Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia membutuhkan

biaya yang sangat besar untuk melaksanakan modernisasi dan pembangunan

di segala bidang seperti politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya yang

harus dilakukan secara merata di seluruh wilayah tanah air dengan tujuan

untuk meningkatkan taraf hidup seluruh rakyat demi mewujudkan masyarakat

yang adil dan makmur. Pembangunan yang pada hakikatnya merupakan

proses perubahan yang disengaja dan direncanakan secara berkelanjutan,

secara langsung atau tidak langsung juga membawa perubahan kepada

perilaku masyarakatnya baik yang bersifat positif maupun negatif.

Seiring dengan perubahan dan perkembangan masyarakat, pelaksanaan

pembangunan juga berkembang dan berjalan cukup cepat. Akan tetapi

kenyataan membuktikan bahwa pelaksanaan pembangunan tersebut tidak

selalu berjalan lancar karena adanya faktor-faktor penghambat yang

mempengaruhi jalannya pembangunan itu. Salah satu faktor penghambatnya

ialah karena terjadinya kejahatan berupa penyelewengan-penyelewengan

anggaran yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab

yang dipergunakannya untuk kepentingan memperkaya dirinya sendiri,

keluarganya atau kerabatnya sehingga dapat mengakibatkan kerugian

keuangan negara atau perekonomian negara yang disebut dengan istilah

korupsi.

1
2

Tindak Pidana Korupsi merupakan permasalahan yang sifatnya global,

tidak lagi permasalahan yang sifatnya regional maupun nasional,1 karena

korupsi merupakan ancaman yang dapat mengakibatkan rapuhnya stabilitas

dan keamanan masyarakat, lembaga–lembaga negara, nilai–nilai demokrasi,

nilai–nilai etika dan keadilan serta menghambat pembangunan berkelanjutan

serta penegakan hukum.2 Andi Hamzah dalam bukunya Pemberantasan

Korupsi mengatakan korupsi itu tidak pernah membawa akibat positif (Gunnar

Myrdal),3oleh sebab itu tindak pidana korupsi digolongkan ke dalam

Extraordinary Crime atau kejahatan luar biasa, sehingga diperlukan usaha

yang extra dalam hal pemberantasannya.4

Hasil survei Transparancy Internasional Indonesia mencatat, Indonesia

berada pada posisi ke-107 dalam hal CPI (Corruption Perception Index) tahun

2014. Indonesia memiliki skor 34 (maksimum 100) dan berada di bawah

negara-negara Asean lainnya seperti Malaysia dan Filipina.5 Denny Indrayana

juga mengatakan bahwa Indonesia berada di posisi ke-5 sebagai negara

terkorup di dunia dari 146 negara.6

1
Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara ,Jakarta,
Sinar Grafika, 2008, hlm. 5.
3

Kementrian Dalam Negeri juga mengeluarkan data tahun 2014 sekitar

3.169 anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) pada semua tingkatan

tersangkut kasus korupsi.7 Hal ini membuktikan bahwa korupsi tumbuh subur

di Indonesia. Menurut Andi Hamzah, ada beberapa sebab orang melakukan

tindak pidana korupsi, antara lain : 1. Kurangnya gaji atau pendapatan

pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin

meningkat; 2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang

merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi; 3. Manajemen kurang baik

dan kontrol yang kurang efektif dan efisien.8

Hal ini tentunya akan membawa dampak negatif bagi negara. Salah

satunya negara mengalami sejumlah kerugian terutama dari segi materil.

Sepanjang semester I tahun 2017 potensi kerugian negara Indonesia akibat

korupsi mencapai Rp. 2,1 triliun.9 Oleh sebab itu, untuk menekan potensi

kerugian keuangan negara, pemerintah melalui jajarannya melakukan upaya-

upaya yang konkrit untuk menekan terjadinya kerugian keuangan negara.

