Anda di halaman 1dari 28

I.

ISI JURNAL

Human papillomavirus in 2019: An update on cervical cancer prevention and


screening guidelines
Salina Zhang, BS; Pelin Batur, MD NCMP CCD

ABSTRAK

Human papillomavirus (HPV) merupakan penyebab dari sebagian besar kasus


kanker serviks. Penyedia layanan kesehatan dapat membantu mencegah kanker ini
dengan merekomendasikan vaksinasi HPV bila perlu, skrining secara rutin pada
wanita untuk kanker serviks, dan menindaklanjuti hasil tes yang abnormal.

POIN PENTING

 Imunisasi terhadap HPV dapat mencegah hingga 70% dari kasus kanker serviks
terkait dengan HPV.
 Gardasil 9 adalah satu-satunya vaksin HPV yang saat ini tersedia di Amerika
Serikat dan sekarang disetujui untuk digunakan pada pria dan wanita berusia
antara 9 dan 45 tahun.
 Pada anak perempuan dan laki-laki di bawah 15 tahun, penggunaan jadwal 2
dosis direkomendasikan; sedangkan, pasien usia 15 - 45 tahun membutuhkan 3
dosis.
 Tingkat penerimaan vaksin adalah meningkat ketika penyedia layanan
kesehatan primer mengumumkan bahwa vaksin tersebut jatuh tempo daripada
menggunkan diskusi secara terbuka.
 Skrining kanker serviks secara teratur merupakan pencegahan penting dan
harus dilakukan dengan menggunakan Papanicolaou (Pap) test, High-risk
HPV-only test, atau Pap-HPV cotest.

Sekitar 12% wanita di seluruh dunia terinfeksi human papillomavirus


(HPV).1 Infeksi HPV persisten dengan jenis risiko tinggi seperti HPV 6, 11, 16, dan
18 menyebabkan hampir semua kasus kanker serviks dan beberapa anal, vagina,

1
penis, dan orofaringeal kanker.2 Diperkirakan 13.000 kasus kanker serviks invasif
akan didiagnosis tahun ini di Amerika Serikat.3

Hingga 70% dari kasus kanker serviks terkait-HPV dapat dicegah dengan
vaksinasi. Sejumlah perubahan telah dilakukan terhadap jadwal vaksinasi dalam
beberapa tahun terakhir. Pasien berusia kurang dari 15 tahun hanya membutuhkan
2 daripada 3 dosis, dan vaksin itu sendiri dapat digunakan pada orang dewasa
hingga usia 45 tahun.

Vaksinasi dan skrining kanker serviks secara rutin diperlukan untuk


mencegah penyakit ini.3 bersama dengan konseling keluarga dan pasien yang
efektif. Di sini, kami membahas rekomendasi vaksinasi HPV terbaru, pedoman
skrining kanker serviks saat ini, teknik konseling yang meningkatkan tingkat
penerimaan vaksinasi, dan protokol tindak lanjut untuk hasil skrining kanker serviks
yang abnormal.

TIPE VAKSIN HPV

Imunisasi HPV dapat mencegah hingga 70% kasus kanker serviks akibat HPV serta
90% kutil kelamin. Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) telah
menyetujui 3 vaksin HPV:

 Gardasil 9 menargetkan HPV tipe 6, 11, 16, dan 18 bersama dengan 31, 33,
45, 52, 58. HPV tipe ini menyebabkan 90% kasus kanker serviks dan sebagian
besar kasus kutil kelamin5, menjadikannya vaksin yang paling efektif yang
tersedia; Gardasil 9 adalah satu-satunya vaksin HPV yang saat ini tersedia di
Amerika Serikat
 Vaksin bivalen (Cervarix) hanya menargetkan HPV 16 dan 18, dan dihentikan
di Amerika Serikat pada 2016
 Vaksin HPV kuadrivalen (Gardasil) menargetkan HPV 16 dan 18 serta 6 dan
11, yang menyebabkan sebagian besar kasus kutil kelamin; dosis terakhir yang
tersedia di Amerika Serikat berakhir pada Mei 2017; dan telah digantikan oleh
Gardasil 9.

2
Insiden kanker serviks di Amerika Serikat turun 29% di antara usia 15
hingga 24 tahun dari 2003-2006 ketika vaksinasi HPV pertama dimulai pada 2011-
2014.6

REKOMENDASI DOSIS VAKSIN UNTUK PENCEGAHAN DASAR

Komite Penasihat Praktik Imunisasi (ACIP) merevisi jadwal vaksin HPV


pada tahun 2016, ketika menurunkan dosis yang diperlukan dari 3 menjadi 2 untuk
pasien di bawah usia 15 dan memenuhi kebutuhan populasi pasien khusus.7 Pada
akhir 2018, FDA menyetujui penggunaan vaksin pada pria dan wanita hingga usia
45 tahun. Namun, belum ada perubahan dalam pedoman yang telah dibuat (Tabel
1).

Pada wanita, ACIP merekomendasikan memulai vaksinasi HPV pada usia


11 atau 12, tetapi dapat diberikan lebih awal pada usia 9 tahun. Jadwal 2 dosis
direkomendasikan untuk vaksin 9-valent sebelum ulang tahun ke 15 pasien (dosis
kedua 6 sampai 12 bulan setelah yang pertama).7 Pada wanita yang memulai
vaksinasi HPV antara usia 15 dan 45, jadwal 3 dosis diperlukan (pada 0, 1 hingga
2, dan 6 bulan).7,8

Perubahan jadwal 2 dosis didorong oleh evaluasi anak perempuan usia 9


hingga 13 secara acak untuk menerima jadwal 2 atau 3 dosis. Respon antibodi
dengan jadwal 2 dosis tidak kalah dengan wanita muda (usia 16 hingga 26 tahun)
yang menerima semua 3 dosis.9 Rasio titer rata-rata geometris tetap non-inferiority
selama 36 bulan periode penelitian.

3
Namun, hilangnya non-inferiority tercatat untuk HPV-18 pada 24 bulan dan
untuk HPV-6 pada 36 bulan.9 Dengan demikian, studi lebih lanjut diperlukan untuk
memahami durasi perlindungan dengan jadwal 2 dosis. Namun demikian,
mengurangi jumlah dosis menjadikannya pilihan yang lebih nyaman dan hemat
biaya bagi banyak keluarga.

Rekomendasi yang sama juga pada laki-laki kecuali untuk satu perbedaan
penting: pada laki-laki usia 21 hingga 26, vaksinasi tidak secara rutin
direkomendasikan oleh ACIP, tetapi lebih dianggap sebagai "permisif"
rekomendasi penggunaan: yaitu, vaksin harus ditawarkan dan keputusan akhir
tentang administrasi dibuat setelah diskusi secara individu dengan pasien.10 Status
penggunaan yang permisif juga berarti vaksin mungkin tidak tercakup oleh asuransi
kesehatan. Meskipun vaksin sekarang tersedia untuk pria dan wanita hingga usia 45
tahun, banyak rencana asuransi tidak mencakupnya setelah usia 26 tahun.

