Anda di halaman 1dari 25

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. KEJANG DEMAM
1. DEFINISI
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi.
Suhu badan yang tinggi ini disebabkan oleh kelainan ekstrakranial.(1) Kejang
demam dapat juga didefinisikan sebagai kejang yang disertai demam tanpa bukti
adanya infeksi intrakranial, kelainan intrakranial, kelainan metabolik, toksin atau
endotoksin seperti neurotoksin Shigella.(7) Kejang demam pertama kali pada anak
biasanya dihubungkan dengan suhu yang lebih dari 38ºC, usia anak kurang dari 6
tahun, tidak ada bukti infeksi SSP maupun ganguan metabolic sistemik akut.(3)
Pada umumnya kejang demam terjadi pada rentang waktu 24 jam dari
awal mulai demam(1). Pada saat kejang anak kehilangan kesadarannya dan kejang
dapat bersifat fokal atau parsial yaitu hanya melibatkan satu sisi tubuh, maupun
kejang umum di mana seluruh anggota gerak terlibat. Bentuk kejang dapat berupa
klonik, tonik, maupun tonik-klonik. Kejang dapat berlangsung selama 1-2 menit
tapi juga dapat berlangsung lebih dari 15 menit (1,8).
2. EPIDEMIOLOGI
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang terjadi pada 2-4 %
populasi anak berusia 6 bulan-5 tahun dan 1/3 dari populasi ini akan mengalami
kejang berulang (4). Kejang demam dua kali lebih sering terjadi pada anak laki-laki
dibandingkan dengan anak perempuan (1).
3. ETIOLOGI
Etiologi dan patogenesis kejang demam sampai saat ini belum diketahui,
akan tetapi umur anak, tingginya dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi
terjadinya kejang (1). Faktor hereditas juga mempunyai peranan yaitu 8-22 % anak
yang mengalami kejang demam memiliki orangtua yang memiliki riwayat kejang
demam pada masa kecilnya (1).

1
Kejang demam biasanya diawali dengan infeksi virus atau bakteri.
Penyakit yang paling sering dijumpai menyertai kejang demam adalah penyakit
infeksi saluran pernapasan, otitis media, dan gastroenteritis (6).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. dr. Lumantobing
pada 297 anak penderita kejang demam, infeksi yang paling sering menyebabkan
demam yang akhirnya memicu serangan kejang demam adalah tonsillitis/faringitis
yaitu 34 %. Selanjutnya adalah otitis media akut (31 %) dan gastroenteritis (27%)
(1)
.
4. PATOFISIOLOGI (1,5)
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah
oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh natrium (Na+). Akibatnya
konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah. Keadaan
sebaliknya terjadi di luar sel neuron. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion
di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial
membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini
diperlukan energi yang berasal dari glukosa yang melalui proses oksidasi oleh
oksigen.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10%-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebanyak
20%. Akibatnya terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel otak dan
dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium dan ion natrium melalui
membran, sehingga terjadi lepasnya muatan listrik. Lepasnya muatan listrik yang
cukup besar dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel di dekatnya dengan
bantuan neurotransmiter dan menyebabkan terjadinya kejang.
Setiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda tergantung dari tinggi
rendahnya ambang kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu
tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang dapat terjadi pada
suhu 38oC, sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi kejang baru dapat
terjadi pada suhu 40oC atau lebih.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya.
Tetapi pada kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnoe

2
sehingga kebutuhan oksigen untuk otak meningkat dan menyebabkan terjadinya
kerusakan sel neuron otak yang berdampak pada terjadinya kelainan neurologis.
5. MANIFESTASI KLINIS
Kejang demam dapat dimulai dengan kontraksi yang tiba-tiba pada otot
kedua sisi tubuh anak. Kontraksi pada umumnya terjadi pada otot wajah, badan,
tangan dan kaki. Anak dapat menangis atau merintih akibat kekuatan kontraksi
otot. Kontraksi dapat berlangsung selama beberapa detik atau beberapa menit.
Anak akan jatuh apabila sedang dalam keadaan berdiri, dan dapat mengeluarkan
urin tanpa dikehendakinya (1).
Anak dapat muntah atau menggigit lidahnya. Sebagian anak tidak
bernapas dan dapat menunjukkan gejala sianosis (1).
Pada akhirnya kontraksi berhenti dan digantikan oleh relaksasi yang
singkat. Kemudian tubuh anak mulai menghentak-hentak secara ritmis (pada
kejang klonik), maupun kaku (pada kejang tonik). Pada saat ini anak kehilangan
kesadarannya dan tidak dapat merespon terhadap lingkungan sekitarnya (8).
6. KLASIFIKASI
Klasifikasi kejang demam menurut Livingstone (1)
A. Kejang Demam Sederhana:
1. Kejang bersifat umum
2. Lamanya kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)
3. Usia saat kejang demam pertama muncul kurang dari 6 tahun
4. Frekuensi serangan 1-4 kali dalam 1 tahun
5. Pemeriksaan EEG normal

B. Epilepsi yang Dicetuskan oleh Demam:


1. Kejang berlangsung lama atau bersifat fokal
2. Usia penderita lebih dari 6 tahun saat serangan kejang demam yang
pertama
3. Frekuensi serangan kejang melebihi 4 kali dalam 1 tahun
4. Pemeriksaan EEG yang dibuat setelah anak tidak demam lagi hasilnya
abnormal

