Anda di halaman 1dari 26

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)

2.1.1 Definisi

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah keadaan penyakit yang

ditandai oleh keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel.

Keterbatasan aliran udara ini biasanya progresif dan berhubungan dengan

respons peradangan yang abnormal dari paru terhadap partikel atau udara

yang berbahaya (Rubenstein, dkk, 2005). Istilah Penyakit Paru Obstruksi

Kronis (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) penyakit ini tidak hanya

mempengaruhi jalan napas, penyakitini juga mengenai parenkim paru dan

sirkulasi pulmonal (Francis, 2008). Faktor risiko utama berkembangnya

penyakit PPOK terdiri dari faktor paparan lingkungan (rokok, pekerjaan,

polusi udara dan infeksi) dan faktor resiko host (usia, jenis kelamin, adanya

riwayat gangguan fungsi paru dan predisposisi genetik yaitu defisiensi

antitripsin (AAT) (Ikawati, 2010).

Penyakit Paru Obstruksi kronis dicirikan oleh obstruksi aliran udara

biasanya progresif, tidak sepenuhnya reversibel dan tidak berubah secara

bermakna setelah beberapa bulan. Merokok secara dominan menyebabkan

penyakit ini (NICE, 2004 dalam Helmi, 2013). Penyakit Paru Obstruksi

Kronis sering ditandai oleh sekresi yang sangat banyak dan sekresi tersebut

harus di keluarkan untuk mencegah komplikasi paru. PPOM atau COPD

8
9

merupakan satu kelompok penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi yang

menahun dan presisten dari jalan nafas di dalam paru, yang termasuk dalam

kelompok ini adalah: bronkitis menahun, empisema paru, asma terutama yang

menahun, bronkiektasis (Murwani, 2011).

2.1.2 Klasifikasi

Menurut Murwani (2011), PPOK dapat di klasifikasikan sebagai

berikut:

1. Bronkitis kronis

Adanya gangguan klinis yang ditandi dengan hiperproduksi mukus dari

percabangan bronkus dengan pencerminan batuk yang menahun. Simtom

tersebut terus terdapat setiap hari selama 2 tahun berturut-turut. Hal ini

terdapat pada TBC paru, tumor paru dan abses paru.

2. Empisema

Adanya kelainan paru dengan pelebaran abnormal dari ruang udara distal

dari bronkiolis terminal yang disertai dengan penebalan dan kerusakan di

dinding alveoli.

3. Bronkitis empisema

Adalah campuran bronkitis menahun dan empisema.

4. Asma kronis dan bronkitis asmatis

a. Asma menahun pada asma bronkial menahun yang menunjukkan

adanya obstruksi jalan nafas.

b. Bronkitis asmatis adalah bronkitis yang menahun kemudian


10

menunjukkan tanda-tanda hiperaktifitas bronkus, yang di tandai

dengan sesak nafas dan wheezing.

5. Penyakit TBC yang berkembang menjadi PPOM

2.1.3 Etiologi

Penyakit Paru Obstruksi Kronis disebabkan oleh faktor lingkungan dan

gaya hidup, yang sebagian besar bisa dicegah. Merokok diperkirakan menjadi

penyebab timbulnya 80-90% kasus PPOM. Faktor resiko lain termasuk

keadaan sosial-ekonomi dan status pekerjaan yang rendah, kondisi lingkungan

yang buruk karena dekat dengan lokasi pertambangan, perokok pasif atau

terkena polusi udara dan konsumsi alkohol yang berlebih, laki-laki dengan

usia antara 30 sampai 40 tahun paling banyak menderita PPOM (Padila,

2012).

1. Usia

PPOK jarang mulai menyebabkan gejala yang dikenali secara klinis

sebelum usia 40 tahun. Kasus-kasus yang termasuk perkeculian yang

jarang dari pernyataan umum ini seringkali berhubungan dengan sifat

yang terkait dengan defisiensiv bawaan dari antitripsin alfa-1.

Ketidakmampuan ini dapat mengakibatkan seseorang mengalami

emfisiema dan PPOK pada usia sekitar 20 tahun, yang berisiko menjadi

semakin berat jika mereka merokok (Francis, 2008).