Anak-anak dari jenis kelamin dengan riwayat pelecehan seksual harus


menerima dosis vaksin pertama mereka mulai pada usia 9 tahun.7

Pasien immunocompromised harus mengikuti jadwal 3 dosis terlepas dari


jenis kelamin mereka atau usia ketika vaksinasi dimulai.10

Pada pasien transgender dan untuk pria yang sebelumnya tidak divaksinasi
yang berhubungan seks dengan pria, vaksin jadwal 3 dosis harus diberikan pada
usia 26 tahum (ini adalah rekomendasi rutin, bukan yang permisif) .8

TANTANGAN VAKSINASI

Konseling pasien dan keluarga yang efektif adalah penting. Meskipun


vaksin HPV pertama disetujui pada tahun 2006, hanya 34,9% dari remaja AS yang
sepenuhnya divaksinasi pada tahun 2015. Ini sebagian karena penyedia tidak
merekomendasikannya, tidak terbiasa dengan itu, atau memiliki kekhawatiran
tentang keamanannya,11,12 dan sebagian karena beberapa orang tua menolaknya.

Dokter harus membahas mitos tentang vaksinasi HPV dan memastikan


bahwa orang tua dan pasien memahami bahwa vaksin HPV aman dan efektif.

4
Penelitian telah menunjukkan bahwa dengan rekomendasi berkualitas tinggi (yaitu,
penyedia perawatan sangat mendukung vaksin HPV, mendorong vaksinasi pada
hari yang sama, dan membahas pencegahan kanker), pasien 9 kali lebih mungkin
untuk memulai jadwal vaksinasi HPV dan 3 kali lebih mungkin untuk
menindaklanjuti dengan dosis berikutnya.13

Memberikan pendidikan keluarga dan pasien yang baik tidak selalu


membutuhkan lebih banyak waktu konseling. Sebuah penelitian terbaru
menunjukkan hal itu menghabiskan lebih sedikit waktu untuk membahas vaksin
HPV dapat mengarah pada cakupan vaksin yang lebih baik.14 Studi ini
membandingkan teknik konseling vaksin HPV kepada keluarga dan menemukan
bahwa hanya memberi tahu pasien dan keluarga mereka mengenai vaksin HPV
dapat meniingkatkan penerimaan vaksin yang lebih tinggi daripada mengundang
percakapan tentang itu.14 Ketika penyedia mengumumkan bahwa vaksin itu jatuh
tempo, dengan asumsi orang tua siap untuk vaksinasi, ada peningkatan 5,4% dalam
cakupan vaksinasi HPV.14

Sebaliknya, dokter yang melibatkan orang tua dalam diskusi terbuka tentang
vaksin HPV tidak meningkatkan cakupan vaksinasi HPV.14 Para penulis
menyarankan agar penyedia layanan mendekati vaksinasi HPV seolah-olah mereka

5
menasihati pasien dan keluarga tentang perlunya menghindari asap rokok atau
perlunya menggunakan kursi mobil. Jika orang tua atau pasien menolak pendekatan
pengumuman dugaan, konseling diperluas dan pengambilan keputusan bersama
adalah hal yang tepat. Ini termasuk mengatasi kesalahpahaman yang mungkin
dimiliki orang tua dan pasien tentang vaksin HPV. The American Cancer Society
membuat daftar 8 fakta untuk referensi (Tabel 2) .15

PENCEGAHAN SEKUNDER: SKRINING KANKER SERVIKS

Sejak diperkenalkannya tes Papanicolaou (Pap), angka kejadian kanker


serviks AS telah menurun lebih dari 60%.16 Karena hampir semua kanker serviks
dapat dicegah dengan skrining yang tepat, semua wanita usia 21 hingga 65 tahun
harus diskrining.

Saat ini, ada 3 pilihan yang tersedia untuk skrining kanker serviks: tes Pap-
only, cotest Pap-HPV, dan tes HPV risiko tinggi (Tabel 3). 2 pilihan terakhir
mendeteksi genotipe HPV risiko tinggi.

Beberapa organisasi memiliki algoritme skrining yang merekomendasikan kapan


harus menggunakan tes ini, tetapi 3 yang membentuk standar saat ini adalah
perawatan dalam skrining kanker serviks berasal dari American College of
Obstetricians and Gynaecologists (ACOG), the American Society for Colposcopy
and Cervical Pathology (ASCCP), dan US Preventive Services Task Force
(USPSTF) .17–19

6
Pap-only testing dilakukan setiap 3 tahun untuk skrining neoplasia serviks yang
mungkin mengindikasikan premalignansi.

Pap-HPV cotesting dilakukan setiap 5 tahun pada wanita yang lebih tua dari 30
dengan skrining normal sebelumnya. Hingga tahun 2018, ketiga organisasi tersebut
merekomendasikan cotesting adalah algoritme skrining yang disukai untuk wanita
usia 30 hingga 65 tahun.17-19 Pasien dengan riwayat hasil tes abnormal memerlukan
pengujian lebih sering seperti yang direkomendasikan oleh ASCCP.18

The high-risk HPV-only test menggunakan reaksi berantai polimerase real-time


untuk mendeteksi HPV 16, HPV 18, dan 12 genotipe HPV lainnya. Hanya 2 tes
yang disetujui oleh FDA sebagai tes skrining kanker serviks yang berdiri sendiri,
tes HPV Roche Cobas disetujui pada 2014 dan uji HPV Becton Dickinson Onclarity
yang disetujui pada 2018. tes HPV lainnya yang digunakan dalam strategi cotesting
tidak boleh digunakan untuk pengujian high-risk HPV-only test karena karakteristik
kinerjanya berbeda.

Pada 2015, studi Addressing the Need for Advanced HPV Diagnostics
(ATHENA) penelitian menunjukkan bahwa 1 putaran skrining high-risk HPV-only
pada wanita yang lebih tua dari 25 tahun lebih sensitif daripada Pap-only atau
cotesting untuk stadium 3 cervical intraepithelial neoplasia atau penyakit yang lebih
parah (setelah 3 tahun masa tindak lanjut).20 Pedoman saat ini dari ASCCP18 dan
ACOG17 menyatakan bahwa high-risk HPV- test dapat diulang setiap 3 tahun (bila
digunakan untuk skrining sendiri) jika wanita itu lebih dari 25 dan telah memiliki
hasil tes normal.
Jika hasil tes HPV positif untuk genotipe HPV 16 atau 18 berisiko tinggi,
maka kolposkopi segera diindikasikan; wanita yang dites positif salah satu dari 12
subtipe berisiko tinggi lainnya perlu menjalani tes Pap untuk menentukan tindak
lanjut yang sesuai (Gambar 1) .18,21

Pada tahun 2018, USPSTF memperbarui rekomendasinya, mencatat bahwa untuk


wanita usia 30 hingga 65 tahun, Pap-only testing setiap 3 tahun, cotesting setiap 5
tahun, atau high-risk HPV-only test. setiap 5 tahun adalah strategi skrining yang
tepat, dengan skrining Pap-only atau high-risk HPV-only yang lebih disukai.19 Ini
berbeda dengan rekomendasi ACOG dan ASCCP untuk cotesting setiap 5 tahun,

7
dengan opsi-opsi alternatif pengujian Pap-only atau HPV-only yang dilakukan
setiap 3 tahun .17,18

Apakah ada protokol screening terbaik?