3
Sedangkan menurut Fukuyama kejang demam dibagi menjadi (1):
A. Kejang Demam Sederhana:
1. Riwayat penyakit keluarga penderita tidak ada yang mengidap epilepsi
2. Sebelumnya tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun
3. Serangan kejang demam yang pertama terjadi antara usia 6 bulan-6
tahun
4. Lamanya kejang berlangsung tidak lebih dari 20 menit
5. Kejang tidak bersifat fokal
6. Tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas pasca kejang
7. Sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologis atau
abnormalitas perkembangan
8. Kejang tidak berulang dalam waktu singkat
B. Kejang Demam Kompleks
Kejang demam yang tidak memenuhi kriteria di atas digolongkan sebagai
kejang demam kompleks
Sekitar 80-90 % dari keseluruhan kasus kejang demam adalah kejang demam
sederhana (1).
1. Kejang demam sederhana
- Kejang berlangsung singkat < 15 menit
- Kejang umum tonik dan atau klonik
- Akan berhenti sendiri
- Tanpa gangguan fokal atau berulang dalam waktu 24 jam
2. Kejang demam kompleks
- Kejang lama > 15 menit
- Kejang fokal atau parsial 1 sisi (kejang umum didahului kejang
parsial)
- Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
7. DIAGNOSIS
Diagnosis kejang demam hanya dapat ditegakkan dengan menyingkirkan
penyakit-penyakit lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi
susunan saraf pusat, perubahan akut pada keseimbangan homeostasis air dan

4
elektrolit, dan adanya lesi struktural pada sistem saraf misalnya epilepsy(4).
Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini.
Anamnesis (5)
1. Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis
meningitis encephalitis)
2. Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)
3. Riwayat demam (sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap
atau naik turun)
4. Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (infeksi saluran
napas, otitis media, gastroenteritis)
5. Waktu terjadinya kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan
kejang
6. Sifat kejang (fokal atau umum)
7. Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)
8. Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai
demam atau epilepsi)
9. Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
10. Trauma
Pemeriksaan Fisik (5)
1. Temperature tubuh
2. Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya
demam (infeksi saluran napas, otitis media, gastroenteritis)
3. Pemeriksaan reflex patologis
4. Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis
meningitis, encephalitis)
Pemeriksaan Penunjang (5,6)
1. Pemeriksaan elektrolit, pemeriksaan fungsi hati dan ginjal untuk
menyingkirkan gangguan metabolisme yang menyebabkan perubahan
homeostasis apabila pada anamnesis ditemukan riwayat muntah, diare,
gangguan asupan cairan, dan gejala dehidrasi.

5
2. Pemeriksaan Cerebro Spinal Fluid (CSF) untuk menyingkirkan diagnosis
meningitis encephalitis apabila anak berusia kurang dari 12 bulan,
memiliki tanda rangsang meningeal positif, dan masih mengalami kejang
beberapa hari setelah demam
3. CT Scan cranium pada umumnya tidak diperlukan pada kejang demam
sederhana yang terjadi pertama kali, akan tetapi dapat dipertimbangkan
pada pasien yang mengalami kejang demam kompleks untuk menentukan
jenis kelainan struktural berupa kompleks tunggal atau multipel.
4. EEG pada kejang demam tidak dapat mengindentifikasi kelainan yang
spesifik maupun memprediksikan terjadinya kejang yang berulang, tapi
dapat dipertimbangkan pada kejang demam kompleks.

8. TATALAKSANA (1,10)
A. Antipiretik dan Antibiotik
Antipiretik diberikan sebagai pengobatan simptomatis terhadap demam. Dapat
diberikan paracetamol dengan dosis untuk anak yang dianjurkan 10-15
mg/kgBB/hari tiap 4-6 jam atau ibuprofen 5-10 mg/kgBB/hari tiap 4-6 jam.
Antibiotik untuk mengatasi infeksi yang menjadi etiologi dasar demam yang
terjadi.

B. Penanganan Kejang pada Neonatus


Hal pertama yang harus diperhatikan adalah tersumbat atau tidaknya jalan
napas. Selanjutnya dilakukan pemberian oksigen, dan menghentikan kejang
dengan cara:

6
KEJANG
30 menit Luminal IM 20 mg/kg/BB dalam 5 menit

KEJANG (+)
Ulangi luminal IM 10 mg/kg/BB.
Dapat diulangi lagi jarak 30 menit
bila masih kejang.
KEJANG (+)
Fenitoin bolus IV 20 mg/kgBB
dalam 15 ml NaCl, berikan dalam 30
menit (kecepatan 0.5-1
mg/kgBB/menit)
KEJANG (-)
Bila kejang berulang dalam 2 hari, berikan luminal 5 mg/kg/hari per oral sampai
bebas kejang 7 hari. Bila kejang berulang setelah bebas kejang 2 hari, ulangi
pemberian luminal dari awal.
C. Penanganan Kejang pada Anak
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah tersumbat atau tidaknya jalan
napas. Selanjutnya dilakukan pemberian oksigen, dan menghentikan kejang
dengan cara:

7
KEJANG
5 menit Diazepam rectal 0.3-0.5 mg/kgBB atau:
Berat badan ≤ 10 kg: 5 mg
Berat badan > 10 kg: 10 mg
KEJANG (+)
Ulangi diazepam rektal sepertisebelumnya.

