Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis adalah penyakit menular yang ditularkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis, merupakan penyebab kematian terutama di Negara-
negara berkembang di seluruh dunia. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, dan
Indonesia dikenal sebagi negara terbesar dengan penderita tuberkulosis diseluruh
dunia setelah India dan Cina. Bakteri M. tuberculosis tidak hanya menyerang
paruparu tetapi juga organ lainnya seperti tulang, otak, dan lain-lain. Bakteri ini
mempunyai sifat khas yaitu tahan asam. Bakteri ini disebut juga dengan basil
tahan asam (BTA). Saat ini, tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat Indonesia karena tingginya angka kesakitan dan angka kematian yang
disebabkan oleh tuberkulosis tersebut.
Tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian global, pada
tahun 2015 diperkirakan terdapat 10,4 juta kasus baru TB Paru atau 142
kasus/100.000 populasi dengan 480.000 kasus multidrug-resistant. Indonesia
merupakan negara dengan jumlah kasus baru terbanyak kedua di dunia setelah
india. Sebesar 60% kasus baru terjadi di enam negara yaitu India, Indonesia, Cina,
Nigeria, Pakistan dan Afrika selatan. Kematian akibat TB Paru di perkirakan
sebanyak 1,4 juta kematian ditambah 0,4 juta kematian akibat TB Paru dengan
orang HIV. Meskipun jumlah kematian akibat TB Paru menurun 22% antara
tahun 2000 dan 2015, TB Paru tetap menjadi 10 penyebab kematian tertinggi di
dunia pada tahun 2015.
Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis yang mempunyai tingkat
kelembaban yang tinggi. Hal ini sangat sesuai dengan karakteristik bakteri M.
tuberkulosis yang suka hidup di tempat yang lembab. Berdasarkan laporan World
Health Organization (WHO) pada tahun 2015, terdapat 9,6 juta orang didunia

1
menderita tuberkulosis paru dan 1,5 juta orang diantaranya meninggal dunia.
WHO juga menyebutkan bahwasanya angka insiden tuberkulosis paru pada tahun
2015 adalah 183/100.000 penduduk dan angka prevalensi tuberkulosis pada tahun
2015 adalah 272/100.000 penduduk.
Menurut Profil Kesehatan Indonesia (2016), tuberkulosis dapat menyerang
semua umur, tidak hanya usia tua, tetapi juga usia muda dan usia produktif.
Menurut kelompok umur, kasus baru paling banyak ditemukan pada kelompok
usia 25-34 tahun, (18,07%), diikuti kelompok umur 45-54 tahun (17,25%), dan
kelompok umur 35-44 tahun (16,81%). Menurut jenis kelamin, jumlah kasus
BTA positif pada laki-laki lebih tinggi 1,5 kali dibandingkan dengan kasus BTA
positif pada perempuan.
Perilaku individu juga menjadi faktor risiko terhadap penularan TB Paru.
Ada beberapa perilaku yang sangat berisiko dalam penularan yaitu tidak
membuka jendela rumah, menggunakan peralatan makan yang sama dengan
penderita, dan kebiasaan meludah sembarangan. Kebiasaan masyarakat seperti
tidak menutup mulut ketika batuk dan meludah kesembarangan tempat, menutup
jendela rumah pada siang hari juga berkaitan dengan penularan penyakit
tuberkulosis.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Hubungan Sanitasi rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Mariat, Distrik Mariat, Kabupaten Sorong Tahun 2020.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Rumusan Masalah Umum
Berdasarkan latar belakang diatas, maka diperoleh rumusan masalah dalam
penelitian ini, yaitu “Apakah terdapat hubungan antara sanitasi rumah dengan
kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas Mariat?”