2. Merokok

Ini merupakan penyebab PPOK yang paling umum, dan mencakup 80%
11

dari semua kasus PPOK yang ditemukan. Diduga bahwa sekitar 20%

orang yang merokok akan mengalami PPOK, dengan resiko perseorangan

meningkat sebanding dengan peningkatan jumlah rokok sigaret yang

dihisapnya. Mengenai merokok, jumlah yang diisap oleh seseorang diukur

dengan istilah pack years, Satu pack years = menghisap 20 batang rokok

per hariselama satu tahun. Dengan demikian, seseorang yang merokok 40

batang rokok per hari selama satu tahun atau mereka yang merokok 20

batang rokok selama dua tahun akan memiliki akumulasi yang ekuivalen

dengan 2 pack years (Francis, 2008).

3. Latar belakang genetik dan keluarga

Telah ditemukan keterkaitan keluarga yang lemah, tidak seperti pada asma

di riwayat asma sebelumnya di dalam keluarga sangat dipertimbangankan

sebagai faktor resiko yang penting (Francis, 2008).

2.1.4 Patofisiologi

Seiring perkembangan PPOK, perubahan patofisiologis berikut

biasanya terjadi secara berurutan: hipersekesi mukus, disfungsi sillia,

keterbatasan aliran udara, hiperinflanasi pulmonal, abnormalitas pertukuran

gas, hipertensi pulmonal. Jalan nafas perifer menjadi tempat utama obstruksi

pada pasien PPOK. Perubahan struktural dinding jalan nafas adalah penyebab

terpenting peningkatan tahanan jalan nafas perifer. Perubahan inflamasi

seperti edema jalan nafas dan hipersekresi mukus juga menyebabkan

penyempitan jalan nafas perifer. Hipersekresi mukus disebabkan oleh


12

stimulasi pembesaran kelenjar yang menyekresi mukus dan peningkatan

jumlah sel goblet oleh mediatior inflamasi seperti leukosillia mengalami

metaplasia skuoamosa, yang menyebabkan gangguan pembersihan mukosillia,

yang biasanya merupakan abnormalitas fisiologis yang pertama kali tejadi

pada PPOK. Abnormalitas ini dapat terjadi selama beberapa tahun sebelum

abnomalitas lain terjadi. Keterbatasan aliran udara ekspirsi adalah temuan

penting pada PPOK. Ketika proses penyakit berkembang, volume ekspirasi

kuat dalam satu detik (forced expiratory volume in 1 second, FEV 1) dan

kapasitasvital kuat (forced vital capacity, FPC) menurun, hal ini berhubungan

dengan peningkatan ketebalan dinding jalan nafas, penurunan kelekatan

alveolar dan penurunan recoil elastis paru. Sering kali tanda pertama terjadi

keterbatasan aliran udara adalah penurunan rasio FEV1 pascabronkodilator

kurang dari 80% dari nilai prediksi yang dikombinasikan (Morton,dkk, 2012).

2.1.5 Manifestasi klinis

Berikut ini adalah manifestasi klinis dari PPOK menurut Padila,

(2012):

1. Batuk yang sangat produktif, purulen dan mudah terkena iritasi oleh

iritan-iritan inhalan, udara dingin atau infeksi.

2. Sesak nafas dan dispnea.

3. Terperangkapnya udara akibat hilangnya elastsitas paru menyebabkan

dada mengembang.

4. Hipoksia dan hiperkapnea.


13

5. Takipnea.

6. Dispnea yang menetap.

2.1.6 Komplikasi

Menurut Muwarni (2011), komplikasi dari PPOK adalah sebagai

berikut:

1. Kegagalan respirasi akibat sesak nafas atau dispnea.

2. Kardiovaskuler yaitu kor pulmonal aritmia jantung.

3. Ulkus peptikum.

4. PPOM umumnya berjalan secara progresif dalam jangka waktu yang

lama, penderita jadi cacat dan tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari.

5. Kematian biasanya terjadi karena kegagalan respirasi dan kematian

mendadak karena aritmia jantung

2.1.7 Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan farmakologi dari

a. Bronkodilator

Perburukan sesak nafas biasanya dapat ditangani dengan penambahan

bronkodilator kerja-singkat biasa maupun dengan meningkatkan

frekuensi penggunaannya. Penggunaan nebulezier untuk memberikan

pengobatan inhalasi secara rutin digunakan di rumah sakit, walaupun

demikian jika pasien mampun mempertahankan tehnik inhalasi yang

baik dengan menggunakan spacer bervolume besar, maka metode ini


14

telah terbukti sama efektifnya dengan terapi nebulisasi (Francis, 2008).