DI RS
Cari akses vena
Periksa laboratorium (darah tepi, Na, Ca, Mg, Ureum, Kreatinin)

KEJANG (+)
Diazepam IV dosis 0.3-0.5 mg/kgBB
(kecepatan 0.5-1 mg/menit)

KEJANG (-) KEJANG (+)


Berikan terapi rumatan bila Fenitoin bolus IV 10-20
penyebab kejang diperkirakan mg/kgBB (dengan kecepatan
0.5-1 mg/menit)
infeksi intrakranial. Berikan
fenobarbital 8-10 mg/kgBB/hari,
dibagi 2 dosis. Selama 2 hari
selanjutnya 4-5 mg/kgBB/hari
sampai resiko kejang tidak ada.
KEJANG (+) KEJANG (-)

Transfer ke Rumatan fenitoin IV 10-15


ICU atau mg/kgBB/hari 12 jam
diazepam drip kemudian
5-7mg/kgbb

8
Koreksi Hipokalemia (FCCS)

Kadar K Koreksi
3-3,5 KCL per oral 75 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis (1-3mEq.kg.hari)
mEq/L atau 0,25 mEq/kg IV KCL dalam 1 jam
2,5-3 0,5 mEq/kg IV KCL dalam 2 jam (rogers: dalam 1 jam)
mEq/L
<2,5 mEq/L 0,75 mg/kg IV KCL dalam 3 jam

9. PROGNOSIS
Penelitian yang dilakukan Tsunoda mendapatkan bahwa dari 188 penderita
kejang demam yang diikutinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun dan tanpa
pengobatan dengan antikonvulsan, 97 penderita mengalami kekambuhan (1).
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. dr. Lumantobing, dari
83 penderita kejang demam yang dapat diikuti selama rata-rata 21.8 bulan
(berkisar dari 6 bulan-3.5 tahun) dan tidak mendapatkan pengobatan
antikonvulsan rumatan, kejang demam kambuh pada 27 penderita (1).
Secara umum dapat dikatakan bahwa sekitar 1/3 penderita kejang demam
akan mengalami kekakmbuhan 1 kali atau lebih. Kemungkinan kambuh lebih
besar bila kejang demam pertama pada usia kurang dari 1 tahun. 3/4 dari
kekambuhan ini terjadi dalam kurun waktu 1 tahun setelah kejang demam
pertama, dan 90 % dalam kurun waktu 2 tahun setelah kejang demam pertama. 1/2
dari penderita yang mengalami kekambuhan akan mengalami kekambuhan lagi.
Pada sebagian terbesar penderita kambuh terbatas pada 2-3 kali. Hanya sekitar 10
% kejang demam yang akan mengalami lebih dari 3 kali kekambuhan (1,9).
Anak yang mengalami kejang demam pertama pada usia sebelum 1 tahun
kemungkinan kekambuhan ialah 50 %, dan bila berusia lebih dari 1 tahun
kemungkinan kekambuhannya 28 % (1).
Kejang demam sederhana pada umumnya tidak menyebabkan kerusakan
otak yang permanen dan tidak menyebabkan terjadinya penyakit epilepsi pada
kehidupan dewasa anak tersebut. Sedangkan pada anak-anak yang memiliki

9
riwayat kejang demam kompleks, riwayat penyakit keluarga dengan kejang yang
tidak didahului dengan demam, dan memiliki riwayat gangguan neurologis
maupun keterlambatan pertumbuhan, memiliki resiko tinggi untuk menderita
epilepsi pada kehidupan dewasa mereka (1).

B. MORBILI

1. Definisi
Morbili atau dengan Campak, Measles, Rubeola merupakan penyakit akut
yang sangat menular, disebabkan oleh infeksi virus yang pada umumnya
menyerang anak. Virus campak dapat menyebabkan penyakit akut pada anak yang
dimulai dari traktus respiratorius bagian atas, selanjutnya menyebar ke organ dan
jaringan sehingga mengakibatkan berbagai gejala klinis.11

2. Etiologi
Penyebabnya adalah virus yang tergolong dalam famili Paramyxovirus
yaitu genus virus morbili. Virus ini terdapat dalam sekret nasofaring dan darah
selama masa prodromal dan dalam waktu yang singkat setelah timbul ruam.10,11
Virus ini sangat sensitif terhadap panas dan dingin, dan dapat diinaktifkan
pada suhu 300C dan -200C, sinar ultraviolet, eter, tripsin, dan betapropiolakton.
Cara penularan penyakit ini dengan droplet dan kontak langsung dengan
penderita.