1.2.2 Rumusan Masalah Khusus


1. Apakah ada hubungan antara suhu rumah dengan kejadian TB Paru ?

2
2. Apakah ada hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian TB Paru?
3. Apakah ada hubungan antara kondisi jendela rumah dengan kejadian TB
Paru ?
4. Apakah ada hubungan antara luas ventilasi kamar anak dengan kejadian
TB Paru?
5. Apakah ada hubungan antara kepadatan hunian kamar anak dengan
kejadian TB Paru ?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan Sanitasi
rumah dengan kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Mariat,
Kabupaten Sorong.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui hubungan antara suhu rumah dengan kejadian TB Paru
2. Untuk mengetahui hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadianTB
Paru
3. Untuk mengetahui hubungan antara kondisi jendela rumah dengan
kejadian TB Paru
4. Untuk mengetahui hubungan antara luas ventilasi kamar anak dengan
kejadian TB Paru
5. Untuk mengetahui hubungan antara kepadatan hunian kamar anak dengan
kejadian TB Paru

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1. Manfaat Secara Teoritis
1. Hasil peneliti ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan
ilmiah yang bermanfaat bagi Institut Kesehatan dalam pengembangan dan
ilmu pengetahuan tentang hubungan Sanitasi rumah dengan kejadian TB Paru.

3
2. Dapat memperkaya wawasan dan pengalaman yang luas bagi peneliti dan
menembah informasi tentang hubungan sanitasi rumah dengan kejadian TB
Paru di wilayah kerja Puskesmas Mariat.

1.4.2. Manfaat Secara Praktis


1. Bagi Peneliti
Dapat menambah wawasan dan pengalaman dalam menganalisa permasalahan
TB Paru, khususnya hubungannya dengan kesehatan lingkungan (Sanitasi).
2. Bagi Institut Kesehatan
Dapat digunakan sebagai tambahan pustaka untuk memperkaya kajian ilmu
kesehatan lingkungan khususnya kajian mengenai penularan TB Paru.
3. Bagi Puskesmas Rawat Inap Sipispis
Sebagai bahan masukan pada pihak Puskesmas Mariat dalam hal program
kegiatan pencegahan dan meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya bagi
pasien penderita TB Paru.
4. Bagi Masyarakat
Dapat digunakan sebagai tambahan informasi untuk mengetahui cara penularan
dan cara pencegahan agar tidak tertular penyakit TB Paru dan dapat menambah
wawasan masyarakat dalam melakukan upaya penyehatan lingkungan
khususnya penyehatan lingkungan rumah. Menigkatkan pengetahuan
masyarakat mengenai perkembangan penyebaran TB Paru. Menigkatkan
pengetahuan masyarakat mengenai upaya pencegahan dan penanggulangan
penyakit TB Paru. Menigkatkan taraf kesehatan bagi masyarakat di wilayah
kerja Puskesmas Mariat, Distrik Mariat, Kabupaten Sorong.
5. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Sorong
Dapat digunakan sebagai referensi dan perimbangan dalam membuat program-
program untuk menyelesaikan kasus penyakit berbasis lingkungan khususnya
penyakit TB paru di Kabupaten Sorong.
6. Bagi Peneliti Selanjutnya

4
Peneliti ini diharapkan dapat membantu pihak peneliti lain dalam menyajikan
informasi untuk mengadakan peneliti yang serupa, serta dapat dijadikan
sebagai tambahan literatur.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman yang


bernama Mycobakterium tuberkulosis. TB Paru adalah penyakit menular. Sumber
penularan adalah pasien yang pemeriksaan dahaknya di bawah mikroskop di
temukan adanya kuman TB, disebut dengan hasil basil tahan asam (BTA).
Penyakit ini menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil
tuberculosis (Kemenkes RI 2013: 164).
Gejala utama penderita Tuberkulosis adalah batuk selama 2 minggu atau
lebih, batuk disertai dengan gejala tambahan yaitu dahak, dahak bercampur darah,
sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari 1 bulan (Kemenkes
RI, Riskesdas 2013: 107).
Tuberkulosis yang disingkat TB adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh Mycobakterium tuberkulosis, yang dapat menyerang paru dan organ lainnya.
Ada 9 juta pasien dan 3 juta kematian akibat tuberkulosis di seluruh dunia,
diperkirakan 95% kasus tuberkulosis paru dan 98% kematian tuberkulosis paru
didunia terjadi pada negara-negara berkembang.