b. Antibiotik

Terapi antibiotik sering diresepkan pada eksaserbasi PPOK, dengan

pemilihan antibiotik bergantung kepada kebijakan lokal, terapi secara

umum berkisar pada penggunaan yang disukai antara amoksisilin,

klaritromisin, atau trimetopri. Biasanya lama terapi tujuh hari sudah

mencukupi (Francis, 2008).

c. Indikasi oksigen

Pemberian oksigen dilakukan pada hipoksia akut atau menahun yang

tidak dapat diatasi dengan obat. Serangan jangka pendek dengan

ekserbasi akut, dan serangan akut pada asma (Murwani, 2011)

2. Penatalaksanaan non farmakologi

a. Aktivitas olah raga

Program aktivitas olahraga untuk PPOK dapat terdiri atas sepeda

ergometri, latihan treadmill, atau berjalan dengan diatur waktunya, dan

frekuensinya dapat bekisar dari setiap hari sampai setiap minggu

(Morton, dkk , 2012).

b. Konseling nutrisi

Malnutrisi adalah umum pada pasien PPOK dan terjadi pada lebih dari

50% pasien PPOK yang masuk rumah sakit. Insiden malnutrisi

bervariasi sesuai dengan derajat abnormalitas pertukaran gas (Morton,

dkk , 2012).
15

c. Penyuluhan

Berhenti merokok adalah metode tunggal yang paling efektif dalam

mengurangi resiko terjadinya PPOK dan memperlambat kemajuan

tingkat penyakit. Sesi konseling singkat untuk mendorong perokok

berhenti merokok menyebabkan angka berhenti menjadi 5% sampai

10% (Morton, dkk , 2012).

2.2.8 Pemeriksaan diagnostik

1. Uji fungsi paru

Bisa menunjukkan adanya keterbatasan aliran udara pada kasus PPOK

merupakan hal yang paling penting secara diagnostik. Hal ini biasanya

dilakukan menggunakan laju aliran ekspirasi puncak (peak expiratory

flow, PEF). Pada beberapa kasus dimana PPOK dicurigai, perlu

dipertimbangkan untuk mengunakan peakexpiratory flow pediatrik.Ini

bermanfaat untuk mencatat volumekeluaran yang lebih kecil dengan

menyediakan skala yang tepat untuk akurasi yang lebih baik.Hal ini sangat

berguna jika sebelumnya peak expiratory flow dewasa menunjukkan

angka yang rendah dan berubah-rubah atau jika pasien mengalami

kesulitan merapatkan mulut disekitar mouthpiece pada peakexpiratory

flow dewasa. Penting untuk dicatat bahwa, sementaranilai laju aliran

ekspirasi puncak yang normal saja tidak dapat menyingkirkan diagnosis

PPOK, nilai FEV1 normal yang diukurdengan spirometer akan

menyikirkan diagnosis PPOK (Francis, 2008).


16

2. Spirometri

Spirometri merupakan alat kuantitatif yang kuat saat uji reversibilitas

digunakan untuk mematikan diagnosis yang tepat.Perbedaan dapat dibuat

dengan membandingkan hasil spirometri yang didapat saat episode

debilitas respirasi dengan hasil yang didapat setelah beberapa saat

pemulihan. Pada kasus asma uji reversibilitas akan menunjukkan bahwa

terjadi perbaikan setelah pemulihan, data numerik yang diperoleh dapat

berada diantara batas normal atas dan bawah. Hal ini tidak khas pada

PPOK dimana data akan menunjukkan terjadinya sedikit perbaikan

(Francis, 2008).

3. Pemeriksaan laboratorium

a. Leukosit

b. Eritrosit

c. Hemoglobin

d. BBS atau LED

e. Analisa darah arteri (PO2 dan saturasi oksigen)

f. Semuanya sama dengan penyakit primernya

(Murwani,2012)

4. Photo thoraks

a. Bayangan lobus

b. Corakan paru bertambah (bronkitis akut)

c. Defesiensi arterial corakan paru bertambah (emfisiema)

(Murwani,2012)
17

2.2 Konsep Bersihan Jalan Napas

2.2.1 Pengertian

Jalan napas tidak efektif merupakan suatu keadaan ketika seorang

individu mengalami suatu ancaman yang nyata atau potensial pada status

pernapasan sehubungan dengan ketidak mampuan untuk batuk secara efektif

(Carpenito, 2006)

Jalan napas tidak efektif adalah ketidak mampuan dalam

membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran pernapasan untuk menjaga

kebersihan jalan napas (Nanda 2005-2006)

