Anda di halaman 1dari 24

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Setiap sel tubuh manusia membutuhkan oksigen untuk melaksanakan fungsi


metabolisme, sehingga oksigen merupakan zat terpenting dalam kehidupan manusia.
Mempertahankan oksigenasi adalah upaya untuk memastikan kecukupan pasokan
oksigen ke jaringan atau sel. Hal ini tentu saja tidak hanya bergantung pada fungsi
pernapasan yang memadai, tetapi juga harus didukung oleh fungsi peredaran darah
yang adekuat.1
Untuk menilai keseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen, diperlukan
pemeriksaan parameter yang lebih spesifik, dan tidak cukup berdasarkan hanya
pemeriksaan klinis saja. Tak jarang pasien yang awalnya membaik dengan terapi
oksigen, bisa terjadi gagal napas akut yang dapat mengakibatkan henti jantung dan
berakhir dengan kematian, karena kurang adekuat dalam mengelola fungsi
pernapasan dan sirkulasi.1
Oksigen masuk ke dalam tubuh melalui paru-paru, diangkut ke jaringan melalui
darah, dan dikonsumsi tingkat intraseluler (mitokondria) untuk menyediakan energi
untuk metabolisme sel. Banyak reaksi biokimia dalam tubuh tergantung dengan
penggunaan oksigen. Persediaan oksigen jaringan tergantung banyak factor seperti
ventilasi, difusi membran kapiler alveolus, hemoglobin, curah jantung, dan perfusi
jaringan.1
Terapi oksigen tersedia untuk keadaan gagal napas dan banyak kondisi lainnya
seperti asma, bronchitis kronik, pneumonia, dan infark myocard. Prinsip terapi
oksigen adalah pemberian oksigen dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari udara
ruangan untuk mengatasi atau mencegah hipoksia. Banyak cara yang bisa digunakan
untuk memberikan oksigen dengan berbagai konsentrasi oksigen yaitu lebih dari 21%
sampai 100%, tergantung pada alat atau metode terapi yang digunakan.1
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Terapi oksigen adalah tindakan yang digunakan untuk mengatasi hipoksia

jaringan. Tindakan ini dilakukan untuk meningkatkan pasokan oksigen dan

mengurangi kerja napas. Pada dasarnya, terapi oksigen digunakan untuk membuat

keseimbangan antara pasokan oksigen dan kebutuhan oksigen. Ketidakseimbangan

akan menyebabkan disfungsi organ. Terapi oksigen dapat memperbaiki keluaran dan

menyelamatkan nyawa bila digunakan secara tepat dan membahayakan jika

digunakan tidak tepat.2

B. Sistem Respirasi
Sistem pernapasan mengatur pengantaran oksigen yang kuat dan eliminasi

CO2 dari dalam tubuh dan mempertahankan keseimbangan normal asam dan basa

tubuh. Kecukupan pengantaran oksigen dan pembuangan CO2 di jaringan tergantung

optimalisasi fungsi pernapasan. Optimalisasi fungsi pernapasan tergantung pada ada

atau tidaknya gangguan pada dinding dada, otot pernafasan, jalan napas dan paru,

system saraf pusat dan perifer, dan endokrin, jika terdapat gangguan dapat saja terjadi

gagal napas yang dapat menyebabkan terganggunya aliran oksigen ke jaringan.2

C. Fisiologi
Proses fisiologi pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke dalam

jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi menjadi tiga

stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas ke


3

dalam dan ke luar paru. Stadium kedua, transportasi, yang harus ditinjau dari

beberapa aspek.3

 Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan antara

darah sistemik dan sel-sel jaringan

 Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan

distribusi udara dalam alveolus-alveolus

 Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah. Respirasi sel atau

respirasi interna merupakan stadium akhir respirasi, yaitu saat zat-zat

dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk sebagai sampah

proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru.

a) Ventilasi

Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan yang

terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Rangka

toraks berfungsi sebagai pompa. Selama inspirasi, volume toraks bertambah

besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot.

Otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus,

skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.4

Toraks membesar ke tiga arah: anteroposterior, lateral, dan vertical.

Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan intrapleura, dari

sekitar 4 mmHg (relative terhadap terkanan atmosfer) menjadi sekitar 8 mmHg

bila paru mengembang pada waktu inspirasi. Pada saat yang sama tekanan
4

intrapulmonal atau tekanan jalan nafas menurun sampai sekitar 2 mmHg dari 0

mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara jalan nafas dan

atmosfer menyebabkan udara mengalir ke dalam paru sampai tekanan jalan nafas

pada akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.3,4

Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat

elastisitas dinding dada dan paru. Pada waktu otot interkostalis internus relaksasi,

rangka iga turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks,

menyebabkan volume toraks berkurang. Otot interkostalis internus dapat

menekan iga ke bawah dan ke dalam pada waktu ekspirasi kuat dan aktif, batuk,

muntah, atau defekasi. Selain itu, otot-otot abdomen dapat berkontraksi sehingga

tekanan intra abdomen membesar dan menekan diafragma ke atas.3,4

Peningkatan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura

maupun tekanan intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang meningkat dan

mencapai 1 sampai 2 mmHg di atas tekanan atmosfer. Selisih tekanan antara

jalan nafas dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari

paru sampai tekanan jalan nafas dan atmosfer menjadi sama kembali pada akhir

ekspirasi. Teka nan intrapleura selalu berada dibawah tekanan atmosfer selama

siklus pernafasan.4

Definisi-definisi berikut ini akan berguna dalam pembahasan ventilasi

yang efektif :4
5

 Volume semenit atau ventilasi semenit (VE) adalah volume udara yang

terkumpul selama ekspirasi dalam periode satu menit. VE dapat dihitung

dengan mengalikan nilai VT dengan kecepatan pernafasan. Dalam keadaan

istirahat, VE orang dewasa sekitar 6 atau 7 liter/ menit.

 Frekuensi pernafasan (f) atau ‘kecepatan; adalah jumlah nafas yang

dilakukan per menit. Pada keadaan istirahat, pernafasan orang dewasa

sekitar 10-20 kali per menit.

 Volume tidal (VT) adalah banyaknya udara yang diinspirasi atau diekspirasi

pada setiap pernafasan. VT sekitar 8-12 cc/kgBB dan jauh meningkat pada

waktu melakukan kegiatan fisik yaitu bila bernafas dalam.

 Ruang mati fisiologis (VD) adalah volume udara inspirasi yang tidak

tertukar dengan udara paru; udara ini dapat dianggap sebagai ventilasi yang

terbuang sia-sia. Ruang mati fisiologis terdiri dari ruang mati anatomis

(volume udara dalam saluran nafas penghantar, yaitu sekitar 1 ml per pon

berat badan), ruang mati alveolar (alveolus mengalami ventilasi tapi tidak

mengalami perfusi), dan ventilasi melampaui perfusi. Perbandingan antara

VD dengan VT (VD / VT) menggambarkan bagian dati VT yang tidak

mengadakan pertukaran dengan darah paru. Nilai rasio tersebut tidak

melebihi 30% sampai 40% pada orang yang sehat. Perbandingan ini

seringkali digunakan untuk mengikuti keadaan pasien yang mendapatkan

ventilasi mekanik.
6

 Ventilasi alveolar (VA) adalah volume udara segar yang masuk ke dalam

alveolus setiap menit, yang mengadakan pertukaran dengan darah paru. Ini

merupakan ventilasi efektif. Ventilasi alveolar dapat dihitung dengan

menggunakan rumus :

VA= (VT-VD) x f, atau VA= VE-VD.

VA merupakan petunjuk yang lebih baik tentang ventilasi dibandingkan

VE atau VT karena pada pengukuran ini diperhitungkan volume udara yang

terbuang dalam ventilasi VD.