2.2 Faktor Resiko Tuberkulosis Paru (TB)


Faktor risiko yang dapat menimbulkan penyakit Tuberkulosis adalah
faktor genetik, malnutrisi, vaksinasi, kemiskinan dan kepadatan penduduk.
Tuberkulosis terutama banyak terjadi di populasi yang mengalami stress, nutrisi
jelek, penuh sesak, ventilasi rumah yang tidak memenuhi standar, perawatan
kesehatan yang tidak cukup. Genetik berperan kecil, tetapi faktor lingkungan
rumah berperan besar pada insedensi kejadian Tuberkulosis. Lingkungan

6
merupakan hal yang tidak terpisahkan dari aktivitas kehidupan manusia.
Lingkungan, baik secara fisik maupun biologis, sangat berperan dalam proses
terjadinya gangguan kesehatan masyarakat, termasuk gangguan kesehatan berupa
penyakit Tuberkulosis.

1. Kepadatan hunian kamar tidur


Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di
dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan
dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini
tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen
juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah
menular kepada anggota keluarga yang lain. Persyaratan kepadatan hunian
untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum
per orang sangat relatif tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas
yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang.
Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang. Untuk
mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur
yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya
tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak
dibawah 2 tahun.
2. Ventilasi
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk
menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini
berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah
tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya
oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan
menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya
proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan
merupakan media yang baik untuk spertumbuhan bakteri-bakteri patogen/
bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB.

7
3. Kelembaban Udara
Kelembaban udara didalam rumah berpengaruh terhadap
kenyamanan penghuninya, dimana kelembaban maksimal 60% dengan
temperatur kamar 22°C hingga 30° C. Kelembaban diatas 60% akan
mengakibatkan kuman tuberkulosis bisa bertahan lama dan dapat
menginfeksi penghuni rumah.
4. Jenis lantai
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor risiko penularan
penyakit TB Paru. lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan
kuman. Lantai dan dinding yang sulit dibersihkan akan menyebabkan
penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi
berkembangbiaknya kuman Mycobacterium tuberculosis.
5. Pencahayaan Rumah
Cahaya matahari bisa membunuh kuman dan bakteri pathogen
yang berada di lingkungan rumah, salah satunya tuberkulosis. Karena itu
rumah harus memiliki 20% luas jendela dari luas seluruh rumah, supaya
cahaya matahari bisa masuk ke rumah dan bisa membunuh kuman
tuberkulosis.

6. Pendidikan
WHO menyatakan bahwa tuberkulosis tidak hanya menyerang
kepada orang dengan usia produktif, tetapi juga kepada orang dengan
pendidikan yang rendah. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan rendah
berpengaruh terhadap pengetahuan masyarakat tentang pemenuhan gizi
yang baik dan pencegahan serta pengobatan TB Paru.
7. Umur
Insiden tertinggi angka kejadian TB Paru adalah usia muda dan
produktif yaitu sekitar 75 % umur 15 – 50 tahun. Pada usia ini mereka
menghabiskan waktunya untuk bekerja dan berinteraksi dengan orang lain
yang kemungkinan tertular TB paru.

8
8. Sistem Kekebalan Tubuh
Orang dengan tingkat kekebalan tubuh rendah akan meningkatkan
resiko terinfeksi TB Paru seperti orang dengan HIV/AIDS.
9. Frekuensi Kontak Dengan Penderita TB Paru
Resiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dan percikan dahak.
TB Paru dengan BTA positif akan memberikan dampak penularan lebih
besar daripada penderita TB Paru BTA negatif. Resiko penularan setiap
tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (
ARTI ) yaitu proporsi penduduk yang beresiko terinfeksi TB Paru selama
satu tahun. Annual Risk of Tuberculosis Infection sebesar 10%, berarti ada
10 orang terinfeksi dari 1000 penduduk setiap tahunnya. Sebagian orang
yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB.Annual Risk of
Tuberculosis Infection di Indonesia bervariasi antara satu hingga tiga
persen.

