Anda di halaman 1dari 46

TEORI THORNDIKE

Sumber Gambar : http://www.keyword-suggestions.com/ZWR3YXJkIHRob3JuZGlrZQ/


Edward lee thorndike meski secara teknis seorang fungsionalis, namun ia telah
membentuk tahapan behaviorisme Rusia dalam versi Amerika. Thorndike (1874-1949)
mendapat gelar sarjananya dari Wesleyan University di Connecticut pada tahun 1895,
dan master dari Hardvard pada tahun 1897. ketika disana, dia mengikuti kelasnya
Williyams James dan merekapun cepat menjadi akrab.dia menerima bea siswa di
Colombia, dan mendapatkan gelar PhD-nya tahun 1898. kemudian dia tinggal dan
mengajar di Colombia sampai pension pada tahun 1940.Dan dia menerbitkan suatu buku
yang berjudul “Animal intelligence, An experimental study of associationprocess in
Animal”. Buku ini yang merupakan hasil penelitian Thorndike terhadap tingkah beberapa
jenis hewan seperti kucing, anjing, dan burung.yang mencerminkan prinsip dasar dari
proses belajar yang dianut oleh Thorndike yaitu bahwa dasar dari belajar (learning) tidak
lain sebenarnya adalah asosiasi, suatu stimulus akan menimbulkan suatu respon
tertentu.Dalamusianya yang menempuh 70 tahun, beliaumasihmembacahingga 20
jurnaldalamsehari.

Teori ini disebut dengan teori S-R. dalam teori S-R dikatakan bahwa dalam proses
belajar, pertama kali organisme (Hewan, Orang) belajar dengan cara coba salah (Trial
end error). Kalau organisme berada dalam suatu situasi yang mengandung masalah, maka
organisme itu akan mengeluarkan serentakan tingkah laku dari kumpulan tingkah laku
yang ada padanya untuk memecahkan masalah itu.
Berdasarkan pengalaman itulah, maka pada saat menghadapi masalah yang serupa,
organisme sudah tahu tingkah laku mana yang harus di keluarkannya untuk memecahkan
masalah. Ia mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan suatu tingkah laku tertentu.
Seekor kucing misalnya, yang dimasukkan dalam kandang yang terkunci akan bergerak,
berjalan, meloncat, mencakar dan sebagainya sampai suatu saat secara kebetulan ia
menginjak suatu pedal dalam kandang itu sehingga kandang itu terbuka. Sejak itu, kucing
akan langsung menginjak pedal kalau ia dimasukkan dalam kandang yang sama.

Teori Belajar yang di Kemukakan Edward Leer Thorndike


Pada mulanya, pendidikan dan pengajaran di amerika serikat di dominasi oleh pengaruh
dari Thorndike (1874-1949) teori belajar Thorndike di sebut “ Connectionism” karena
belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon.
Teori ini sering juga disebut “Trial and error” dalam rangka menilai respon yang terdapat
bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya
terhadap tingkah laku beberapa binatang antara lain kucing, dan tingkah laku anak-anak
dan orang dewasa.

Teori koneksionisme adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edwar L.
Thorndike berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen ini
menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.

Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang
dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang
menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian
rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia di
depan sangkar tadi.

Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (teka-teki) itu merupakan situasi
stimulus yang merangsang kecil untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh
makanan yang ada di muka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakardan
berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada di
depannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan
pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box ini kemudian
terkenal dengan nama instrumental conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari
berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang
dikehendaki.

Berdasarkan eksperimen di atas, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah


hubungan antara stimulus dan respon. Itulah sebabnya teori koneksionisme juga disebut
“S-R Bond Theory” dan “S-R Psycology of learning” selain itu, teori ini juga terkenal
dengan “Trial and Error Learning”. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau
banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan. Apabila kita perhatikan
secara seksama dalam eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati 2 hal pokok yang
mendorong timbulnya fenomena belajar.

Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tidak
akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle
box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan menampakkan gejala
belajar untuk keluar. Sehubung dengan hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa motivasi
(seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.

Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box, merupakan efek positif atau
memuaskan yang dicapai oleh respon dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum
belajar yang disebutlaw of effect. Artinya, jika sebuah respon menghasilkan efek yang
memuaskan, hubungan antara stimulus dan respon akan semakin kuat. Sebaliknya,
semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang dicapai respon, semakin lemah pula
hubungan stimulus dan respon tersebut.

Percobaan yang dilakukan berulang-ulang maka akan terlihat beberapa perubahan yaitu :

1) Waktu yang diperlukan untuk menyentuh engsel bertambah singkat.

2) Kesalahan-kesalahan (reaksi yang tidak relevan) semakin berkurang dan malah


akhirnya kucing sama sekali tidak berbuat kesalahan lagi, begitu dimasukkan ke dalam
kotak, kucing langsung menyentuh engsel.

Teori belajar yang dekemukakan Edward Lee Thorndike disebut


denganteori Connectionism atau dapat juga di sebut Trial andError Learning.

Ciri-ciri Belajar dengan Trial and error adalah :

1. Ada motif pendorong aktivitas


2. Ada berbagai respon terhadap situasi
3. Ada eliminasi respon-respon yang gagal atau salah
4. Ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan
Hukum-hukum yang digunakan Edward L. THORNDIKE adalah hukum latihan dan
hukum efek.
Menurut Thorndike praktek pendidikan harus dipelajari searah ilmiah. Praktek
pendidikan harus dihubungkan dengan proses belajar. Menurutnya mengajar yang baik
adalah tahu apa yang hendak diajarkan, artinya tahu materi apa yang akan diberikan,
respon apa yang akan diharapkan dan kapan harus memberi hadiah/ reward.
Ada beberapa aturan yang di buat Thorndike berkenaan dengan pengajaran, yaitu:
1. perhatikan situasi murid
2. perhatikan respon apa yang diharapkan dari respon tersebut
3. ciptakan hubungan respon tersebut dengan sengaja, jangan mengharapkan
hubungan terjadi dengan sendirinya
4. situasi – situasi lain yang sama jangan diindahkan sekiranya dapat
memutuskan hubungan tersebut.
5. bilahendak menciptakan hubungan tertentu jangan membuat hubungan –
hubungan lain yang sejenis
6. buat hubungan tersebut sedemikian rupa hingga dapat perbuatan nyata
7. ciptakan suasana belajar sedemikian rupa sehingga dapat digunakan dalam
kehidupan sehari – hari
1. Hukum-Hukum yang digunakan Edward Lee Thorndike
Ada pun dari hasil percobaan Thorndike maka dikenal 3 hukum pokok, yaitu :
1. HukumLatihan(Law oF Exercise)
Hukum ini mengandung 2 hal yaitu :

1. The Law Of Use, yaitu hukum yang menyatakan bahwa hubungan atau koneksi
antara stimulus dan respon akan menjadi kuat bila sering digunakan. Dengan
kata lain bahwa hubungan antara stimulus dan respon itu akan menjadi kuat
semata-mata karena adanya latihan.
2. The Law of Disuse, yaitu suatu hukum yang menyatakan bahwa hubungan atau
koneksi antara stimulus dan respon akan menjadi lemah bila tidak ada latihan.
Prinsip ini menunjukkan bahwa ulangan merupakan hak yang pertama dalam belajar.
Makin sering suatu pelajaran yang diulang makin mantaplah bahan pelajaran tersebut
dalam diri siswa. Pada prakteknya tentu diperlukan berbagai variasi, bukan ulangan
sembarang ulangan. Dan pengaturan waktu distribusi frekuensi ulangan dapat
menentukan hasil belajar.

2. Hukum Akibat (Law of Effect)


Hukum ini juga berisikan 2 hal, yaitu :

1. suatu tindakan/perbuatan yang menghasilkan rasa puas (menyenangkan) akan


cenderung diulang, sebaliknya suatu tindakan (perbuatan) menghasilkan rasa
tidak puas (tidak menyenangkan) akancenderungtidakdiulanglagi. Hal
inimenunjukkan bagaimana pengaruh hasil perbuatan bagi perbuatan itu
sendiri.
2. Dalam pendidikan, hukum ini diaplikasikan dalam bentuk hadiah dan
hukuman. Hadiah menyebabkan orang cenderung ingin melakukan lagi
perbuatan yang menghasilkan hadiah tadi, sebaliknya hukuman cenderung
menyebabkan seseorang menghentikan perbuatan, atau tidak mengulangi
perbuatan.
3. Hukum Kesiapan (The law of readiness)
Hukum ini menjelaskan tentang kesiapan individu dalam melakukan sesuatu. Yang
dimaksud dengan kesiapan adalah kecenderungan untuk bertindak. Agar proses belajar
mencapai hasil yang sebaik-baiknya, maka diperlukan adanya kesiapan organisme yang
bersangkutan untuk melakukan belajar tersebut. Ada 3 keadaan yang menunjukkan
berlakunya hukum ini. Yaitu :

1. Bila pada organisme adanya kesiapan untuk bertindak atau berprilaku, dan bila
organisme itu dapat melakukan kesiapan tersebut, maka organisme akan
mengalami kepuasan.
2. Bila pada organisme ada kesiapan organisme untuk bertindak atau berperilaku,
dan organisme tersebut tidak dapat melaksanakan kesiapan tersebut , maka
organisme akan mengalami kekecewaan.
3. Bila pada organisme tidak ada persiapan untuk bertindak dan organisme itu
dipaksa untuk melakukannya maka hal tersebut akan menimbulkan keadaan
yang tidak memuaskan.
Di samping hukum-hukum belajar seperti yang telah dikemukakan di atas, konsep
penting dari teori belajar koneksionisme Thorndike adalah yang dinamakan Transfer of
Training. Konsep ini menjelaskan bahwa apa yang pernah dipelajari oleh anak sekarang
harus dapat digunakan untuk hal lain di masa yang akan datang. Dalam konteks
pembelajaran konsep transfer of training merupakan hal yang sangat penting, sebab
seandainya konsep ini tidak ada, maka apa yang akan dipelajarai tidak akan bermakna.

Oleh karena itu, apa yang dipelajari oleh siswa di sekolah harus berguna dan dapat
dipergunakan di luar sekolah. Misalnya, anak belajar membaca, maka keterampilan
membaca dapat digunakan untuk membaca apapun di luar sekolah, walaupun di sekolah
tidak diajarkan bagaimana membaca koran, tapi karena huruf-huruf yang diajarkan di
sekolah sama dengan huruf yang ada dalam koran, maka keterampilan membaca di
sekolah dapat ditransfer untuk membaca koran, untuk membaca majalah, atau membaca
apapun.

Selain ketiga hukum pokok di atas, Thorndike mengemukakan adanya 5 hukum


tambahan, yaitu :

1. Law of Multiple response, yaitu individu mencoba berbagai respon sebelum


mendapat respon yang tepat.
2. Law of attitude, yaitu proses belajar dapat berlangsung bila ada kesiapan
mental yang positif pada siswa.
3. Law of partial activity, yaitu individu dapat bereaksi secara selektif terhadap
kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam situasi tertentu. Individu dapat
memilih hal-hal yang pokok dan mendasarkan tingkah lakunya kepada hal-hal
yang pokok, dan meninggalkan hal-hal yang kecil.
4. Law of response by analogy, yaitu individu cenderung mempunyai reaksi yang
sama terhadap situasi baru, atau dengan kata lain individu bereaksi terhadap
situasi yang mirip dengan situasi yang dihadapinya waktu yang lalu.
5. Law of assciative shifting, yaitu sikap respon yang telah dimiliki individu
dapat melekat stimulus baru.
Menurut Thorndike, belajar dapat dilakukan dengan mencoba-coba. Mencoba-coba ini
dapat dilakukan manakala seseorang tidak tahu bagaimana harus memberikan respon.
Karakteristik belajar secara mencoba-coba adalah sebagai berikut :

1. Adanya motif pada diri seseorang yang mendorong untuk melakukan sesuatu.
2. Seseorang berusaha melakukan berbagai macam respon dalam rangka
memenuhi motif-motifnya.
3. Respon-respon yang dirasakan tidak sesuai dengan motifnya akan dihilangkan.
4. Akhirnya, seseorang mendapatkan jenis respon yang paling tepat.
Thorndike juga mengemukakan prinsip-prinsip belajar yaitu :

1. Pada saat seseorang berhadapan dengan situasi yang bagi dia termasukbaru,
berbagai ragam respon maka akan ia lakukan. Respon tersebut ada kalanya
berbeda-beda sampai yang bersangkutan memperoleh respon yang benar.
2. Apa yang ada pada diri seseorang, baik itu berupa pengalaman, kepercayaan,
sikap dan hal-hal lain yang telah ada pada dirinya turut menentukan
tercapainya tujuan yang ingin dicapai.
3. Pada diri seseorang sebenarnya terdapat potensi untuk mengadakan seleksi
terhadap unsur-unsur penting dari yang kurang atau tidak penting hingga
akhirnya dapat menentukan respon yang tepat.
4. Orang cenderung memberikan respon yang sama terhada psituasi yang sama.
5. Orang cenderung menghubungkan respon yang ia kuasai dengan situasi
tertentu tatkala menyadari bahwa respon yang ia kuasai dengan situasi tersebut
mempunyai hubungan.