2.2.2 Factor Yang Berhubungan

1. Lingkungan; merokok, menghisap asap rokok, perokok pasif

2. Obstruksi jalan napas; terdapat benda asing dijalan napas, spasme jalan

napas

3. Fisiologis; kelainan dan penyakit.

(Wilkinson, 2012)

2.2.3 Batasan Karakteristik

1. Subjektif

Dispnea

2. Objektif

a. Suara napas tambahan

b. Perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan


18

c. Batuk tidak ada atau tidak efektif

d. Sianosis

e. Kesulitan untuk berbicara

f. Penurunan suara napas

g. Ortopnea

h. Gelisah

i. Sputum berlebihan

j. Mata terbelalak

(Wilkinson, 2012)

2.2.4 Kriteria Jalan Napas Efektif

1. Batuk efektif

2. Mengeluarkan secret secara efektif

3. Mempunyai jalan napas yang paten

4. Pada pemeriksaan auskultasi, memiliki suara napas yang jernih

5. Mempunyai irama dan frekuensi pernapasan dalam rentang normal.

(Wilkinson, 2012)

2.3 Konsep Terapi Inhalasi

2.3.1 Pengertian

Terapi inhalasi adalah pemberian obat ke dalam saluran napas dengan

cara inhalasi (Rasmin dkk, 2012).

Terapi inhalasi juga dapat diartikan sebagai suatu pengobatan yang


19

ditujukan untuk mengembalikan perubahan-perubahan patofisiologi

pertukaran gas sistem kardiopulmoner ke arah yang normal, seperti dengan

menggunakan respirator atau alat penghasil aerosol (Bia, 2011).

2.3.2 Tujuan Dan Sasaran

Karena terapi inhalasi obat dapat langsung pada sasaran dan

absorpsinya terjadi secara cepat dibanding cara sistemik, maka penggunaan

terapi inhalasi sangat bermanfaat pada keadaan serangan yang membutuhkan

pengobatan segera dan untuk menghindari efek samping sistemik yang

ditimbulkannya. Biasanya terapi inhalasi ditujukan untuk mengatasi

bronkospasme, mengencerkan sputum, menurunkan hipereaktiviti bronkus,

serta mengatasi infeksi. Terapi inhalasi ini baik digunakan pada terapi jangka

panjang untuk menghindari efek samping sistemik yang ditimbulkan obat,

terutama penggunaan kortikosteroid (Rasmin dkk, 2012).

2.3.3 Indikasi

Penggunaan terapi inhalasi ini diindikasikan untuk pengobatan asma,

penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), sindrom obstruktif post tuberkulosis,

fibrosis kistik, bronkiektasis, keadaan atau penyakit lain dengan sputum yang

kental dan lengket (Rasmin dkk, 2012).

Penggunaannya terbatas hanya untuk obat-obat yang berbentuk gas

atau cairan yang mudah menguap dan obat lain yang berbentuk aerosol

(Setiawati dkk, 2009). Pada penyakit Asma dan Chronic Obstructive


20

pulmonal disease (COPD = PPOK & PPOM) terapi inhalasi merupakan terapi

pilihan. Dengan terapi inhalasi obat dapat masuk sesuai dengan dosis yang

diinginkan, langsung berefek pada organ sasaran. Dari segi kenyamanan

dalam penggunaan, cara terapi MDI banyak disukai pasien karena obat dapat

mudah di bawa ke mana-mana. Kemasan obat juga menguntungkan karena

dalam satu botol bisa dipakai untuk 30 atau sampai 90 hari penggunaan (Rab,

2008).

2.3.4 Kontra Indikasi

Kontra indikasi mutlak pada terapi inhalasi tidak ada. Indikasi relatif

pada pasien dengan alergi terhadap bahan atau obat yang digunakan (Rasmin,

2012).

2.3.5 Cara Penggunaan Berbagai Terapi Inhalasi

Ada beberapa cara dalam terapi inhalasi, yaitu (1) inhaler dosis terukur

(MDI, metered dose inhaler), (2) penguapan (gas powered hand held

nebulizer), (3) inhalasi dengan intermitten positive pressure breathing (IPPB),

serta (4) pemberian melalui intubasi pada pasien yang menggunakan

ventilator.