USPSTF meninjau studi acak dan observasional besar untuk merangkum


efektivitas 3 strategi skrining dan menugaskan model analisis keputusan untuk
membandingkan risiko, manfaat, dan biaya dari 3 algoritma skrining. Pernyataan
pedoman mencatat cotesting dan high-risk HPV testing menawarkan tingkat deteksi
kanker yang serupa: masing-masing mencegah 1 kanker tambahan per 1.000 wanita
yang diskrining dibandingkan dengan tes Pap-only.19

Juga, tes yang menggabungkan skrining HPV risiko tinggi dapat


menawarkan deteksi adenokarsinoma serviks yang lebih baik (yang memiliki
prognosis lebih buruk daripada tipe karsinoma sel skuamosa yang lebih umum).
Namun, kedua strategi skrining berbasis HPV lebih cenderung membutuhkan
kolposkopi tambahan untuk tindak lanjut dari skrining Pap-only (1.630 kolposkopi
diperlukan untuk setiap kanker yang dicegah dengan HPV risiko tinggi saja, 1.635
dengan cotesting). Kolposkopi adalah prosedur sederhana yang menyebabkan
ketidaknyamanan yang minimal bagi pasien.

8
Pedoman USPSTF juga berbeda dalam frekuensi yang direkomendasikan
untuk high-risk HPV-only testing; hasil high-risk HPV harus diulang setiap 5 tahun
jika normal (berbeda dengan setiap 3 tahun seperti yang direkomendasikan oleh
ACOG dan ASCCP) .19 Rekomendasi 5 tahun didasarkan pada analysis modeling,
yang menunjukkan bahwa melakukan high-risk HPV-only testing lebih sering, tidak
meningkatkan tingkat deteksi tetapi akan meningkatkan jumlah tes skrining dan
kolposkopi.19

Tidak ada uji coba yang secara langsung membandingkan cotesting dengan
high-risk HPV testing untuk lebih dari 2 putaran skrining. Rekomendasi USPSTF
yang diperbarui didasarkan pada estimasi pemodelan dan pendapat ahli, yang
menilai kerugian biaya dan manfaat vs kerugian dalam jangka panjang. Juga, tidak
ada high-risk HPV testing saat ini yang disetujui FDA untuk skrining setiap 5 tahun
ketika digunakan dengan sendirinya.

Ketiga metode skrining kanker serviks memberikan pencegahan kanker


yang sangat efektif, sehingga penting bagi penyedia layanan untuk memilih strategi
yang paling sesuai dengan praktik mereka. Aspek paling penting dari skrining
adalah menyaring semua wanita, tidak peduli metode apa yang digunakan.

Penting untuk diingat bahwa interval skrining dimaksudkan untuk pasien


tanpa gejala. Mereka yang memiliki masalah baru seperti pendarahan harus
memiliki Pap diagnostik yang dilakukan untuk mengevaluasi gejala mereka.

Tindak lanjut hasil abnormal

Terlepas dari jalur yang dipilih, tindak lanjut yang tepat dari setiap hasil tes
abnormal sangat penting untuk deteksi dini kanker. Ada pedoman tindak lanjut yang
telah ada,22,23 tetapi mengakses informasi ini bisa sulit bagi dokter yang sibuk.
ASCCP memiliki aplikasi ponsel yang menguraikan langkah-langkah tindakan
yang sesuai dengan usia pasien dan hasil setiap kombinasi Pap atau HPV testing.
Aplikasi ini juga menyertakan algoritma skrining terbaik untuk pasien tertentu.24

Semua pedoman setuju bahwa skrining kanker serviks harus dimulai pada
usia 21, terlepas dari status vaksinasi HPV atau usia inisiasi seksual.17,18,25 Skrining
dapat dihentikan pada usia 65 tahun untuk wanita dengan hasil skrining normal pada

9
dekade sebelumnya (hasil Pap 3x berturut-turut negatif atau hasil cotest 2x negatif
berturut-turut).23

Untuk wanita yang telah menjalani total histerektomi dan tidak memiliki
riwayat neoplasia serviks, skrining harus dihentikan segera setelah prosedur.
Namun, beberapa kelompok wanita berisiko tinggi akan memerlukan skrining
lanjutan melewati usia 65, atau setelah histerektomi.

Untuk seorang wanita dengan riwayat stadium 2 cervical intraepithelial


neoplasia atau lesi stadium yang lebih tinggi, skrining rutin dilanjutkan untuk
tambahan 20 tahun, bahkan jika dia berusia di atas 65 tahun. Pap-only testing setiap
3 tahun dapat diterima, karena peran HPV testing tidak jelas setelah histerektomi.23
Pedoman sebelumnya menyarankan skrining tahunan pada pasien ini, sehingga
perubahan setiap 3 tahun adalah penting. Banyak ahli onkologi ginekologi akan
merekomendasikan bahwa wanita dengan riwayat kanker serviks melanjutkan
skrining tahunan tanpa batas.

Dalam 2 sampai 3 tahun pertama setelah pengobatan untuk perubahan high


grade displasia, tindak lanjut tahunan dilakukan oleh tim onkologi ginekologi.
Penyedia yang menawarkan tindak lanjut selama jangka waktu ini harus tetap
berkomunikasi dengan tim onkologi untuk memastikan perawatan yang sesuai dan
individual. Rekomendasi ini didasarkan pada pendapat ahli, sehingga variasi dalam
praktik klinis dapat dilihat.

Wanita yang terinfeksi oleh human immunodeficency virus dapat


melakukan tes Pap-only setiap 3 tahun, setelah serangkaian 3 hasil Pap tahunan
normal.26 Tetapi skrining tidak berhenti pada usia 65 tahun.23,26 Untuk pasien yang
mengalami imunosupresi atau memiliki riwayat paparan dietetilstilbestrol, skrining
harus dilakukan setiap tahun tanpa batas waktu.23

10
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kanker Serviks


Kanker serviks adalah pertumbuhan abnormal yang tidak terkendali di
dalam leher rahim atau serviks (bagian terendah dari rahim yang menempel
pada puncak vagina). Kanker serviks 90% berasal dari sel skuamosa yang
melapisi serviks dan 10% sisanya berasal sel kelenjar penghasil lendir pada
saluran servikal yang menuju ke dalam rahim. Penyakit ini berawal dari infeksi
virus yang merangsang perubahan perilaku sel epitel serviks (Haffner, 2008).
Jenis kanker serviks terbanyak berasal dari sel skuamosa, yaitu sel gepeng
yang melapisi leher rahim. Kanker serviks sel skuamosa terbentuk di zona
transformasi yang awalnya menginvasi stroma (Abbas, 2015).

