PENDAHULUAN
2.1.2 Etiologi
2.1.3 Patofisiologi
HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang
bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit penolong
dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga meperlihatkan
pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme
infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4.
HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4,
yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup linfosit
penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga
memperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit.
Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4 ini tidak pasti,
meskipun kemungkinan mencakup infeksi litik sel CD4 itu sendiri; induksi apoptosis
melalui antigen viral, yang dapat bekerja sebagai superantigen; penghancuran sel
yang terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral penjamu dan kematian atau
disfungsi precursor limfosit atau sel asesorius pada timus dan kelenjar getah bening.
HIV dapat menginfeksi jenis sel selain limfosit. Infeksi HIV pada monosit, tidak
seperti infeksi pada limfosit CD4, tidak menyebabkan kematian sel. Monosit yang
terinfeksi dapat berperang sebagai reservoir virus laten tetapi tidak dapat diinduksi,
dan dapat membawa virus ke organ, terutama otak, dan menetap di otak. Percobaan
hibridisasi memperlihatkan asam nukleat viral pada sel-sel kromafin mukosa usus,
epitel glomerular dan tubular dan astroglia. Pada jaringan janin, pemulihan virus yang
paling konsisten adalah dari otak, hati, dan paru. Patologi terkait HIV melibatkan
banyak organ, meskipun sering sulit untuk mengetahui apakah kerusakan terutama
disebabkan oleh infeksi virus local atau komplikasi infeksi lain atau autoimun.
Stadium tanda infeksi HIV pada orang dewasa adalah fase infeksi akut, sering
simtomatik, disertai viremia derajat tinggi, diikuti periode penahanan imun pada
replikasi viral, selama individu biasanya bebas gejala, dan priode akhir gangguan
imun sitomatik progresif, dengan peningkatan replikasi viral. Selama fase asitomatik
kedua-bertahap dan dan progresif, kelainan fungsi imun tampak pada saat tes, dan
beban viral lambat dan biasanya stabil. Fase akhir, dengan gangguan imun
simtomatik, gangguan fungsi dan organ, dan keganasan terkait HIV, dihubungkan
dengan peningkatan replikasi viral dan sering dengan perubahan pada jenis vital,
pengurangan limfosit CD4 yang berlebihan dan infeksi aportunistik.
Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir, meskipun
“priode inkubasi“ atau interval sebelum muncul gejala infeksi HIV, secara umum
lebih singkat pada infeksi perinatal dibandingkan pada infeksi HIV dewasa. Selama
fase ini, gangguan regulasi imun sering tampak pada saat tes, terutama berkenaan
dengan fungsi sel B; hipergameglobulinemia dengan produksi antibody
nonfungsional lebih universal diantara anak-anak yang terinfeksi HIV dari pada
dewasa, sering meningkat pada usia 3 sampai 6 bulan. Ketidak mampuan untuk
berespon terhadap antigen baru ini dengan produksi imunoglobulin secara klinis
mempengaruhi bayi tanpa pajanan antigen sebelumnya, berperang pada infeksi dan
keparahan infeksi bakteri yang lebih berat pada infeksi HIV pediatrik. Deplesi
limfosit CD4 sering merupakan temuan lanjutan, dan mungkin tidak berkorelasi
dengan status simtomatik. Bayi dan anak-anak dengan infeksi HIV sering memiliki
jumlah limfosit yang normal, dan 15% pasien dengan AIDS periatrik mungkin
memiliki resiko limfosit CD4 terhadap CD8 yang normal. Panjamu yang berkembang
untuk beberapa alasan menderita imunopatologi yang berbeda dengan dewasa, dan
kerentanan perkembangan system saraf pusat menerangkan frekuensi relatif
ensefalopati yang terjadi pada infeksi HIV anak.
Pasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda penyakit. Pada infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang lamanya 1 – 2 minggu
pasien akan merasakan sakit seperti flu. Dan disaat fase supresi imun simptomatik (3
tahun) pasien akan mengalami demam, keringat dimalam hari, penurunan berat
badan, diare, neuropati, keletihan ruam kulit, limpanodenopathy, pertambahan
kognitif, dan lesi oral.
Dan disaat fase infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi AIDS
(bevariasi 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS) akan terdapat gejala
infeksi opurtunistik, yang paling umum adalah Pneumocystic Carinii (PCC),
Pneumonia interstisial yang disebabkan suatu protozoa, infeksi lain termasuk
menibgitis, kandidiasis, cytomegalovirus, mikrobakterial, atipikal
1. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Acut gejala tidak khas dan mirip tanda dan gejala penyakit biasa seperti
demam berkeringat, lesu mengantuk, nyeri sendi, sakit kepala, diare, sakit
leher, radang kelenjar getah bening, dan bercak merah ditubuh.
2. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) tanpa gejala
Diketahui oleh pemeriksa kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV)
dalam darah akan diperoleh hasil positif.
3. Radang kelenjar getah bening menyeluruh dan menetap, dengan gejala
pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh selama lebih dari 3
bulan.