3. Epidemiologi12
Biasanya penyakit ini timbul pada masa kanak-kanak dan menyebabkan
kekebalan seumur hidup. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang pernah menderita
morbili akan mendapat kekebalan secara pasif (melalui plasenta) sampai umur 4-6
bulan dan setelah umur tersebut kekebalan mulai berkurang sehingga bayi dapat
menderita morbili.
Bila ibu menderita morbili pada trimester pertama, kedua dan ketiga
kehamilan, maka mungkin akan melahirkan anak dengan kelainan bawaan, berat

10
badan lahir rendah, lahir mati, atau anak yang kemudian meninggal sebelum usia
1 tahun.
Bila ibu tidak /belum menderita morbili maka bayi yang dilahirkan tidak
memiliki kekebalan terhadap morbili. Sedangkan ibu yang menderita morbili pada
usia kehamilan 1-2 bulan, 50 % kemungkinan dapat menyebabkan abortus.
Di Indonesia, menurut survei Kesehatan Rumah Tangga, campak
menduduki tempat ke-5 dalam urutan 10 penyakit utama pada bayi (0,7%) dan
tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama pada anak umur 1-4 tahun
(0,77%).
Telah diketahui bahwa campak menyebabkan penurunan daya tahan tubuh
secara umum, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder atau penyulit. Penyulit
yang sering dijumpai bronkopneumonia (75,2%), gastroenteritis (7,1%),
ensefalitis (6,7%) dan lain-lain (7,9%).
4. Faktor Resiko : 12

 Daya tahan tubuh yang lemah


 Belum pernah terkena campak
 Belum pernah mendapat vaksinasi campak

5. Patofisiologi12,13
Penularannya sangat efektif, dengan sedikit virus yang infeksius sudah
dapat menimbulkan infeksi pada seseorang. Penyakit ini sangat mudah menular
dimana penularan dapat terjadi melalui:

 Percikan ludah yang mengandung virus (droplet infection)


 Kontak langsung dengan penderita
 Penggunaan peralatan makan dan minum bersama

Penderita dapat menularkan penyakitnya sejak 2-4 hari sebelum timbulnya


ruam pada kulit sampai ± 5 hari sejak ruam timbul. Tingkat infektivitas campak
sangat tinggi.

11
Gambaran kejadian awal di jaringan limfoid masih belum diketahui secara
lengkap, tetapi 5-6 hari sesudah infeksi awal, fokus infeksi terwujud yaitu ketika
virus masuk ke dalam pembuluh darah dan menyebar ke permukaan epitel
orofaring, konjungtiva, saluran nafas, kulit, kandung kemih dan usus.

Pada hari ke-9-10 fokus infeksi yang berada di epitel saluran nafas dan
konjungtiva, satu sampai dua lapisan mengalami nekrosis. Pada saat itu virus
dalam jumlah banyak masuk kembali ke pembuluh darah dan menimbulkan
manifestasi klinis dari sistem saluran nafas diawali dengan keluhan batuk pilek
disertai selaput konjungtiva yang tampak merah. Respons imun yang terjadi ialah
proses peradangan epitel pada sistem saluran pernafasan diikuti dengan
manifestasi klinis berupa demam tinggi, anak tampak sakit-berat dan ruam yang
menyebar ke seluruh tubuh, tampak suatu ulser kecil pada mukosa pipi yang
disebut bercak Koplik, merupakan tanda pasti untuk menegakkan diagnosis.

Akhimya muncul ruam makulopapular pada hari ke-14 sesudah awal


infeksi dan pada saat itu antibodi humoral dapat dideteksi. Selanjutnya daya tahan
tubuh menurun, sebagai akibat respons delayed hypersensitivity terhadap antigen
virus terjadilah ruam pada kulit, kejadian ini tidak tampak pada kasus yang
mengalami defisit sel-T. Fokus infeksi tidak menyebar jauh ke pembuluh darah.
Vesikel tampak secara mikroskopik di epidermis tetapi virus tidak berhasil
tumbuh di kulit. Penelitian dengan imunofluoresens dan histologik menunjukkan
bahwa antigen campak dan gambaran histologik pada kulit berupa suatu reaksi
Arthus. Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan
memberikan kesempatan serangan infeksi bakteri sekunder berupa
bronkopneumonia, otitis media dan lain-lain. Dalam keadaan tertentu
adenovirus dan herpes virus pneumonia dapat terjadi pada kasus campak, selain
itu campak dapat menyebabkan gizi kurang.

12
13
6. Gejala Klinis11
Penyakit ini merupakan salah satu self limiting disease yang memiliki
masa tunas 10-20 hari dan dibagi dalam 3 stadium, yaitu :

1. Stadium kataral (prodromal)


Biasanya stadium ini berlangsung selama 4- 5 hari disertai panas (38,5 ºC),
malaise, batuk, nasofaringitis, fotofobia, konjungtivitis dan koriza. Menjelang
akhir stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul enantema, timbul bercak koplik
yang patognomonik bagi morbili, tetapi sangat jarang dijumpai. Bercak koplik
berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum dan dikelilingi oleh eritema.
Lokalisasinya di mukosa bukalis berhadapan dengan molar bawah. Jarang
ditemukan di bibir bawah tengah atau palatum. Kadang-kadang terdapat makula
halus yang kemudian menghilang sebelum stadium erupsi. Gambaran darah tepi
ialah limfositosis dan leukopenia. Secara klinis, gambaran penyakit menyerupai
influenza dan sering didiagnosis sebagai influenza. Diagnosis perkiraan yang
besar dapat dibuat bila ada bercak koplik dan penderita pernah kontak dengan
penderita morbili dalam waktu 2 minggu terakhir.12