1. Inhaler Dosis Terukur

Inhaler dosis terukur atau lebih sering disebut MDI diberikan dalam

bentuk inhaler aerosol dengan/tanpa spacer dan bubuk halus (dry powder

inhaler) yaitu diskhaler, rotahaler, dan turbohaler. Pada umumnya


21

digunakan pada pasien yang sedang berobat jalan dan jarang dipergunakan

di rumah sakit. Cara ini sangat mudah dan dapat dibawa kemana-mana

oleh pasien, sehingga menjadi pilihan utama pagi penderita asma (Rasmin,

2012).MDI terdiri atas 2 bagian, yaitu bagian kotak yang mengandung zat

dan bagian mouthpiece. Bila bagian kotak yang mengandung zat ini

dibuka (ditekan), maka inhaler akan keluar melalui mouthpiece (Rab,

2008).

a. Pemakaian inhaler aerosol.

Inhaler dikocok lebih dahulu agar obat homogen, lalu tutupnya dibuka

dan inhaler dipegang tegak, kemudian dilakukan maksimal ekspirasi

pelan-pelan dan mulut inhaler diletakkan di antara kedua bibir, lalu

katupkan kedua bibir dan lakukan inspirasi pelan-peran. Pada waktu

yang sama kanester ditekan untuk mengeluarkan obat tersebut dan

penarikan napas diteruskan sedalam-dalamnya dan tahan napas sampai

10 detik atau hitungan 10 kali dalam hati. Prosedur tadi dapat diulangi

setelah 30 detik sampai 1 menit kemudian tergantung dosis yang

diberikan oleh dokter (Rasmin, 2012).

b. Pemakaian inhaler aerosol dengan ruang antara (spacer).

Inhaler dikocok lebih dahulu dan buka tutupnya, kemudian mulut

inhaler dimasukan ke dalam lubang ruang antara à mouth piece

diletakan di antara kedua bibir, lalu kedua bibir dikatupkan, pastikan

tidak ada kebocoran dan tangan kiri memegang spacer, dan tangan

kanan memegang kanester inhaler à tekan kanester sehingga obat akan


22

masuk ke dalam spacer, kemudian tarik napas perlahan dan dalam,

tahan napas sejenak, lalu keluarkan napas lagi. Hal ini bisa diulang

sampai merasa yakin obat sudah terhirup habis (Rasmin, 2012).

c. Pemakaian diskhaler.

Lepaskan tutup pelindung diskhaler, pegang kedua sudut tajam, tarik

sampai tombol terlihat dan tekan kedua tombol dan keluarkan talam

bersamaan rodanya dan letakkan diskhaler pada roda, angka 2 dan 3

letakkan di depan bagian mouth piecedan masukan talam kembali,

letakan mendatar dan tarik penutup sampai tegak lurus dan tutup

kembali dan keluarkan napas, masukan diskhaler dan rapatkan bibir,

jangan menutupi lubang udara, bernapas melalui mulut sepat dan

dalam, kemudian tahan napas, lalu keluarkan napas perlahan-lahan.

danputar diskhaler dosis berikut dengan menarik talam keluar dan

masukan kembali (Rasmin, 2012).

d. Pemakaian rotahaler.

Pegang bagian mulut rotahaler secara vertikal, tangan lain memutar

badan rotahaler sampai terbuka dan masukan rotacaps dengan sekali

menekan secara tepat ke dalam lubang epat persegi sehingga puncak

rotacaps berada pada permukaan lubang dan pegang permukaan

rotahaler secara horizontal dengan titik putih di atas dan putar badan

rotahaler berlawanan arah sampai maksimal untuk membuka rotacaps

dan keluarkan napas semaksimal mungkin di luar rotahaler, masukan

rotahaler dan rapatkan bibir dengan kepala agak ditinggikan dengan


23

kepala agak ditengadahkan ke belakang dan hiruplah dengan kuat dan

dalam, kemudian tahan napas selama mungkin. Dan lalu keluarkan

rotahaler dari mulut, sambil keluarkan napas secara perlahan-lahan

(Rasmin, 2012).

e. Pemakaian turbohaler.

Putar dan lepas penutup turbohaler dan pegang turbohaler dengan

tangan kiri dan menghadap atas lalu dengan tangan kanan putar

pegangan (grip) ke arah kanan sejauh mungkin kemudian putar

kembali keposisi semula sampai terdengar suara klik dan hembuskan

napas maksimal di luar turbohaler dan letakkan mouthpiece di antara

gigi, rapatkan kedua bibir sehingga tidak ada kebocoran di sekitar

mouth piece kemudian tarik napas dengan tenang sekuat dan sedalam

mungkin dan sebelum menghembuskan napas, keluarkan turbohaler

dari mulut. Jika yang diberikan lebih dari satu dosis ulangi tahapan 2-

5 (tanda panah) dengan selang waktu 1-2 menit-pasang kembali

tutupnya (Rasmin, 2012).

f. Setelah penggunaan inhaler.