2.3 Etiologi
Mycrobacterium Tuberculosis adalah kuman yang berbentuk batang lurus
atau agak bengkok, panjang 1-4 mikron, lebar antara 0,3-0,6 mikron, obligat,
tidak membentuk spora, tidak motil, tidak berkapsul dan bersifat tahan terhadap
penghilangan zat warna dengan asam alkohol. Pertumbuhan kuman
mikobakterium sangat lambat, koloni baru terlihat 3 hari sampai 8 minggu setelah
proses pengeraman pada suhu optimal. Mycrobacterium Tuberculosis tumbuh
optimal pada Suhu sekitar 370C dengan pH optimal 6,4-7,0. Mycobacterium
tuberculosis dapat tumbuh pada media yang mengandung gliserol, garam
ammonium, asparagin, dan asam lemak. Pada media biakan bentuk koloninya
bulat, berukuran 1-3 mm, permukaan rata (Arvin Behrman K, 2000: 1022).
Mycrobacterium tuberculosis merupakan aerob obligat yang tumbuh pada
media sintesis yang mengandung gliserol sebagai sumber karbon dan garam

9
ammonium sebagai sumber nitrogen. Mikobakteria ini tumbuh paling baik pada
suhu 37-410C, menghasilkan niasin dan tidak ada pigmentasi. Dinding sel kaya
lipid menimbulkan resistensi terhadap daya bakterisid antibodi dan komplemen
(Arvin Behrman K, 2000: 1028 ). Mikrobakteri tuberculosis mampu bertahan
hidup lama di lingkungan karena tahan terhadap kekeringan (Tom Elliot et. all,
2013:75).

2.4 Klasifikasi
2.4.1 Tuberkulosis Paru (TB)
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,
tidak termasuk pleura. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi
atas :
1. Tuberkulosis paru BTA (+)

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

b. 1 (satu) spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada
menun jukkan gambaran tuberkulosis aktif.

2. Tuberkulosis paru BTA (-)

Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen
dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. TB paru BTA negatif rontgen
positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat
dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan
gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced” atau
millier), dan/atau keadaan umum penderita baik.

Berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan


sebelumnya. Ada beberapa jenis pasien yaitu :

10
 Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

 Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah


mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.

 Kasus droped out adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan
dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.

 Kasus gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
atau akhir pengobatan.

 Kasus kronik adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan
pengawasan yang baik.

 Kasus bekas TB adalah hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif
bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif,
atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan
OAT adekuat akan lebih mendukung.

2.4.2 TB Ekstra Paru


Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang,
ginjal, saluran kencing dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas
kultur positif atau patologi anatomi dari tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang

11
tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis
yang kuat dan konsisten dengan TB ekstraparu aktif. (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2006)

2.5 Patogenesis

Tuberkulosis Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga
dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan
sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman
TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang
mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa
kuman TB ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai
kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan
kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan
dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.

Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman


yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat
menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa
kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dorman (tidur). Kadang-
kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman,
akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita
TB. Masa inkubasi yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai
menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Menyebar dengan cara :

1. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah


epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya
bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga

12
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan
akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang
bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang
dikenal sebagai epituberkulosis.

2. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke


paru sebelahnya atau tertelan .

3. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan


dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak
terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis
tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat
menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang,
ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya.

Tuberkulosis Post Primer

Tuberkulosis post primer akan muncul bertahun-tahun kemudian


setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun.
Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu
tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun,
dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah
kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis
postprimer dimulai dengan sarangan dini, yang umumnya terletak di segmen
apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya
berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti
salah satu jalan sebagai berikut :

13
1. Diresorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.

2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan


dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi
pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang
tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju
dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.

3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan


kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju
keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan
menjadi tebal (kaviti sklerotik) (Werdhani, 2010).

2.6 Diagnosis

2.6.1 Gejala Klinis

Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau
gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.

 Gejala Respiratorik meliputi batuk lebih dari 3 minggu, batuk disertai


darah, sesak napas, dan nyeri dada. Semua gejala ini sangat bervariasi,
dimulai tidak ada gejala sampai gejala cukup berat tergantung luasnya
perlukaan pada paru.

 Gejala Tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,


misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang
lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis
tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis

14
tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi
yang rongga pleuranya terdapat cairan.