Salah satu upaya tersebut adalah melalui legislasi yang merupakan

upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menekan terjadinya suatu

masalah dengan menugaskan lembaga negara yang memiliki kewenangan

yang diberikan oleh undang-undang. Dalam Upaya legislasi, pemerintah

8
Andi Hamzah, Op.Cit.,hlm. 13-21.
9
Riani Atika Nanda Lubis, Agus Sunaryanto kepala divisi investigasi ICW sebagaimana
dikutip oleh Riani Atika Nanda Lubi, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2011, hlm. 17.
4

melakukan koordinasi dengan lembaga yudikatif (Kejaksaan Agung) dan

jajarannya.

Kejaksaan memiliki peran yang sangat sentral dalam penegakan hukum

terutama dalam usaha mengembalikan keuangan negara. Hal ini tidak terlepas

dari fungsi yang dimiliki oleh Jaksa yang terbilang kompleks. Salah satu

fungsi tersebut adalah Jaksa sebagai eksekutor yang diatur pada Pasal 1 ayat 1

( satu ) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan dan Pasal 18 ayat 2 ( dua ) Undang-Undang No 31 tahun 1999

junto Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentan tindak pidana korupsi

Pasal 1 ( satu ) ayat 1 ( satu ) Undang-Undang No 16 tahun 2004


1) Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.

Pasal 18 ayat 2 ( dua )

2) Jika terpidana tidak dapat membayar uang pengganti sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 ( satu )
bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap , maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan
dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan

Agung telah berhasil melakukan penyelamatan keuangan negara baik dalam

bidang perdata, pidana, dan TUN (Tata Usaha Negara). Melalui jajaran Pidana

Khusus mengklaim telah menyelamatkan uang negara sebesar Rp.

133.637.262.558 (seratus tiga puluh tiga miliar, enam ratus tiga puluh tujuh

juta, dua ratus enam puluh dua ribu, lima ratus lima puluh delapan rupiah),

sementara uang negara yang diselamatkan di bidang perdata dan Tata Usaha
5

Negara sebesar Rp. 1.285.578.588.336 (satu triliun, dua ratus delapan puluh

lima miliar, lima ratus tujuh puluh delapan juta, lima ratus delapan puluh

delapan ribu, tiga ratus tiga puluh enam rupiah). Jika ditambahkan dengan

bidang pidana khusus maka ada sekitar Rp.1,4 triliun.10

Bicara peran/fungsi Jaksa sebagai eksekutor dalam usaha untuk

mengembalikan keuangan negara tentu hal ini berkaitan dengan pelaksanaan

putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van

gewijsde). Untuk merealisasikan hal tersebut, Jaksa akan menuntut terdakwa

untuk membayar sejumlah uang kepada negara berupa hukuman denda dan

uang pengganti yang nantinya akan dieksekusi oleh Jaksa Eksekutor.

Namun dalam karya ilmiah ini sedikit membatasi kajian yang dilakukan.

Karya ilmiah ini hanya memfokuskan kepada upaya Jaksa sebagai eksekutor

dalam mengeksekusi pidana tambahan uang pengganti saja. Hal ini

dikarenakan sangat minimnya keberhasilan pelaksanaan eksekusi pidana

tambahan uang pengganti yang dilakukan oleh Jaksa Eksekutor dalam usaha

untuk mengembalikan keuangan negara.

Tindak pidana korupsi di Sumatera Barat seperti jamur yang sangat

cepat pertumbuhannya. Pada tahun 2017-2018 ini saja ada sekitar 79 perkara

tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera

Barat dan Kejaksaan Negeri Seluruh Sumatera Barat.11

Seperti Kasus terdakwa Maria Feronika,ST,SE.. Kasus yang terdaftar di

Pengadilan Negeri Padang dengan nomor 4/Pid.Sus-TPK/2018/PN Pdg Tahun


10
Ibid.,hlm. 17.
11
https://www.harianhaluan.com/news/detail/72319/perkara-korupsi-di-sumbarberpotensi
meningkat, Diakses pada tangal 14 September 2019.
6

2018, berumur 38 (tiga puluh delapan) tahun kelahiran Palembang yang

bekerja sebagai Mengurus Rumah Tangga). Terdakwa telah terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

dalam dakwaan Subsidair. Terdakwa dijatuhi hukuman untuk membayar uang

penganti sebesar Rp. 167.231.000.- (seratus enam puluh tujuh juta dua ratus

tiga puluh satu ribu rupiah), dengan ketentuan jika Terdakwa tidak membayar

uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan

pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat

disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dalam

hal Terdakwa tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang

pengganti tersebut maka diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu)

tahun12. Kasus tersebut merupakan contoh kasus tindak pidana korupsi yang

diambil dari sekian banyak kasus tindak pidana korupsi yang terjadi pada

Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat yang menimbulkan kerugian negara.