 Komplians (C=daya kembang) adalah ukuran sifat elastik (distensibilitas)

yang dimiliki oleh paru dan toraks. Didefinisikan sebagai perubahan volume

per unit perubahan dalam tekanan dalam keadaan statis. Komplians total

(daya kembang paru dan toraks) atau komplians paru saja dapat ditentukan.

Komplians paru normal dan komplians rangka toraks per VT masing-masing

sekitar 0,2 liter/ cm H2O sedangkan komplians total besarnya sekitar 0,1

liter/ cm H2O.

b) Transportasi- Difusi

Tahap kedua dari proses pernafasan mencakup proses difusi gas-gas

melintasi membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0.5 µm).

kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara

darah dan fase gas. Tekanan parsial O2 (PO2) dalam atmosfer pada permukaan

laut sekitar 159 mmHg (21% dari 760 mmHg). Namun, pada waktu O2 sampai di
7

trakea, tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekitar 149 mmHg

karena dihangatkan dan dilembabkan oleh jalan nafas (760-47 x 0,21 = 149).4

Tekanan parsial uap air pada suhu tubuh adalah 47 mmHg. Tekanan

parsial O2 yang diinspirasi akan menurun kira-kira 103 mmHg pada saat

mencapai alveoli karena tercampur dengan udara dalam ruang mati anatomik

pada saluran jalan nafas. Ruang mati anatomik ini dalam keadaan normal

mempunyai volume sekitar 1 ml udara per pound berat badan ideal. Hanya udara

bersih yang mencapai alveolus yang merupakan ventilasi efektif. Tekanan parsial

O2 dalam darah vena campuran (PVO2) di kapiler paru kira-kira sebesar 40

mmHg.4

PO2 kapiler lebih rendah daripada tekanan dalam alveolus (PAO2 = 103

mmHg) sehingga O2 sudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan tekanan

antara darah (46 mmHg) dan PaCO2 (40 mmHg) yang lebih rendah 6 mmHg

menyebabkan CO2 berdifusi ke dalam alveolus. CO2 ini kemudian dikeluarkan ke

atmosfer, yang konsentrasinya mendekati nol. Kendati selisih CO2 antara darah

dan alveolus amat kecil namun tetap memadai, karena dapat berdifusi melintasi

membran alveolus kapiler kira-kira 20 kali lebih cepat dibandingkan O2 karena

daya larutnya yang lebih besar.4

Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan antara

O2 di kapiler darah paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total

waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru normal

memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit (misalnya,


8

fibrosis paru), sawar darah dan udara dapat menebal dan difusi dapat melambat

sehingga keseimbangan mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolah raga

ketika waktu kontak total berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung

terjadinya hipoksemia, tetapi tidak dianggap sebagai faktor utama. Pengeluaran

CO2 dianggap tidak dipengaruhi oleh kelainan difusi.4

D. Hubungan Antara Ventilasi dan Perfusi

Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru

membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru dan perfusi (aliran darah)

dalam kapiler. Dengan perkataan lain, ventilasi dan perfusi unit pulmonar harus

sesuai. Pada orang normal dengan posisi tegak dan dalam keadaan istirahat, ventilasi

dan perfusi hampir seimbang kecuali pada apeks paru.5

Sirkulasi pulmoner dengan tekanan dan resistensi rendah mengakibatkan

aliran darah di basis paru lebih besar daripada di bagian apeks, disebabkan pengaruh

gaya tarik bumi. Namun, ventilasinya cukup merata. Nilai rata-rata rasio antara

ventilasi terhadap perfusi :5

V/Q = 0,8

Nilai diatas didapatkan melalui rasio rata-rata laju ventilasi alveolar normal

(4L/menit) dibagi dengan curah jantung normal (5L/menit).

Ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi terjadi kebanyakan pada

penyakit pernafasan. Penyakit paru dan gangguan fungsional pernafasan dapat

diklasifikasikan secara fisiologis sesuai jenis penyakit yang dialami, apakah

menimbulkan pirau yang besar (tidak terdapat ventilasi tapi perfusi normal, sehingga
9

perfusi terbuang sia-sia, V/Q kurang dari 0,8) atau menimbulkan penyakit pada ruang

mati (ventilasi normal, akan tetapi tanpa perfusi, V/Q lebih dari 0,8).5

E. Transpor O2 Dalam Darah

O2 dapat diangkut dari paru ke jaringan-jaringan melalui dua jalan: secara

fisik larut dalam plasma atau secara kimia berikatan dengan Hb sebagai

oksihemoglobin (HbO2). Ikatan kimia O2 dengan Hb ini bersifat reversible, dan

jumlah sesungguhnya yang diangkut dalam bentuk ini mempunyai hubungan

nonlinear dengan tekanan parsial O2 dalam darah arteri (PaO2), yang ditentukan oleh

jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma darah. Selanjutnya, jumlah O2 yang

secara fisik larut dalam plasma mempunyai hubungan langsung dengan tekanan

parsial O2 dalam alveolus (PAO2).5

Jumlah O2 juga bergantung pada daya larut O2 dalam plasma. Hanya sekitar

1% dari jumlah O2 total yang ditranspor dengan cara ini. Cara transport seperti ini

tidak memadai untuk mempertahankan hidup walaupun dalam keadaan istirahat

sekalipun. Sebagian besar O2 diangkut oleh Hb yang terdapat dalam sel darah merah.

Dalam keadaan tertentu (misalnya :keracunan karbon monoksida atau hemolisis masif

dengan insufisiensi Hb), O2 yang cukup untuk mempertahankan hidup dapat diangkut

dalam bentuk larutan fisik dengan memberikan pasien O2 bertekanan lebih tinggi dari

tekanan atmosfer (ruang O2 hiperbarik).5

Satu gram Hb dapat mengikat 1,34 ml O2. Konsentrasi Hb rata-rata dalam

darah laki-laki dewasa sekitar 15 g per 100 ml sehingga 100 ml darah dapat

mengangkut 20,1 ml O2(15 x 1,34) bila O2 jenuh (SaO2) adalah 100%. Tetapi sedikit
10

darah vena campuran dari sirkulasi bronchial ditambahkan ke darah yang

meninggalkan kapiler paru dan sudah teroksigenasi. Proses pengenceran ini

menjelaskan mengapa hanya kira-kira 97 persen darah yang meninggalkan paru

menjadi jenuh.4

Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb ke dalam plasma dan

berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi kebutuhan jaringan

yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan tersebut bervariasi, namun sekitar

75% Hb masih berikatan dengan O2 pada waktu Hb kembali ke paru dalam bentuk

darah vena campuran. Jadi hanya sekitar 25% O2 dalam darah arteri yang digunakan

untuk keperluan jaringan. Hb yang telah melepaskan O2 pada tingkat jaringan disebut

Hb tereduksi. Hb tereduksi berwarna ungu dan menyebabkan warna kebiruan pada

darah vena, sedangkan HbO2 berwarna merah terang dan menyebabkan warna

kemerah-merahan pada darah arteri.5


11

F. Tujuan Terapi Oksigen

Tujuan terapi oksigen adalah mengoptimalkan oksigenasi jaringan pada

keadaan hipoksia jaringan, mencapai dan mempertahankan pertukaran gas yang

memadai pada keadaan gagak napas. Hipoksia adalah kekurangan oksigen dalam

jaringan, atau ketidakmampuan jaringan menggunakan oksigen yang ada atau

oksigenasi jaringan yang tidak memadai akibat pasokan oksigen yang rendah (DO2)

atau konsumsi oksigen yang meningkat (VO2). Hipoksia jaringan terjadi melalui

mekanisme yang dikategorikan menjadi : 1) Hipoksemia arteri 2) Berkurangnya

aliran oksigen karena adanya kegagalan transport tanpa adanya hipoksemia arteri, dan

penggunaan oksigen yang berlebihan di jaringan. Jika aliran oksigen ke jaringan

berkurang, atau jika penggunaan berlebihan di jaringan maka metabolisme akan

berubah dari aerobic menjadi anaerobic untuk menyediakan energi yang cukup untuk

metabolisme.1,6 Ada beberapa jenis hipoksia antara lain:

1) Hipoksia stagnan, ditandai dengan adanya penurunan aliran darah, tetapi PaO2

arteri normal. PO2 arteri berhubungan dengan jumlah oksigen terlarut dalam

plasma darah, bukan besarnya oksigen yang terikat pada hemoglobin. Kondisi

ini dapat terjadi akibat kegagalan jantung atau overdosis obat vasodilator,

seperti nitrogliserin.