 Gejala Sistemik meliputi demam dari rendah sampai tinggi, dan disertai
dengan gejala sistemik yang lain seperti malaise, anoreksia, keringat
malam, dan berat badan menurun yang merupakan ciri khas TB selain
batuk berkepanjangan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2005).

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Apabila dilakukan pemeriksaan pada awal perkembangan
penyakit biasanya sulit atau tidak ditemukan kelainan. Kelainan paru pada
umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen
posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan kelainan dengan mendengarkan suara nafas dengan menggunakan
stetoskop, ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, ronki basah, dan pada tanda lain adalah penarikan paru, diafragma
& mediastinum (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

2.6.3 Pemeriksaan Bakteriologik


Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan
sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) (Kementrian Kesehatan RI, 2012).

Laboratorium Mikroskopis merupakan penunjang utama untuk tata


laksana pasien Tuberkulosis. Ketersediaan perangkat laboratorium
mikroskopis tidak dapat dipisahkan dalam memberikan pelayanan tata laksana
pasien TB selain obat anti tuberkulosis (OAT).

15
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemeriksaan dahak mikroskopis TB
adalah faktor di dalam laboratorium (pembuatan sediaan, pembacaan sediaan,
pencatatan dan pelaporan) dan faktor di luar laboratorium (pasien, petugas
kesehatan, pengambilan sampel, pengadaan logistik, pengelola program)
seperti tampak pada bagan di bawah ini.

2.6.4 Pemeriksaan Radiologik


Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi
ialah foto lateral, top lordotik, oblik, CT-Scan. Pada kasus dimana pada
pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan lagi. Pada beberapa
kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan foto toraks bila :

 Curiga adanya komplikasi (misal: efusi pleura, pneumotoraks).

 Hemoptisis berulang atau berat.

 Didapatkan hanya 1 spesimen BTA +.

Interpretasi hasil foto toraks yang diduga TB aktif :


 Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas dan segmen superior lobus bawah paru.
 Kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan
atau nodular.
 Bayangan bercak milier.
 Efusi Pleura.

Interpretasi hasil foto toraks yang diduga TB inaktif :


 Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas
dan atau segmen superior lobus bawah.
 Kalsifikasi & penebalan pleura.

16
Gambar 1. Bagan Alur Diagnosis TB-Paru

2.7 Penatalaksanaan TB
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari
paduan obat utama dan tambahan.

2.7.1 Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
a. Rifampisin (R)

b. Isoniazid (H)

17
c. Pirazinamid (Z)

d. Streptomisin (S)

e. Etambutol (E)
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination).
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari :
a. Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg.

b. Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg dan pirazinamid. 400 mg.

3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

a. Kanamisin.

b. Kuinolon.

Pengobatan Tb paru pada orang dewasa di bagi dalam beberapa kategori


yaitu :
 Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan
etambutol
setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH
dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan
kepada:
a. Penderita baru TBC paru BTA positif.
b. Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.

 Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3

18
Diberikan kepada :
a. Penderita kambuh.
b. Penderita gagal terapi.
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.
 Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Diberikan kepada penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung
Aktif.
 Kategori 4: RHZES
Diberikan pada kasus Tb kronik .

Tabel. 1 Panduan terapi TB Paru

19
2.7.2 Efek Samping Obat

Sebagian besar pasien Tb paru dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek


samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.Efek samping yang terjadi dapat yaitu:

Isoniazid (INH)
Sebagian besar pasien Tb parudapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena
itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting
dilakukan selama pengobatan.
Rifamisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simptomatis ialah:
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang-kadang diare
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang-kadang diare

Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :


- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus
distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman Tb paru pada keadaan
khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah
satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan
diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas. Rifampisin dapat
menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur.

20
Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak
berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar mereka
mengerti dan tidak perlu khawatir.
Pirinizamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman Tb paru pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri
aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal
ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam
urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit
yang lain.
Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian
keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali
terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang
diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam
beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak
diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.
Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur
pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi
ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging
(tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan
bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan
diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap
(kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi
berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema
pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti

21
kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera
setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi
0,25gr Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh
diberikan pada perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran
janin.