Sumber Penulisan/Daftar Pustaka :

George Boeree, Sejarah Psikologi, (Cet. I; Jakatra: Prima Shopie, 2005), h. 390

Sartito Wirawan, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, (Jakarta:


Bulan Bintang, 2006), hal 124.
Muhibinsyah, Psikologi Belajar. Jakarta : Logos. 1999. Hal : 83-85

Nunzairina, Diktat Psikologi Pendidikan. Medan. 2009. Hal : 78-79

Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h. 124

Winansih, Varia, Psikolgi Pendidikan, Medan:Latansa Press, 2009. Hal 25

Nefi Damayanti, Psikologi Belajar, Hal : 54-55

Sanjaya Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta :


Kencana Prenada Media Group. 2006. Hal : 117

Ali Imran. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Pustaka Jaya. 1996. Hal : 8-9

TEORI John Broadus Watson


John Broadus Watson

Lahir John Broadus Watson


9 Januari 1878
Karolina Selatan

Meninggal 25 September
1958 (umur 80)
New York

Kebangsaan Amerika Serikat

Dikenal atas Penemu Perilaku

Karier ilmiah

Bidang Psikologi

Pembimbing J. R. Angell[1]
doktoral

Pembimbing John Dewey, H. H.


akademik lain Donaldson, Jacques
Loeb[2]

The "Little Albert" experiment


John Broadus Watson (lahir di Greenvile 9 Januari 1878; meninggal 25
September 1958) adalah seorang ahli psikologi (psikolog) Amerika
Serikat.[3] Watson mempromosikan sebuah perubahan psikologi melalui
karyanya Psychology as the Behaviorist Views it (pandangan perilaku
psikologi), yang ia dedikasikan kepada Universitas Kolumbia pada tahun
1913.[4] Ia menjelaskan bahwa tingkah laku seseorang dapat dijelaskan atas
dasar reaksi fisiologik terhadap suatu rangsangan atau stimulus.[3] Aliran ini
tidak menerima paham tentang alam sadar dan alam bawah sadar pada
kegiatan mental manusia.[3] Watson adalah guru besar dan direktur
laboratorium psikologi Universitas Johns Hopkins (tahun 1908-1920).[3]
Berdasarkan penelitiannya pada tingkah laku bayi, Watson berpendapat
bahwa pada bayi dan anak yang sangat muda terdapat tiga reaksi yang tak
perlu dipelajarinya terlebih dahulu, yaitu terkait rasa takut, kasih sayang, dan
amarah.[3] Di antara buku karangannya yang terkenal adalah, Psichology from
the standpoint of a bevaiorist tahun 1919 dan Psychological care of infant and
child tahun 1928.[3]
Pada usia 22 tahun, 20 Juli 1900, Watson sudah menuliskan karya
psikologinya, mengusulkannya pada presiden Universitas Chicago saat itu,
william Raney Harper, setahun sebelum ia lulus dari Universitas Furman,
sebuah sekolah milik yayasan Baptis dekat dengan kota kelahirannya,
Greenville.[5] Tercatat bahwa Watson merupakan pemuda penuh antusias
dalam pengetahuan, tetapi miskin. Ibunya seorang peminum.[5] Dalam kondisi
itu ia pernah menulis pernyataannya kepada Harper, "Sekarang aku tahu,
bahwa aku tidak akan pernah sampai pada sebuah universitas, kecuali aku
telah dipersiapkan lebih baik di "universitas sebenarnya" (hidup yang
menempanya).[5]
John Broades Watson dilahirkan di Greenville pada tanggal 9 Januari 1878
dan wafat di New York City pada tanggal 25 September 1958.Ia mempelajari
ilmu filsafat di University of Chicago dan memperoleh gelar Ph.D pada tahun
1903 dengan disertasi berjudul “Animal Education”. Watson dikenal sebagai
ilmuwan yang banyak melakukan penyelidikan tentang psikologi binatang.

Pada tahun 1908 ia menjadi profesor dalam psikologi eksperimenal dan


psikologi komparatif di John Hopkins University di Baltimore dan sekaligus
menjadi direktur laboratorium psikologi di universitas tersebut. Antara tahun
1920-1945 ia meninggalkan universitas dan bekerja dalam bidang psikologi
konsumen.
John Watson dikenal sebagai pendiri aliran behaviorisme di Amerika Serikat.
Karyanya yang paling dikenal adalah “Psychology as the Behaviourist view
it” (1913). Menurut Watson dalam beberapa karyanya, psikologi haruslah
menjadi ilmu yang obyektif, oleh karena itu ia tidak mengakui adanya
kesadaran yang hanya diteliti melalui metode introspeksi. Watson juga
berpendapat bahwa psikologi harus dipelajari seperti orang mempelajari ilmu
pasti atau ilmu alam. Oleh karena itu, psikologi harus dibatasi dengan ketat
pada penyelidikan-penyelidikan tentang tingkahlaku yang nyata saja.
Meskipun banyak kritik terhadap pendapat Watson, namun harus diakui
bahwa peran Watson tetap dianggap penting, karena melalui dia berkembang
metode-metode obyektif dalam psikologi.
Peran Watson dalam bidang pendidikan juga cukup penting. Ia menekankan
pentingnya pendidikan dalam perkembangan tingkahlaku. Ia percaya bahwa
dengan memberikan kondisioning tertentu dalam proses pendidikan, maka
akan dapat membuat seorang anak mempunyai sifat-sifat tertentu. Ia bahkan
memberikan ucapan yang sangat ekstrim untuk mendukung pendapatnya
tersebut, dengan mengatakan: “Berikan kepada saya sepuluh orang anak,
maka saya akan jadikan ke sepuluh anak itu sesuai dengan kehendak saya”.
B. Pandangan utama Watson
Psikologi adalah cabang eksperimental dari natural science. Posisinya setara
dengan ilmu kimia dan fisika sehingga introspeksi tidak punya tempat di
dalamnya.
Sejauh ini psikologi gagal dalam usahanya membuktikan jati diri sebagai
natural science. Salah satu halangannya adalah keputusan untuk menjadikan
bidang kesadaran sebagai obyek psikologi. Oleh karenanya kesadaran/mind
harus dihapus dari ruang lingkup psikologi.
Beberapa pandangan utama Watson:
Psikologi mempelajari stimulus dan respons (S-R Psychology). Yang dimaksud
dengan stimulus adalah semua obyek di lingkungan, termasuk juga perubahan
jaringan dalam tubuh. Respon adalah apapun yang dilakukan sebagai jawaban
terhadap stimulus, mulai dari tingkat sederhana hingga tingkat tinggi, juga
termasuk pengeluaran kelenjar. Respon ada yang overt dan covert,
learned dan unlearned
Tidak mempercayai unsur herediter (keturunan) sebagai penentu perilaku.
Perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat
penting. Dengan demikian pandangan Watson bersifat deterministik, perilaku
manusia ditentukan oleh faktor eksternal, bukan berdasarkan free will.
Dalam kerangka mind-body, pandangan Watson sederhana saja. Baginya,
mind mungkin saja ada, tetapi bukan sesuatu yang dipelajari ataupun akan
dijelaskan melalui pendekatan ilmiah. Jadi bukan berarti bahwa Watson
menolak mind secara total. Ia hanya mengakui body sebagai obyek studi
ilmiah. Penolakan dari consciousness, soul atau mind ini adalah ciri utama
behaviorisme dan kelak dipegang kuat oleh para tokoh aliran ini, meskipun
dalam derajat yang berbeda-beda. [Pada titik ini sejarah psikologi mencatat
pertama kalinya sejak jaman filsafat Yunani terjadi penolakan total terhadap
konsep soul dan mind. Tidak heran bila pandangan ini di awal mendapat
banyak reaksi keras, namun dengan berjalannya waktu behaviorisme justru
menjadi populer.]
Sejalan dengan fokusnya terhadap ilmu yang obyektif, maka psikologi harus
menggunakan metode empiris. Dalam hal ini metode psikologi
adalah observation, conditioning, testing, dan verbal reports.
Secara bertahap Watson menolak konsep insting, mulai dari karakteristiknya
sebagai refleks yang unlearned, hanya milik anak-anak yang tergantikan oleh
habits, dan akhirnya ditolak sama sekali kecuali simple reflex seperti bersin,
merangkak, dan lain-lain.
Sebaliknya, konsep learning adalah sesuatu yang vital dalam pandangan
Watson, juga bagi tokoh behaviorisme lainnya. Habits yang merupakan dasar
perilaku adalah hasil belajar yang ditentukan oleh dua hukum
utama, recency dan frequency. Watson mendukung conditioning respon Pavlov
dan menolak law of effect dari Thorndike. Maka habits adalah proses
conditioning yang kompleks. Ia menerapkannya pada percobaan phobia
(subyek Albert). Kelak terbukti bahwa teori belajar dari Watson punya banyak
kekurangan dan pandangannya yang menolak Thorndike salah.
Pandangannya tentang memory membawanya pada pertentangan dengan
William James. Menurut Watson apa yang diingat dan dilupakan ditentukan
oleh seringnya sesuatu digunakan/dilakukan. Dengan kata lain, sejauhmana
sesuatu dijadikan habits. Faktor yang menentukan adalah kebutuhan.
Proses thinking and speech terkait erat. Thinking adalah subvocal talking.
Artinya proses berpikir didasarkan pada keterampilan berbicara dan dapat
disamakan dengan proses bicara yang ‘tidak terlihat’, masih dapat
diidentifikasi melalui gerakan halus seperti gerak bibir atau gesture lainnya.
Sumbangan utama Watson adalah ketegasan pendapatnya bahwa perilaku
dapat dikontrol dan ada hukum yang mengaturnya. Jadi psikologi adlaah ilmu
yang bertujuan meramalkan perilaku. Pandangan ini dipegang terus oleh
banyak ahli dan diterapkan pada situasi praktis. Dengan penolakannya pada
mind dan kesadaran, Watson juga membangkitkan kembali semangat
obyektivitas dalam psikologi yang membuka jalan bagi riset-riset empiris
pada eksperimen terkontrol.
C. Teori dan Konsep Behaviorisme dari Watson
Teori belajar S-R (stimulus – respon) yang langsung ini disebut juga dengan
koneksionisme menurut Thorndike, dan behaviorisme menurut Watson,
namun dalam perkembangan besarnya koneksionisme juga dikenal dengan
psikologi behavioristik.
Stimulus dan respon (S-R) tersebut memang harus dapat diamati, meskipun
perubahan yang tidak dapat diamati seperti perubahan mental itu penting,
namun menurutnya tidak menjelaskan apakah proses belajar tersebut sudah
terjadi apa belum. Dengan asumsi demikian, dapat diramalkan perubahan apa
yang akan terjadi pada anak.
Teori perubahan perilaku (belajar) dalam kelompok behaviorisme ini
memandang manusia sebagai produk lingkungan. Segala perilaku manusia
sebagian besar akibat pengaruh lingkungan sekitarnya. Lingkunganlah yang
membentuk kepribadian manusia.Behaviorisme tidak bermaksud
mempermasalahkan norma-norma pada manusia. Apakah seorang manusia
tergolong baik, tidak baik, emosional, rasional, ataupun irasional. Di sini hanya
dibicarakan bahwa perilaku manusia itu sebagai akibat berinteraksi dengan
lingkungan, dan pola interaksi tersebut harus bisa diamati dari luar.
Belajar dalam teori behaviorisme ini selanjutnya dikatakan sebagai hubungan
langsung antara stimulus yang datang dari luar dengan respons yang
ditampilkan oleh individu. Respons tertentu akan muncul dari individu, jika
diberi stimulus dari luar. S singkatan dari Stimulus, dan R singkatan dari
Respons.
Pada umumnya teori belajar yang termasuk ke dalam keluarga besar
behaviorisme memandang manusia sebagai organisme yang netral-pasif-
reaktif terhadap stimuli di sekitar lingkungannya. Orang akan bereaksi jika
diberi rangsangan oleh lingkungan luarnya. Demikian juga jika stimulus
dilakukan secara terus menerus dan dalam waktu yang cukup lama, akan
berakibat berubahnya perilaku individu. Misalnya dalam hal kepercayaan
sebagian masyarakat tentang obat-obatan yang diiklankan di televisi. Mereka
sudah tahu dan terbiasa menggunakan obat-obat tertentu yang secara gencar
ditayangkan media televisi. Jika orang sakit maag maka obatnya adalah
promag, waisan, mylanta, ataupun obat-obat lain yang sering diiklankan
televisi. Jenis obat lain tidak pernah digunakannya untuk penyakit maag tadi,
padahal mungkin saja secara higienis obat yang tidak tertampilkan, lebih
manjur, misalnya : Syarat terjadinya proses belajar dalam pola hubungan S-R
ini adalah adanya unsur: dorongan (drive), rangsangan (stimulus), respons, dan
penguatan (reinforcement). Unsur yang pertama, dorongan, adalah suatu
keinginan dalam diri seseorang untuk memenuhi kebutuhan yang sedang
dirasakannya. Seorang anak merasakan adanya kebutuhan akan tersedianya
sejumlah uang untuk membeli buku bacaan tertentu, maka ia terdorong untuk
membelinya dengan cara meminta uang kepada ibu atau bapaknya. Unsur
dorongan ini ada pada setiap orang, meskipun kadarnya tidak sama, ada yang
kuat menggebu, ada yang lemah tidak terlalu peduli akan terpenuhi atau
tidaknya.
Unsur berikutnya adalah rangsangan atau stimulus. Unsur ini datang dari luar
diri individu, dan tentu saja berbeda dengan dorongan tadi yang datangnya
dari dalam. Contoh rangsangan antara lain adalah bau masakan yang
lezat, rayuan gombal, dan bahkan bisa juga penampilan seorang gadis cantik
dengan bikininya yang ketat.
Dalam dunia aplikasi komunikasi instruksional, rangsangan bisa terjadi,
bahkan diupayakan terjadinya yang ditujukan kepada pihak sasaran agar
mereka bereaksi sesuai dengan yang diharapkan. Dalam kegiatan mengajar
ataupun kuliah, di mana banyak pesertanya yang tidak tertarik atau
mengantuk, maka sang komunikator instruksional atau pengajarnya bisa
merangsangnya dengan sejumlah cara yang bisa dilakukan, misalnya dengan
bertanya tentang masalah-masalah tertentu yang sedang trendy saat ini, atau
bisa juga dengan mengadakan sedikit humor segar untuk membangkitkan
kesiagaan peserta dalam belajar.
Dari adanya rangsangan atau stimulus ini maka timbul reaksi di pihak sasaran
atau komunikan. Bentuk reaksi ini bisa bermacam-macam, bergantung pada
situasi, kondisi, dan bahkan bentuk dari rangsangan tadi. Reaksi-reaksi dari
seseorang akibat dari adanya rangsangan dari luar inilah yang disebut
dengan respons dalam dunia teori belajar ini. Respons ini bisa diamati dari
luar. Respons ada yang positif, dan ada pula yang negatif. Yang positif
disebabkan oleh adanya ketepatan seseorang melakukan respons terhadap
stimulus yang ada, dan tentunya yang sesuai dengan yang diharapkan.
Sedangkan yang negatif adalah apabila seseorang memberi reaksi justru
sebaliknya dari yang diharapkan oleh pemberi rangsangan.
Unsur yang keempat adalah masalah penguatan (reinforcement). Unsur ini
datangnya dari pihak luar, ditujukan kepada orang yang sedang merespons.
Apabila respons telah benar, maka diberi penguatan agar individu tersebut
merasa adanya kebutuhan untuk melakukan respons seperti tadi lagi. Seorang
anak kecil yang sedang mencoreti buku kepunyaan kakaknya, tiba-tiba
dibentak dengan kasar oleh kakaknya, maka ia bisa terkejut dan bahkan bisa
menderita guncangan sehingga berakibat buruk pada anak tadi. Memang anak
tadi tidak mencoreti buku lagi, namun akibat yang paling buruk di kemudian
hari adalah bisa menjadi trauma untuk mencoreti buku karena takut
bentakan. Bahkan yang lebih dikhawatirkan lagi akibatnya adalah jika ia tidak
mau bermain dengan buku lagi atau alat tulis lainnya. Itu penguatan yang
salah dari seorang kakak terhadap adiknya yang masih kecil ketika sedang
mau memulai menulis buku. Barangkali akan lebih baik jika kakaknya tadi
tidak dengan cara membentak kasar, akan tetapi dengan bicara yang halus
sambil membawa alat tulis lain berupa selembar kertas kosong sebagai
penggantinya. Misalnya, “Bagus!, coba kalau menggambarnya di tempat ini,
pasti lebih bagus”.
Dengan cara penguatan seperti itu, sang anak tidak merasa dilarang menulis.
Itu namanya penguatan positif. Contoh penguatan positif lagi, setiap anak
mendapat ranking bagus di sekolahnya, orang tuanya memberi hadiah
berwisata ke tempat-tempat tertentu yang menarik, atau setidaknya dipuji
oleh orang tuanya, maka anak akan berusaha untuk mempertahankan
rankingnya tadi pada masa yang akan datang.
Ada tiga kelompok model belajar yang sesuai dengan teori belajar
behaviorisme ini, yaitu yang menurut namanya disebut sebagai
hubungan stimulus-respons (S-R bond), pembiasaan tanpapenguatan
(conditioning with no reinforcement), dan pembiasaan dengan penguatan
(conditioning through reinforcemant). Ada satu lagi teori belajar yang masih
menganut paham behaviorisme ini adalah teori belajar sosial dari Bandura.
D. Penutup
Penekanan Teori Behviorisme adalah perubahan tingkah laku setelah terjadi
proses belajar dalam diri siswa. Teori Belajar Behavioristik mengandung
banyak variasi dalam sudut pandangan. Pelopor-pelopor pendekatan
Behavioristik pada dasarnya berpegang pada keyakinan bahwa banyak
perilaku manusia merupakan hasil suatu proses belajar dan karena itu, dapat
diubah dengan belajar baru. Behavioristik berpangkal pada beberapa
keyakinan tentang martabat manusia, yang sebagian bersifat falsafah dan
sebagian lagi bercorak psikologis, yaitu :
1. Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek.
Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku baik atau buruk, tepat
atau salah. Berdasarkan bekal keturunan atau pembawaan dan berkat
interaksi antara bekal keturunan dan lingkungan, terbentuk pola-pola
bertingkah laku yang menjadi ciri-ciri khas dari kepribadiannya.
2. Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkah lakunya sendiri,menangkap
apa yang dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri.
3. Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri pola-pola
tingkah laku yang baru melalui suatu proses belajar.
4. Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya pun
dipengaruhi oleh perilaku orang lain.