B. Epidemiologi
Kanker serviks adalah salah satu penyebab kematian terbesar pada wanita.
Menurut World Health Organization (WHO), kanker serviks menempati
ranking ketiga kanker yang terjadi pada wanita di dunia yaitu sekitar 527.624
kasus di dunia. Angka tersebut diperkirakan masih akan terus meningkat setiap
tahunnya terutama di negara-negara berkembang. Kejadian kanker serviks di
Asia sekitar 283.823 kasus pada tahun 2012. Asia tenggara menjadi kawasan
Asia yang kejadian kanker serviksnya menjadi yang tertinggi (GLOBOCAN,
2012).
Menurut statistik yang dikeluarkan Pusat Informasi ICO tentang HPV dan
Kanker, pada tahun 2012 sekitar 20.928 wanita di Indonesia terdiagnosis
menderita kanker serviks yang mengakibatkan kematian 9.498 wanita setiap
tahunnya (GLOBOCAN, 2012). Pusat Data Kementerian RI menyatakan bahwa
penderita kanker serviks di Indonesia tahun 2013 meningkat dari tahun
sebelumnya mencapai 98.692 orang dengan prevalensi 0,8‰ (Riskesdas, 2013).
Berdasarkan prevalensi kanker serviks, Provinsi Jawa Timur menjadi
ranking pertama dengan 21.313 kasus. Sedangkan Provinsi Jawa Tengah
menduduki urutan kedua provinsi dengan prevalensi kanker serviks yaitu sekitar
19.734 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2013; Riskesdas, 2013).

11
Sedangkan untuk data prevalensi Kabupaten Banyumas tahun 2014 adalah 75
kasus (Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, 2014).
Menurut WHO pada tahun 2012 jenis kanker serviks terbanyak berasal dari
sel skuamosa yaitu mencapai 76% dari semua jenis kanker serviks (Stoler &
Zhao, 2015). Kanker serviks sel skuamosa terbentuk di zona transformasi yang
awalnya menginvasi stroma dini hingga tumor yang jelas terlihat mengelilingi
orifisium. Urutan kedua subtipe kanker serviks terbanyak adalah kanker jenis
adenokarsinoma yang berasal dari epitel kelenjar dengan angka kejadian
sebanyak 10-25% dari seluruh kanker serviks (Berek, 2008). Penelitian lain
menemukan subtipe lainnya yaitu kanker adenoskuamosa, kanker sel kecil,
tumor neuroendokrin, glassy cell carcinoma, villoglandular adenocarcinoma
(Kumar et al, 2007).
Salah satu faktor yang menyebabkan angka kejadian kanker serviks terus
meningkat adalah angka deteksi dini yang rendah. Tujuan dari deteksi dini
adalah untuk menemukan kasus-kasus stadium dini sehingga kemungkinan
penyembuhan dapat ditingkatkan (Fauziah et al., 2011). Beberapa metode
deteksi dini yang dapat digunakan antara lain pemeriksaan Pap smear, inspeksi
visual asam asetat (IVA) dan kolposkopi. Namun, hanya Pap smear yang telah
digunakan secara luas dalam deteksi dini kanker serviks (WHO, 2014).

C. Faktor Risiko
1.Usia
Angka kejadian kanker serviks lebih sering terjadi pada usia lebih dari
45 tahun (Abbas, 2015). Ada beberapa hal menyebabkan kanker serviks
banyak ditemukan pada usia lanjut. Fase laten yang sangat panjang dari HPV
merupakan alasan pertama kanker serviks banyak ditemukan pada usia lanjut.
Penurunan kemampuan sistem imun yang menurun juga termasuk alasan usia
lanjut lebih berisiko terkena kanker serviks. Dan yang terakhir karena efek
kumulatif dari faktor-faktor lain (Bassal, 2016; Rositch, 2014).
2.Rokok
Rokok mengandung methyl nitrosamino yang merupakan zat
karsinogenik. Zat tersebut ditemukan pada mukus serviks wanita yang

12
merokok. Selain itu, nikotin yang merupakan zat di dalam rokok, ditemukan
pula pada mukus wanita yang merokok. Zat-zat rokok yang ditemukan pada
mukus serviks menyebabkan gangguan fungsi dari sel Langerhans yang ada
di epitel serviks. Sel Langerhans sendiri memainkan peran penting dalam
sistem imun local serviks. Ketika sistem imun local terganggu maka serviks
akan lebih mudah terinvasi oleh HPV (Roura, 2014).
3.Depresi
Depresi maupun terapi medis untuk depresi berpengaruh negative
terhadap sistem kekebalan tubuh sehingga sehingga HPV akan lebih mudah
menginfeksi tubuh. Selain itu wanita yang mengalami depresi cenderung tidak
melakukan pap smear dengan teratur sehingga resiko terdiagnosis pada
stadium lanjut lebih besar (Bassal, 2016).
4.Multiseksual partner
Banyaknya pasangan seksual (>4 orang) meningkatkan risiko 74%
(Sherman & Lane, 2014). Multiseksual partner dapat meningkatkan risiko
kanker serviks dikarenakan proses infeksi HPV yang semakin meningkat
ketika banyak pasangan seksual (Liu, 2015). Selain itu, semakin banyak
pasangan seksualnya maka risiko infeksi HPV melalui sexual-transmited
disease akan semakin meningkat (Bassal, 2016).
5.Multiparitas
Berdasarkan studi kasus-kontrol, wanita yang pernah tujuh kali hamil
cukup bulan akan berisiko empat kali lipat sedangkan wanita dengan satu atau
dua kali kehamilan akan berisiko dua kali lipat dibandingkan wanita
nulipara. Sebuah teori mengatakan bahwa wanita tersebut melakukan
hubungan seksual tanpa pengaman sehingga pajanan terhadap HPV
meningkat, Selain itu, ketidakseimbangan hormon dan penurunan sistem
imun selama kehamilan diduga mampu meningkatkan infeksi HPV dan
pertumbuhan sel kanker (Sherman & Lane, 2014).
6.Kontrasepsi oral
Penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan risiko kanker serviks
sebesar 43%. Hal ini disebabkan oleh hormon memiliki efek permisif
terhadap pertumbuhan kanker serviks dengan meningkatkan proliferasi sel

13
sehingga lebih rentan terhadap mutasi. Sebagai contoh, estrogen, yang
bersifat anti apoptosis sehingga sel yang terinfeksi HPV akan berproliferasi
terus-menerus (Sherman & Lane, 2014).
7.Obesitas
Tidak ada hubungan antara peningkatan risiko kanker serviks dengan
overweight, tetapi terdapat hubungan lemah antara peningkatan risiko kanker
serviks dengan obesitas. Obesitas mempengaruhi kejadian kanker serviks
karena kelebihan jaringan adiposa menimbulkan efek negatif pada fungsi
sistem imun dan melemahkan kemampuan sistem pertahanan sel penjamu
sehingga memudahkan virus HPV untuk menginfeksi (Poorolajal & Jenabi,
2016).