2.8 Komplikasi

Tuberkulosis paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan


komplikasi. Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita Tb paru
dibedakan menjadi dua, yaitu:

 Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus.

 Komplikasi pada stadium lanjut:

- Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang


dapat mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau
syok hipovolemik

- Kolaps lobus akibat sumbatan duktus

- Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis


(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif)
pada paru

- Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang


pecah

- Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal,


dan sebagainya

22
2.9 Sanitasi Lingkungan

2.9.1 Definisi Sanitasi Lingkungan


Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang
mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan
sebagainya ( Notoadmojo, 2003 ).
Rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan manusia.
Rumah atau tempat tinggal manusia, dari zaman ke zaman mengalami
perubahan. Pada zaman purba manusia bertempat tinggal di gua-gua,
kemudian berkembang dengan mendirikan rumah tempat tinggal di hutan-
hutan dan dibawah pohon.Sampai pada abad modern ini manusia sudah
membangun rumah bertingkat dan dilengkapi dengan peralatan yang serba
modern.

2.9.2 Persyaratan Rumah Sehat


Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.829 / Menkes / SK
/VII / 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal, rumah sehat harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
 Bahan bangunan tidak terbuat dari bahan yang melepaskan zat – zat yang
dapat membahayakan kesehatan, seperti kadar timah hitam tidak melebihi
300 mg / kg, debu total tidak melebihi 150 gr /m3, asbes bebas tidak
melebihi 0,5 fiber / m3 / 4 jam, serta tidak terbuat dari bahan yang tempat
berkembangnya mikroorganisme patogen.
 Komponen dan penataan ruang rumah harus memenuhi persyaratan fisik
dan biologis sebagai berikut:
- Lantai kedap air dan mudah dibersihkan.
- Dilengkapi dengan sarana ventilasi untuk mengatur sirkulasi
udara ruangan, kedap air dan mudah dibersihkan.
- Langit – langit mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan.

23
- Rumah yang memiliki tinggi lebih dari 10 meter harus
memiliki penangkal petir.
- Ruang didalam rumah harus ditata dengan baik agar bisa
berfungsi sebagai ruang tamu, ruang keluarga, ruang anak,
ruang kamar mandi, ruang dapur, ruang kamar anak.
- Ruang dapur harus dilengkapi dengan sarana pembuangan
asap.
 Pencahayaan rumah ada dua macam, yaitu pencahayaan alami atau dengan
sinar matahari dan pencahayaan yang dibuat atau dengan lampu.
Penerangan alami sangat penting dalam menerangi rumah untuk
mengurangi kelembaban dan untuk membunuh kuman penyakit tertentu.
Untuk itu pencahayaan alami maupun buatan langsung maupun tidak
langsung harus menerangi ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak
menyilaukan.
 Kualitas udara didalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai berikut :
- Tidak berbau dan berwarna.
- Suhu nyawan berkisar antara 18ºC sampai 30ºC.
- Kelembaban udara antara 40% sampai 70%.
- Terjadi pertukaran udara.
- Konsentrasi zat CO tidak melebihi 100 ppm per 8 jam.

 Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar dan pengeluaran udara


kotor dari ruangan tertutup secara alamiah maupun mekanis. Tersedianya
udara segar diruangan rumah sangat dibutuhkan manusia untuk proses
sirkulasi udara. Jika suatu ruangan tidak mempunyai sistem sirkulasi akan
mengakibatkan over crowded dan akan menimbulkan masalah kesehatan.
Standar luas ventilasi rumah menurut Kepmenkes RI. No.829 tahun 1999,
minimal 10% dari luas lantai. Kurangnya ventilasi juga mengakibatkan
tidak bisa keluarnya bakteri yang ada dalam ruangan yang dapat
berpotensi menimbulkan penyakit.