TEORI EDWIN GUTHIRE

Teori Pembelajaran Menurut Edwin Ray Guthrie – Guthrie lahir di Lincoln Nebrazka
tanggal 9 januari pada tahun 1886 dan meninggal pada tahun 1959 . setelah SMA
kemudian meneruskan studinya ke universitas Nebraska dan lulus dengan sarjana
matematika dan kemudian mengajar matematika di beberapa sekolah menengah
sambil memperdalam filsafat di Universitas Pennsylvania dan lulus sebagai doktor.
Kemudian menjadi instruktur filsafat di Universitas Washington. Setelah lima tahun ia
pindah ke Departemen Psikologi sampai karirnya berakhir. Guthrie adalah profesor
psikologi di University of Washington dari tahun 1914 sampai pensiun pada tahun
1952. Gaya tulisan Gutrie lebih mudah untuk dipelajari karena penuh humor, dan
menggunakan banyak kisah untuk menunjukkan contoh ide-idenya supaya mudah
dipahami oleh mahasiswanya. Bersama dengan Horton ia melakukan satu percobaan
yang tekait dengan teori belajarnya.[4]

Pada usia 33 tahun Guthrie pemenang nobel yang diberikan asosiasi psikologi Amerika
dalam kontribusi terakhir. Karya dasarnya adalah The Psycholoy of Learning, yang
dipublikasikan pada 1935 dan direvisi pada 1952.

Pada publikasi terahirnya sebelum meninggal, Guthrie sempat merevisi hukum


kontiguitasnya menjadi, apa-apa yang dilihat akan menjadi sinyal terhadap apa- apa
yang dilakukan”. Alasannya karena terdapat berbagai macam stimuli yang dihadapi
oleh organisme pada satu waktu tertentu dan organisme tidak mungkin membentuk
asosiasi dengan semua stimuli itu. Organisme hanya akan memproses secara efektif
pada sebagian kecil dari stimuli yang dihadapinya, dan selanjutnya proporsi inilah yang
akan diasosiasikan dengan respons.

Meskipun Guthrie menekankan keyakinannya pada hukum kontiguitas di sepanjang


karirnya, dia menganggap akan keliru jika kita menganggap asosiasi yang dipelajari
sebagaian hanya asosiasi antara stimuli lingkungan dengan prilaku nyata. Misalnya,
kejadian di lingkungan dan responsnya terkadang dipisahkan oleh satu interval waktu,
dan karenanya sulit untuk menganggap keduanya sebagai kejadian yang bersamaan.

Guthrie selanjutnya mengatasi problem tersebut dengan mengemukakan adanya


movement-product stimuli (stimuli yang dihasilkan oleh gerakan), yakni disebabkan oleh
gerakan tubuh. Contohnya, ketika mendengar telepon berdering kita berdiri dan
berjalan mendekati pesawat telepon. Sebelum kita sampai ke pesawat telepon, suara
deringan tersebut sudah tidak lagi bertindak sebagai stimulus. Kita tetap bergerak
karena ada stimuli dari gerakan kita sendiri menuju pesawat telepon.

Teori Pembelajaran Menurut Edwin Ray Guthrie – Behaviorisme merupakan salah satu
aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan
mengabaikan aspek-aspek mental, yang dengan kata lain, behaviorisme tidak
mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar.
Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga
menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Dalam konsep Behavioral, perilaku manusia
merupakan hasil belajar, sehingga dapat di ubah dengan memanipulasi dan
mengkreasi kondisi-kondisi belajar.[2]
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and
Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of
Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant
Learning; (6) The Elimination of Responses.
Teori behaviorisme sangat menekankan perilaku atau tingkah laku yang dapat diamati.
Teori-teori dalam rumpun ini sangat bersifat molekular, karena memandang kehidupan
individu terdiri atas unsur-unsur seperti halnya molekul-molekul.[3]

Ada beberapa ciri dari rumpun teori ini, yaitu :


1. Mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian terkecil
2. Bersifat mekanistik
3. Menekankan peranan lingkungan
4. Mementingkan pembentukan reaksi atau respon
5. Menekankan pentingnya latihan

Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang
dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan
(stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-
hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang
internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah
akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan
ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon).

Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan
teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik.
Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang
yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin
kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Behaviorisme banyak menentukan perkembangan psikologi terutama dalam


ekperimen-eksperimen dan ini diakui secara luas sebagai jasa besar para behavioris
dalam penelitian tentang prilaku manusia termasuk juga ilmu komunikasi yang mengkaji
manusia dan prilakunya banyak dipengaruhi oleh konsepsi behaviorisme.
Lahirnya paham ini merupakan reaksi terhadap introspeksionisme (yang menganalisis
jiwa manusia berdasarkan laporan-laporan subjektif) dan juga psikoanalisis (yang
berbicara tentang alam bawah sadar yang tidak tampak) yang sangat sulit diamati,
diukur dan diramalkan. Kaum Behavioris mencoret dari kamus ilmiah mereka semua
peristilahan yang bersifat subjektif, seperti sensasi, persepsi, hasrat, tujuan, bahkan
termasuk berpikir dan emosi sejauh kedua pengertian tersebut dirumuskan secara
subjektif”.

Belakangan, teori kaum behavioris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena
menurut mereka seluruh perilaku manusia kecuali instink adalah hasil belajar. Belajar
artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme
tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional;
behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh
faktor-faktor lingkungan. Dari sinilah timbul konsep “manusia mesin” (Homo
Mechanicus).

D. Eksperience Guthrie dan Horton

Teori Pembelajaran Menurut Edwin Ray Guthrie – Guthrie dan Horton (1946) secara
cermat mengamati sekitar delapan ratus kali tidak melepaskan diri dari kotak teka-teki
yang dilakukan oleh kucing yang kemudian observasi ini dilaporan dalam sebuah buk
yang berjudul cats in a Puzzle Box. Kotak yang ereka pakai sama dengan yang dipakai
Thorndike dalam melakukan eksperimennya. Guthrie dan Horton menggunakan banyak
kucing sebaai subyek percobaan, akan tetapi mereka melihat kucing kelar dari kotak
dengan cara sendiri-sendiri dan berbeda-beda.[5]

Dari percobaan diatas respon khusus yang dipelajari oleh hewan tertentu adalah respon
yang dilakukan hewan sebelum ia keluar dari kotak. Karena respon ini cenderung
diulang lagi saat kucing diletakkan di kotak di waktu yang lain, maka ia
dinamakan stereotyped behavior (perilaku strereotip).

Guhtrie dan Horton mengamati bahwa seringkali hewan, setelah bebas dari kotak akan
mengabaikan ikan yang diberikan kepadanya. Meskipun hewan itu mengabaikan obyek
yang disebut penguatan tersebut, kucing dapat keluar dari kotak dengan lancar ketika
diwaktu yang lain ia dimasukkan lagi ke dalam kotak. Observasi ini, menurut Guthrie
memperkuat pendapatnya bahwa penguatan hanyalah aransemen mekanis yang
mencegah terjadinya unlearning. Sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap kejadian
yang diikuti dengan respons yang diinginkan dari hewan akan mengubah kondisi yang
menstimulasi dan karenanya mempertahankan respons di dalam kondisi yang
menstimulasi sebelumnya.[6]

E. Teori Belajar Menurut Guthrie (1886-1959)

Teori Pembelajaran Menurut Edwin Ray Guthrie – Azas belajar Guthrie yang utama
adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan,
pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama.[7] Hukum
kontiguiti adalah satu prinsip asosionisme yaitu respon atas suatu situasi cendrung
diulang, bilamana individu menghadapi suatu yang sama. Kunci teori guthrie terletak
pada prinsip tunggal bahwa kontiguitas merupakan fondasi pembelajaran.

Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan
terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan
mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi.
Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan
jalan mencegah perolehan respon yang baru.

Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena itu dalam
kegiatan belajar peserta didik perlu sering diberi stimulus agar hubungan stimulus dan
respon bersifat lebih kuat dan menetap dan karena itu pula diperlukan pemberian
stimulus yang sering agar hubungan itu menjadi lebih langgeng. Selain itu, suatu
respon akan lebih kuat (dan bahkan menjadi kebiasaan) bila respon tersebut
berhubungan dengan berbagai macam stimulus.

Hukum tersebut diusulkan oleh Guthrie karena menganggap kaidah yang dikemukakan
oleh Thorndike dan Pavlov terlalu rumit dan berlebihan. Thorndike mengemukakan
bahwa, jika respons menemukan kondisi yang memuaskan maka koneksi S-R akan
menguat. Disisi lain Pavlov mengemukakan dengan hukum belajarnya dengan model
kondisional berupa CR-CS-US-UR. Unsur- unsur itulah yang dianggap oleh guthrie
berlebihan.

Stimulus dan respon cendrung bersifat sementara, persetujuan umum di kalangan


psikolog, bahwa kontiguitas stimulus dan respon merupakan kondisi yang penting bagi
proses belajar, maka dari itu diperlukan pemberian stimulus yang sering, agar
hubungan itu menjadi lebih langgeng, suatu respon akan lebih kuat dan menjadi
kebiasaan bila respon tersebut berhubungan dengan berbagaimacam stimulus, situasi
belajar merupakan gabungan stimulus dan respon, akan tetapi asosiasi ini bisa benar
dan bisa salah.

Meskipun Guthrie menekankan keyakinannya pada hukum kontiguitas di sepanjang


karirnya, dia menganggap akan keliru jika kita menganggap asosiasi yang dipelajari
sebagaian hanya asosiasi antara stimuli lingkungan dengan prilaku nyata. Misalnya,
kejadian di lingkungan dan responsnya terkadang dipisahkan oleh satu interval waktu,
dan karenanya sulit untuk menganggap keduanya sebagai kejadian yang bersamaan.

Guthrie selanjutnya mengatasi problem tersebut dengan mengemukakan adanya


movement-product stimuli (stimuli yang dihasilkan oleh gerakan), yakni disebabkan oleh
gerakan tubuh. Contohnya, ketika mendengar telepon berdering kita berdiri dan
berjalan mendekati pesawat telepon. Sebelum kita sampai ke pesawat telepon, suara
deringan tersebut sudah tidak lagi bertindak sebagai stimulus. Kita tetap bergerak
karena ada stimuli dari gerakan kita sendiri menuju pesawat telepon.

Hukuman menurut Guthrie

Teori Pembelajaran Menurut Edwin Ray Guthrie – Guthrie juga percaya bahwa
hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman
yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon
secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari.
Hukuman yang diberikan dalam proses pembelajaran harus sesuai dengan asumsi dan
ideologi yang ada dalam diri siswa.

Meskipun menurut sekolah hukuman itu tidak edukatif dan tidak efektif, bisa saja
menurut sekolah yang lain sangat efektif. Hal ini disebabkan oleh asusmi ideologis yang
diyakini di kalangan siswa. Contoh jenis hukuman di pondok pesantren tidak sesuai jika
diterapkan di sekolah formal yang jauh dari budaya pondok pesantren.[8]

Sebagai contoh, seseorang yang memiliki kebiasaan merokok sulit ditinggalkan. Hal ini
dapat terjadi karena perbuatan merokok tidak hanya berhubungan dengan satu macam
stimulus (misalnya kenikmatan merokok), tetapi juga dengan stimulus lain seperti
minum kopi, berkumpul dengan teman-teman, ingin tampak gagah, dan lain-lain.

Menurutnya suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat, akan mampu
mengubah kebiasaan seseorang. Sebagai contoh, seorang anak perempuan yang
setiap kali pulang dari sekolah, selalu mencampakkan baju dan topinya di lantai.
Kemudian ibunya menyuruh agar baju dan topik dipakai kembali oleh anaknya, lalu
kembali keluar, dan masuk rumah kembali sambil menggantungkan topi dan bajunya di
tempat gantungannya. Setelah beberapa kali melakukan hal itu, respons menggantung
topi dan baju menjadi terasosiasi dengan stimulus memasuki rumah. Meskipun
demikian, nantinya faktor hukuman ini tidak dominan dalam teori-teori tingkah laku.
Terutama setelah Skinner makin mempopulerkan ide tentang penguatan
(reinforcement).

Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun
ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie yaitu:
1. Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
2. Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si
terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
3. Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan
buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si
terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang
diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat
negatif tidak sama dengan hukuman.

Ketidak samaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar
respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat
negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin
kuat.

Misalnya, seorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa
tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi
jika sesuatu tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi
(bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki
kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan
negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk
memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan
penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respon.
Efektifitas hukuman ditentukan oleh apa penyebab apa penyebab tindakan yang
dilakukan oleh organisme yang dihukum itu. Hukuman bekerja dengan baik bukan
kerena rasa sakit yang dialami oleh individu yang terhukum, akan tetapi karena
hukuman mengubah cara indiviu merespons stimuli yang sama. Hukuman dikatakan
berhasil ketika hukuman berhasil mengubah perilaku yang tidak diinginkan karena
hukuman menimbulkan perilaku yang tidak kompatibel dengan perilaku yang dihukum.
Dan hukuman dikatakan gagal apabila perilaku yang disebabkan oleh hukuman selaras
dengan perilaku yang dihukum.[9]
Karena pandangan Guthrie tentang asosiasi tergantung pada stimulus dan respon,
peran penguatan memiliki interpretasi unik. Guthrie percaya pada pembelajaran satu
kali mencoba, dengan kata lain kedekatan hubungan antara elemen-elemen stimulus
dan respon langsung menghasilkan ikatan asosiatif penuh.[10]

Dorongan Menurut Guthrie

Teori Pembelajaran Menurut Edwin Ray Guthrie – Drives (dorongan) fisiologis


merupkan apa yang oleh Guthrie dikatakan maintaining stimuli (stimuli yang
mempertahankan) yang menjaga organisme tetap aktif sampai tujuan tercapai.
Misalnya, rasa lapar menghasilkan stimuli internal yang terus ada sampai makanan
dikonsumsi. Ketika makan diperoleh, maintaining stimuli akan hilang, dan karenanya
kondisi yang menstimulasi telah berubah.[11]

Lupa Menurut Guthrie

Menurut Guthrie, lupa disebabkan oleh munculnya respons alternatif dalam satu
pola stimulus. Setelah pola stimulus menghasilkan respons alternatif, pola stimulus itu
kemudian akan cenderung menghasilkan respons baru. Jadi menurut Guthrie, lupa
pasti melibatkan proses belajar baru. Ini adalah bentuk retroactive inhibition (hambatan
retroaktif) yang ekstrem, yakni fakta bahwa proses belajar lama diintervensi oleh proses
belajar baru.

Untuk menunjukkan hambatan retroaktif, contohnya sebagai berikut: Seseorang yang


belajar tugas A dan kemudian belajar tugas B lalu diuji untuk tugas A. satu orang
lainnya belajar tugas A, tetapi tidak belajar tugas B, dan kemudian diuji pada tugas A.
secara umum akan ditemukan bahwa orang pertama mengingat tugas A lebih sedikit
ketimbang orang kedua. Jadi, tampak bahwa mempelajari hal baru (tugas B) telah
mencampuri retensi dari apa yang dipelajari sebelumnya (tugas A).
Guthrie menerima bentuk hambatan retroaktif ektrim ini. Pendapatnya adalah bahwa
setiap kali mempelajari hal yang baru, maka proses itu akan menghambat sesuatu yang
lama. Dengan kata lain, lupa disebabkan oleh intervensi. Tak ada intervensi, maka lupa
tidak akan terjadi.

Transfer Training Menurut Guthrie

Teori Pembelajaran Menurut Edwin Ray Guthrie – Gutrhrie dalam hal ini kurang terlalu
berharap. Karena pada dasarnya seseorang akan menunjukkan respons yang sesuai
dengan stimuli jika pada kondisi yang sama. Guthrie selalu mengatakan pada
mahasiswa universitasnya, jika anda ingin mendapat manfaat terbesar dari studi anda,
anda harus berlatih dalam situasi yang persis sama-dalam kursi yang sama-di mana
anda akan diuji. Jika anda belajar sesuatu di kamar, tidak ada jaminan pengetahuan
yang diperoleh disitu akan ditransfer ke kelas.

Saran Guthrie adalah selalu mempraktikkan perilaku yang persis sama yang akan
diminta kita lakukan nanti, selain itu, kita harus melatihnya dalam kondisi yang persis
sama dengan kondisi ketika nanti kita diuji. Gagasan mengenai pemahaman, wawasan
dan pemikiran hanya sedikit, atau tidak ada maknanya bagi Guthrie. Satu-satunya
hukum belajar adalah hokum kontiguitas, yang menyatakan bahwa ketika dua kejadian
terjadi bersamaan, keduanya akan dipelajari.[12]

F. Teori Conditioning dari Guthrie

Guthrie mengemukakan bahwa tingkah laku manusia itu secara keseluruhan dapat
dipandang sebagai deretan-deretan tingkah laku yang terdiri dari unit-unit. Unit-unit
tingkah laku ini merupakan reaksi atau respons dari perangsang atau stimulus
sebelumnya, dan kemudian unit tersebut menjadi pula stimulus yang kemudian
menimbulkan response bagi unit tingkah laku yang berikutnya. Demikianlah seterusnya
sehingga merupakan deretan-deretan unit tingkah laku yang terus-menerus. Jadi pada
proses conditioning ini pada umumnya terjadi proses asosiasi antara unit-unit tingkah
laku satu sama lain yang berurutan. Ulangan-ulangan atau latihan yang berkali-kali
memperkuat asosiasi yang terdapat antara unit tingkah laku yang satu dengan unit
tingkah laku yang berikutnya.

Sebagai penjelasan dari percobaan Pavlov sebagai berikut: Pada mulanya anjing
percobaan keluar air liur ketika disodorkan makanan. Setelah berkali-kali sambil
menyodorkan makanan dilakukan juga menyorotkan sinar merah kepada anjing itu;
pada suatu ketika hanya dengan menyorotkan sinar merah, anjing itu keluar juga air
liurnya. Jadi, dalam hal ini terjadi asosiasi yang makin kuat antara sinar merah
(stimulus) dengan keluarnya air liur (respons). Yang penting pula diperhatikan dalam
percobaan itu ialah; dapat diubahnya suatu stimulus (unit) tertentu dengan stimulus
yang lain. Karena itu, menurut Guthrie untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan yang
tidak baik, harus dilihat dalam rentetan deretan unit-unit tingkah lakunya, kemudian kita
usahakan untuk menghilangkan unit yang tidak baik itu atau menggantinya dengan
yang lain yang seharusnya.

Berikut ini sebuah contoh sebagai penjelasan. Seorang ibu datang menanyakan kepada
Guthrie, bahwa anak perempuannya setiap pulang dari sekolah selalu melemparkan tas
dan pakaiannya ke sudut kamarnya, kemudian ganti pakaian dan terus makan tanpa
meletakkan tas dan pakaiannya pada gantungan yang telah tersedia untuk itu.
Teguran-teguran ibu untuk menggantungkan tas dan pakaian pada tempatnya, hanya
berlaku satu atau dua, hari saja, sesudah itu kebiasaan yang buruk berulang lagi.
Bagaimana cara memperbaiki kebiasaan buruk pada anak tersebut?

Guthrie menyarankan (sesuai dengan teori conditioning) perbaikan seperti berikut:

Teguran ibu jangan hanya menyuruh menggantungkan tas dan pakaiannya sesudah
anak itu makan, akan tetapi anak tersebut harus disuruh memakai pakaian itu lagi dan
menyandang tasnya dan kemudian anak itu masuk ke rumah lagi terus
menggantungkan tasnya dan pakaiannya, berganti pakaian, dan selanjutnya makan.
Jadi, proses berlangsungnya unit-unit tingkah

G. Teori Keterhubungan Guthrie

Teori Pembelajaran Menurut Edwin Ray Guthrie – Guthrie lebih menekankan pada
hubungan antara stimulus dan respons, dan beranggapan bahwa setiap respons yang
didahului atau dibarengi suatu stimulus atau gabungan dari beberapa stimulus akan
timbul lagi bila stimulus tersebut diulang lagi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa suatu
stimulus tertentu akan menimbulkan respons tertentu. Suatu respons hanya terbina
oleh satu kali percobaan saja, oleh karena itu pengulangan atau repetisi tidak
memperkuat hubungan stimulus respons. Namun demikian, Guthrie menekankan pada
pentingnya pengulangan atau drill. Pengulangan tersebut bukan dimaksudkan untuk
memperkuat hubungan, tetapi untuk membina atau memasangkan stimulus yang cocok
dengan respons yang diharapkan. Guthrie memulai proses pendidikannya dengan
memaparkan tujuan-tujuannya serta dengan mengemukakan respons-respons apa
yang perlu dibuat terhadap rangsangan tertentu. Kemudian dia akan menciptakan
lingkungan belajar yang tertata sedemikian rupa sehingga respons yang diinginkan
dihasilkan sesuai dengan rangsangan yang ada. Motivasi bagi Guthrie bahkan lebih
tidak penting lagi sebagaimana yang dianggap penting oleh Thorndike. Apa yang
diperlukan dalam proses belajar hanyalah agar siswa memberikan respons yang tepat
ketika hadir suatu rangsangan.