2. Stadium erupsi
Koriza dan batuk-batuk bertambah. Timbul enantema atau titik merah di
palatum durum dan palatum mole. Kadang-kadang terlihat pula bercak koplik.
Terjadinya eritema yang berbentuk makula-papula disertai menaiknya suhu badan.
Diantara makula terdapat kulit yang normal. Mula-mula eritema timbul
dibelakang telinga, di bagian atas lateral tengkuk, sepanjang rambut dan bagian
belakang bawah. Kadang-kadang terdapat perdarahan ringan pada kulit. Rasa
gatal, muka bengkak. Ruam mencapai anggota bawah pada hari ketiga dan akan
menghilang dengan urutan seperti terjadinya. Terdapat pembesaran kelenjar getah
bening di sudut mandibula dan di daerah leher belakang. Terdapat pula sedikit
splenomegali. Tidak jarang disertai diare dan muntah. Variasi dari morbili yang
biasa ini adalah “black measles”, yaitu morbili yang disertai perdarahan pada
kulit, mulut, hidung dan traktus digestivus.12,14

14
3. Stadium konvalesensi
Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua
(hiperpigmentasi) yang lama-kelamaan akan hilang sendiri. Selain
hiperpigmentasi pada anak Indonesia sering ditemukan pula kulit yang bersisik.
Hiperpigmentasi ini merupakan gejala patognomonik untuk morbili. Pada
penyakit-penyakit lain dengan eritema dan eksantema ruam kulit menghilang
tanpa hiperpigmentasi. Suhu menurun sampai menjadi normal kecuali bila ada
komplikasi.12,15

Berdasarkan gejala yang timbul, morbili dapat berupa :15

 Panas

Panas dapat meningkat hingga hari kelima atau keenam yaitu pada saat
puncak timbulnya erupsi. Kadang-kadang temperatur dapat bifasis dengan
peningkatan awal yang cepat dalam 24-48 jam pertama diikuti dengan periode
normal selama 1 hari dan selanjutnya terjadi peningkatan yang cepat sampai
39°C-40,6°C pada saat erupsi ruam mencapai puncaknya. Pada morbili yang tidak
mengalami komplikasi, temperatur turun diantara hari ke 2-3, sehingga timbulnya
eksantema. Bila tidak disertai komplikasi, maka 2 hari setelah timbul ruam yang
lengkap, panas biasanya turun. Bila panas menetap, maka kemungkinan penderita
mengalami komplikasi.

 Coryza

Tidak dapat dibedakan dengan common cold. Batuk dan bersin diikuti
dengan hidung tersumbat dan sekret yang mukopurulen dan menjadi profus pada
saat erupsi mencapai puncaknya serta menghilang bersamaan dengan
menghilangnya panas.

 Konjungtivitis

Pada stadium awal periode prodromal dapat ditemukan transverse


marginal line injection pada palpebra inferior. Gambaran ini sering dihubungkan
dengan adanya inflamasi konjungtiva yang luas dengan disertai adanya edema

15
palpebra. Keadaan ini dapat disertai dengan peningkatan lakrimasi dan fotofobia.
Konjungtivitis akan menghilang setelah demam turun

 Batuk

Batuk disebabkan oleh reaksi inflamasi mukosa saluran pernafasan.


Intensitas batuk meningkat dan mencapai puncaknya pada saat erupsi. Namun
demikian batuk dapat bertahan lebih lama dan menghilang secara bertahap dalam
waktu 5-10 hari.

 Bercak Koplik’s

Nama tersebut diambil dari Henry Koplik, nama seorang dokter spesialis
anak di Amerika Serikat yang pertama mendeteksi tanda itu. Merupakan
gambaran bercak-bercak kecil yang ireguler sebesar ujung jarum/ pasir yang
berwarna merah terang dan pada bagian tengahnya berwarna putih kelabu.
Gambaran ini merupakan salah satu tanda patognomonik morbili. Pada hari
pertama timbulnya ruam sudah dapat ditemukan adanya bercak Koplik’s dan
menghilang hari ketiga timbulnya ruam.

 Ruam

Timbul setelah 3-4 hari panas. Ruam mulai sebagai eritema makulo-
papuler, mulai timbul dari belakang telinga pada batas rambut, kemudian
menyebar kedaerah pipi, leher, seluruh wajah dan dada serta biasanya dalam
waktu 24 jam sudah menyebar sampai ke lengan atas dan selanjutnya ke seluruh
tubuh, mencapai kaki pada hari ketiga. Pada saat ruam sudah sampai ke kaki,
maka ruam yang timbul lebih dulu mulai berangsur-angsur menghilang.