Meskipun Jaksa telah berupaya untuk menyelamatkan keuangan negara

dengan melakukan beberapa tindakan hukum berupa pembayaran sejumlah

uang pengganti, namun pada kenyataannya kerugian keuangan negara tersebut

belum dapat dikembalikan dengan kuantitas yang seharusnya atau dapat

dikatakan belum ada sedikitpun kerugian keuangan negara tersebut yang

berhasil dikembalikan oleh Jaksa Eksekutor.

Salah satu fungsi tersebut adalah Jaksa sebagai eksekutor yang diatur

pada Pasal 18 dan 19 KUHP.

12
http://kejati-sumbar.go.id/blog/2019/03/19/pembayaran-uang-pengganti-denda-dan-
uang-perkara-tindak-pidana-korupsi-maria-fironika/. Diakses pada tanggal 20 September 2019.
7

Pasal 18
3) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang
tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau
yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik
terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari
barang yang mengantikan barang-barang tersebut; b. pembayaran uang
pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta
benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. c. Penutupan Seluruh
atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d Pencabutan Seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
Seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat
diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
4) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut.
5) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi
untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak
melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan
ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut
sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Pasal 19
1) Putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan
kepunyaan terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga
yang beritikad baik akan dirugikan.
2) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
termasuk juga barang pihak ketiga yang mempunyai itikad baik, maka
pihak ketiga tersebut dapat mengajukan surat keberatan kepada
pengadilan yang bersangkutan, dalam waktu paling lambat 2 (dua)
bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka untuk
umum.
3) Pengajuan surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
untuk menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan
pengadilan.
4) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hakim meminta
keterangan penuntut umum dan pihak yang berkepentingan.
5) Penetapan hakim atas surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung oleh pemohon
atau penuntut umum.
8

Bahkan dalam implementasi pembayaran uang pengganti, tidak

sebanding antara jumlah uang yang harus dibayarkan (diputuskan oleh hakim)

dengan uang yang dibayarkan oleh terpidana. Bahkan sebagian kasus lebih

memilih untuk menambah masa hukuman dan tidak membayar uang

pengganti. Oleh karena itu, harus ada upaya lebih dari Jaksa untuk dapat

mengembalikan keuangan Negara.

Untuk itu penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian hukum

mengenai pengembalian kerugian keuangan negara dengan judul “Upaya

Jaksa Selaku Eksekutor Dalam Eksekusi Putusan Pidana Tambahan

Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana

Korupsi (Studi Pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat)’’.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam

penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah upaya jaksa selaku eksekutor dalam eksekusi putusan

pidana tambahan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak

pidana korupsi pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat?

2. Apakah Akibat Hukum Terhadap Eksekusi Putusan Pidana Tambahan

Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi

yang Tidak berhasil Dikembalikan

C. Tujuan Penelitian
9

1. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya jaksa selaku eksekutor dalam

eksekusi putusan pidana tambahan pengembalian kerugian keuangan

negara akibat tindak pidana korupsi pada Kejaksaan Tinggi Sumatera

Barat.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum jika keuangan negara

akibat tindak pidana korupsi tidak dapat dikembalikan.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah serta mengembangkan

ilmu pengetahuan penulis secara khusus, rekan–rekan sesama mahasiswa,

serta semua pihak yang membaca penelitian ilmiah di bidang hukum,

khususnya di bidang hukum pidana dan lebih khususnya lagi dalam

masalah pengembalian keuangan negara yang dilakukan oleh Jaksa selaku

eksekutor dengan upaya yang dilakukan oleh Jaksa tersebut sesuai dengan

kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.

2. Kegunaan Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pemerintah dalam

hal pengembalian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.