Latihan dianggap penting sekiranya hal ini menyebabkan lebih banyak terjadinya
rangsangan yang menghasilkan perilaku yang diinginkan. Karena setiap pengalaman
sifatnya unik, maka siswa harus mempelajarinya berulang-ulang. Tidak ada jaminan
bahwa siswa yang sudab belajan dua tambah dua sama dengan empat (2 + 2 = 4) di
papan tulis akan menjawab sama ketika ia telah duduk di bangkunya. Dengan demikian
siswa tidak hanya diharuskan belajar bahwa dua balok tambah dua balok sama dengan
empat balok, tetapi mereka harus juga membuat pertambahan yang baru dengan
menggunakan benda-benda lain, seperti apel, buku, kucing, dll.

Meskipun pembelajaran secara konstan berlangsung terus, pendidikan dalam kelas


merupakan suatu usaha untuk menghubungkan stimulus tertentu dengan responsnya
dengan penuh tujuan. Seperti juga Thorndike, Guthrie percaya bahwa pendidikan
formal harus menyerupai situasi kehidupan nyata sebanyak mungkin. Para guru
penganut teori Guthrie akan diperbolehkan untuk kadang-kadang menggunakan
hukuman untuk menangani perilaku siswa yang menyimpang. Agar pemakaiannya
efektif, hukuman harus digunakan ketika perilaku menyimpang tadi terjadi.

Lebih jauh lagi hukuman harus menyebabkan timbulnya perilaku yang bertentangan
dengan perilaku menyimpang tadi. Jika misalnya siswa yang sedang membuat
kegaduhan di kelas dihukum dengan cara diteriaki oleh guru, tetapi reaksinya malah
membuat kegaduhan yang lebih besar, maka hukuman itu malah akan menguatkan
perilaku yang sedang dilakukannya.

H. Metode yang dirumuskan Gutrie

Gutrie merumuskan beberapa metode yang diantaranya adalah:[13]


1. Metode Threshold (Ambang) : yaitu metode mencari petunjuk yang memicu kebiasaan
buruk dan melakukan respons lain saat petunjuk itu muncul. Misalnya, saat diketahui
alasan merokok karena stres, maka ketika suatau saat stres itu datang lakukan kegiatan
lain.
2. Metode Fatigue (kelelahan) : yaitu, membiarkan respons terus menerus hingga tidak lagi
menjadi fungsi dari stimulus. Misalnya, gadis kecil senang menyalakan korek api,
tugasnya adalah membiarkannya sampai dia merasa menyalakan korek api tidak lagi
menyenangkan.
3. Metode Incompatible Stimuli (stimuli menyimpang): yaitu memberikan penyandingan
terhadap stimuli karena dianggap dapat menimbulkan respons buruk. Misalnya, ibu
memberi anaknya sebuah boneka, tetapi anak justru takut dan gemetar. Jadi, ibu harus
menjadi stimulus yang dominan agar kombinasi keduanya berbentuk relaksasi.

Ketiga metode di atas menurut Guthrie efektif karena disajikan suatu petunjuk tindakan
yang tidak diinginkan dan berusaha mempengaruhi agar tindakan itu tidak dilakukan,
karena ada stimuli utuk perilaku lain yang terjadi dan membuat respons yang buruk
menjadi tersingkirkan.

I. Pendapat Guthrie Tentang Pendidikan

Teori Pembelajaran Menurut Edwin Ray Guthrie – Seperti halnya Thorndike, Guthrie
menyarankan proses pendidikan dimulai dengan menyatakan tujuan, yakni menyatakan
respons apa yang harus dibuat untuk stimuli. Dia menyarankan lingkungan belajar yang
akan memunculkan respons yang diinginkan bersama dengan adanya stimuli yang
akan diletakkan padanya. Jadi motivasi dianggap tidak terlalu penting, yang diperlukan
adalah siswa mesti merespons dengan tepat dalam kehadiran stimuli tertentu.
Latihan (praktik) adalah penting karena ia menimbulkan lebih banyak stimuli untuk
menghasilkan perilaku yang diinginkan.karena setiap pengalaman adalah unik,
seseorang harus “belajar ulang” berkali-kali. Guthtrie mengatakan bahwa belajar 2
ditambah 2 di papan tulis tidak menjamin siswa bisa 2 ditambah 2 ketika dibangku.
Karena memungkinkan siswa akan belajar meletakkan respons pada setiap stimuli (di
dalam atau di luar kelas).

J. Praktik latihan

Dalam praktiknya guthrie memandang bahwa praktik latihan Meningkatkan Performa,


dan dalam hal ini Guthrie membedakan antara act (tindakan) dengan movement
(gerakan). Gerakan adalah kontraksi otot, tindakan terdiri dari berbagai macam
gerakan. Tidakan biasanya didefinisikan dalam term apa-apa yang dicapainya, yakni
perubahan apa yang mereka lakukan dalam lingkungan. Sebagai contoh tindakan,
Guthrie menyebut misalnya mengetik surat, makan pagi, dll.
Adapun untuk belajar tindakan membutuhkan praktik latihan. Belajar bertindak, yang
berbeda dari gerakan, jelas membutuhkan praktik sebab ia mengharuskan gerakan
yang tepat telah diasosiasikan dengan petunjuknya. Bahkan menurut Guthrie, tindakan
sederhana seperti memegang raket membutuhkan beberapa gerakan berbeda sesuai
jarak dan arah posisi subjek itu. Untuk itulah diperlukan sebuah latihan, karena dengan
menguasai sebuah tindakan tidak menjamin pada saat waktu, jarak, dan posisi yang
berbeda tindakan itu masih dapat dilakukan.

Seperti Guthrie dan Thorndike percaya bahwa pendidikan formal seharusnya


menyerupai situasi nyata semirip mungkin. Dengan kata lain guru meminta siswanya
untuk melakukan ata mempelajari hal-hal yang kelak akan mereka lakukan saat mereka
lulus nanti. Guthrie mendukung program magang atau monitoring dan mendorong
progam pertukaran pelajar untuk memperluas pengalaman pelajar.
K. Sifat Pengetahuan menurut Edwin Ray Guthrie

Teori Pembelajaran Menurut Edwin Ray Guthrie – Yang menggantikan kekuatan dalam
teori Guthrie, Pada poin ini Gutrie menggunakan isu yang dibahas Thorndike, ketika
satu respons menimbulkan keadaan yang memuaskan, maka selanjutnya terulangnya
respons akan meningkat. Guthrie menganggap hukum efek tidak dibutuhkan. Menurut
Guthrie, reinformance (penguatan) hanyalah aransemen mekanis, yang dianggap dapat
dijelaskan dengan hukum belajaranya.

Gutrie menganggap, penguatan mengubah kondisi yang menstimulasi, dan karenanya


mencegah terjadinya nonlearning. Misalnya, dalam kotak teka teki, hal yang dilakukan
hewan sebelum menerima satu penguat adalah menggerakkan satu tuas atau menarik
cincin, yang membuatanya bisa keluar dari kotak itu, dan seterusnya. Oleh karena
itulah, Guthrie dan Horton mengatakan, menurut pendapat mereka tindakan yang
dilakukan oleh kucing itu akan selalu sama, karena kucing itu menganggap itulah
caranya membebaskan diri dari kotak. Oleh karena itu, tidak memungkinkan adanya
respons baru yang dihubungkan dengan kotak tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Gage, N.L., & Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second Edition, Chicago:
Rand Mc. Nally] Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta:
CV. Rajawali Moll, L. C.
Surya, Mohamad Teori-teori konseling, Bandung: CV Pustaka Bani Quraisy, 2003.

Syaodih, Nana Sukmadinata, Landasan psikologi dalam proses pendidikan, Bandung:


PT Remaja Rosdakarya, 2005.

B.R Hergenhahn dan Mattew H. Olson, Theories of Learning, Jakarta: Prenada Media
Group, 2010.

Gredler, Bell. E. Margaret. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali, 1991.

Muchith, M. Saekhan, Pembelajaran Kontekstual. Semarang: Rasail Media Group.

F Brennan, James sejarah dan system psikologi, Jakarta: PT Raja Grafindo persada,
2006.

[1] Gage, N.L., & Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second Edition, Chicago:
Rand Mc. Nally] Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta:
CV. Rajawali Moll, L. C.
[2] Mohamad Surya, Teori-teori konseling, (Bandung: CV Pustaka Bani Quraisy,
2003),hal. 22
[3] Nana Syaodih sukmadinata, Landasan psikologi dalam proses pendidikan,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005),hal. 168
[4] B.R Hergenhahn dan Mattew H. Olson, Theories of Learning, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2010), hal. 225
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Bell Gredler, E. Margaret. Belajar dan Membelajarkan.( Jakarta: CV. Rajawali, 1991)
hal.109
[8] M. Saekhan Muchith, M. Pd, Pembelajaran Kontekstual. (Semarang: RaSAIL Media
Group). Hlm, 53-54
[9] Opcit, BR. Hergenhahn, hal. 238
[10] James F Brennan, sejarah dan system psikologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo
persada, 2006),hal. 369
[11] Opcit, BR. Hergenhahn, hal. 241
[12] Ibid
[13] Opcit, Theory Of Learning, hal.65
TEORI B.F SKINER

Sejarah Hidup Burrhus Frederic Skinner Burrhus Frederic Skinner (B.F. Skinner) lahir di
Susquehanna, Pennsylvania, pada tanggal 20 Maret 1904. Ia merupakan anak pertama dari
pasangan William Skinner dan Grace Mange Burrhus Skinner. Ayahnya adalah seorang
pengacara dan seorang politisi, sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Skinner
tumbuh dalam suasana dan lingkungan yang nyaman, bahagia, dan dengan derajat ekonomi
keluarga menengah ke atas. Orang tuanya menerapkan nilai-nilai kesederhanaan, kebaktian,
kejujuran, dan kerja keras dalam menjalani kehidupan. Keluarga skinner adalah orang-orang
gereja, namun Skinner pernah hampir kehilangan kepercayaan terhadap agama ketika masih
duduk di bangku sekolah menengah. dan kemudian ia tidak menjalankan atau mengikuti agama
apapun.1 Ketika berusia 2 setengah tahun, adiknya, Edward yang biasa disapa Ebbie lahir.
Skinner merasa bahwa adiknya lebih disayang oleh kedua orang tuanya. Namun, ia tidak
merasa kehilangan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Pada tahun pertama Skinner di
perguruan tinggi, adiknya, Ebbie meninggal dunia. Sejak saat itu kedua orang tuanya menjadi
progresif dan sulit memberikan izin kepada Skinner untuk bepergian. Mereka menginginkan
Skinner menjadi anak rumahan “The Family Boy” saja. Dengan sungguh-sungguh kedua orang
tuanya sukses menjalankan kewajiban dengan menjaga kestabilan keuangan Skinner, bahkan
hingga ia menjadi seorang psikologi terkemuka di Amerika. Pada tahun pertama, Skinner
tertarik untuk menjadi seorang penulis profesional, dengan tujuan atau cita-citanya
mempublikasikan Walden Two ketika ia mulai berusia 40 tahun. Ketika Skinner tamat dari
sekolah menengah, keluarganya pindah ke Scranton, Pennsylvania. Dan hampir dengan seketika
Skinner masuk ke Peguruan Tinggi Hamilton, sebuah sekolah kesenian liberal di Clinton, New
York. Setelah mendapatkan gelar sarjana muda di Inggris, Skinner menyadari ambisinya untuk
menjadi seorang penulis yang kreatif. Skinner memberi tahu ayahnya bahwa ia berkeinginan
untuk menghabiskan waktu satu tahun dengan tanpa bekerja di rumah kecuali menulis. Dengan
alasan akan kebutuhan untuk membangun/membentuk kehidupan, ayahnya (William Skinner)
dengan terpaksa mendukung skinner selama satu tahun ini, dengan kondisi atau alternatif
skinner akan mendapatkan pekerjaan yang lain jika karir menulisnya tidak sukses. Namun,
datang sebuah surat pemberi harapan dari Robert Frost, dengan suratya ia memberikan
harapan kepada Skinner untuk menjadi seorang penulis karena ia telah membaca tulisan-tulisan
Skinner.2 Skinner pun kembali ke rumah orang tuanya di Scranton, belajar di loteng dan mulai
menulis dari pagi hari. Namun, usahanya tidak produktif karena ia malah tidak memiliki ide
untuk disampaikan dan dituangkan dalam tulisantulisannya. Hingga satu tahun itu disebut
sebagai “Tahun Kegelapan” bagi Skinner. Tahun kegelapan tersebut memberikan gambarana
akan kuatnya kebimbangan identitas hidup Skinner, dan ini bukanlah kirisis identitas yang
terakhir bagi Skinner. Di akhir tahun kegelapannya yang berlangsung selama 18 bulan, Skinner
dihadapi dengan permintaan untuk mencari pekerjaan baru. Psikologi pun memberinya isyarat.
Setelah membaca beberapa karya Watson dan Pavlov, ia memutuskan untuk menjadi seorang
behavioris. Ia pun tidak pernah ragu terhadap keputusannya tersebut dan dengan kesungguhan
hati menerjunkan dirinya ke dalam behaviorisme radikal. Meskipun Skinner tidak pernah
mengambil pendidikan sarjana psikologi, Harvard menerimanya sebagai mahasiswa lulusan
psikologi. Setelah mendapatkan gelar Ph.D pada tahun 1931, Skinner menerima beasiswa dari
Dewan Penelitian Nasional untuk melanjutkan penelitian laboratoriumnya di Harvard. Skinner
pun menjadi pecaya diri dengan identitasnya sebagai seorang behavioris. Ia juga membuat garis
besar cita-cita/tujuannya dalam 30 tahun ke depan. Dalam rencananya, Skinner juga terus
mengingatkan dirinya untuk benar-benar taat dan sungguh-sungguh dalam mendalami
metodologi behavioristik. Di tahun 1960, Skinner telah berhasil mewujudkan fase terpenting
dalam rencananya.3 Pada tahun, 1936, Skinner mulai mendapatkan posisi atau kedudukan pada
pengajaran dan penelitian di Universitas Minnesota. Sesaat setelah pindah ke Minneapolis, ia
memiliki seorang kekasih dengan masa pacaran yang pendek dan tidak menentu. Hingga ia
kemudian menikah dengan Yvonne Blue. Skinner mempunyai 2 orang anak, yaitu Julie yang
lahir pada tahun 1938 dan Deborah (Debbie) yang lahir pada tahun 1944. Dalam tahun-
tahunnya di Minnesota, Skinner menerbitkan buku pertamanya yang berjudul The Behavior of
Organisms (1938). Di usiannya yang ke-40 tahun, Skinner masih bergantung kepada bantuan
keuangan dari ayahnya untuk berjuang dalam ketidak berhasilannya menulis buku mengenai
perilaku lisan (Behavior Verbal). Karena ia tidak sepenuhnya terlepas dari “Tahun Kegelapan”
dalam 20 tahun pertama. Meski Skinner menjadi sukses dan menjadi seorang behavioris
terkemuka, ia lamban dalam mengatur dan menghasilkan keuangannya sendiri. Dengan model
kekanak-kanakan, ia mengijinkan orang tuanya untuk membayar mobil, liburan, pendidikan
anakanaknya di sekolah, bahkan rumah untuk keluarganya.4 Ketika Skinner masih menuntut
ilmu di Universitas Minnesota, ayahnya memberikan penawaran kepada Skinner, bahwa ia akan
membayar gaji sekolah musim panasnya jika ia terlebih dahulu mengajar selama musim panas
dan membawa istri serta kedua anaknya ke Scranton. Skinner pun menerima tawaran dari
ayahnya untuk pindah ke Scranton serta untuk kembali menulis. Namun, buku yang ia tulis
masih belum dapat diselesaikan juga hingga beberapa tahun mendatang. Pada tahun 1945,
Skinner meninggalkan Minnesota untuk mengetuai/mengepalai sebuah Departemen Psikologi
di Universitas Indiana, sebuah pilihan yang menjadikannya lebih frustasi karena tugas-tugas
administifnya menjemukan, ditambah Skinner belum merasakan pengetahuan dan pengalaman
akan psikologi itu sendiri. Namun, istrinya memiliki perasaan atau anggapan yang bertentangan
dengan Skinner. Ia beranggapan bahwa meskipun begitu, krisis pribadi Skinner akan segera
berkahir dan karir profesionalnya pun akan datang.