2) Hipoksia anemia terjadi ketika ada penurunan kandungan oksigen dalam

darah, tetapi PO2 arteri dapat normal. Hipoksia anemia dapat timbul akibat
12

kehilangan darah, menghirup karbon monooksida (CO) atau keracunan

methemoglobin (besi teroksidasi menjadi ion Fe)

3) Hiposksia Histotoksik disebabkan oleh racun seperti sianida atau sulfide

hydrogen, yang memblokir penggunaan oksigen pada tingkat sel. PO2 arteri

dan kandungan oksigen dalam darah dalam batas normal.

4) Hipoksemia arteri terjadi ketika ada gangguan oksigenasi darah dan PO2 arteri

rendah.

Manifestasi klinik hipoksia tidak spesifik, sangat bervariasi, tergantung pada

lamanya hipoksia (akut atau kronik), kondisi kesehatan individu, dan biasanya timbul

pada keadaan hipoksia yang sudah berat.

Tabel 1. Gejala dan Tanda-Tanda Hipoksia Akut

Sistem Gejala dan Tanda-tanda

Respirasi Sesak napas, sianosis


Kardiovaskular Cardiac Output meningkat, palpitasi,
takikardia, aritmia, hipotensi, angina,
vasodilatasi, syok
Sistem saraf pusat Sakit kepala, perilaku yang tidak sesuai,
bingung, eforia, delirium, gelisah, edema
papil, koma
Neuromuskular Lemah, tremor, hiperreflex,
incoordination
Metabolik Retensi cairan dan kalium, asidosis laktat

Gambar 1. Gejala dan Tanda Hipoksia Akut6

Gagal napas adalah setiap kondisi yang mempengaruhi fungsi pernapasan

atau paru-paru dan dapat mengakibatakan kegagalan fungsi paru-paru, Pada gagal

napas, oksigen dalam darah menjadi sangat rendah dan atau CO2 menjadi sangat
13

tinggi. Penyebab gagal napas adalah pertukaran oksigen dan CO2 antara darah dan

alveoli paru (proses yang disebut “pertukaran gas”) terganggu, atau pergerakan udara

masuk dan keluar dari paru-paru (yang disebut “ventilasi”) terganggu. Ada tiga cara

menggolongkan gagal napas yaitu sebagai berikut:

1) Berdasarkan Pemeriksaan Gas Darah

Hipoksemia: Tekanan oksigen arteri parsial < 60 mmHg

Hiperkarbia: Tekanan parsial karbondioksida arteri >45 mmHg

2) Berdasarkan Onset Terjadinya

Gagal napas akut: gagal napas yang mengancam nyawa dapat

terjadi tiba-tiba (pneumothorks, emboli paru, edema laring, benda

asing, hiperventilasi) atau cepat (hemothoraks, eksaserbasi asma,

eksaserbasi akut penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), edema paru,

emboli paru, pneumonia, alveolitis alergi, asidosis metabolik).

Gagal napas kronis: Penurunan pertukaran gas karena gagal fungsi

pernapasan secara perlahan-lahan (efusi pleura, asma kronis, PPOK,

fibrosis, TB, karsinoma, emboli paru kronis, kelemahan otot

pernapasan, anemia, hipertiroid).

Gagal napas kronis eksaserbasi akut: Perburukan mendadak pada

pasien dengan gagal napas kronis (misalnya PPOK disertai infeksi).

