OS Pterigium Grade IV
Diajukan Kepada :
Pembimbing :
dr. Raharjo K, SpM
Disusun Oleh :
Sri Sugianti H2A014045
Laporan Kasus
OS Pterigium Grade IV
Disusun Oleh:
Sri Sugianti
H2A014045
Nama pembimbing
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Umur : 51 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Gemolong, Sragen
Pekerjaan : Petani
Tanggal Pemeriksaan : 23 Oktober 2019
Tempat Pemeriksaan : Poli Mata
B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada 23 oktober 2019 jam
17.00 WIB di Poli mata RSU PKU muhammadiyah delanggu.
1. Keluhan Utama: Mata kanan terdapat selaput
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Seorang perempuan usia 51 tahun datang ke Poli Mata RSU PKU
Delanggu dengan keluhan mata kanan terdapat selaput. Pasien merasa
tidak nyaman karena mengganjal. keluhan dirasakan lebih kurang 2 tahun
yang lalu. Pasien merasa ada selaput yang menutupi mata kanannya.
Awalnya selaput dilihat sedikit semakin hari semakin menjalar ke tengah.
Pasien terkadang merasa gatal, dan mata berair saat bepergian dan terkena
angin. Keluhan seperti nyeri, silau, dan penurunan penglihatan disangkal.
Pasien hanya merasa ada kabut saat melihat. Pasien sering menggunakan
obat tetes mata dari apotik saat mata terasa gatal
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 23 Oktober 2019 pukul 18.00 WIB
di Poli mata RSU PKU Muhammadiyah Delanggu.
1. Status Generalis:
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
D. Diagnosis Banding
1. OD Pterigium Grade IV
2. OD Pinguecula
3. OD Pseudopterigium
E. Diagnosis Klinis
OD Pterigium Grade IV
OS Pterigium Grade II
F. Penatalaksanaan
1. Terapi Medikamentosa
a. R/ cendo lyteers ed fl no.I
S 3 dd gtt 1 OD
b. R/ cendo xytrol ed fl no.I
S 3 dd gtt 1 OD
2. Terapi Non Medikamentosa
Pro ekstirpasi pterigium OD
3. Edukasi
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakitnya meliputi
pengertian, penyebab, faktor resiko, pengobatan, resiko pengobatan
dan resiko apabila tidak diberi tindakan
Menjelaskan kepada pasien Jika pasien merasa sudah terganggu
pandangan matanya, bisa diberikan edukasi untuk dilakukan operasi.
G. Prognosis (OD)
b. Membran Bowman
-
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal
dari bagian depan stroma.
-
Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.2
c. Stroma
-
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang
di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali
serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai
15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan
fibroblas terletak di antara seratkolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan
embrio atau sesudah trauma.2
-
d. Membrane descement
-
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan selendotel dan merupakan membran basalnya.
-
Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup,
mempunyai tebal 40µm.2
e. Endotel
-
Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-
40µm. endotel melekat pada membrane descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden.2
2. PTERIGIUM
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Menurut Hamurwono, pterigium merupakan konjungtiva
bulbi patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga
yang tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea. Pterigium
berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap.1,6
Gambar 2. Pterigium; jaringan fibrovaskular konjungtiva berbentuk segitiga
dengan puncak di kornea
Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni
radiasi UV matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor
herediter. 3,7
a. Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata
dan topi mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet
diabsorbsi kornea dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan
proliferasi sel.3,7
b. Faktor Genetik
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan. 3,7
c. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan
terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis
dari pterigium. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan
partikel tertentu, dry eyes, dan virus papiloma juga diduga sebagai penyebab
dari pterigium.3,7
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering
terjadi pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang
paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering,
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan
lokal dari kornea dan konjungtiva pada fisura interpalpebralis disebabkan oleh
karena kelainan tear film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru
merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim
kering mendukung teori ini.6,7
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal
basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta overproduksi
dan menimbulkan kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibroveskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi
jaringan granulasi vaskular di bawah epitelium yang akhirnya menembus kornea
terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular,
sering dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang
terjadi displasia.7,8
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal ada pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi
kronis, kerusakan membran basement, dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda
ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan
bahwa perigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized
interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi
kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.8,9
Pemisahan fibroblas dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan
fenotif, pertumbuhan banyak lebih baik pada media yang mengandung serum
dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblas konjungtiva normal.