2.1.5 Komplikasi
1. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia
oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
2. Neurologik
a. Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human
Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan
kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan
isolasi social.
b. Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit
kepala, malaise, demam, paralise, total / parsial.
c. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan
maranik endokarditis.
d. Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human
Immunodeficienci Virus (HIV)
3. Gastrointestinal
a. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma,
dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat
badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi.
b. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam
atritis.
c. Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal
yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri
rectal, gatal-gatal dan siare.
4. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri,
hipoksia, keletihan, gagal nafas.
5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena
xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek
nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder dan sepsis.
6. Sensorik
a. Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
b. Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri.
Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV. Tes
ini meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan latex
agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak, bila
dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western blot. Tes lain adalah
dengan cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase chain reaction)
atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka dideteksi dengan tes antibodi (biasanya
digunakan pada bayi lahir dengan ibu HIV.
1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
a. ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western blot)
b. Western blot (positif)
c. P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)
d. Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut mendeteksi
enzim reverse transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat)
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
a. ED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)
b. CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksi
terhadap antigen)
c. Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)
d. Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnya
penyakit).
e. Kadar immunoglobulin (meningkat)
2.1.7 Penatalaksanaan
Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human
Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan :
1. Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan pasangan
yang tidak terinfeksi.
2. Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir
yang tidak terlindungi.
3. Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas
status Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya.
4. Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya.
5. Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir.
Ø Pada pengkajian faktor resiko anak dan bayi tertular HIV diantaranya :
· Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual
· Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan yang berganti-ganti
· Bayi yang lahir dan ibu dengan penyalahgunaan obat melalui vena
· Bayi atau anak yang mendapat tranfusi darah atau produk darah yang
berulang
· Bayi atau anak yang terpapar dengan alat suntik atau tusuk bekas yang
tidak steril
· Anak remaja yang berhubungan seksual yang berganti-ganti pasangan
B. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan Mata
o Adanya cotton wool spot ( bercak katun wol ) pada retina
o Retinitis sitomegalovirus
o Khoroiditis toksoplasma
o Infeksi pada tepi kelopak mata.
o Mata merah, perih, gatal, berair, banyak sekret, serta berkerak
o Lesi pada retina dengan gambaran bercak / eksudat kekuningan, tunggal /
multiple
2. Pemeriksaan Mulut
· Adanya stomatitis gangrenosa
· Peridontitis
· Sarkoma kaposi pada mulut dimulai sebagai bercak merah datar kemudian
menjadi biru dan sering pada platum (Bates Barbara 1998)
3. Pemeriksaan Telinga
· Adanya otitis media
· Adanya nyeri
· Kehilangan pendengaran
4. Sistem pernafasan
· Adanya batuk yang lama dengan atau tanpa sputum
· Sesak nafas
· Tachipnea
· Hipoksia
· Nyeri dada
· Nafas pendek waktu istirahat
· Gagal nafas
5. Pemeriksaan Sistem Pencernaan
· Berat badan menurun
· Anoreksia
· Nyeri pada saat menelan
· Kesulitan menelan
· Bercak putih kekuningan pada mukosa mulut
· Faringitis
· Kandidiasis esophagus
· Kandidiasis mulut
· Selaput lendir kering
· Hepatomegali
· Mual dan muntah
· Pembesaran limfa
6. Pemeriksaan Sistem Kardiovaskular
· Suhu tubuh meningkat
· Nadi cepat, tekanan darah meningkat
· Gejala gagal jantung kongestiv sekuder akibat kardiomiopatikarena HIV
7. Pemeriksaan Sistem Integumen
· Adanya varicela ( lesi yang sangat luas vesikel yang besar )
· Haemorargie
· Herpes zoster
· Nyeri panas serta malaise
8. Pemeriksaan sistem perkemihan
· Didapatkan air seni yang berkurang
· Annuria
· Proteinuria
· Adanya pembesaran kelenjar parotis
· Limfadenopati
9. Pemeriksaan Sistem Neurologi
· Adanya sakit kepala
· Somnolen
· Sukar berkonsentrasi
· Perubahan perilaku
· Nyeri otot
· Kejang-kejang
· Encelopati
· Gangguan psikomotor
· Penururnan kesadaran
· Delirium
· Meningitis
· Keterlambatan perkembangan
10. Pemeriksaan Sistem Muskuluskeletal
· Nyeri persendian
· Letih, gangguan gerak
· Nyeri otot ( Bates Barbara 1998 )
C. Pemeriksaan Laboratorium
Kemudian pada pemeriksaan diagnostik atau laboratorium didapatkan adanya
anemia, leukositopenia, trombositopenia, jumlah sel T4 menurun bila T4 dibawah
200, fase AIDS normal 1000-2000 permikrositer., tes anti body anti-HIV ( tes
Ellisa ) menunjukan terinfeksi HIV atau tidak, atau dengan menguji antibodi anti
HIV. Tes ini meliputi tes Elisa, Lateks, Agglutination,dan western blot. Penilaian
elisa dan latex menunjukan orang terinfeksi HIV atau tidak, apabila dikatakan
positif harus dibuktikan dengan tes western blot.