3) Berdasarkan Patofisiologi Gangguan Pernapasan

 Tipe I atau gagal napas hipoksemik: edema paru, shunting intrapulmoner


14

 Tipe II atau gagal napas hiperkapnik: Hipoventilasi alveolar

 Tipe III atau gagal napas perioperatif: Atelektasis paru

 Tipe IV atau gagal napas akibat hipoperfusi otot-otot pernapasan akibat syok

Tujuan terapi oksigen pada gagal napas adalah untuk mencapai dan

mempertahankan pertukaran gas yang memadai dan perbaikan penyebab gagal napas.

Pada gagal napas tipe I, konsentrasi tinggi oksigen diberikan untuk memperbaiki

hipoksemia. Sejak awal harus ditentukan apakah hipoksemia dapat diperbaiki dengan

terapi oksigen saja atau juga dibutuhkan intervensi yang lebih invasive misalnya

bantuan ventilasi mekanik. Demikian pula dipertimbangkan ada atau tidak adanya

hiperkapnia dan riwayat penyakit paru-paru kronik. Pasien dengan Acute Respiratory

Distress Syndrome (ARDS) yang tidak membaik dengan terapi oksigen, tentunya

dibutuhkan ventilasi mekanik Positive End Expiratory Pressure (PEEP). Pada gagal

napas tipe II dengan paru-paru normal sebelumnya, tetapi ventilasi alveolar tidak

memadai maka pada pasien ini bantuan ventilasi diperlukan. Pada pasien dengan

riwayat penyakit PPOK eksaserbasi akut, terapi oksigen diberikan secara hati-hati.

Ventilasi mekanik dapat mungkin harus dihindari pada pasien dengan PPOK, karena

penyapihan dari ventilator biasanya sulit.


15

G. Indikasi Terapi Oksigen


Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar

membutuhkan oksigen, apakah dibutuhkan oksigen jangka pendek (Short term

oxygen theraphy) atau terapi oksigen jangka panjang (Long term oxygen theraphy).6

1. Terapi Oksigen Jangka Pendek

Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan

pada pasien dengan keadaan hipoksemia akut, diantaranya

pneumonia, PPOK dengan eksaserbasi akut, asma bronkial,

gangguan kardiovaskular, dan emboli paru. Pada keadaan tersebut,

oksigen harus segera diberikan dengan adekuat. Pemberian oksigen

yang tidak adekuat akan menimbulkan cacat tetap dan kematian.

Pada kondisi ini, oksigen diberikan dengan FiO2 60-100% dalam

waktu pendek sampai kondisi membaik dan terapi spesifik diberikan.

Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi

hipoksemia dan meminimalisasi efek samping.6

Tabel 2. Indikasi Akut Terapi Oksigen


Indikasi yang sudah direkomendasi:
 Hipoksemia akut (PaO2 < 60 mmHg; SaO2 < 90%
 Cardiac arrest dan respiratory arrest
 Hipotensi (tekanan darah sistolik < 100 mmHg
 Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolic
(bikarbonat < 18 mmol/L)
 Respiratory distress (frekuensi pernapasan >24/min)
Indikasi yang masih dipertanyakan:
 Infark Miokardial tanpa komplikasi
 Sesak napas tanpa hipoksemia
 Krisis sel sabit
16

 Angina
Gambar 2. Indikasi Terapi Oksigen6

2. Terapi Oksigen Jangka Panjang


Banyak pasien dengan hipoksemia membutuhkan terapi oksigen
jangka panjang. Pasien dengan PPOK merupakan kelompok yang
paling banyak menggunakan terapi oksigen jangka panjang. Pada
keadaan ini, awal pemberian oksigen harus dengan konsentrasi
rendah (FiO2) dan dapat ditingkatkan bertahap, dengan tujuan
mengoreksi hipoksemia dan menghindari penurunan pH dibawah
7,26.6