D. Etiologi Kanker Serviks


Penyebab utama dari kanker serviks adalah infeksi virus HPV (Human
Papilloma Virus) yang telah diketahui bagaimana mekanismenya hingga
menyebabkan kanker dan hingga saat ini hanya virus HPV yang menjadi
etiologi kanker serviks yang telah diketahui perjalanan infeksinya. Pada kanker
serviks dengan tipe histopatologi tersering kejadiannya yaitu karsinoma sel
skuamosa, sebanyak 99,7% DNA HPV dapat diisolasi terutama HPV 16 dan
fimilinya tipe 31, 33, 35, 52 dan 58. Sedangkan untuk tipe histopatologi
adenokarsinoma lebih disebabkan Karena HPV tipe 18 dan familinya tipe 39,
45, 59 dan 68 (Abbas, 2015).
Virus HPV mengeluarkan onkoprotein E6 dan E7 yang menjadi penyebab
keganasan. Onkoprotein E6 akan mengikat Tumor Supresor Gen (TSG) P53
yang akan menyebab gen tersebut kehilangan fungsinya dan onkoprotein E7
akan mengikat TSG RB, sehingga ikatan dua TSG tersebut akan menyebabkan
terlepasnya E2F yang membuat siklus sel berjalan tanpa terkontrol. Keadaan sel
yang tumbuh tanpa terkontrol dan keadaan abnormal sel yang tidak diperbaiki
inilah yang menyebabkan pertumbuhan menjadi kanker (Rasjidi, 2009).

14
E. Patogenesis Kanker Serviks
Kanker adalah pembelahan sel yang tidak dapat dikontrol sehingga
membentuk jaringan tumor. Mekanisme pembelahan sel yang terdiri dari 4 fase
yaitu G1, S, G2 dan M harus dijaga dengan baik. Selama fase S, terjadi replikasi
DNA dan pada fase M terjadi pembelahan sel atau mitosis. Sedangkan fase G
(Gap) berada sebelum fase S (Sintesis) dan fase M (Mitosis). Dalam siklus sel,
p53 dan pRb berperan penting, dimana p53 memiliki kemampuan untuk
mengadakan apoptosis dan pRb memiliki kontrol untuk proses proliferasi sel
itu sendiri (Abbas, 2015).
Infeksi dimulai dari virus yang masuk kedalam sel melalui mikro abrasi
jaringan permukaan epitel, sehingga dimungkinkan virus masuk ke dalam sel
basal. Sel basal terutama sel stem terus membelah, bermigrasi mengisi sel
bagian atas, berdiferensiasi dan mensintesis keratin. Pada HPV yang
menyebabkan keganasan, protein yang berperan banyak adalah E6 dan E7.
Mekanisme utama protein E6 dan E7 dari HPV dalam proses perkembangan
kanker serviks adalah melalui interaksi dengan protein p53 dan retinoblastoma
(Rb). Protein E6 mengikat p53 yang merupakan suatu gen supresor tumor
sehingga sel kehilangan kemampuan untuk mengadakan apoptosis. Sementara
itu, E7 berikatan dengan Rb yang juga merupakan suatu gen supresor tumor
sehingga sel kehilangan sistem kontrol untuk proses proliferasi sel itu sendiri.
Protein E6 dan E7 pada HPV jenis yang resiko tinggi mempunyai daya ikat yang
lebih besar terhadap p53 dan protein Rb, jika dibandingkan dengan HPV yang
tergolong resiko rendah. Saat HPV menginfeksi serviks, protein virus
mengambil alih perkembangan siklus sel dan mengikuti deferensiasi sel (Gomez
dan Santos, 2007).
Proses karsinogenesis asam nukleat virus tersebut dapat bersatu ke dalam
gen dan DNA sel host sehingga menyebabkan terjadinya mutasi sel. Sel yang
mengalami mutasi tersebut dapat berkembang menjadi sel displastik sehingga
terjadi kelainan epitel yang disebut displasia. Dimulai dari displasia ringan,
displasia sedang, displasia berat dan karsinoma in-situ dan kemudian
berkembang menjadi karsinoma invasif. Tingkat displasia dan karsinoma in-situ
dikenal juga sebagai tingkat pra-kanker (Schiffman, 2007).

15
Displasia mencakup pengertian berbagai gangguan maturasi epitel
skuamosa yang secara sitologik dan histologik berbeda dari epitel normal, tetapi
tidak memenuhi persyaratan sel karsinoma. Perbedaan derajat displasia
didasarkan atas tebal epitel yang mengalami kelainan dan berat ringannya
kelainan pada sel. Sedangkan karsinoma in-situ adalah gangguan maturasi epitel
skuamosa yang menyerupai karsinoma invasif tetapi membrana basalis masih
utuh (Castellsague, 2008).
Klasifikasi terbaru menggunakan istilah Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS)
untuk kedua bentuk displasia dan karsinoma in-situ. NIS terdiri dari: 1) NIS 1,
untuk displasia ringan; 2) NIS 2, untuk displasia sedang; 3) NIS 3, untuk
displasia berat dan karsinoma in-situ. Patogenesis NIS dapat dianggap sebagai
suatu spekrum penyakit yang dimulai dari displasia ringan (NIS 1), displasia
sedang (NIS 2), displasia berat dan karsinoma in-situ (NIS 3) untuk kemudian
berkembang menjadi karsinoma invasif (Faridi, 2011).
Perkembangan karsinoma serviks tergantung dari kondisi immunologik
tubuh penderita akan berkembang menjadi mikro invasif dengan menembus
membrana basalis dengan kedalaman invasi <1mm dan sel tumor masih belum
terlihat dalam pembuluh limfa atau darah. Namun jika sel tumor sudah terdapat
>1mm dari membrana basalis, atau <1mm tetapi sudah tampak dalam pembuluh
limfa atau darah, maka prosesnya sudah invasif. (American Cancer Society,
2014).

Gambar 2.1 Patogenesis kanker serviks (Gomez dan Santos, 2007)

16
F. Klasifikasi
Pemeriksaan sitologi papsmear digunakan sebagai skrining, sedangkan
pemeriksaan histopatologik digunakan sebagai konfirmasi diagnostik
(Kemenkes RI, 2015). Pemeriksaan sitologi distandardisasi oleh sistem
nomenklatur Bethesda. Secara klinis kunci pelaporannya adalah specimen yang
adekuat dan kelainan sel epitel.
Tabel 2.1. Klasifikasi Lesi Prakanker Hingga Karsinoma Invasif (Kemenkes RI,
2015).

17
Tabel 2.2. Klasifikasi Lesi Prakanker Berdasarkan Stitologi dan Histologi
(Andrijono, 2012)

1. Normal (Kelas I): hasil apusan negatif tanpa adanya sel abnormal atau tidak
dapat terlihat. Hasil apusan bersih dan tidak terdapat sel inflamasi dan
tidakmemiliki bukti keganasan (kanker)
2. Atipikal (Kelas II): Hal ini lebih lanjut dibagi menjadi dua istilah: sel ASCH
dan ASC-U

18
Gambar 2.2 Gambaran Histopatologi Perjalanan Kanker Serviks (Djaranjoera,
2015)
Keterangan
ASC-US : atypical squamous cell of undetermined significance, ASC-H :
atypical squamous cell: cannot exclude a high grade squamousepithelial
lesion, LSIL : Low-grade squamous intraepithelial lesion, HSIL : High-
grade squamous intraepithelial lesion