Basuh dan kumur dengan menggunakan air. Ini untuk

mengurangi/menghilangkan obat yang tertinggal di dalam rongga

mulut dan tenggorokan, juga untuk mencegah timbulnya penyakit di

mulut akibat efek obat (terutama kortikosteroid) (Setiawati, 2009).

g. Cara mencuci.

Kegagalan mencuci inhaler dengan cara yang benar akan


24

menimbulkan sumbatan dan pada akhirnya dapat mengurangi

jumlah/dosis obat. Cusi bekar serbuk yang tertinggal di corong inhaler.

Keluarkan belas obat dan basuh inhaler dengan air hangat dengan

sedikit sabun.Keringkan dan masukan kembali ke dalam tempatnya

(Setiawati, 2009).

h. Cara untuk mengetahui inhaler sudah kosong

Setiap inhaler telah dilabelkan dengan jumlah dos yang ada. Contoh di

bawah akan menerangkan bagaimana untuk menentukan kandungan

obat di dalam inhaler. Jika botol obat mengandungi 200 hisapan dan

kita harus mengambil 8 hisapan sehari, maka obat habis dalam 25 hari.

Jika kita mula menggunakan inhaler pada tanggal 1 Mei, maka

gantikan inhaler tersebut dengan yang baru pada/atau sebelum tanggal

25 Mei. Tulis tanggal mula menggunakan inhaler pada botol obat

untuk menghindari kesalahan (Setiawati, 2009).

2. Penguapan (Nebulizer)

Cara ini digunakan dengan memakai disposible nebulizer mouth

piece dan pemompaan udara (pressurizer) atau oksigen.Larutan nebulizer

diletakan di dalam nebulizer chamber.Cara ini memerlukan latihan khusus

dan banyak digunakan di rumah sakit. Keuntungan dengan cara ini adalah

dapat digunakan dengan larutan yang lebih tinggi konsentrasinya dari

MDI. Kerugiannya adalah hanya 50-70% saja yang berubah menjadi

aerosol, dan sisanya terperangkap di dalam nebulizer itu sendiri (Rab,

2008).
25

Jumlah cairan yang terdapat di dalam hand held nebulizer adalah 4

cc dengan kecepatan gas 6-8 liter/menit. Biasanya dalam penggunaannya

digabung dalam mukolitik (asetilsistein) atau natrium bikarbonat. Untuk

pengenceran biasanya digunakan larutan NaCl (Rab, 2008).

Cara menggunakannya yaitu: Buka tutup tabung obat, masukan

cairan obat ke dalam alat penguap sesuai dosis yang ditentukan dan

gunakan mouth piece atau masker (sesuai kondisi pasien). Tekan tombol

“on” pada nebulizer à jika memakai masker, maka uap yang keluar dihirup

perlahan-lahan dan dalam inhalasi ini dilakukan terus menerus sampai

obat habismasker.Bila memakai mouth piece, maka tombol pengeluaran

aerosol ditekan sewaktu inspirasi, hirup uap yang keluar perlahan-lahan

dan dalam. Hal ini dilakukan berulang-ulang sampai obat habis (10-15

menit) (Rasmin, 2012)

Beberapa contoh jenis nebulizer antara lain:

a. Simplenebulizer; Jet nebulizer, menghasilkan partikel yang lebih

halus, yakni antara 2-8 mikron. Biasanya tipe ini mempunyai tabel dan

paling banyak dipakai di rumah sakit. Beberapa bentuk jet nebulizer

dapat pula diubah sesuai dengan keperluan, sehingga dapat digunakan

pada ventilator dan IPPB, dimana dihubungkan dengan gas kompresor

(Rab, 2008).

b. Ultrasonik nebulizer, alat tipe ini menggunakan frekuensi vibrator

yang tinggi, sehingga dengan mudah dapat mengubah cairan menjadi

partikel kecil yang bervolume tinggi, yakni mencapai 6 cc/menit


26

dengan partikel yang uniform. Besarnya partikel adalah 5 mikron dan

partikel dengan mudah masuk ke saluran pernapasan, sehingga dapat

terjadi reaksi, seperti bronkospasme dan dispnoe. Oleh karena itu alat

ini hanya dipakai secara intermiten, yakni untuk menghasilkan sputum

dalam masa yang pendek pada pasien dengan sputum yang kental

(Rab, 2008).