“ Living is Learning”, merupakan sepenggal kalimat yang dikemukakan oleh Havighurst


(1953). Dengan kalimat tersebut memberikan gambaran bahwa belajar merupakan hal
yang sangat penting, sehingga tidaklah mengherankan bahwa banyak orang ataupun
ahli yang membicarakan masalah belajar. Hampir semua pengetahuan, sikap,
ketrampilan, perilaku manusia dibentuk, diubah dan berkembang melalui belajar.
Kegiatan belajar dapat berlangsung dimana dan kapan saja. Di rumah, di sekolah, di
pasar, di toko, di masyarakat luas, pagi, sore dan malam. Karena itu, belajar
merupakan masalah bagi setiap manusia. Oleh sebab itu dibutuhkan cara belajar yang
tepat untuk menghasilkan perubahan sikap yang baik pula.

Banyak teori tentang belajar yang telah berkembang mulai abad ke 19 sampai sekarang
ini. Pada awal abad ke-19 teori belajar yang berkembang pesat dan memberi banyak
sumbangan terhadap para ahli psikologi adalah teori belajar tingkah laku
(behaviorisme) yang awal mulanya dikembangkan oleh psikolog Rusia Ivan Pavlov
(tahun 1900-an) dengan teorinya yang dikenal dengan istilah pengkondisian
klasik (classical conditioning) dan kemudian teori belajar tingkah laku ini dikembangkan
oleh beberapa ahli psikologi yang lain seperti Edward Thorndike, B.F Skinner dan
Gestalt. Teori belajar behaviorisme ini berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan
diamati. Pengulangan dan pelatihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat
menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah
terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat
penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif.
Evaluasi atau Penilaian didasari atas perilaku yang tampak. Dalam teori belajar ini guru
tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh
baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi.

PEMBAHASAN

Pengertian Belajar

Skinner (1958) memberikan definisi belajar “ Laerning is a process of progressive


behavior adaptation”. Dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa belajar itu
merupakan suatu proses adaptasi perilaku yang bersifat progresif. Ini berarti bahwa
sebagai akibat dari belajar adanya sifat progresifitas, adanya tendensi kearah yang
lebih baik dari keadaan sebelumnya.
McGeoch (lih. Bugelski, 1956) memberikan definisi tentang belajar “ Learning as a
result of practice”. Ini berarti bahwa belajar membawa perubahan pada penampilan dan
perubahan itu sebagai akibat dari latihan (practice). Pengertian latihan atau practice
mengandung arti bahwa adanya usaha dari individu yang belajar. Baik yang
dikemukakan oleh Skinner maupun yang dikemukakan oleh McGeoch memberikan
gambaran bahwa sebagai akibat belajar adanya perubahan yang dialami oleh individu
yang bersangkutan. Hanya oleh McGeoch dikemukakan perubahan itu sebagai akibat
dari latihan, sedangkan apa yang dikemukakan Skinner tidak secara jelas hal tersebut
diajukan.

Morgan, dkk (1984) memberikan definisi mengenai belajar “ Learning can be defined as
any relatively permanent change in behavior which occurs as a result of practice or
experience”. Hal yang muncul dalam definisi adalah perubahan perilaku atau
performance itu relative permanent.. Di samping itu juga dikemukakan bahwa
perubahan prilaku itu sebagai akibat belajr dari latihan (practice) atau karena
pengalaman (experience). Pada pengertian latihan dibutuhkan usaha dari individu yang
bersangkutan, sedangkan dari pengertian pengalaman usaha tersebut tidak tentu
diperlukan. Ini mengandung arti bahwa dengan pengalaman seseorang atau individu
dapat berubah perilakunya, disamping perubahan itu dapat disebabkan oleh karena
latihan.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa belajar secara sederhana
dikatakan sebagai proses perubahan dari belum mampu menjadi sudah mampu, terjadi
dalam jangka waktu tertentu. Perubahan yang terjadi itu harus secara relative bersifat
menetap (permanent) dan tidak hanya terjadi pada perilaku yang saat ini nampak
(immediate behavior) tetapi juga pada prilaku yang mungkin terjadi di masa mendatang
(potential behavior. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa perubahan-
perubahan tersebut terjadi kareana pengalaman.

Teori behavioristik

Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman (Gage, Berliner, 1984). Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara
stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia
dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang
penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus
adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi
atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses
yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak
dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon,
oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh
siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran,
sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya
perubahan tingkah laku tersebut.
Teori belajar behavioristik yang dicetuskan oleh Gagne dan Berliner tentang perubahan
tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran
psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik
pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.

Teori behavioristik memandang individu hanya dari sisi jasmaniah, dan mengabaikan
aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya
kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar
semata-mata melatih siswa sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang
dikuasai individu. Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1)
Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3)
Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in
Operant Learning; (6) The Elimination of Responses. Kaum behavioris menjelaskan
bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan
punishment menjadi stimulus untuk merangsang pembelajar dalam berperilaku.

Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi
belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan dan belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan
respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi
dalam hubungan stimulus dan respon. Pandangan behavioristik juga kurang dapat
menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki
pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa
dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama,
ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas
sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya
stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya
pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati
tersebut.

Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen,
tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses
pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target
tertentu, sehingga menjadikan siswa tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang
belajar sebagai individu yang pasif. Demikian halnya dalam pembelajaran, siswa
dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari
pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur
dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus
dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur
hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak
teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.

Sejarah Munculnya Teori Kondisioning Operan B.FSkinner


Asas pengkondisian operan B.F Skinner dimulai awal tahun 1930-an, pada waktu
keluarnya teori S-R. Pada waktu keluarnya teori-teori S-R. Pada waktu itu model
kondisian klasik dari Pavlov telah memberikan pengaruh yang kuat pada pelaksanaan
penelitian. Istilah-istilah seperti cues (pengisyaratan), purposive behavior (tingkah laku
purposive) dan drive stimuli (stimulus dorongan) dikemukakan untuk menunjukkan daya
suatu stimulus untuk memunculkan atau memicu suatu respon tertentu. Skinner tidak
sependapat dengan pandangan S-R dan penjelasan reflex bersyarat dimana stimulus
terus memiliki sifat-sifat kekuatan yang tidak mengendur. Menurut Skinner penjelasan
S-R tentang terjadinya perubahan tingkah laku tidak lengkap untuk menjelaskan
bagaimana organisme berinteraksi dengan lingkungannya. Bukan begitu,banyak
tingkah laku menghasilkan perubahan atau konsekuensi pada lingkungan
yangmempunyai pengaruh terhadap organisme dan dengan begitu mengubah
kemungkinan organisme itu merespon nanti. Asas-asas kondisioning operan adalah
kelanjutan dari tradisi yang didirikan oleh John Watson. Artinya, agar psikologi bisa
menjadi suatu ilmu, maka studi tingkah laku harus dijadikan fokus penelitian psikologi.
Tidak seperti halnya teoritikus-teoritikus S-R lainnya, Skinner menghindari kontradiksi
yang ditampilkan oleh model kondisioning klasik dari Pavlov dan kondisioning
instrumental dari Thorndike. Ia mengajukan suatu paradigma yang mencakup kedua
jenis respon itu dan berlanjut dengan mengupas kondisi-kondisi yang bertanggung
jawab atas munculnya respons atau tingkah laku operan

Eksperimen Skinner

Dalam eksperimen Skinner (Muhibbin Syah, 2003: 99), Skinner menggunakan


seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang kemudian terkenal dengan
“Skinner Box”. Peti sangkar ini terdiri atas dua komponen yaitu: manipulandum dan alat
pemberi reinforcement yang antara lain berupa wadah makanan. Manipulandum adalah
komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan
reinforcement. Komponen ini terdiri dari tombol, batang jeruji, dan pengungkit. (Rober,
1988).

Dalam eksperimen ini, mula-mula tikus mengeksplorasi pati sangkar dengan


berlari-lari atau mencakari dinding. Aksi ini disebut “”emitted behavior” (tingkah laku
yang terpancar tanpa mempedulikan stimulus tertentu). Sampai pada suatu ketika
secara kebetulan salah satu “emitted behavior” tersebut dapat menekan pengungkit
yang menyebabkan munculnya butir-butir makanan ke dalam wadahnya sehingga tikus
dapat mendapatkan makanan.

Butir-butir makanan ini merupakan reinforce bagi penekanan pengungkit.


Penekanan pengungkit inilah yang disebut tingakah laku operant yang akan terus
meningkat apabial diiringi dengan reinforcement, yakni pengauatan berupa butir-butir
makanan yang muncul.

Teori Operant Conditioning


Teori ini dikembangkan oleh B.F Skinner. Menurut Skinner dalam (Dimyati Mahmud,
1989: 123) tingkah laku bukanlah sekedar respon terhadap stimulus, tetapi suatu
tindakan yang disengaja atau operant. Operant ini dipengaruhi oleh apa yang terjadi
sesudahnya. Jadi operant conditioning atau operant learning itu melibatkan
pengendalian konsekuensi.

Tingkah laku ialah perbuatan yang dilakukan seseorang pada situasi tertentu.
Tingkah laku ini terletak di antara dua pengaruh yaitu pengaruh yang mendahuluinya
(antecedent) dan pengaruh yang mengikutinya (konsekuensi). Hal ini dapat dilukiskan
sebagai berikut:

Antecedent –> tingkah laku –> konsekuensi

atau A –> B –> C

Dengan demikian, tingkah laku dapat diubah dengan cara mengubah antecedent,
konsekuensi, atau kedua-duanya. Menurut Skinner, konsekuensi itu sangat
menentukan apakah seseorang akan mengulangi suatu tingkah laku pada saat lain di
waktu yang akan datang.