Dengan begitu pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan–kebijakan

yang tepat dalam hal pengembalian keuangan negara sehingga


10

kerugian yang dialami oleh negara dapat tertutupi, dan keuangan

negara dapat digunakan sebagaimana mestinya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan berguna juga bagi penegak hukum,

tentunya dengan penulisan karya ilmiah ini dapat menjadi saran,

masukan, dan bahan bacaan atau referensi bagi aparat penegak hukum,

khususnya yang berhubungan dengan pengembalian keuangan negara

akibat tindak pidana korupsi.

c. Hasil penelitian ini diharapkan juga berguna bagi masyarakat, dimana

dengan adanya penulisan karya ilmiah ini masyarakat dapat

mengetahui dan menambah ilmu pengetahuannya mengenai sebab,

akibat, prosedur, cara pencegahan, dan peran serta masyarakat dalam

tindak pidana korupsi sehingga pengembalian keuangan negara akibat

tindak pidana korupsi dapat dijalankan dengan baik.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk

membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada

landasan filosofisnya.13 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan

dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang

demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.14

Berdasarkan hal tersebut, maka kerangka teori dapat diartikan sebagai

kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis dari peneliti

13
Satjipto Rahardjo, llmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 254.
14
Ibid., hlm. 253
11

mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang menjadi

bahan perbandingan, pegangan yang mungkin disetujui atau tidak disetujui,15

yang merupakan masukan eksternal dalam penelitian ini. Adapun teori-teori

yang digunakan adalah :

a. Teori Kewenangan

Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum

sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan

sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering

dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan

kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya

berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah dan

pihak lain yang diperintah”(the rule and the ruled).16

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan yang

tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan

hukum oleh Henc van Maarseven disebut sebagai “blote match”,17 sedangkan

kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai

wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu

sistem hukum ini dipahami sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui

serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh Negara.18

.
16
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1998, hlm. 35-36
12

Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.19

Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan

yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan

formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu Negara dalam proses

penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu: a)

hukum; b) kewenangan (wewenang); c) keadilan; d) kejujuran; e)

kebijakbestarian; dan f) kebajikan.20

Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan Negara agar Negara

dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga Negara itu dapat

berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani

warganya. Oleh karena itu Negara harus diberi kekuasaan. Kekuasaan

menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan seseorang atau sekelompok

orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok

lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan

tujuan dari orang atau Negara.21

Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau

organ sehingga Negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-

jabatan (een ambten complex) di mana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah

pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi

20
Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, 1998, hlm. 37-38
13

subyek-kewajiban.22 Dengan demikian kekuasaan mempunyai dua aspek,

yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek

hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, juga

dapat bersumber dari luar konstitusi (inkonstitusional), misalnya melalui

kudeta atau perang, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari konstitusi.

Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah

wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan

dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus

M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan

dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter

hukumnya. Istilah “bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik

maupun dalam hukum privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan

atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.23

Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang

diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-

akibat hukum.24 Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah:

“Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van


bestuurechttelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke
rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer. (wewenang
dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan
dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek
hukum publik dalam hukum publik)”.25

23
Phillipus M. Hadjon, Op Cit, hlm. 20
24
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie
Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1994, hlm. 65
25
Stout HD, de Betekenissen van de wet, dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan
Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004, hlm. 4
14

Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam

melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan

keputisan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi

secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada

kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan

delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ

pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam

arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas

nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat

menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi

mandat).

J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan

yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga

Negara oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah

asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan

legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan

sebelumnya dan memberikan kepada organ yang berkompeten.26

Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada

(konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang

sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan

didukung oleh sumber kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa

26
J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars Aeguilibri,
Nijmegen, 1998, hlm. 16-17
15

sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi)

pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan organ

(institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum

positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak

dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.27

Penggunaan teori kewenangan dalam penelitian ini adalah untuk

melihat upaya jaksa selaku eksekutor dalam pengembalian kerugian

keuangan Negara akibat tindak pidana korupsi.

b. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum dalam bahasa belanda disebut dengan

rechtstoepassing atau rechtshandhaving dan dalam bahasa Inggris law

enforcement, meliputi pengertian yang bersifat makro dan mikro. Bersifat

makro mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan

bernegara, sedangkan dalam pengertian mikro terbatas dalam proses

pemeriksaan di pengadilan termasuk proses penyelidikan, penyidikan,

penuntutan hingga pelaksanaan putusan pidana yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap.28

Penegakan hukum sebagai suatu proses yang pada hakikatnya

merupakan penerapan direksi yang menyangkut membuat keputusan yang

tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum akan tetapi mempunyai unsur-

28
Chaerudin, Strategi Pencegahan Dan
Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Editama, Bandung, 2008. hlm. 87
16

unsur penilaian pribadi (Wayne La-Favre). Secara konsepsional, maka inti

dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan

nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap

tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,

melahirkan dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.29

Atas dasar uraian tersebut dapat dikatakan bahwa gangguan terhadap

penegakan hukum mungkin terjadi apabila ada ketidakserasian antara

”tritunggal” nilai, kaidah dan pola perilaku gangguan tersebut terjadi apabila

ada ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di

dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah

yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.30

Penegakan hukum merupakan suatu upaya pemerintah untuk

menciptakan keadilan dalam kehidupan masyarakat. Akan tetapi penegakan

hukum yang dilakukan sampai saat ini sangat bertolak belakang dengan

prinsip penegakan hukum yang sebenarnya. Masyarakat yang seharusnya

memperoleh perlindungan hukum akan hak-haknya malahan menjadi merasa

ditindas.

Fenomena yang menganggap hukum belum mampu sepenuhnya

member rasa aman, adil dan kepastian perlu dicermati dengan hati-hati. Dari

fenomena tersebut muncul ekspektasi agar hukum dapat ditegaskan secara

30
Ibid.
17

tegas dan konsisten, karena ketidakpastian hukum dan kemerosotan wibawa

hukum akan melahirkan krisis hukum.31

Menurut Mastra Liba ada 14 faktor yang mempengaruhi kinerja

penegakan hukum yaitu :32

a. Sistem ketatanegaraan yang menempatkan “jaksa agung” sejajar menteri.


b. Sistem perundangan yang belum memadai.
c. Faktor sumber daya alam (SDM).
d. Faktor kepentingan yang melekat pada aparat pelaksana:
1) Kepentingan pribadi
2) Kepentingan golongan
3) Kepentingan politik kenegaraan.
e. Corspgeits dalam institusi,
f. Tekanan yang kuat pada aparat penegak hokum.
g. Faktor budaya.
h. Faktor agama.
i. Legislatif sebagai “lembaga legislasi” perlu secara maksimal mendorong
dan memberi contoh tauladan yang baik dalam penegakan hokum.
j. Kemauan politik pemerintah.
k. Faktor kepemimpinan.
l. Kuatnya jaringan kerja sama pelaku kejahatan (organize crime).

m. Kuatnya pengaruh kolusi “dalam jiwa pensiunan aparat penegak hukum”


n. Pemanfaatan kelemahan peraturan perundang-undangan.

Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan

perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia

kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement

begitu populer. Selain itu ada kecenderungan lain yang mengartikan

penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Namun

pendapat-pendapat seperti itu mempunyai kelemahan apabila pelaksanaan

undang-undang atau keputusan hakim tersebut malahan mengganggu

31
Chaerudin,, Op.Cit, hlm. 55
18

kedamaian di dalam pergaulan hidup. Berdasarkan penjelasan tersebut maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa pokok penegak hukum sebenarnya terletak

pada faktor-faktor yaang mempengaruhinya, faktor tersebut mempunyai arti

netral sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor

tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut

adalah:33

a. Faktor hukumnya sendiri.


b. Faktor penegak hokum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hokum.
d. Faktor masyarakat yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku dan
diterapkan.
e. Faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada rasa kemanusiaan di dalam pergaulan hidup.