24
 Air bersih adalah air yang dipergunakan untuk keperluan sehari – hari
yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila
memenuhi syaratnya yaitu telah dimasak. Dalam kehidupan sehari – hari
manusia membutuhkan air sebanyak 60 lt / hari / orang. Adapun syarat –
syarat air bersih yaitu :
a) Syarat fisik : tidak berasa, tidak berbau, dan tidak berwarna.
b) Syarat kimia : contoh kadar besi maksimum adalah 0,3 mg / lt.
c) Syarat mikrobiologis : koliform tinja / koliform maksimal 0 /ml
air.
 Kepadatan hunian rumah juga harus memiliki ruang tidur minimal seluas
delapan meter persegi dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang
tidur dalam satu ruangan , kecuali anak dibawah lima tahun.
 Binatang dapat menjadi sumber penyakit atau menjadi sarana berbagai
mikroorganisme untuk hidup dan berkembang biak dalam siklus
hidupnya. Contoh binatang yang dapat menularkan penyakit yaitu tikus
dan lalat serta nyamuk sehingga rumah harus bebas dari binatang tersebut.
 Kebersihan makanan yang akan dimakan mempengaruhi secara langsung
dari orang–orang yang mengkonsumsinya sehingga makanan harus bersih
dan higienis bebas dari kotoran hewan seperti serangga dan tikus.

25
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Berdasarkan jenisnya penelitian ini termasuk penelitian correlation study


dengan pendekatan cross sectional untuk menganalisis faktor sanitasi rumah
terhadap kejadian penyakit tuberkulosis paru di wilayah Kerja Pusksmas Mariat,
Kabupaten Sorong. Jenis penelitian yang dilakukan adalah kuantitatif dengan
menggunakan desain Correlation study yaitu untuk mengetahui sejauh mana
hubungan antara variabel independen dan variabel dependen (Notoatmodjo, 2006)
. Rancangan cross sectional adalah suatu rancangan penelitian yang dilakukan
hanya pada satu waktu dimana variabel yang termasuk faktor resiko dan variabel
– variabel lainnya diobservasi dan diukur (Nursalam, 2008).

3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja puskesmas Mariat pada tanggal 20-
25 Januari 2020.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien TB yang tercatat di
Puskesmas Mariat. Berhubung jumlah populasi dalam penelitian termasuk
dalam jumlah kecil (kurang dari 100), maka seluruh populasi dalam
penelitian ini diambil sebagai sampel dalam penelitian.
3.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien TB yang tercatat di
Puskesmas Mariat.

Kriteria inklusi dan eksklusi responden dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :

26
1. Kriteria inklusi dalam penelitian ini :
a. Penderita TB Paru dewasa dengan BTA Positif
b. Penderita yang telah menjalani pengobatan maupun sudah selesai
menjalani pengobatan.
2. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini :
a. Penderita TB Paru anak – anak dengan rontgen positif.
b. Penderita yang kambuh setelah selesai menjalani pengobatan
sebelumnya.
c. Penderita MDR ( Multi Drug Resistance ).
d. Penderita yang tidak mau menjadi responden.

3.4 Teknik Sampling


Teknik sampling pada penelitian ini menggunakan metode total
sampling. Teknik total sampling merupakan bagian dari non-probability
sampling dimana jumlah sampel sama dengan jumlah populasi. Dalam
penelitian ini data diambil menggunakan instrument pendataan terhadap
subjek. Penggunaan kuesioner ini didasari bahwa responden adalah orang
yang paling tahu dengan dirinya.

3.5 Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data adalah
pendataan dengan Kuisioner.

3.6 Prosedur Penelitian


- Perizinan pengambilan data kepada Kepala Distrik Mariat
- Pengambilan data menggunakan kuisioner
- Pembuatan hasil data
- Analisis data
- Pembuatan laporan

27
3.7. Variabel Penelitian

Tabel.2 Variabel Penelitian

3.8. Analisis Data


Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk melihat gambaran distribusi frekuensi
atau rerata pada masing-masing variabel bebas dan tergantung yang telah
diteliti.
Analisis Bivariat
Analisa bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel bebas
dengan variabel tergantung, yaitu hubungan antara Sanitasi lingkungan
dengan tingkat kejadian TB di wilayah kerja Puskesmas Mariat.

28

Anda mungkin juga menyukai