tulang belakang jika
digunakan dalam jangka waktu
cukup lama maka terapi yang dipilih
adalah ceftriaxone yang memiliki
efek samping yang lebih ringan.
DAFTAR ISI

1. M.K. Bhan, D. Mahalanabis, N.F. Pierce, N. Rollins, D. Sack, M. Santosham.


2005. The Treatment of Diarrhoea A manual for physicians and other senior
healthworkers.Web Site :http://whqlibdoc.who.int/publications /2005/ 9241
593180.pdf
2. Hery Garna, Emelia Suroto, Hamzah, Heda Melinda D Nataprawira, Dwi
Prasetyo. 2005. Diare Akut Dalam: Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak Edisi Ke-3. Bandung: Bagian /SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK Universitas Padjajaran/ RSUP HASAN SADIKIN BANDUNG. Hal. 271-
278
3. Anonymus: 2009. Dehidrasi. Web site: http://id.wikipedia.org/wiki/Dehidrasi
(25 September 2009)
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1999. Buku Ajar Diare. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Hal. 81,154.
5. Translametion of “Evidence for the Safety and Efficacy of
ZincSupplementation in the Management of Diarrhea- oliverfontaine- Dept.
of Child and Adolescent Health and Development. Sari Pediatri Vol.10 No 1
Suplemen, juni 2008 distributed during KONIKA 2008 Surabaya, Indonesia
6. Departemen Kesehatan RI. Panduan Sosialisasi Tatalaksana Diare Pada
Balita.2011. Jakarta : Depkes RI
7. Subagyo B. Nurtjahjo NB. Diare Akut, Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY,
Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. 2011. Buku ajar
Gastroentero-hepatologi:jilid 1. Jakarta : UKK Gastroenterohepatologi
IDAI; 87-120
8. Soenarto Y. Diare kronis dan diare persisten. Dalam: Juffrie M, Soenarto
SSY, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. 2011. Buku
ajar Gastroentero-hepatologi:jilid 1. Jakarta : UKK Gastroenterohepatologi
IDAI; 121-136
9. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006. Pedoman Diagnosis dan
Terapi. Surabaya.
10. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Badan Penerbit IDAI : Jakarta
11. Soedarmo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis; Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia
12. Setiati, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; Internal Publishing

Anda mungkin juga menyukai