Kriteria sitologi untuk diagnosis ASC-US termasuk pembesaran inti ukuran


2,5-3 kali lipat dari sel intermediate dengan sedikit peningkatan rasio
inti/sitoplasma, terdapat variasi ringan dalam ukuran inti dan kontur, dan sedikit
hiperkromasia dengan kromatin. Kriteria sitologi untuk ASC-H yaitu sel
skuamosa dengan inti membesar dan kurang sitoplasma dengan kontur inti tidak
teratur. Mungkin ada bukti regenerasi sel- sel pada serviks atau perubahan
sel yang berhubungan dengan infeksi atau trauma persalinan. Tergantung pada
deskripsi lain ahli patologi mungkin diperlukan pengobatan untuk infeksi,
pengecekan ulang PAP smear, tes DNA, observasi, atau tes diagnostik dengan
kolposkopi (Nurana, 2008)

19
Menurut Sistem Bethesda (WHO, 2014):
1. LSIL: Low-grade squamous intraepithelial lesion (displasia ringan)
Klasifikasi ini untuk sel-sel abnormal, yang dapat dianggap sebagai
displasia ringan atau dengan ringan potensial "premaligna". Jika
dibiarkan saja, perubahan ini mungkin kembali ke normal, mungkin tetap
sama, atau bisa berkembang menjadi keganasan selama periode tahunan.
Interval untuk pengembangan keganasan dari displasia adalah dari 3
sampai 10 tahun.
2. HSIL: High-grade squamous intraepithelial lesion (Kelas III, IV)
Klasifikasi ini merupakan indikasi dari perubahan tingkat tinggi
prakanker. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan kolposkopi.
Pengobatan dengan pembekuan atau eksisi biasanya diperlukan.
3. Karsinoma invasif (Kelas V): Klasifikasi ini menunjukkan probabilitas
tinggi kanker dan diperlukan evaluasi lengkap untuk menentukan sejauh
mana lesi kanker. Sebuah rencana perawatan untuk hasil terbaik dapat
ditentukan.

G. Stadium
Penentuan stadium klinis kanker serviks yang diterbitkan oleh International
Ginekologi dan Obstetri (FIGO) didasarkan pada pemeriksaan klinis, bukan
temuan bedah, dimana klasifikasi menurut FIGO tidak memasukan keterlibatan
dari kelenjar getah bening. Agar tercapai keseragaman dalam stadium klinis
semua kanker, International Union Against Cancer (IUAC) mengenalkan
sistem TNM yang melihat keterlibatan kelenjar getah bening dimana T sebagai
tumor primer, N adalah perjalanan ke limfonodi, dan M adalah metastasis
(Stoler & Zhao, 2015).

20
Tabel 2.3 Stadium Kanker Serviks TNM FIGO 2012 (WHO, 2014)
TNM Stadium FIGO
T. Tumor Primer
TX Tumor tidak dapat ditentukan
T0 Tumor tidak tampak
TIS 0 Kanker in situ
T1 I Tumor terbatas pada serviks (atau uterus
Ia Invasi stroma dini
Ia2 Keadaan invasi tidak melebihi 5mm dan
batas lesi (permukaan) dan lebat lesi
horizontal <7mm
Ib Lesi dengan diameter lebih luas stadium Ia,
baik secara klinik atau mikroskopik
T2 II tumor diluar serviks uterus, tetapi tidak lewat
sepertiga proksimal vagina dan tidak ke
perineum
IIa parametrium masih bebas
IIb parametrium sudah terkena
T3 III Kanker sudah mencapai dinding panggul.
Pada pemeriksaan rektal tidak ada celah
tumor dan dinding panggul. Tumor mencapai
1/3 distal vagina semua kasus dengan
hidronefrosis dan gangguan fungsi
ginjal kecuali penyebabnya diketahui hal lain
IIIa meluas sampai 1/3 distal vagina tapi belum
mencapai dinding
panggul
IIIb sudah mencapai dinding panggul dan atau
hidronefrosis
T4 IV kanker meluas ke pelvis kecil (true pelvis)
IVa mengenai mukosa vesika urinaria dan rectum
NX Kelenjar tidak dapat ditentukan
N0 Kelenjar tidak dapat ditentukan
N1 Kelenjar regional maligna
M1 IVb Menyebar ke organ jauh

21
H. Manifestasi klinis
Manifestasi klinik pada awal infeksi HPV biasanya asimptomatik atau tidak
muncul gejala. Namun tanda dan gejala yang paling sering muncul adalah
(Cunningham, 2014 ; Berek, 2008):
a. Perdarahan vagina setelah hubungan seks
Hal ini karena jaringan serviks menjadi rapuh ketika terjadi kanker.
b.Pengeluaran cairan kekuningan kadang bercampur darah dan berbau sangat
busuk dari liang senggama
c. Rasa nyeri di daerah pinggul atau di ulu hati dapat disebabkan oleh tumor
yang terinfeksi atau radang panggul.
d.Rasa nyeri didaerah pinggang dan punggung dapat terjadi karena
terbendungnya saluran kemih sehingga ginjal menjadi membengkak
(hidronefrosis) atau karena penyebaran tumor kelenjar getah bening di
sepanjang tulang belakang (para aorta).
e. Perdarahan yang tidak teratur (metrorhagia) terjadi pada keadaan stadium
lanjut, lama kelamaan akan menyebabkan perdarahan diluar siklus menstruasi
ataupun diluar post senggama yaitu adanya perdarahan spontan. Perdarahan
dari saluran kemih dan rectum dapat disebabkan oleh penyebaran rectum ke
kandung kemih dan rectum. Selain itu juga dapat menyebabkan kurus,
anemia, malaise, nafsu makan hilang, gejala uremia, syok dan dapat sampai
meninggal dunia.

I. Diagnosis
Diagnosis kanker serviks ditegakan dengan dasar anamnesis dan
pemeriksaan klinik (Komite Nasional Penangggulangan Kanker Serviks, 2015).
Pasien dinyatakan suspek kanker serviks jika saat anamnesis ditemukan gejala
seperti perdarahan vagina yang abnormal dan atau rasa nyeri saat berhubungan
seksual. Diagnosis pasti ditetapkan melalui pemeriksaan histopatologi
(American Cancer Society, 2014).
a. Anamnesis
Gejala yang timbul diawal infeksi biasanya asimptomatik. Namun
ketika timbul gejala, akan muncul lendir vagina yang berair dan