Tujuan penegakan hukum sejalan dengan tujuan hukum itu sendiri,

adalah untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan dan tujuan hukum

merupakan upaya mewujudkan tercapainya ketertiban dan keadilan. Suatu

ketertiban mustahil akan dapat diwujudkan, jika hukum diabaikan. Kesadaran

dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum, tidak saja berpengaruh terhadap

ketertiban dan keadilan, tetapi berperan membentuk kultur (budaya) hukum

suatu masyarakat karena mengatur perilaku.34

Penggunaan teori penegakan hukum dalam penelitian ini untuk

mengetahui penegakan hukum dalam pengembalian kerugian uang Negara

akibat tindak pidana kurupsi di Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat.

2. Kerangka Konseptual

a. Upaya Jaksa

33
Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm. 7-8.
34
Chaerudin, . Op.Cit, hlm. 88
19

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) upaya merupakan

suatu usaha untuk mencapai suatu maksud dan tujuan, memecahkan

persoalan, mencari jalan keluar, dan sebagainya.35 Sementara itu, menurut

Pasal 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia: “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi

wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum

dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undangundang”.

Demikian Upaya Jaksa yang penulis maksud dalam tesis ini adalah

suatu usaha untuk mencapai suatu maksud dan tujuan, yang diberi

wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai mana dalam

pelaksanaan putusan pengadilan tindak pidana korupsi.

b. Pengembalian Kerugian Keuangan Negara

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) pengembalian

diartikan sebagai proses, cara, perbuatan mengembalikan, pemulangan,

pemulihan.36 Pengembalian merupakan suatu usaha untuk mengembalikan,

memulangkan, dan pemulihan sesuatu yang didapatkan baik itu secara

langsung maupun tidak langsung dan baik itu sebagian ataupun

sepenuhnya.

36
Diakses dari http://kbbi.web.id, pada tanggal 24 April 2019.
20

Berikut juga pengertian keuangan negara menurut Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 adalah semua hak dan

kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik

berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan

milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Dapat diartikan pengembalian kerugian keuangan negara dalam tesis

ini adalah untuk mengembalikan, memulangkan, dan pemulihan hak

negara yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu yang menjadi

milik negara yang ada kaitannya tindak pidana korupsi yang dilakukan

oleh terpidana.

c. Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh

seseorang atau sekelompok orang yang melanggar aturan hukum pidana.

Sementara itu menurutu Simons tindak pidana sebagai tindakan melanggar

hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak disengaja oleh

seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh

undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban itu

telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.37

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu jenis tindak pidana

yang dapat menimbulkan kerugian bagi negara baik itu moril maupun

materil. Sebagaimana diatur dalam Undang–undang Republik Indonesia

Nomor 20 Tahun 2001 tentang perbuhan atas Undang–undang Republik

37
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Rineka Cipta. Jakarta , 2010, hlm, 24.
21

Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Dalam penelitian ini lebih memfokuskan kepada kerugian materil

yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi ini.

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis. Spesifikasi

penelitian deskriptif analitis merupakan penelitian hukum yang dilakukan

untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaaan atau

genjala-genjala lainnya ataupun fenomena. Penelitian deskriptif sangat

berguna untuk mempertegas sebuah hipotesis, agar dapat membantu dalam

mempperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka mencoba merumuskan

teori baru.38 Adapun ciri dari metode penelitian deskriptif ini adalah mencoba

menggambarkan permasalahan secara detail dan memusatkan pada pemecahan

masalah yang sedang dihadapi, yang tujuannya untuk menguraikan masalah,

menganalisis dan mengklasifikasi masalah-masalah yang ada dari gambaran

yang sebenarnya mengenai objek penelitian, dalam hal ini tentang Upaya

Jaksa Selaku Eksekutor dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara

Akibat Tindak Pidana Korupsi pada Kejaksaan Negeri Padang.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis

normatif. Pendekatan yuridis normatif artinya memecahkan permasalahan


22

dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang telah dijabarkan

dalam pasal-pasalnya, dengan kata lain metode penelitian ini dimulai dari

menganalisis suatu kasus untuk kemudian dicari penyelesaiannya lewat

prasedur perundang-undangan. Metode ini diperlukan juga untuk mengetahui

sejauhmana Upaya Jaksa Selaku Eksekutor dalam Pengembalian Kerugian

Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi pada Kejaksaan Negeri

Padang. Penelitian ini juga didukung oleh pendekatan yurisdis empiris, yaitu

berupa data primer yang diperoleh melalui penelitian lapangan (field

research).

3. Sumber Data

Sumber data adalah tempat dari mana data tersebut diperoleh. Dalam

penelitian ini data yang diperoleh bersumber dari data sekunder dan data

primer.

a. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang didapat dari penelitian kepustakaan.


Data sekunder (secondary data) dalam penulisan proposal penelitian ini
terdiri dari:
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan

hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari :

a) Undang–undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum

Pidana (KUHP):

b) Undang–undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana;


23

c) Undang–undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Jumto

Undang–undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas Undang-undang No 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

d) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia;

e) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pecegahan dan Pemberatasan Tindak Pidana Pencucian Uang:

f) Undang–undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara;

g) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana

Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi.

2) Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memiliki

singkronisasi yang erat dengan bahan hukum primer sehingga dapat

membantu penulis dalam menganalisis bahan hukum primer, seperti buku–

buku atau karya ilmiah yang ditulis oleh para sarjana. Bahan hukum

sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku

yang berkaitan dengan:

a) Hukum Pidana;

b) Keuangan Negara;

c) Korupsi, dan;

d) Tindak Pidana.
24

3) Bahan hukum tersier merupakan bahan–bahan hukum yang memberikan

informasi atau penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan

hokum sekunder, seperti kamus istilah hukum yang dapat memberikan

penjelasan–penjelasan mengenai istilah hukum.

b. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh melalui penelitian

lapangan yang berkaitan dengan permasalahan tersebut di atas. Data ini

diperoleh dengan cara wawancara dan observasi.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian proposal ini teknik pengumpulan data yang digunakan

ada 2 (dua) yaitu Wawancara (interview) dan Studi dokumen atau bahan

pustaka.

a. Wawancara (interview)

Untuk mendapatkan data primer, penulis menggunakan wawancara

terarah/semi terstruktur (directive interview), yaitu wawancara yang

diarahkan dengan struktur pertanyaan-pertanyaan tetapi keluwesan

wawancara tetap dipertahankan. Wawancara dilakukan di Kejaksaan Negeri

Padang dengan narasumber seorang Jaksa yang memiliki fungsi sebagai

eksekutor dalam hal pengembalian kerugian keuangan negara. formal (kaku).

b. Penelitian Kepustakaan

5. Analisis dan Penyajian Data

Data yang diperoleh baik dari studi lapangan (field research) maupun

dari studi kepustakaan (library research) dianalisis secara kualitatif, yaitu


25

cara pengolahan data dengan menyusun data yang bersifat khusus yang

berkaitan dengan permasalahan yang dibahas lalu mensingkronkannya

dengan data yang bersifat umum sehingga didapatkan suatu kesimpulan.

6. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat.

Alasan pemilihan lokasi penelitian tersebut adalah banyaknya kasus-kasus

tindak pidana korupsi yang terjadi di wilayah Kejakasaan Negeri di Sumatera

Barat, dimana penangganannya dilaksanakan oleh Kejaksaan Tinggi

Sumatera Barat.

G. Orisinilitas Penelitian

Berdasarkan penelusaran pada perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Ekasakti sejauh ini tidak terdapat kesamaan pada judul tesis dan

penelitian yang berjudul Upaya Jaksa Selaku Eksekutor Dalam Eksekusi

Putusan Pidana Tambahan pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat

Tindak Pidana Korupsi Studi pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat

Namum demikian , berdasarkan penelusuran melalu Internet ditemukan

penelitan dengan judul “ Upaya Jaksa selaku eksekutor dalam pengembalian

kerugian keuangan Negara akibat tindak pidana” korupsi.

oleh O.Harys tahun 2016 Fakultas Hukum Universitas Andalas.namun

penelitian ini tidak lah sama dengan yang ada pada penelitian penulis karna
26

penulis disini lebih detail menceritakan putusan pidana tambahan yang

dilakukan oleh jaksa eksekutor.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka dengan demikian penelitian ini

adalah asli, serta dapat dipertanggung jawabkan Ilmiah dan sesuai dengan

asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu kejujuran,rasional,

objektif serta terbuka.

Anda mungkin juga menyukai