Tabel 3. Indikasi Terapi Oksigen Jangka Panjang


Pemberian oksigen secara kontinyu:
 PaO2 istirahat ≤ 55 mmHg atau saturasi oksigen ≤ 88%
 PaO2 istirahat 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 89% pada
salah satu keadaan:
o Edema yang disebabkan karena CHF
o P pulmonal pada pemeriksaan EKG (gelombang P>3
mm pada lead II,III, aVF)
 Eritrositemia (Hematokrit > 56%)
 PaO2 > 59 mmHg atau saturasi oksigen > 89%
Pemberian oksigen tidak kontinyu:
 Selama Latihan : PaO2 ≤ 55 mmHg atau saturasi oksigen ≤
88%
 Selama tidur: PaO2 ≤ 55 mmHg atau saturasi oksigen ≤ 88%
dengan komplikasi seperti hipertensi pulmoner, somnolen,
dan aritmia
Gambar 3. Indikasi Terapi Oksigen Jangka Panjang.6
17

H. Teknik Pemberian Oksigen


Cara pemberian oksigen dibagi dua jenis, yaitu sistem arus rendah dan

sistem arus tinggi, keduanya masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian.7

Alat oksigen arus rendah diantaranya kanul nasal, topeng oksigen, reservoir

mask,kateter transtrakheal, dan simple mask. Alat oksigen arus tinggi

diantaranya venturi mask, dan reservoir nebulizer blenders.7

 Alat pemberian oksigen dengan arus rendah.7


o Kateter nasal dan kanul nasal merupakan alat dengan sistem arus rendah

yang digunakan secara luas. Kanul nasal terdiri dari sepasang tube dengan

panjang ± 2 cm, dipasangkan pada lubang hidung pasien dan tube

dihubungkan secara langsung ke oxygen flow meter. Alat ini dapat menjadi

alternatif bila tidak terdapat masker, terutama bagi pasien yang

membutuhkan suplemen oksigen rendah. Kanul nasal arus rendah

mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 L/m, dengan

FiO2 antara 24-40%. Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan

FiO2 secara bermakna diatas 44% dan akan menyebabkan mukosa

membran menjadi kering. Kanul nasal merupakan pilihan bagi pasien yang

mendapatkan terapi oksigen jangka panjang.7


18

Gambar 4. Kanul Nasal

o Simple oxygen mask dapat menyediakan 40-60% FiO2, dengan aliran 5-10

L/m. aliran dapat dipertahankan 5 L/m atau lebih dengan tujuan mencegah

CO2 yang telah dikeluarkan dan tertahan di masker terhirup kembali.

Penggunaan alat ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan iritasi kulit

dan pressure sores.7

Gambar 5. Simple Oxygen Mask


19

o Partial rebreathing mask merupakan simple mask yang disertai dengan

kantung reservoir. Aliran oksigen harus selalu tersuplai untuk

mempertahankan kantung reservoir minimal sepertiga sampai setengah

penuh pada inspirasi. Sistem ini mengalirkan oksigen 6-10L/m dan dapat

menyediakan 40-70% oksigen. Sedangkan non-rebreathing mask hampir

sama dengan parsial rebreathing mask kecuali alat ini memiliki serangkai

katup ‘one-way’. Satu katup diletakkan diantara kantung dan masker untuk

mencegah udara ekspirasi kembali kedalam kantung. Untuk itu perlu aliran

minimal 10L/m. Sistem ini mengalirkan FiO2sebesar 60-80%.7

Gambar 6. Partial Rebreathing Mask Gambar 7. Non- Rebreathing Mask

o Transtracheal oxygen, Mengalirkan oksigen secara langsung melalui

kateter ke dalam trakea. Oksigen transtrakea dapat meningkatkan kesetiaan

pasien menggunakan oksigen secara kontinyu selama 24 jam, dan sering

berhasil bagi pasien hipoksemia yang refrakter. Dari hasil studi, dengan
20

oksigen transtrakea ini dapat menghemat penggunaan oksigen 30-60%.