Prosedur Pembentukan Tingkah laku

Prosedur pembentukan tingkah laku dalam operant conditioning (kondisioning operan)


secara sederhana adalah sebagai berikut:

a) Mengidentifikasi hal-hal yang merupakan reinforcer (hadiah) bagi tingkah laku yang
akan dibentuk.

b) Menganalisis, kemudian mengidentifikasi aspek-aspek kecil yang membentuk


tingkah laku yang dimaksud. Aspek-aspek tersebut lalu disususn dalam urutan yang
tepat untuk menuju pada terbentuknya tingkah laku yang dimaksud.

c) Berdasarkan urutan aspek-aspek itu sebagai tujuan sementara,


mengidentifikasi reinforcer (hadiah) untuk masing-masing daerah itu.

d) Melakukan pembentukan tingkah laku, dengan menggunakan urutan aspek-aspek


yang telah tersusun itu. Kalau aspek pertama telah dilakukan maka hadiahnya
diberikan; hal ini akan mengakibatkan aspek itu makin cenderung untuk sering
dilakukan. Kalau itu sudah terbentuk, dilakukannya aspek kedua yang diberi hadiah
(aspek pertama tidak lagi memerlukan hadiah); demikian berulang-ulang, sampai aspek
kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan aspek ketiga, keempat dan selanjutnya,
sampai seluruh tingkah laku yang diharapkan terbentuk.

Sebagai ilustrasi, misalnya dikehendaki agar sejumlah mahasiswa mempunyai


kebiasaan membaca jurnal profesional yang terdapat di perpustakaan Fakultas pada
waktu sore hari. Untuk membaca jurnal profesional seperti yang dimaksudkan di atas,
maka para mahasiswa tersebut harus:

1) Sore hari datang ke fakultas,

2) Masuk ruang perpustakaan,

3) Pergi ke tempat penyimpanan buku dan jurnal,

4) Berhenti di tempat penyimpanan jurnal,

5) Memilih jurnal profesional yang dimaksud,

6) Membawa jurnal itu ke ruang baca, dan

7) Membaca jurnal tersebut.

Kalau dapat diidentifikasikan hadiah-hadiah (tidak harus berupa barang) bagi masing-
masing aspek tingkah laku tersebut, yaitu aspek 1 sampai dengan 7, maka akan dapat
dilakukan pembentukan kebiasaan tersebut.

Respon

Tingkah laku adalah hubungan antara perangsang dan respon. Tingkah laku terjadi
apabila ada stimulus khusus. Skinner berpendapat, pribadi seseorang terbentuk dari
akibat respon terhadap lingkungannya, untuk itu hal yang paling penting untuk
membentuk sebuah kepribadian adalah adanya penghargaan dan hukuman.
Penghargaan akan diberikan untuk respon yang diharapkan sedangkan hukuman untuk
respon yang salah. Pendapat skinner ini memusatkan hubungan antara tingkah laku
dan konsekuen. Contoh, jika tingkah laku individu segera diikuti oleh tingkah laku
menyenangkan, individu akan menggunakan tingkah laku itu lagi sesering mungkin.

Konsekuen menyenangkan akan memperkuat tingkah laku, sementara konsekuen yang


tidak menyenangkan akan memperlemah tingkah laku. Jadi, konsekuen yang
menyenangkan akan bertambah frekuensinya, sementara konsekuensi yang tidak
menyenangkan akan berkutrang frekuensinya. Skinner membedakan adanya dua
macam respon, yaitu:
1. Respondent response (reflexive response), yaitu respom yang ditimbulkan oleh suatu
perangsang-perangsang tertentu. Misalnya, keluar air liur saat melihat makanan tertentu.
Perangsang-perangsang yang demikian itu disebut eliciting stimuli, menimbulkan respon-
respon yang relatif tetap. Pada umumnya, perangsang-perangsang yang demikian mendahului
respon yang ditimbulkannya.
2. Operant response (instrumental response), yaitu respon yang timbul dan berkembangnya
diikuti oleh perangsang-peerangsang tertentu. Perangsang yang demikian itu
disebut reinforcing stimuli atau reinforcer, karena perangsang itu memperkuat respon yang
telah dilakukan oleh organisme. Jadi, perangsang yang demikian itu mengikuti (dan karenanya
memperkuat) sesuatu tingkah laku tertentu yang telah dilakukan. Jika seorang anak belajar
(telah melakukan perbuatan), lalu mendapat hadiah, maka ia akan menjadi lebih giatbelajar
(intensif/ kuat).
Pada kenyataannya, respon jenis pertama (respondent/reflexive response/behavior)
sangat terbatas adanya pada manusia. Sebaliknya operant response/behavior
merupakan bagian terbesar dari tingkah laku manusia dan kemungkinan untuk
memodifikasinya hampir tak terbatas. Oleh karena itu, fokus teori Skinner adalah pada
respons atau jenis tingkah laku yang kedua ini. Persoalannya adalah bagaimana
menimbulkan, mengembangkan dan memodifikasi tingkah laku-tingkah laku tersebut
(dalam belajar atau dalam pendidikan).

Pola-pola respon

Apabila reinforcement didasarkan pada prinsip interval tetap, dapat diduga pola respon
yang bakal muncul. Tetapi dengan menggunakan prinsip interval bervariasi, pola
respon yang muncul akan berbeda.

Penggunaan reinforcement secara beragam dapat juga mempengaruhi cepat


lambatnya murid melakukan tugas-tugas belajar. Kalau reinforcement iu didasarkan
atas banyaknya respon yang diberikan seseorang, murid akan lebih cermat
mengendalikan waktu yang digunakan untuk reinforcement. Semakin cepat murid
mengumpulkan respon yang benar, semakin cepat pula reinforcement diperolehnya.

Aspek lain yang dikenakannya reinforcement adalah kegigihan berusaha. Kalau


reinforcement sama sekali tidak diberikan, orang akan kendur semangat dan akhirnya
tidak merespon sama sekali atau tingkah laku itu akan menghilang. Apabila
reinforcement diberikan setiap kali, seseorang akan cepat berhenti merespon manakala
reinforcement itu berhenti, demikian pula kalau yang diberikan pola reinforcement tetap.
Agar murid terus tetap aktif, yang palingtepat adalah menggunakan pola reinforcement
bervariasi.

Mengendalikan konsekuensi

Konsekuensi yang timbul dari tingkah laku tertentu dapat menyenangkan dan
atau pun tidak menyenangkan bagi yang bersangkutan. Ada dua hal yang perlu
disinggung sehubungan dengan pengendalian konsekuensi, yaitu:
Reinforcement

Dalam pergaulan sehari-hari, reinforcement kurang lebih berarti “hadiah”. Dalam dunia
psikologi, reinforcement adalah konsekuensi yang memperkuat tingkah laku. Setiap
konsekuensi itu adalah pemberi reinforcement (reinforcer) kalau dia memperkuat
tingkah laku berikutnya. Tingkah laku-tingakah laku yang diikuti dengan reinforcement
akan diulang-ulang di waktu yang akan datang.

Reinforcement positif

Disebut reinforcement positif apabila suatu stimulus terentu (menyenangkan)


ditunjukkan atau diberikan sesudah suatu perbuatan dilakukan. Misalnya, uang atau
pujian diberikan kepada seorang anak yang memperoleh nilai A pada mata pelajaran
tertentu.

Reinforcement negative

Dinamakan reinforcement negative apabila suatu stimulus tertentu (tidak


menyenangkan) ditolak atau dihindari. Reinforcement negative memperkuat tingkah
laku dengan cara menghindari stimulus yang tidak menyenangkan. Kalau suatu
perbuatan tertentu menyebabkan seseorang menghindari sesuatu yang tidak
menyenangkan, ayng bersangkutan cenderung mengulangi perbuatan yang sama
apabila pada suatu saat menghadapi situasi yang serupa. Misalnya, murid yang
berungkali dipanggil menghadap Kepsek, pelanggaran disiplin yang dilakukannya itu
menjadi bertambah kuat karena dia tetap saja melakukannya.

Hukuman

Reinforcement negative seringkali dikacaukan dengan hukuman. Proses reinforcement


selalu berupa memperkuat tingkah laku. Sebaliknya, hukuman mengandung
pengurangan atau penekanan tingkah laku. Suatu perbuatan yang diikuti hukuman,
kecil kemungkinannya diulangi lagi pada situasi-situasi yang serupa di saat lain.
Hukuman dibedakan menjadi dua:

– Presentation punishment

Terjadi apabila stimulus yang tidak menyenangkan ditunjukkan atau diberikan.


Misalnya, guru memberikan tugas-tugas tambahan karena kesalahan-kesalanan yang
dibuat murid.

– Removal punishment
Terjadi apabila stimulus tidak ditunjukkan atau diberikan, artinya menghilangkan
sesuatu yang menyenangkan atau diinginkan. Misalnya anak-anak tidak diperkenankan
nonton tv selama seminggu sehingga lalu tidak mau belajar.

Penerapan reinforcement

Apabila seseorang belajar sesuatu yangbaru, akan lebih cepat kalau setiap responnya
yang benar diberi reinforcement. Praktek seperti ini disebut reinforcement
berkesinambungan. Tetapi sekali respon ini dikuasai, lebih baik diberikan reinforcement
berselang-seling, yaitu seringkali memberikan reinforcement tetapi tidak setiap kali,
dengan alasan:

Memberikan reinforcement kepada setiap respon yang benar itu akan memakan banyak
waktu dan tidak praktis.

Reinforcement berselang-seling membantu murid untuk tidak mengharap-harap


reinforcement setiap saat.

Mengendalikan antecedent

Antecedent dapat berupa pemberitahuan atau ajakan sebelum seseorang diminta


melakukan sesuatu. Antecedent dapat menimbulkan konsekuensi yang positif maupun
yang negative. Menginngatkan lebih dulu itu penting. Kalau murid berbuat sesuai
denagn peringatan tersebut, guru tinggal memberikan reinforcement saja. Tanpa itu,
barangkali guru tidak pernah berkesempatan memberikan reinforcement kepada
perilaku murid yang benar, sebab murid bisa jadi tidak ingat untuk berbuat yang benar
itu.

Pengaruh Teori Skinner

Teori Skinner sangat berpengaruh besar pada saat ini, terutama di Amerika Serikat dan
negara-negara lainnya. Di dunia pendidikan, khususnya dalam lapangan metodologi
dan teknologi pengajaran, pengaruh ini sangat besar. Program-program inovatif dalam
bidang pengajaran sebagian besar disusun berdasarkan teori Skinner. Program-
program tersebut misalnya:

1. Programmed Instruction, dan sarananya programmed book.


2. Computer Assisted Instruction (CAI), dan
3. Program yang menggunakan teaching machine.
Dalam kehidupan sehari-hari teori Skinner tentang pengkondisian ini sangat diminati
saat ini karena memang memiliki fungsi yang sangat membantu manusia. Melalui teori
ini orang-orang dapat melatih hewan peliharaan (kucing, anjing, burung dll.) maupun
hewan-hewan yang berguna dalam membantu manusia (merpati, anjing polisi dll.).
Dalam pengkondisian operan menurut Skinner ini, para pelaku eksperimen dapat
mendorong perilaku baru dengan mengambil manfaat dari perbedaan tindakan subyek.
Untuk melatih seekor anjing,agar bisa menekan bel dengan moncongnya, seorang
penyelidik dapat memberikan imbalan setiap kali anjing tersebut mendekati kawasan
bel, serta memberi isyarat bagi anjing untuk menyentuh bel. Dan jika akhirnya bel
tersentuh, kembali diberi imbalan (penguatan).Dengan cara ini juga burung dara dapat
dilatih dengan membentuk respon operan untuk menemukan lokasi orang-orang yang
hilang di laut; ikan lumba-lumba dilatih untuk menarik peralatan di bawah air. Teori
Skinner ini juga sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan, dimana rata-rata
system pendidikan saat ini menerapkan system pengkondisian Skinner. Saat
sensitifnya masalah hak asasi manusia (HAM), maka penerapan hukuman di dunia
pendidikan mulai dikurangi dan beralih ke cara yang dperkenalkan Skinner yaitu bahwa
hukuman tidak perlu, yang diperlukan adalah memberi hadiah bagi yang berprestasi
untuk merangsang anak-anak yg tidak berprestasi untuk belajar lebih baik lagi.

Generalisasi

Jika siswa belajar untuk tetap duduk dengan tenang di kursi mereka masing-masing
dan mengerjakan soal-soal matematika, apakah tingkah laku mereka juga sama ketika
mengerjakan soal-soal sejarah? Jika siswa dapat mengerjakan 7 kelereng dikurangi 3
kelereng sama dengan 4, dapatkah mereka mengerjakan 7 jeruk dikurangi 3 jeruk sama
dengan 4?