c. Automizer nebulizer, partikel yang dihasilkan cukup besar, yakni

antara 10 – 30 mikron. Digunakan untuk pengobatan laring, terutama

pada pasien dengan intubasi trakea (Rab, 2008)

2.3.6 Obat atau Zat Pada Terapi Inhalasi

Obat/zat yang biasanya digunakan secara aerosol pada umumnya

adalah beta 2 simpatomimetik, seperti metaprotenolol (Alupen), albuterol

(Ventolin dan Proventil), terbutalin (Bretaire), bitolterol (Tornalat), isoetarin

(Bronkosol); Steroid seperti beklometason (Ventide), triamnisolon

(Azmacort), flunisolid (Aerobid); Antikolinergik seperti atropin dan

ipratropium (Atrovent); dan Antihistamin sebagai pencegahan seperti natrium

kromolin (Intal) (Rab, 2008).

Keuntungan dari aerosol ini baik diberikan secara aerosol maupun

dengan inhaler, adalah memberikan efek bronkodilator yang maksimal yang

lebih baik dari cara pemberian lain, sementara itu pengaruh sistemiknya

hampir tidak ada. Oleh karena itu cara pengobatan ini adalah merupakan cara

yang paling optimal (Rasmin, 2012).


27

2.3.7 Efek Samping Dan Komplikasi

Jika aerosol diberikan dalam jumlah besar, maka dapat menyebabkan

penyempitan pada saluran pernapasan (bronkospasme).Disamping itu bahaya

iritasi dan infeksi pada jalan napas, terutama infeksi nosokomial juga dapat

terjadi (Rab, 2008).

2.3.8 Standar Operasional Prosedure Inhalasi Uap Dengan Nebulizer

Berikut ini adalah Standar Operasional Prosedure Inhalasi Uap Dengan

Nebulizer menurut Mahlan (2009):

1. Pengertian

Inhalasi uap dengan nebuleizer adalah suatu jenis cara inhalasi dengan

menggunakan alat pemecah obat untuk menjadi bagian-bagian seperti

hujan/uap untuk dihisap. Biasanya untuk pengobatan saluran pernafasan

bagian lebih bawah

2. Tujuan

a. Mengobati peradangan saluran pernafasan bagian atas

b. Menghilangkan sesak selaput lendir saluran nafas bagian atassehingga

lendir menjadi encer dan mudah keluar

c. Menjaga selaput lendir dalam keadaan lembab

d. Melegakan pernafasan

e. Mengurangi pembekakan selaput lender

f. Mencegah pengeringan selaput lender

g. Mengendurkan otot dan penyembuhan batuk


28

h. Menghilangkan gatal pada kerongkongan

3. Indikasi

a. Pasien sesak nafas dan batuk

b. Broncho pneumonia

c. PPOK(bronchitis, emfisema)