7. Pemeriksaan Laboratorium15
Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan adanya leukopeni. Dalam
sputum, sekresi nasal, sedimen urine dapat ditemukan adanya multi nucleated
giant cell yang khas. Pada kasus-kasus atipik, dapat dilakukan pemeriksaan
serologi untuk memastikannya. Teknik pemeriksaan yang dapat digunakan adalah:

16
1. Fiksasi komplemen
2. Inhibisi hemaglutinasi
3. Metode antibodi fluoresensi tidak langsung

8. Diagnosis
Diagnosa biasanya ditegakkan berdasarkan temuan klinis. Pada tahap
awal, sulit untuk menegakkan diagnosa campak. Adanya konjungtivitis
merupakan petunjuk berharga dalam upaya pengambilan diagnosa. Bila kita
berhasil menemukan bercak Koplik, maka diagnosa dini dapat kita tegakkan.16
Hal-hal yang membantu penegakan diagnosa:
 Riwayat kontak dengan penderita campak
 Gejala demam, batuk, pilek dan konjungtivitis
 Bercak Koplik (patognomonik)
 Erupsi makulopapula dengan tahap-tahap pemunculan yang khas
 Bercak berwarna kehitaman pada kulit setelah sembuh
Diagnosis didasarkan atas gejala dan tanda sebagai berikut :
Anamnesis :
1. Anak dengan panas 3-5 hari (biasanya tinggi, mendadak), batuk, pilek harus
dicurigai atau di diagnosis banding morbili.
2. Mata merah, tahi mata, fotofobia, menambah kecurigaan.
3. Dapat disertai diare dan muntah.
4. Dapat disertai dengan gejala perdarahan (pada kasus yang berat) : epistaksis,
petekie, ekimosis.
5. Anak resiko tinggi adalah bila kontak dengan penderita morbili (1 atau 2
minggu sebelumnya) dan belum pernah vaksinasi campak.
Pemeriksaan fisik :
1. Pada stadium kataral manifestasi yang tampak mungkin hanya demam
(biasanya tinggi) dan tanda-tanda nasofaringitis dan konjungtivitis.
2. Pada umunya anak tampak lemah.
3. Koplik spot pada hari ke 2-3 panas (akhir stadium kataral).

17
4. Pada stadium erupsi timbul ruam (rash) yang khas : ruam makulopapular
yang munculnya mulai dari belakang telinga, mengikuti pertumbuhan rambut
di dahi, muka, dan kemudian seluruh tubuh.

9. Diagnosis Banding17
1. German measles (Rubela)
Gejala lebih ringan dari morbili, terdiri dari gejala infeksi saluran nafas bagian
atas, demam ringan, namun terdapat pembesaran kelenjar regional di daerah
suboccipital dan post aurikuler. Ruam lebih halus yang mula-mula timbul pada
daerah wajah lalu menyebar ke batang tubuh dan menghilang dalam waktu 3 hari.

2. Eksantema subitum
Ruam akan muncul bila suhu badan menjadi normal. Rubeola infantum
(eksantema subitum) dibedakan dari campak dimana ruam dari roseola infantum
tampak ketika demam menghilang. Ruam rubella dan infeksi enterovirus
cenderung untuk kurang mencolok daripada ruam campak, sebagaimana tingkat
demam dan keparahan penyakit. Walaupun batuk ada pada banyak infeksi
ricketsia, ruam biasanya tidak melibatkan muka, yang pada campak khas terlibat.
Tidak adanya batuk atau riwayat injeksi serum atau pemberian obat biasanya
membantu mengenali penyakit serum atau ruam karena obat. Meningokoksemia
dapat disertai dengan ruam yang agak serupa dengan ruam campak, tetapi batuk
dan konjungtivitis biasanya tidak ada. Pada meningokoksemia akut ruam khas
purpura petekie. Rash karena obat-obatan lebih bersifat urtikaria, sehingga
rashnya lebih besar, luas, menonjol dan umumnya tidak disertai panas.

3. Infeksi oleh Ricketsia


Gejala prodromal lebih ringan, rash tidak dijumpai di wajah dan koplik’s spot
tidak ada.

4. Infeksi mononucleolus
Dijumpai limfadenopati umum dan peningkatan jumlah monosit.

18
5. Rash karena obat-obatan
Bersifat urtikaria, sehingga rashnya lebih besar, luas, menonjol dan umumnya
tidak disertai panas.

10. Komplikasi
a. Laringitis akut
Laringitis timbul karena adanya edema hebat pada mukosa saluran nafas,
bertambah parah pada saat demam mencapai puncaknya, ditandai dengan distres
pernafasan, sesak, sianosis dan stridor. Ketika demam menurun, keadaan akan
membaik dan gejala akan menghilang.

b. Bronkopneumonia
Dapat disebabkan oleh virus campak maupun oleh invasi bakteri, ditandai
dengan batuk, meningkatnya frekuensi nafas, dan adanya ronki basah halus. Pada
saat suhu menurun, gejala pneumonia karena virus akan menghilang, kecuali
batuk yang masih terus sampai beberapa hari lagi. Apabila suhu tidak juga turun
pada saat yang diharapkan, dan gejala saluran nafas masih terus berlangsung,
dapat diduga adanya pneumonia karena bakteri yang telah mengadakan invasi
pada sel epitel yang telah dirusak oleh virus. Gambaran infiltrat pada fototoraks
dan adanya leukositosis dapat mempertegas diagnosis. Di negara sedang
berkembang malnutrisi masih menjadi masalah, penyulit pneumonia bakteri biasa
terjadi dan menjadi fatal bila tidak diberi antibiotik.

c. Kejang demam
Kejang dapat timbul pada periode dernam, umumnya pada puncak demam saat
ruam keluar. Kejang dalam hal ini diklasifikasikan sebagai kejang demam.