Lapisan fibroblas pada bagian pterigium menunjukkan proliferasi sel yang
berlebihan. Pada fibroblas pterigium menunjukkan matrix metalloproteinase, di
mana matrix tersebut adalah matrix ekstraseluler yang berfungsi untuk jaringan
yang rusak, penyenbuhan luka, mengubah bentuk dan fibroblas pterigium bereaksi
terhadap TGF-β (transforming growth factor-β) berbeda dengan jaringan
konjungtiva normal, bFGF (basic fibroblast growth factor) yang berlebihan, TNF-
α (tumor necrosis factor-α) dan IGF II. Hal ini menjelaskan bahwa pterigium
cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi fibrovaskular dan
inflamasi.8,9
Dengan menggunakan anterior segmen fluorescein agiografi ditemukan
peningkatan area nonperfusi dan penambahan pembuluh darah di nasal limbus
selama fase awal pterigium. Sirkulasi CD 4+ MNCs dan c-kit+ MNCs meningkat
pada pterigium dibanding dengan konjungtiva normal. Sitokin lokal dan sistemik,
SP (substance P), VEGF (Vascular endothelial growth Factor) dan SCF (Stem
Cell Factor) pada pterigium meningkat, berhubungan dengan CD 34+ dan C kit+
MNC. Hal ini menunjukkan pada pterigium terlibat pertumbuhan EPCs
(Endothelial Progenitor Cells) dan hipoksia okular yang merupakan faktor
pencetus neovaskularisasi dengan mengambil EPCs yang berasal dari sumsum
tulang melalui produksi sitokin lokal dan sistemik.7,8
Secara histopatologi dengan menggunakan mikroskop elektron
menunjukkan proliferasi fibrotik yang menyimpang di bawah epitel pterigium,
dengan epitel meluas ke stroma. Pemisahan sel-sel epitel pterigium menunjukkan
epitel dikelilingi sel-sel fibroblas yang aktif, karakteristik dari E-cadherin,
penumpukan β-catenin di intranuklear dan limphoid factor-1 meningkat pada
epitel pterigium. Sel epitel meluas ke stroma pada α-SMA/ vimentin dan
cytokeratin 14. Kesimpulannya bahwa epitel mesencymal transition terlibat dalam
patogenesis pterigium. β-catenin meningkat pada pterigium dan PFC (pterigial
fibroblast) dibandingkan pada konjungtiva normal. β-catenin berperan penting
dalam patogenesis pterigium.10,11
3. DIAGNOSIS PTERIGIUM
1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data
administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk
mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok
usia 20-30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat
perlu ditanyakan untuk mengetahui kecenderungan pasien terpapar sinar
matahari.3
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan
berupa mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan
astigmatisma yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus
berat dapat menimbulkan diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya
sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau
alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang
mengganjal.1,3
2. Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul
sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea
pada daerah fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian
epitel kornea anterior dari kepala pterigium (stoker’s line). Kira-kira 90%
pterigium terletak di daerah nasal. Perluasan pterigium dapat sampai medial
dan lateral limbus sehingga menutupi visual axis, menyebabkan penglihatan
kabur. Gangguan penglihatan terjadi ketika pterigium mencapai pupil atau
menyebabkan kornea astigmatisme pada tahap regresif.
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap.
Bagian segitiga yang meninggu pada pterigium dengan dasarnya ke arah
limbus disebut body, bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang
disebut cap. Subepitelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan
membentuk batas pinggir pterigium.1,3,5,7
Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan
derajat atau klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi
menjadi beberapa kelompok yaitu:
a. Berdasarkan perjalanan penyakit
1). Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
bentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
b. Berdasarkan luas pterigium
1). Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea
2). Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm
melewati kornea
3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir
pupil mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal
sekitar 3-4 mm)
4). Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan8
Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea.
Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima
secara universal karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari
teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk
perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung
pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk
epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari
permukaan kornea.1
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan
sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan
89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.1
1. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi
40 persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan
pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal,
dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut.
Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan
pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft
konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi
akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari Australia
merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium
dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.1
2. Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan
membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah
menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk
menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya,
tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6
persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen
untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama
autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran
Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal
menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi
terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu
cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya.
Lemfibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.1
Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus
menjadi masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah
dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan
bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini,
namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan
iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum
ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative
MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat
tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang
menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.1
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan,
karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium,
meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia.
Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis
dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk
tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.1