Semua ini adalah pertanyaaan-pertanyaan generalisasi dari tingkah laku yang dipelajari
di bawah satu situasi ke situasi lain. Yang dimaksud dengan generalisasi adalah
penguatan yang hampir sama dengan penguatan sebelumnya yang akan mendapat
respon yang sama. Dapat juga generalisasi diartikan sebagai kecenderungan organism
(manusia) untuk memberikan respon tidak saja pada stimulus khusus yang dilatih,
tetapi juga pada stimulus lain yang berhubungan. Organism cenderung
menggeneralisasilkan apa yang di pelajarinya. Contohnya adalah bila anak kecil diberi
kertas. Setelah bermain kertas, kemudian ia menarik taplak meja yang dianggapnya
sama dengan kertas. Jadi, ia merespon yang sama untuk stimuli yang berbeda.
Generalisasi tidak dapat dianggap selalu benar atau dianggap pasti. Biasanya jika
suatu program pengaturan tingkah laku sukses di suatu situasi, kemudian diterapkan di
situasi lain, tingkah laku siswa tidak secara otomatis sukses. Malahan, siswa belajar
untuk membedakan situasi-situasi itu. Tingkah laku mereka sedikit berbeda dalam
setiap situasi menurut perbedaan aturan-aturan dan harapan.
Generalisasi biasanya terjadi bila direncanakan. Contohnya, program mengatur tingkah
laku yang digunakan di kelas bahasa mungkin ditransfer ke kelas biologi untuk
meyakinkan generalisasi pada situasi itu. Generalisasi barangkali terjadi dengan
menjelaskan situasi yang sama atau menjelaskan konsep-konsep yang sama dari pada
menjelaskan konsep yang berbeda atau situasi yang berbeda. Walaupun demikian,
dalam situasi yang tampak sangat sama generalisasi tidak terjadi. Guru seharusnya
tidak mengasumsikan bahwa dalam situasi yang sama siswa akan bertingkah laku
sama,karena siswa dapat melakukan sesuatu di bawah suatu linkungan situasi, tetapi
mereka juga dapat semua itu di bawah situasi yang berbeda. Hal ini terjadi karena
mungkin siswa tidak melihat tanda-tanda yang sama antara dua situasi. Atau mungkin
mereka melihat tanda-tanda, tetapi tidak termotivasi untuk meresponnya.

Diskriminasi

Kapan sebaiknya waktu yang paling tepat untuk menanyakan kenaikan gaji pada
atasan kita? Jawabannya tentunya ketika perusahaan sedang menanjak dan berjalan
dengan baik, atasan kita berbahagia, atau kita baru saja membuat [restasi belajar yang
sangat baik. Hal tersebut kita ketahui karena kita telah belajar untuk mendiskriminasi
antara waktu yang tepat dan waktu yang tidak tepat dalam menanyakan soal kenaikan
gaji kita.

Diskriminasi adalah belajar memberikan respons terhadap suatu stimulus dan tidak
memberikan respon terhadap stimulus lain, walaupun stimulus itu berhubungan dengan
stimulus pertama. Atau dengan menggunakan tanda-tanda atau informasi untuk
mengetahui kpan tingkah laku akan di-reinforced. Kondisi keuangan perusahaan,
situasi atasan kita, dan hasil kerja kita baru-baru ini adalah diskriminasi stimuli dengan
melihat kesempatan kemungkinan permohonan kita dalam menaikkan gaji akan
berhasil.

Belajar adalah menguasai suatu bahan dan diskriminasi yang lebih kompleks. Contoh,
semua huruf, angka, kata-kata, dan simbol-simbol matematika adalah diskriminasi
stimuli. Seorang anak kecil belajar unruk mendiskriminasikan antara huruf b dan d.
Anak yang lebih besar membedakan kata efektif dan efisien.

Penggunaan diskriminasi stimuli yang efektif sangat penting dalam pengajaran dan
pengelolaan kelas. Dalam teori, seorang guru dapat menunggu sampai siswa siswi
melakukan sesuatu yang bermanfaat dan kemudian diperkuat (di-reinforced), tetapi ini
tidak efisien. Mungkin lebih baik guru memberikan pesan kepada siswa siswanya
dengan mengatakan, “Saya akan memberikan hadiah jika kamu dapat bekerja dengan
baik”. Ini dengan jelas menunjukkan bahwa siswa harus melakukan tugasnya untuk
diperbuat, sehingga guru dapat menghindari siswa menghabiskan waktu dengan
kegiatan yang sama. Jika siswa tahu bahwa apa yang dikerjakan akan memberi hasil,
mereka akan selalu bekerja keras, apapun pekerjaan itu.
Analisa Perilaku terapan dalam pendidikan
Analisis Perilaku terapanadalah penerapan prinsip pengkondisian operan untuk
mengubah perilaku manusia. Ada tiga penggunaan analisis perilaku yang penting
dalam bidang pendidikan yaitu :

1. Meningkatkan perilaku yang diharapkan


Ada lima strategi pengkondisian operan dapat dipakai untuk meningkatkan perilaku
anak yang diharapkan yaitu:

a. Memilih Penguatan yang efektif


Tidak semua penguatan akan sama efeknya bagi anak. Analisis perilaku terapan
menganjurkan agar guru mencari tahu penguat apa yang paling baik untuk anak, yakni
mengindividualisasikan penggunaan penguat tertentu. Untuk mencari penguatan yang
efektif bagi seorang anak, disarankan untuk meneliti apa yang memotivasi anak dimasa
lalu, apa yang dilakukan murid tapi tidak mudah diperolehnya, dan persepsi anak
terhadap manfaat dan nilai penguatan. Penguatan alamiah seperti pujian lebih
dianjurkan ketimbang penguat imbalan materi, seperti permen, mainan dan uang.
b. Menjadikan penguat kontingen dan tepat waktu
Agar penguatan dapat efektif, guruharus memberikan hanya setelah murid melakukan
perilaku tertentu. Analisis perilaku terapan seringkali menganjurkan agar guru membuat
pernyataan “jika…maka”. penguatan akan lebih efektif jika diberikan tepat pada
waktunya, sesegera mungkin setelah murid menjalankan tindakan yang diharapkan. Ini
akan membantu anak melihat hubungan kontingensi antar-imbalan dan perilaku
mereka. Jika anak menyelesaikan perilaku sasaran (seperti mengerjakan sepuluh soal
matematika) tapi guru tidak memberikan waktu bermain pada anak, maka anak itu
mungkin akan kesulitan membuat hubungan kontingensi.
c. Memilih jadwal penguatan terbaik
Menyusun jadwal penguatan menentukan kapan suatu respons akan diperkuat. Empat
jadwal penguatan utama adalah
1). Jadwal rasio tetap: suatu perilaku diperkuat setelah sejumlah respon.
2). Jadwal rasio variabel : suatu perilaku diperkuat setelah terjadi sejumlahrespon, akan
tetapi tidak berdasarkan basis yang dapat diperidiksi.
3). Jadwal interval – tetap : respons tepat pertama setelah beberapa waktu akan
diperkuat.
4). Jadwal interval – variabel : suatu respons diperkuat setelah sejumlah variabel waktu
berlalu.
d. Menggunakan Perjanjian (contracting)
Adalah menempatkan kontigensi penguatan dalam tulisan. Jika muncul problem dan
anak tidak bertindak sesuai harapan, guru dapat merujuk anak pada perjanjian yang
mereka sepakati. Analisis perilaku terapan menyatakan bahwa perjanjian kelas harus
berisi masukan dari guru dan murid. Kontrak kelas mengandung pernyataan “jika…
maka” dan di tandatangani oleh guru dan murid, dan kemudian diberi tanggal.

e. Menggunakan penguatan negatif secara efektif


Dalam penguatan negatif, frekuensi respons meningkat karena respon tersebut
menghilangkan stimulus yang dihindari seorang guru mengatakan “Fika, kamu harus
menyelesaikan PR mu dulu diluar kelas sebelum kamu boleh masuk kelas ikut
pembelajaran” ini berarti seorang guru menggunakan penguatan negatif.

2. Menggunakan dorongan (prompt) dan pembentukkan (shaping).


Prompt (dorongan) adalah stimulus tambahan atau isyarat tambahan yang diberikan
sebelum respons dan meningkatkan kemungkinan respon tersebut akan
terjadi. Shapping (pembentukan) adalah mengajari perilaku baru dengan memperkuat
perilaku sasaran.
3. Mengurangi perilaku yang tidak diharapkan.
Ketika guru ingin mengurangi perilaku yang tidak diharapkan (seperti mengejek,
mengganggu diskusi kelas, atau sok pintar) yang harus dilakukan berdasarkan analisis
perilaku terapan adalah

a. Menggunakan Penguatan Diferensial.

b. Menghentikan penguatan (pelenyapan)

c. Menghilangkan stimuli yang diinginkan.

d. Memberikan stimuli yang tidak disukai (hukuman).

Kelebihan dan kekurangan Teori B.F. Skinner


1. Kelebihan

Pada teori ini, pendidik diarahkan untuk menghargai setiap anak didiknya. hal ini
ditunjukkan dengan dihilangkannya sistem hukuman. Hal itu didukung dengan adanya
pembentukan lingkungan yang baik sehingga dimungkinkan akan meminimalkan
terjadinya kesalahan.

2. Kekurangan

Tanpa adanya sistem hukuman akan dimungkinkan akan dapat membuat anak didik
menjadi kurang mengerti tentang sebuah kedisiplinan. hal tersebuat akan menyulitkan
lancarnya kegiatan belajar-mengajar. Dengan melaksanakan mastery learning, tugas
guru akan menjadi semakin berat.

Beberapa Kekeliruan dalam penerapan teori Skinner adalah penggunaan hukuman


sebagai salah satu cara untuk mendisiplinkan siswa. Menurut Skinner hukuman yang
baik adalah anak merasakan sendiri konsekuensi dari perbuatannya. Misalnya anak
perlu mengalami sendiri kesalahan dan merasakan akibat dari kesalahan. Penggunaan
hukuman verbal maupun fisik seperti: kata-kata kasar, ejekan, cubitan, jeweran justru
berakibat buruk pada siswa.

Selain itu kesalahan dalam reinforcement positif juga terjadi didalam situasi pendidikan
seperti penggunaan rangking Juara di kelas yang mengharuskan anak menguasai
semua mata pelajaran. Sebaliknya setiap anak diberi penguatan sesuai dengan
kemampuan yang diperlihatkan sehingga dalam satu kelas terdapat banyak
penghargaan sesuai dengan prestasi yang ditunjukkan para siswa: misalnya
penghargaan di bidang bahasa, matematika, fisika, menyanyi, menari atau olahraga.

Beberapa Kekeliruan dalam penerapan teori Skinner adalah penggunaan hukuman


sebagai salah satu cara untuk mendisiplinkan siswa. Menurut Skinner hukuman
yangbaik adalah anak merasakan sendiri konsekuensi dari perbuatannya. Misalnya
anak perlu mengalami sendiri kesalahan dan merasakan akibat dari kesalahan.
Penggunaan hukuman verbal maupun fisik seperti: kata-kata kasar, ejekan, cubitan,
jeweran justruberakibat buruk pada siswa

Aplikasi Teori Skinner Terhadap Pembelajaran.

Dari penjelasan terperinci diatas tentang operant conditioning dapat diambil kesimpulan
bahwa operant conditioning merupakan teori belajar yang menjelaskan bahwa sesuatu
yang diikuti oleh konsekuensi yang menyenangkan akan cenderung diulang-ulang.
Beberapa aplikasi teori belajar Skinner dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:

• Bahan yang dipelajari dianalisis sampai pada unit-unit secara organis.

• Hasil berlajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan dan jika
benar diperkuat.

• Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.

• Materi pelajaran digunakan sistem modul.

• Tes lebih ditekankan untuk kepentingan diagnostic.

• Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri.

• Dalam proses pembelajaran tidak dikenakan hukuman.

•Dalam pendidikan mengutamakan mengubah lingkungan untuk mengindari


pelanggaran agar tidak menghukum.
• Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah.

• Hadiah diberikan kadang-kadang (jika perlu)

• Tingkah laku yang diinginkan, dianalisis kecil-kecil, semakin meningkat mencapai


tujuan

• Dalam pembelajaran sebaiknya digunakan shaping.

• Mementingkan kebutuhan yang akan menimbulkan tingkah laku operan.

• Dalam belajar mengajar menggunakan teaching machine.

• Melaksanakan mastery learning yaitu mempelajari bahan secara tuntas menurut


waktunya masing-masing karena tiap anak berbeda-beda iramanya. Sehingga naik atau
tamat sekolah dalam waktu yang berbeda-beda. Tugas guru berat,administrasi
kompleks.

PENUTUP
Kesimpulan

Teori belajar menurut B.F Skinner yaitu Operant Conditioning merupakan suatu bentuk
belajar yang mana kehadiran respon berulang-ulang dikendalikan oleh konsekuensinya,
dimana individu cenderung mengulang-ulang respon yang diikuti oleh konsekuensi
yang menyenangkan. Adanya hukuman dan hadiah yang diberikan akan membuat
individu lebih mudah untuk belajar.

Menurut Skinner unsur yang terpenting dalam belajar adalah adanya penguatan
(reinforcement ) dan hukuman (punishment).Penguatan (reinforcement) adalah
konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi.
Sebaliknya, hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang menurunkan probabilitas
terjadinya suatu perilaku.
DAFTAR PUSTAKA

Djiwandono, Sri Esti Muryani. 2001. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Grasindo

Gredler, Margaret E. Bell. 1994. Belajar dan pembelajaran. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.

Mahmud, Drs. M. Dimyati. 1989. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud

Purwanto, Ngalim. 1990. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya
Suryabrata, Sumadi. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Syah M.Ed., Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai