Definisi
Respirastory failure atau gagal nafas adalah kegagalan sistem
pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen dan karbondioksida
yang dapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS Jantung “Harapan
Kita”, 2009).
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap
karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi
oksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga
menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan
peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia)
(Brunner & Sudarth, 2010).
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk
mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida
(PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkan oleh masalah ventilasi difusi atau
perfusi (Susan, 2007).
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa respirastory
failure atau gagal nafas adalah suatu kondisi dimana terjadinya kegagalan
oksigenasi dan eliminasi karbondioksida yang bersifat akut atau kronik
dengan kondisi klinis PaO2 <50 mmHg saat bernafas diudara terbuka atau
PaCO2 > 45 mmHg.
Klasifikasi Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat
dibagi menjadi 3 tipe, yaitu :
Tipe I merupakan kegagalan oksigenasi atau hypoxaemia arteri ditandai
dengan tekanan parsial O2 arteri yang rendah.
Tipe II yaitu kegagalan ventilasi atau hypercapnia ditandai dengan
peningkatan tekanan parsial CO2 arteri yang abnormal (PaCO2 > 46 mm
Hg), dan diikuti secara 9 simultan dengan turunnya PAO2 dan PaO2, oleh
karena itu perbedaan PAO2 - PaO2 masih tetap tidak berubah.
Tipe III adalah gabungan antara kegagalan oksigenasi dan ventilasi ditandai
dengan hipoksemia dan hiperkarbia penurunan PaO2 dan peningkatan
PaCO2. 3 (Sue DY and Bongard FS, 2003)
II. Fisiologi Pernafasan
Respirasi ialah pertukaran gas-gas antara organisme hidup dengan
lingkungan sekitarnya. Pada manusia terkenal dua macam respirasi yaitu
internal dan ekternal. Respirasi internal adalah pertukaran gas antara darah
dan jaringan. Respirasi eksternal merupakan pertukaran gas antara
lingkungan dan pembuluh darah kapiler paru. Unit fungsional paru terdiri
dari alveolus dengan anyaman kapilernya. Banyak faktor yang
mempengaruhi pertukaran udara dari lingkungan ke alveoli( ventilasi) dan
pasokan darah ke kapiler paru ( perfusi). Hukum Herry menyebutkan bahwa
ketika larutan terpapar dengan gas atmosfer, keseimbangan parsial gas
mengikuti antara molekul gas terlarut dalam larutan dan molekul gas
diatmosfer sehingga, tekanan parsial O2 dan CO2 yang meninggalkan kapiler
paru( darah vena paru) adalah sama dengan tekanan parsial O2 dan CO2 yang
masuk ke alveoli setelah tercapai keseimbangan. Pada keadaan seimbang
tekanan parsial O2 dan CO2 dihasilkan dari keseimbangan 5 dinamik antara
transport O2 ke alveolus dan ekstraksi O2 dari alveolus, dan transport CO2
ke alveolus dan CO2 yang dibuang atau dikeluarkan.
Transport CO2 ke alveolus berhubungan langsung dengan kecepatan
aliran masuk udara (ventilasi) dan komposisi gas yang dihirup (tekanan
parsial O2 pada udara inspirasi;FIO2).
Umumnya, tekanan O2 alveolar (PAO2) meningkat dengan
peningkatan tekanan O2 inspirasi dan peningkatan ventilasi. Ekstraksi O2
dari alveolus ditentukan oleh saturasi, kualitas dan kuantitas haemoglobin
darah yang memperfusi alveoli. Saturasi O2 pada haemoglobin dalam
pembuluh darah kapiler paru dipengaruhi oleh pasokan O2 ke jaringan (
Cardiac output) dan ekstraksi O2 oleh jaringan (metabolisme).
Gb. Sistem Pernafasan
Udara atmosfer yang bertekanan 1 atm (760mmHg) mengandung
oksigen 20,93%, sehingga fraksi oksigen udara inspirasi (FiO2) sebesar
20,93% x 760mmHg=159mmHg. Udara inspirasi tersebut akan mengalami
humidifikasi (dilembabkan) di dalam rongga hidung sehingga udara tersebut
mengandung uap air 6 dengan tekanan parsial uap air sebesar 47mmHg,
sehingga tekanan parsial O2 di dalam paru menjadi (760-
47)x20,93%=149mmHg. Tekanan parsial O2 dalam alveolus jauh lebih
rendah dari udara inspirasi, karena dalam perjalanan udara inspirasi ke
alveolus sebagian O2 diserap dan diganti oleh CO2, sehingga ketika
mencapai alveolus, tekanan parsial O2 hilang sepertiganya dan yang tersisa
hanya 100mmHg.
Proses difusi paru adalah proses pasif, sehingga tidak membutuhkan
energi maupun oksigen. Tekanan parsial O2 alveolus (PaO2)=100mmHg,
sedangkan PO2 dalam kapiler paru adalah 40mmHg. Perbedaan tekanan
sebanyak 60mmHg menyebabkan kecepatan difusi cukup tinggi untuk
mendifusikan O2 melalui membran ke dalam darah yang mengalir cukup
cepat pula, sehingga PaO2 mencapai 97.
Kapasitas difusi O2 adalah jumlah O2 yang mampu menembus
membran alveoli permenit per mmHg yang merupakan selisih PO2 antara
alveolus dan darah kapiler paru. Kapasitas difusi normal pada saat istirahat
kira-kira 20ml/menit/mmHg. Pada saat bekerja bias mencapai 65ml atau
lebih.
Tekanan parsial CO2 ( PCO2) darah vena adalah 46 mmHg,
sedangkan PCO2 udara alveolus adalah 40mmHg. Jadi perbedaan tekanannya
hanya 6mmHg saja, namun demikian CO2 bisa berdifusi dengan mudah
karena kapasitas difusi CO2 jauh lebih besar dari O2.
Sirkulasi paru dimulai dari pembuluh trunkus pulmonalis yang
menerima darah vena dari ventrikuler kanan, kemudian bercabang secara
dikotom sesuai dengan cabang-cabang saluran nafas sampai bronkiolus
terminalis dan mulai bercabang banyak seperti jaringan meliputi dinding
alveolus dengan susunan yang sangat tepat untuk pertukaran gas.
Darah yang sudah teroksigenasi disalurkan oleh vena pulmonalis
yang berjalan diantara lobulus-lobulus dan bergabung menjadi vena
pulmonalis ke atrium kiri jantung. Secara absolut jumlah darah yang beredar
di dalam paru pada orang dewasa 7 sebanyak lebih kurang 900ml. aliran
darah nutrisi untuk jaringan paru berasal dari arteria bronkialis, kemudian
darah vena kembali ke jantung melalui dua lintasan yaitu mengikuti aliran
darah pulmonalis ke jantung kiri dan aliran vena azygos ke vena kava inferior
selanjutnya ke jantung kanan.
III. Etiologi
Paru-paru tidak mampu menukar karbondioksida dan oksigen karena
ventilasi tidak cukup. Tubuh tidak mampu memelihara cukup oksigen atau
tubuh tidak dapat melepaskan karbondioksida yang cukup. Suatu penyakit
pernafasan dapat memburuk menjadi gagal nafas akut. Tekanan atau sakit
system saraf pusat (dalam kaitan dengan pengobatan atau trauma) dapat juga
mendorong kea rah gagal nafas (DiGiolio, 2014)
Etiologi gagal napas dapat dikelompokkan berdasarkan kategori
penyakitnya, sebagian etiologi dapat menyebabkan hipoksemia dan
hiperkapnia sekaligus. Gagal napas hipoksemik umumnya terjadi akibat
ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi (V/Q mismatch) yang paling sering
disebabkan kelainan pada parenkim paru dan alveolus (Lamba, 2016)
Gagal napas hiperkapnik berkaitan dengan retensi karbon dioksida
yang umumnya terjadi akibat fungsi ventilasi alveolar yang tidak adekuat,
misalnya pada obstruksi, kelainan otot napas, kelainan dinding dada, dan
kelainan sistem saraf pusat. (Phuong, 2014)
Kelainan Parenkim Paru dan Alveolus
Pneumonia
Edema paru
Fibrosis kistik
Perdarahan paru
Tenggelam
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Kontusio paru
Kelainan Jalan Napas
Laringomalasia
Trakeitis
Croup
Stenosis subglottis
Tracheal ring
Aspirasi benda asing
Tumor
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
Asthma bronkial berat
Bronkiolitis
Anafilaksis
(Schneider, 2013)
Kelainan Sistem Saraf Pusat
Penyakit serebrovaskular
Tumor intrakranial
Cedera kepala (trauma)
Infeksi sistem saraf pusat, misalnya ensefalitis
Toksisitas obat atau zat
Ensefalopati metabolik, misalnya uremia, ensefalopati hepatikum
Kongenital, misalnya sindrom hipoventilasi kongenital
Malformasi vaskular
Kelainan Otot Pernapasan dan Dinding Dada
Paralisis diafragma
Hernia diafragma
Paralisis n. frenikus
Kelainan neuromuskular, misalnya sindrom Guillain-Barre, miastenia
gravis
Kelainan otot, misalnya distrofi otot, polimiositis
Kyphoscoliosis
Flail chest
Kelainan dinding dada kongenital
V. Patofisiologi
Patofisiologi gagal napas adalah ketidakseimbangan ventilasi dan
perfusi paru yang menyebabkan hipoksemia atau peningkatan produksi
karbon dioksida dan gangguan pembuangan karbon dioksida yang
menyebabkan hiperkapnia.
Ketidakseimbangan Ventilasi Dan Perfusi
Paru normal memiliki rasio ventilasi dan perfusi (V/Q ratio) pada
nilai tertentu. Kelainan pada jalan napas, parenkim paru, dan sirkulasi paru
akan mempengaruhi rasio ventilasi dan perfusi sehingga dapat menyebabkan
sesak napas hingga gagal napas pada keadaan berat. Secara garis besar,
terdapat empat gambaran klinis paru berdasarkan rasio ventilasi dan perfusi
(Lamba, 2016)
Keadaan normal dengan rasio ventilasi dan perfusi seimbang
Keadaan dead space, yaitu ventilasi normal, namun perfusi berkurang
sehingga rasio V/Q meningkat. Dampaknya, tidak terjadi pertukaran gas
pada area ini dan udara yang diventilasi menjadi sia sia
Keadaan shunt, yaitu terjadi penurunan ventilasi namun perfusi normal
atau tidak menurun separah ventilasi sehingga rasio V/Q menurun.
Dampaknya adalah sirkulasi yang melalui area ini tidak mendapatkan
oksigenasi yang adekuat dan menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia.
Pada kerusakan paru luas seperti pada tuberkulosis paru, area shunt dapat
menjadi banyak dan menyebabkan hipoksemia yang bermakna pada pasien
Silent unit, merupakan segmen paru yang tidak mendapatkan ventilasi dan
perfusi
Penyebab utama dari gagal napas hipoksemik adalah
ketidakseimbangan V/Q. Beberapa penyebab ketidakseimbangan ini
misalnya emboli paru, obstruksi jalan napas, pneumonia, atelektasis.
Hipoksemia pada keadaan-keadaan ini umumnya dapat dikoreksi
sementara dengan bantuan terapi oksigen dan ventilasi mekanik.
Right-To-Left Shunt
Pirau dari kanan ke kiri atau right-to-left shunt terjadi akibat sirkulasi
paru (sirkulasi kanan) yang langsung masuk ke sirkulasi sistemik (sirkulasi
kiri) tanpa melewati alveolus sehingga darah tidak mengalami oksigenasi.
Semakin besar aliran pada pirau ini, maka akan semakin berat hipoksemia
yang terjadi. Keadaan hipoksemia pada kasus ini tidak dapat dikoreksi
dengan suplementasi oksigen. Terapi harus dengan koreksi langsung
penyebab adanya pirau. (Lamba, 2016)
Sue DY and Bongard FS.2003. Respiratory Failure. In Current Critical Care Diagnosis and
Treatment, 2nd Ed, Lange-McGrawHill, California, Pp. 269-89
Lewis 2011