22
berdarah. Perdarahan yang intermiten juga muncul saat koitus. Nyeri
punggung yang menjalar ke bagian belakang kaki dan edema pada ekstremitas
disebabkan oleh kompresi saraf skiatik, limfa, vena, atau ureter. Jika terjadi
obstruksi ureter akan terdapat hidronefrosis dan uremia. Kemudian, jika
tumor telah menginvasi kandung kemih dan rektum, akan timbul hematuria
dan gejala fistula vesikovaginal atau rektovaginal (Cunningham, 2014).
b.Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menilai mulai dari keadaan umum
hingga status lokalis, biasanya pada tahap awal infeksi didapatkan hasil yang
normal. Namun, dalam tahapan lanjut, akan tampak pembesaran kelenjar
getah bening inguinal dan supraklavikula, edema tungkai bawah, asites, dan
penurunan suara paru yang mengindikasikan metastasis. Dengan spekulum,
serviks tampak normal jika mikroinvasif, namun jika makroinvasif akan
tampak lesi yang membentuk massa polipoid, jaringan papiler, jaringan
nekrotik, pertumbuhan ekso atau endofitik, ulserasi, dan serviks berbentuk
tong (barrel-shaped cervix). Saat palpasi bimanual, teraba perbesaran uterus,
ireguler, dan lunak akibat pertumbuhan dan invasi tumor. Pemeriksaan
melalui vaginal dan rectal toucher juga dapat dilakukan untuk memeriksa
apakah tumor telah menginvasi dinding posterior vagina, dinding pelvis, dan
lain-lain (Cunningham, 2014).
c. Pemeriksaan penunjang
1) Paps smear
Pap smear merupakan pemeriksaaan primer untuk mendiagnosis
kanker serviks. Pap smear adalah prosedur atau pemeriksaan sitologis
yang dilakukan untuk skrining perubahan sel, lesi pre kanker pada leher
rahim dengan metode usapan (smear) lendir leher rahim pada objek gelas
yang kemudian diperiksa secara mikroskopik (Cunningham, 2014).
2) Kolposkopi dan biopsi serviks
Kolposkopi dilakukan jika ditemukan abnormalitas pada paps
smear. Kolposkopi dilakukan di semua zona yang abnormal diidentifikasi.
Biopsi punch-cervical dan spesimen kerucut (conization) berupa stroma

23
dimana keduanya mampu membedakan diferensiasi antara karsinoma
invasif dan in situ (Cunningham, 2014).
Ada beberapa tipe biopsi yang dapat digunakan unuk mendiagnosis
lesi prankanker dan kanker. Jika dengan menggunakan biopsi dapat
mengangkat seluruh jaringan yang abnormal, hal ini bisa menjadikan
biopsi sebagai tatalaksana pengobatan (American Cancer Society, 2014;
Kementerian Kesehatan RI, 2015).

Gambar 2.3 Kolposkopi dan Biopsi Serviks (Cunningham, 2014)


3) CT (Computed Tomography) scan
Sering digunakan untuk mengidentifikasi hidronefrosis, jauhnya
metastasis, dan rencana pengobatan. Khususnya, CT scan sangat berguna
dalam evaluasi nodus para-aorta limfatikus karena 100 persen spesifik dan
67 persen sensitif (Cunningham, 2014).
4) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Pemeriksaan radiologi ini membantu dalam
menentukan staging khususnya ke ekstraservikal seperti parametrium,
miometrium, dan invasi tulang servikal interna. Dalam hal ini, MRI
sangat akurat dalam melokalisasi tumor dan memiliki sensitivitas yang
lebih besar daripada CT scan untuk metastasis nodus para-aorta
(Cunningham, 2014).
5) PET (Positron Emission Topography)
Pemeriksaan ini menggunaan radioisotope FDG (fluoro-2-deoksi-
D-glukosa) yang menciptakan gambaran sesuai dengan metabolisme

24
subtrat di dalam tubuh. Dalam mendeteksi metastasis nodus para-aorta,
sensitivitas sebesar 78 persen (Cunningham, 2014).

J. Tatalaksana Ca Cerviks
Pilihan pengobatan lokal dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya
ukuran tumor, stadium, struktur histologis, keterlibatan kelenjar getah bening,
faktor risiko, komplikasi dari pembedahan atau radiasi, dan keinginan pasien.
Lesi intraepitel dikelola dengan teknik ablatif dangkal, kanker microinvasif
yang menyerang kurang dari 3 mm (stadium IA1) dikelola dengan operasi
konservatif (excisional conization or extrafascial hysterectomy), kanker invasif
awal (stadium IA2 dan IB1 dan sebagian kacil stadium IIA) dikelola dengan
operasi radikal atau radioterapi, dan stadium IB2 sampai IVA dikelola dengan
radioterapi (Kemenkes, 2014).
1. Stadium pre invasif (Stadium 0)
Pasien dengan lesi skuamosa invasif dapat diobati dengan terapi ablatif
dangkal (cryosurgery atau terapi laser) atau dengan eksisi loop jika:
a. Seluruh zona transformasi telah divisualisasikan dengan kolposkopi
b. Hasil biopsi sesuai dengan hasil pap smear
c. Temuan kuretase endoserviks negatif
d. Tidak ada kecurigaan dari invasi pada pemeriksaan sitologi maupun
kolposkopi
Jika pasien tidak memenuhi kriteria, harus dilakukan konisasi
(Kemenkes, 2014).
2. Tahap karsinoma mikroinvasif (Stadium IA)
Pengobatan standar untuk stadium IA1 adalah histerektomi total atau
histerektomi vagina. Diseksi kelenjar getah getah bening pelvis tidak
dianjurkan karena resiko metastasisnya kurang dari 1% (Ozols et al., 2001).
Indikasi histerektomi adalah wanita yang sudah cukup anak tanpa adanya
invasi limfovaskular, sedangkan pada wanita yang masih ingin
mempertahankan kesuburan, terapi yang adekuat adalah konisasi dengan
simple margin (Perroy dan Kotz, 2010).

25
Untuk pasien dengan stadium IA2, resiko metastasi kelenjar getah
beningnya sebesar 5%. Oleh karena itu harus dilakukan limfadenektomi
pelvis bilateral (Kemenkes, 2014).
Walaupun terapi pembedahan merupakan standar untuk karsinoma in
situ dan karsinoma mikroinvasif, pasien dengan masalah medis berat atau
kontra indikasi lain dapat diobati dengan radioterapi (Kemenkes, 2014).
3. Stadium IB dan IIA
Karsinoma serviks di awal stadium IB dapat diobati secara efektif
dengan gabungan external beam irradiation dan brachiterapi atau dengan
histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvis bilateral. Tujuan dari kedua
perlakukan tersebut adalah untuk menghancurkan sel-sel ganas di leher
rahim, jaringan paraservikal, dan kelenjar getah bening regional. Tingkat
kelangsungan hidup pada pasien yang diterapi dengan pembedahan maupun
radiasi biasanya berkisar antara 80% dan 90%. Hal ini menunjukkan bahwa
kedua terapi sama-sama efektif (Kemenkes, 2014).
Pembedahan cenderung lebih disukai wanita muda dengan tumor kecil
karena fungsi ovarium masih terjaga. Sedangkan wanita usia tua, wanita
pasca menopouse cenderung memilih radioterapi untuk menghindari
morbiditas dan prosedur pembedahan besar (Kemenkes, 2014).
4. Stadium IIB, III, dan IVA
Radioterapi merupakan pengobatan lokal utama untuk kebanyakan
pasien dengan karsinoma invasif lanjut. Keberhasilan pengobatan
tergantung pada keseimbangan antara external beam irradiation dan
brachiterapi, mengoptimalkan dosis untuk tumor dan jaringan normal serta
durasi keseluruhan pengobatan. External beam irradiation berguna untuk
memberikan dosis homogen untuk karsinoma serviks primer serta jaringan
yang berpotensi sebagai tempat penyebaran tumor (Kemenkes, 2014).
5. Stadium IVB
Pasien yang sudah mencapai stadium IVB sebagian besar tidak dapat
disembuhkan. Perawatan pasien pada tahap ini harus menekan gejala secara
paliatif dengan obat nyeri serta radioterapi lokal. Sel tumor mungkin bisa
merespon kemoterapi, namun biasanya responnya singkat (Kemenkes,