Tes lain adalah dengan menguji antigen HIV yaitu tes antigen P24 (dengan
polymerase chain reaction - PCR). Kulit dideteksi dengan tes antibody ( biasanya
digunakan pada bayi lahir dengan ibu terjangkit HIV).
D. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis atau masalah keperawatan yang terjadi pada anak dengan HIV / AIDS
antara lain :
1. Resiko infeksi
2. Resiko Defisit Nutrisi
3. Hipovolemia
4. Gangguan intregitas kulit
E. Intervensi Keperawatan
Terapeutik
1. Berikan suntikan pada bayi
dibagian paha anterolateral
2. Dokumentasikan informasi
vaksinisasi (mis. Nama
produsen tanggal
kadarluarsa)
3. Jadwalkan imunisasi pada
interval waktu dan tempat
Edukasi
1. Jelaskan tujuan, manfaat,
reaksi yang terjadi, jadwal,
dan efek samping
2. Informasikan imunisasi
yang dijadwalkan
pemerintah (mis. Hepatitis
B, BCG, difteri, tetanus,
pertussis, H. influenza,
polio, campak, measles,
rubela)
3. Informasikan imunisasi
yang melindungi terdapat
penyakit namun saat ini
tidak dijadwalkan
pemerintah (mis.
Influenza, pneumokokus)
4. Informasi vaksinasi untuk
kejadian khusus (mis.
Rabies, tetanus)
5. Informasikan penundaan
pemberian imunisasi tidak
berarti mengulang jadwal
imunisasi kembali
6. Informasikan penyedia
layanan pekan imunisasi
nasional yang
menyediakan vaksin gratis
2 Resiko Defisit Nutrisi Status nutrisi membaik. Manajemen gangguan
Dengan kriteria hasil : makan
1. Porsi makanan Observasi
yang dihabiskan 1. Monitor asupan dan
2. Berat badan keluarnya makanan dan
3. Indeks Masa Tubuh cairan serta kebutuhan
(IMT) kalori
Terapeutik
1. Timbang berat badan
secara rutin
2. Diskusikan perilaku
makan dan jumlah
aktivitas fisik
(olahraga) yang sesuai
3. Lakukan kontrak
perilaku (mis. Target
berat badan, tanggung
jawab perilaku)
4. Dampingi kekamar
mandi untuk
pengamatan perilaku
memuntahkan kembali
makanan
5. Berikan penguatan
positif terhadap
keberhasilan target dan
perubahan perilaku
6. Berikan konsekuensi
jika tidak mencapai
target sesuai kontrak
7. Rencanakan program
pengobatan untuk
perawatan dirumah
(mis. Medis, konseling)
Edukasi
1. Anjurkan membuat
catatan harian tentang
perasaan dan situasi
pemicu pengeluaran
makanan (mis.
Pengeluaran yang
disengaja, muntah,
aktivitas berlebihan)
2. Ajarkan pengaturan
diet yang tepat
3. Ajarkan ketrampilan
koping untuk
penyelesaian masalah
perilaku makan
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli
gizi tentang target berat
badan, kebutuhan
kalori dan pilihan
makanan
3 Hipovolemia Status cairan, Manajamen hipovolemia
membaik. Dengan Observasi
kriteria hasil : 1. periksa tanda dan
1. Kekuatan nadi gejala hipovolemia
2. Output urine (mis. Frekuensi nadi
3. Membran mukosa meningkat, nadi teraba
lembap lemah, tekanan darah
4. Ortopnea menurun, tekanan nadi
5. Dispnea menyempit, turgor kulit
6. Paroxysmal menurun, membran
nochturnal dyspnea mukosa kering, volume
(PND) urine menurun,
7. Edema anasarka hematokrit meningkat,
8. Edema perifer haus, lemah)
9. Frekuensi nadi 2. monitor intake dan
10. Tekanan darah output cairan
11. Tekanan nadi Terapeutik
12. Turgor kulit 1. hitung kebutuhan
13. Jugular venous cairan
pressure (JVP) 2. berikan posisi modified
14. Hemoglobin trendelenburg
15. hematokrit 3. berikan asupan cairan
oral
Edukasi
1. anjurkan
memperbanyak asupan
cairan oral
2. anjurkan menghindari
perubahan posisi
mendadak
Kolaborasi
1. kolaborasi pemberian
cairan IV isotonis (mis.
NaCl, RL)
2. kolaborasi pemberian
cairan IV hipotonis
(mis. Glukosa 2,5%,
NaCl 0,4%)
3. kolaborasi pemberian
cairan koloid (mis.
Albumin, plasmanate)
4. kolaborasi pemberin
produk darah
4 Gangguan Integritas Integritas kulit dan
Kulit/Jaringan jaringan meningkat
dengan kriteria hasil :
1. kerusakan jaringan
2. kerusakan lapisan
jaringan