d. Ensefalitis
Ensefalitis adalah penyulit neurologik yang paling sering terjadi, biasanya
terjadi pada hari ke-4-7 setelah tirnbulnya ruarn. Kejadian ensefalitis sekitar 1
dalam 1.000 kasus campak, dengan mortalitas berkisar antara 30-40%. Terjadinya
ensefalitis dapat melalui mekanisme imunologik maupun melalui invasi langsung
virus campak ke dalam otak. Gejala, ensefalitis dapat berupa kejang, letargi, koma
dan intobel. Keluhan nyeri kepala, frekuensi nafas meningkat, twitching,

19
disgrientasi juga dapat diternukan. Pemeriksaan cairan serebrpspinal
menunjukkan pleositpsis ringan, dengan predominan sel mononuklear,
peningkatan protein ringan, sedangkan kadar glukosa dalam batas normal.

e. SSPE (Subacute Sclerosing PanEncepluilitis)


Subacute sclerosing panenceplmlitis merupakan kelainan degeneratif susunan
saraf pusat yang jarang disebabkan oleh karena infeksi oleh virus campak yang
persisten. Kemungkinan untuk menderita SSPE pada anak yang sebelumnya
pernah menderita campak adalah 0,6-2,2 per 100.000 infeksi campak. Risiko lebih
besar pada umur yang lebih muda, masa inkubasi timbulnya SSPE rata-rata 7
tahun. Gejala SSPE didahului dengan gangguan tingkah laku dan intelektual yang
progresif, diikuti oleh inkoordinasi motorik, kejang umumnya bersifat miokionik.
Laboratorium menunjukkan peningkatan globulin dalam cairan serebrospinal,
anribodi terhadap campak dalam serum (CF dan HAI) meningkat (1:1280). Tidak
ada terapi untuk SSPE. Rata-rata jangka waktu timbulnya gejala sampai
meninggal antara 6-9 bulan.

f. Otitis media
Invasi virus ke dalam telinga tengah umumnya terjadi pada campak. Gendang
telinga biasanya hiperemia pada fase prodromal dan stadium erupsi. Jika terjadi
invasi bakteri pada lapisan sel mukosa yang rusak karena invasi virus, terjadi otitis
media purulenta.

g. Enteritis
Beberapa anak yang menderita campak mengalami muntah dan mencret pada
fase prodromal. Keadaan ini akibat invasi virus ke dalam sel mukosa usus.

h. Konjungtivitis
Pada hampir semua kasus campak terjadi konjungtiviris, yang ditandai dengan
adanya mata merah, pembengkakan kelopak mata, lakrimasi dan fotofobia.
Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Virus campak atau
antigennya dapat dideteksi pada lesi konjungtiva pada hari-hari pertama sakit.

20
Konjungtiva dapat memburuk dengan terjadinya hipopion dan pan-oftalmitis dan
menyebabkan kebutaan.

i. Sistem kardiovaskular
Pada ECG dapat ditemukan kelainan berupa perubahan pada gelombang T,
kontraksi prematur aurikel dan perpanjangan interval A-V. Perubahan tersebut
bersifat sementara dan tidak atau hanya sedikit mempunyai arti klinis.

11. Pengobatan13,14
Morbili merupakan self limiting desease, sehingga pengobatannya hanya
bersifat simptomatis yaitu ; memperbaiki keadaan umum, antipiretik bila suhu
tinggi, sedativum, dan obat batuk. Tindakan lain adalah pengobatan segera
terhadap komplikasi yang timbul.

Obat-obat yang dapat diberikan antara lain:

 Penurun panas (antipiretik) paracetamol 7,5-10mg/kg bb/kali, interval 6-8


jam.
 Pengurang batuk : ekspektoran, gliseril guaiakolat anak 6-12 tahun : 50 –
100 mg tiap 2-6 jam, dosis maksimum 600 mg/hari. Antitusif perlu
diberikan bila batuknya hebat/mengganggu, narcotic antitussive (codein)
tidak boleh digunakan. Mukolitik bila perlu.
 Vitamin A dosis tunggal
 Di bawah 1 tahun : 100.000 unit
 Di atas 1 tahun : 200.000 unit
 Antibiotika
 Antibiotika hanya diberikan bila terjadi komplikasi berupa infeksi
sekunder (seperti otitis media dan pnemonia)

Pasien campak tanpa penyulit dapat berobat jalan dan indikasi masuk
Rumah Sakit dianjurkan bila :
- Morbili yang disertai komplikasi
- Morbili dengan kemungkinan komplikasi yang berat, yaitu bila ditemukan :

21
 Bercak/ eksantema merah kehitaman yang menimbulkan desquamasi
dengan squama yang lebar dan tebal.
 Suara parau terutama disertai tanda penyumbatan seperti laringitis dan
pneumonia
 Dehidrasi berat
 Kejang dengan penurunan kesadaran
 PEM berat

12. Pencegahan16
 Hindari kontak dengan penderita campak
 Imunisasi campak pada usia 9 bulan
 Imunisasi MMR pada usia 15 bulan
 Gamma globulin
 Dapat diberikan pada anak berusia 6 bulan sampai 2 tahun bila ada riwayat
kontak dengan penderita
 Hanya memberikan perlindungan singkat (± 3 bulan)
 Dosis: 0.2 ml/kgBB
Vaksinasi biasanya dapat memberikan perlindungan seumur hidup pada
penerimanya. Walau demikian, pada beberapa kasus, orang yang telah mendapat
vaksinasi masih bisa terkena penyakit campak. Bila ini terjadi, gejala yang dialami
biasanya bersifat ringan.
Morbili dapat dicegah dengan pemberian imunisasi. Imunisasi yang
diberikan dapat berupa imunisasi aktif dan pasif.

