Diibaratkan seperti kata yang tak dapat diucapkan kayu kepada api yang
menjadikannya abu. Dan seperti isyarat yang tak sempat diungkapkan awan kepada
hujan. Kata yang sangat sederhana namun bermakna.
Aku sering bertanya pada Allah setiap kali aku berdoa. Kenapa sabar ini tanpa
batas. Dan sampai kapan aku bisa bertahan dan tetap menjaga sabar dan ikhlas itu?
Terkadang aku yakin rencana Allah jauh lebih baik dan lebih indah dari apa yang
aku bayangkan. Tapi kenapa seakan waktu dan takdir begitu mempermainkan
kehidupanku. Kenapa dia titipkan rasa yang begitu hebatnya hingga aku tidak tau
cara untuk melepasnya. Kenapa harus ada cinta jika kita tidak ditakdirkan bersama.
Kenapa harus aku yang selalu merasa kehilangan. Apa salahku ya tuhan kenapa kau
uji aku dengan sedemikian hebatnya. kata kata itu selalu aku ucapkan dalam hati
ketika sabar sudah tidak bisa aku gengam lagi. Ketika ikhlas berubah jadi amarah.
Ketika hati sudah tidak kuat lagi menahan perih.
Iya perih. Perihnya mengikhlaskan orang yang kita cintai bahagia bersama wanita
lain. Kenapa mulut dan hati tidak bisa bekerjasama, harusnya jika mulut bilang
sudah merelakan hati pun demikian. Tapi ini berbeda.
Egoiskah aku?
Atau munafik kah aku?
Mulutku berkata.. “selamat ya kak semoga lancar sampai hari H..” tapi hati berkata
dan meminta agar pernikahan mereka batal..
Aku tau ini salah dan aku pun berusaha untuk tidak menuruti hati, tapi ketahuilah
ini tidaklah mudah karena Melupakan tidak semudah jatuh cinta.
Dan saat fikiran telah dikuasai hati aku pun lupa diri. Lupa masih mencintai yang
bukan haknya. Lupa masih berharap bahwa dia akan kembali. Dan lebih parahnya
lagi hati percaya jika dia adalah jodoh yang Allah siapkan untukku. Padahal jelas
jelas dia sudah akan menjadi suami orang.
Karena hidup adalah pilihan dan kamu pun sudah memilih dia. Maka pilihanku
hanya 1 yaitu melupakan kamu dan kenangannya..
Dan perjalanan ikhlas dan sabarku masih sangat panjang karena 2 kata itu memang
tanpa batas.