26
2014). Beberapa kemoterapi paliatif yang sering digunakan adalah cisplatin,
carboplatin, ifosfamide, placitaxel, irinotecan, vinorelbine, dan gemcitabine
(Kemenkes, 2014).
Cisplatin membunuh sel pada semua siklus pertumbuhannya,
menghambat biosintesis DNA dan berikatan dengan DNA membentuk
ikatan silang (cross linking). Tempat ikatan utama adalah N7 pada guanin,
namun juga terbentuk ikatan kovalen dengan adenin dan sitosin. Efek
samping utama cisplatin adalah nefrotoksisitas. Hidrasi yang cukup dengan
garam fisiologis atau manitol penting untuk mengurangi nefrotroksisitas
(Kemenkes, 2014). Dosis terapinya 50 mg/m2 intravena setiap hari selama
3 minggu (Kemenkes, 2014).
Nedaplatin adalah derivat dari cisplatin dengan efektivitas yang sama,
dengan efek samping nefrotoksis dan gastrointestinal toksis lebih rendah
(Kemenkes, 2014).

Gambar 2.4 Algoritma Tatalaksana Karsinoma Serviks (Kemenkes, 2014)


Keterangan:
*konservatif, belum bersedia histerektomi
**risiko tinggi, tidak layak histerektomi
***konservatif fungsi fertilitas
****kemoradiasi konkomitan, cisplatin weekly, concurrent pada saat radiasi
eksterna
*****radiasi eksterna 25x200 cGy dengan brakiterapi 4x700 cGy, atau radiasi
eksterna 25x180 cGy

27
******terapi suportif, kemoterapi paliatif, radiasi paliatif
*******faktor risiko
- Metastase KGB pelvik
- Diferensiasi jelek
- Adenoskuamosa, adenokarsinoma
- Invasif limfovaskular
- Parametrium atau batas sayatan vagina tidak bebas tumor

K. Prognosis
Prognosis pada kanker serviks tergantung dari stadium kanker. Pada
pengobatan 5 tahun pada stadium awal memiliki prognosis yang lebih baik atau
invasif sebesar 92%, survival rate 5 tahun secara keseluruhan stadium kanker
serviks sebesar 72%. Prognosis pada kanker yang sudah bermetastasis ke organ
lain pasti memiliki prognosis yang lebih buruk dikarenakan pengobatan pada
lesi lokal lebih baik dibandingkan pengobatan sistemik seperti kemoterapi.
Dengan pengobatan 80-90% wanita dengan kanker stadium I dan 50%-65% dari
mereka dengan kanker stadium II masih hidup 5 tahun kemudian setelah
terdiagnosis. Sekitar 25%-35% pada wanita dengan kanker stadium III dan 15%
atau lebih dari kanker stadium IV yang dapat hidup setelah 5 tahun (Aru, 2009).
Kanker serviks yang tidak diobati atau tidak merespons terhadap
pengobatan akan menyebabkan kematian dalam waktu dua tahun setelah timbul
gejala. Disamping itu, risiko tinggi terjadinya rekurensi ditemukan pada pasien
yang menjalani histerektomi. Oleh karena itu, perlu deteksi dini agar dapat
ditangani segera dengan radioterapi (Cunningham, 2014).
Tabel 2.4 Survival Rate Kanker Serviks Berdasarkan Stadium (Cunningham,
2014)
Stadium 5-years survival
IA 100%
IB 88%
IIA 68%
IIB 44%
III 18-39%
IVA 18-34%

28

Anda mungkin juga menyukai

  • Pamflet Fix
    Pamflet Fix
    Dokumen2 halaman
    Pamflet Fix
    Yahya Syarifuddin
    Belum ada peringkat
  • Kuesioner CHF
    Kuesioner CHF
    Dokumen5 halaman
    Kuesioner CHF
    Yahya Syarifuddin
    Belum ada peringkat
  • Kuesioner CHF
    Kuesioner CHF
    Dokumen5 halaman
    Kuesioner CHF
    Yahya Syarifuddin
    Belum ada peringkat
  • Kuesioner CHF
    Kuesioner CHF
    Dokumen5 halaman
    Kuesioner CHF
    Yahya Syarifuddin
    Belum ada peringkat
  • Presus Gyn
    Presus Gyn
    Dokumen22 halaman
    Presus Gyn
    Yahya Syarifuddin
    Belum ada peringkat
  • Presus Gyn
    Presus Gyn
    Dokumen22 halaman
    Presus Gyn
    Yahya Syarifuddin
    Belum ada peringkat
  • Referat DORV M Yahya G4A018015 Isi
    Referat DORV M Yahya G4A018015 Isi
    Dokumen18 halaman
    Referat DORV M Yahya G4A018015 Isi
    Yahya Syarifuddin
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pendahuluan Stemi
    Laporan Pendahuluan Stemi
    Dokumen9 halaman
    Laporan Pendahuluan Stemi
    Alice Reis
    Belum ada peringkat
  • Dorv
    Dorv
    Dokumen17 halaman
    Dorv
    Yahya Syarifuddin
    Belum ada peringkat
  • PRESUS ASOKA CMV Rev
    PRESUS ASOKA CMV Rev
    Dokumen22 halaman
    PRESUS ASOKA CMV Rev
    Yahya Syarifuddin
    Belum ada peringkat
  • LAPORAN Pendahuluan Ska
    LAPORAN Pendahuluan Ska
    Dokumen30 halaman
    LAPORAN Pendahuluan Ska
    Entie Rosela
    Belum ada peringkat
  • Sindrom Koroner Akut
    Sindrom Koroner Akut
    Dokumen17 halaman
    Sindrom Koroner Akut
    Yahya Syarifuddin
    Belum ada peringkat
  • Prescil Cembukem CME TRANSLATE
    Prescil Cembukem CME TRANSLATE
    Dokumen7 halaman
    Prescil Cembukem CME TRANSLATE
    Yahya Syarifuddin
    Belum ada peringkat
  • Lapjag Diare
    Lapjag Diare
    Dokumen12 halaman
    Lapjag Diare
    Sylvi
    Belum ada peringkat
  • CRRT
    CRRT
    Dokumen6 halaman
    CRRT
    Yahya Syarifuddin
    Belum ada peringkat
  • CRRT
    CRRT
    Dokumen10 halaman
    CRRT
    Yahya Syarifuddin
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    Yahya Syarifuddin
    Belum ada peringkat
  • CRRT
    CRRT
    Dokumen10 halaman
    CRRT
    Yahya Syarifuddin
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    Yahya Syarifuddin
    Belum ada peringkat
  • Akibat Sering Menggunakan Headset
    Akibat Sering Menggunakan Headset
    Dokumen3 halaman
    Akibat Sering Menggunakan Headset
    Yahya Syarifuddin
    Belum ada peringkat
  • Akibat Sering Menggunakan Headset
    Akibat Sering Menggunakan Headset
    Dokumen3 halaman
    Akibat Sering Menggunakan Headset
    Yahya Syarifuddin
    Belum ada peringkat