Keuntungan dari pemberian oksigen transtrakea yaitu tidak menyolok

mata, tidak ada bunyi gaduh, dan tidak ada iritasi muka/hidung. Rata-rata

oksigen yang diterima mencapai 80-96%. Kerugian dari penggunaan

oksigen transtrakea adalah biaya tinggi dan resiko infeksi lokal.

Komplikasi yang biasa terjadi pada pemberian oksigen transtrakea ini

adalah emfisema subkutan, bronkospasme, dan batuk paroksismal.

Komplikasi lain diantaranya infeksi stoma, dan mucus ball yang dapat

mengakibatkan fatal.7

Gambar 8. Transtrakheal oksigen


21

 Alat pemberian oksigen dengan arus tinggi6

Alat oksigen arus tinggi diantaranya venture mask dan reservoir nebulizer

blenders. Alat venturi mask menggunakan prinsip jet mixing (efek Bernoulli). Jet

mixing mask, mask dengan arus tinggi, bermanfaat untuk mengirimkan secara

akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35%). Pada pasien dengan PPOK dan

gagal nafas tipe II, bernafas dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2, dan

memperbaiki hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan

masalah rebreathing diatasi melalui proses pendorongan dengan arus tinggi

tersebut.

Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40L/menit oksigen melalui

mask, yang umumnya cukup untuk total kebutuhan respirasi.

Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi adalah

pasien dengan hipoksia yang memerlukan pengendalian FiO2, dan pasien hipoksia

dengan ventilasi abnormal.

Gambar 9. Venturi Mask

Gambar 6. Venturi mask


Gambar 6. Venturi mask
22

I. Komplikasi Terapi Oksigen


 Penderita PPOK dengan retensi CO2 sering bergantung pada “hypoxic drive”

untuk mempertahankan ventilasinya. Konsentrasi O2 yang tinggi dapat

mengurangi “drive” ini. Oksigen sebaiknya hanya diberikan dengan persentase

rendah dan pasien diobservasi secara ketat untuk menilai adanya retensi CO2.7

 Kerusakan retina (retrorental fibroplasia) menyebabkan kebutaan pada

neonatus, terjadi karena pemberian terapi oksigen yang tidak tepat. Semua

terapi oksigen pada bayi baru lahir harus dimonitor secara berkelanjutan.7

 Pneumonitis dan pembentukan membran hyaline didalam alveoli yang dapat

menyebabkan penurunan pergantian gas dan atelektasis.7


23

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Terapi oksigen merupakan system pengobatan yang telah dikenal sejak

lama, dapat diberikan pada pasien dengan hipoksemia akut maupun kronik.

Pemberian oksigen mempermudah perbaikan penyakit dan memperbaiki

kualitas hidup. Oksigen dapat diberikan jangka pendek maupun jangka

panjang. Pemberian oksigen perlu dievaluasi melalui pemeriksaan analisis

gas darah atau dengan oksimetri, sehingga dapat memaksimalkan

pemberian oksigen dan mencegah retensi CO2.


24

DAFTAR PUSTAKA

1. Furgang F, Hypoxia Oxygen and Pulse Oxymetry available onlie


accessed on December 2018 at http:// www.
Flightstat.nonin.com/documents/ Hypoxia, oxygen and pulse
oxymetry.pdf
2. Singh CP. Oxygen Therapy. Journal Indian Academy of Clinical

Medicine 2001; 2 (3): 178-183

3. Ganong, F. William, 2003, “ Fisiologi Kedokteran”, Edisi 20,


Jakarta: EGC.
4. Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2005, “Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran”, edisi 9, Jakarta: EGC. Latief, A. Said, 2002, “Petunjuk
Praktis Anestesiologi”, Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intesif, Jakarta: FK UI.
5. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., 2006, “Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit”, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC.
6. Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, Bambang, dkk., 2006, “Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam”, edisi ke-4, jilid I, Jakarta : FK UI.
7. South Durham Health Care NHS, 2000, “Guideline for the
Management of Oxygen Therapy”, diakses
dari www.ndhd.com/nhs.uk.content.clinguide pada tanggal 1Januari
2018

Anda mungkin juga menyukai