Imunisasi aktif
Vaksin yang diberikan ialah “Live attenuated measles vaccine”. Mula-
mula diberikan strain Edmonson B, tetapi strain ini dapat menimbulkan panas
tinggi dan eksantema pada hari ke 7-12 post vaksinasi, sehingga strain vaksin ini
sering diberikan bersama-sama dengan gamma globulin di lengan lain.
Sekarang digunakan strain Schwarz dan Moraten dan tidak diberikan
bersama gamma globulin. Di Indonesia digunakan vaksin virus morbili hidup

22
yang telah dilemahkan yaitu strain Schwarz. Vaksin ini diberikan sebanyak 0,5 ml
secara subkutan dan dapat menimbulkan kekebalan yang berlangsung lama.
Vaksin ini diberikan secara subcutan sebanyak 0,5 ml pada umur 9 bulan.
Pada anak dibawah umur 9 bulan umumnya tidak dapat memberikan kekebalan
yang baik, karena gangguan antibodi yang dibawa sejak lahir.
Pemberian imunisasi ini akan menyebabkan anergi terhadap tuberkulin
selam 2 bulan setelah vaksinasi. Bila anak telah mendapat imunoglobulin atau
tranfusi darah sebelumnya, maka vaksinasi ini harus ditangguhkan sekurang-
kurangnya 3 bulan.
Vaksinasi tidak boleh dilakukan bila :
- Menderita infeksi saluran nafas akut atau infeksi akut lainnya yang disertai
dengan demam lebih dari 38°C
- Memiliki riwayat kejang demam
- Terdapat defisiensi imunologik
- Penderita leukimia, dalam pengobatan kortikosteroid dan imunosupresif
- Memiliki riwayat alergi (ditunda sampai dengan 2 minggu sembuh)
- Dalam masa kehamila
Imunisasi pasif

Tidak banyak dianjurkan karena terdapat risiko terjadinya ensefalitis dan


aktivasi tuberkulosis.

13. Prognosis17
Morbili merupakan self limiting disease dan berlangsung 7-10 hari
sehingga bila tanpa disertai dengan komplikasi maka prognosisnya baik.

Morbiditas morbili dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti :

 Diagnosis dini, pengobatan yang adekuat terhadap komplikasi yang timbul


 Kesadaran dan pengetahuan yang rendah dari orang tua penderita.
 Masih percaya mitos
 Penggunaan fasilitas kesehatan yang kurang

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Lumbantobing SM. Kejang Demam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.

2. Behrman RE, Kliegman RM, Jensen HB, Nelson Text book of pediatrics,
17th edition. Philadelphia: WB Sauders company. 2004. Page 1813- 1829.

3. Rudolph AM. Febrile Seizures. Rudolph Pediatrics. 20th Edition. Appleton


& Lange. 2002. Page 1994.

4. Behrman RE, Kliegman RM, Arvio, Nelson Ilmu Kesehatan anak, volume
3, edisi 15. Jakarta: EGC 2005. Page 2059- 2066.

5. Tejani NR. Pediatrics, Febrile Seizures. Accessed on Dec 10th 2010.


Available at: http://emedicine.medscape.com/article/801500-overview
6. W Hay, William. Current Diagnosis and Treatment of Pediatrics. 19th
edition. United States of America: McGrawHill. 2009. Page 697-698.
7. R Strange, Gary. Pediatric Emergency Medicine. 3rd edition. United States:
McGrawHill Companies. 2009. Page 46-47.
8. Anonym. Kejang Demam. Accessed on Dec 10th 2010. Available at:
http://kedokteran.ums.ac.id/kejang-demam.html
9. Maharani. Kejang Demam pada Anak. Accessed on Dec 10th 2010.
Available at: http://dr-anak.com/kejang-demam-pada-anak.html
10. Anonym. Kejang Demam pada Anak. Accessed on Dec 10th 2010.
Available at: http://bayikita.wordpress.com/2008/08/16/kejang-demam-
pada-anak/
11. Burnett M., 2007. Measles, Rubeola. http://www.e-emedicine.com
12. FKUI-RSCM. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan
Anak – Jakarta: FKUI. 2007.
13. Made Setiawan, Agus Sjahrurachman, Fera Ibrahim, Agus Suwandono.
Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Bagian Mikrobiologi FK-

24
UI, Litbangkes Departemen Kesehatan RI. Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3,
Oktober 2008.
14. Rampengan, T.H. Laurentz, I.R. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak.
Jakarta: EGC. 2008.
15. Ranuh, I.G.N, Et Al. Pedoman Imunisasi Di Indonesia, Satgas Imunisasi-
Ikatan Dokter Anak Indonesia – Jakarta: BP3 IDAI. 2008.
16. Rahman M. Dardjat M.T (Editor), Segi-Segi Praktis Ilmu Kesehatan Anak.
Edisi 2. Jakarta 2002.
17. Soedarmo, P.S.S, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi Dan
Penyakit Tropis. Edisi II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008.

25

Anda mungkin juga menyukai