d. Asma bronchial

e. Rhinitis dan sinusitis

f. Paska tracheostomy

g. Pilek dengan hidung sesak dan berlendir

h. Selaput lendir mongering

i. Iritasi kerongkongan, radang selaput lender

j. Saluran pernafasan bagian atas

4. Teknik

a. Micromist: menggunakan tenaga kompresor O2

b. Jet: tenaga dari udara yang dipadatkan

c. Ultrasonic: tenaga dari gelombang suara frek. Tinggipartikel dari

ultrasonic lebih halus darijet atau micromist

5. Cairan yang direkomendasikan

a. Suspension

b. Solusion

c. Emulsion

6. Nebulizer menggunakan alat bantu

a. Mouthpiece untuk intermintten


29

b. Masker untuk terus menerus

7. Macam-macam obat inhalasi

a. Bronchodilator

1) ß agonis: terbutalin, sabutamol fenoterol

2) antikolinergik: ipratrogium bromide, tiotropium

b. Mukolitik

c. Anti inflamasi

Budesonide, flutikason, beklometason

d. Antibiotika

e. Anestesi lokal : lidokain, prokain

f. Larutan isotonis, hipertonis, hipotonis, aquadest

g. Obat-obat tersebut dpt diberikan secara kombinasi Sesuai kebutuhan

pasien

8. Prosedur kerja

a. Persiapan alat

1) Nebulizer

2) Tissue

3) Selang/kanul udara

4) Sarung tangan

5) Obat inhalasi

6) Kapas alcohol

7) Masker, nasal canule, mouthpiece

8) Neirbeken
30

9) Kasa lembab

10) Nacl 0,9 %

b. Tahap pre interaksi

1) Siapkan alat

2) Baca status pasien

3) Cuci tangan

c. Tahap orientasi

1) Berikan salam, panggil klien dengan namanya

2) Jelaskan prosedur dan tujuan tindakan pada klien dan keluarga

d. Tahap kerja

1) Alat didekatkan, pakai sarung tangan

2) Atur posisi fowler

3) Jalan nafas dibersihkan, hidung dibersihkan dengan kapas lembab,

kapas yang kotor dibuang ke neirbeken

4) Obat dimasukkan dalam tempat penampungan obat

5) Hubungkan masker/nasal canule/mouthpiece pada klien sehingga

uap dan obat tidak keluar

6) Klien dianjurkan nafas dalam secara teratur

7) Bila klien merasa lelah, matikan nebulizer sebentar, berikan

kesempatan klien istirahat

8) Setelah obat sudah habis, matikan mesin nebulizer

9) Berikan 02 ½ liter/mnt atau sesuai instruksi

10) Perhatikan keadaan umum


31

11) Alat dibersihkan dan dirapikan, sarung tangan dilepas

12) Cuci tangan

e. Tahap terminasi

1) Evaluasi perasaan klien

2) Simpulkan hasil kegiatan

3) Lakukan kontak utk kegiatan selanjutnya

4) Akhiri kegiatan

f. Dokumentasi

Catat tindakan yang telah dilakukan

2.4 Perbedaan bersihan jalan napas pasien PPOK yang diberikan inhalasi uap

menggunakan larutan Normal Saline dengan Ventolin

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-

komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus

bronkus. Perubahan struktural dinding jalan nafas adalah penyebab terpenting

peningkatan tahanan jalan nafas perifer. Perubahan inflamasi seperti edema jalan

nafas dan hipersekresi mukus juga menyebabkan penyempitan jalan nafas

perifer. Hipersekresi mukus disebabkan oleh stimulasi pembesaran kelenjar yang

menyekresi mukus dan peningkatan jumlah sel goblet oleh mediatior inflamasi

seperti leukosillia mengalami metaplasia skuoamosa, yang menyebabkan

gangguan pembersihan mukosillia, yang biasanya merupakan abnormalitas

fisiologis yang pertama kali tejadi pada PPOK. (Morton,dkk, 2012). Selain itu,

silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta


32

metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini

mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan

mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas.

Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi

dan menjadi sangat purulen.Timbul peradangan yang menyebabkan edema

jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia

akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang

kental dan adanya peradangan (GOLD, 2009).

Tindakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan bersihan jalan

napas pada pasien PPOK adalah dengan inhalasi uap. Inhalasi uap dapat

dilakukan dengan pemberian larutan normal saline atau bisa diberikan larutan

normal saline dengan kombinasi ventoline. Menurut penelitian yang dilakukan

oleh Fauzi (2014) di RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri

menyebutkan bahwa pemberian terapi inhalasi uap dengan larutan normal saline

(NaCl) dengan kombinasi ventolin akan memberikan efek yang lebih baik

dibandingkan ketika hanya diberikan terapi inhalasi uap dengan larutan normal

saline saja. Larutan normal saline (NaCl) adalah untuk membantu mengencerkan

sputum sehingga dengan mudah akan di keluarkan ketika pasien melakukan

batuk efektif. Sementara itu ventolin, selain akan membantu mengurangi

kekentalan dari sputum, ventolin juga merupakan bronkodilator. Sehingga selain

sputum menjadi lebih encer, jalan napas juga akan menjadi lebih longgar dan

dampaknya adalah sesak yang dialami oleh pasien akan berkurang atau bahkan

hilang.
33

Jadi dari uraian diatas dapat ditarik satu perbedaan bahwa pemberian

terapi inhalasi uap dengan larutan normal saline (NaCl) dalam nebuleizer yang

dihangatkan akanmembantu mengencerkan sputum yang tertahan dijalan napas

sehingga dengan mudah akan di keluarkan ketika pasien melakukan batuk

efektif. Sementara itu terapi inhalasi dengan tambahan ventolin, selain akan

membantu mengurangi kekentalan dari sputum, ventolin juga memberikan efek

bronkodilator yang akan membantu melonggarkan jalan napas.

Anda mungkin juga menyukai