Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini tindakan operasi sesar atau cesarian section sangat berkembang di

dunia maupun di Indonesia dengan bermacam indikasi. Sebagian berpendapat

operasi sesar lebih dapat menyelamatkan ibu dan anak tetapi, sebagian lagi

menyebutkan tidak ada hubungan antara keselamatan ibu dan anak dengan angka

keselamatan (WHO, 2015). Permasalahan yang masih menjadi momok adalah nyeri

menetap pascaoperasi sesar yang secara klinis sangat sulit untuk ditangani

(Eisenach JC et al., 2008).

Jika nyeri menetap lebih dari tiga bulan maka akan jatuh sebagai nyeri

kronik yang ditandai dengan hiperlalgesia atau allodinia. Hiperalgesia adalah

sensasi sangat nyeri yang muncul hanya dengan stimulus nyeri yang sangat ringan.

Allodinia adalah sesasi nyeri yang muncul walau hanya diberi stimulus biasa seperti

rabaan (Sandkuhler,2009). Secara keseluruhan insidensi nyeri kronik pascaoperasi

besar berkisar 20% sampai 50 % dan nyeri kronik pascaoperasi sesar didapati

sekitar 10% (IASP, 2011).

Banyak usaha yang telah dilakukan untuk mengurangi munculnya nyeri ini,

mulai dari pemilihan jenis anestesi sampai pemilihan obat anti nyeri pascaoperasi.

Tetapi, tetap saja angka nyeri pascaoperasi sesar tetap tinggi dan masih ditemukan.

Dari tahun 1997 jumlah nyeri kronik hanya 3% dan secara mengejutkan pada tahun

2004 nyeri kronik pascaoperasi sesar sebanyak 29,3% (Roelants, 2008). Hal ini juga

didukung oleh suatu penelitian pada 224 pasien yang dilakukan operasi sesar,

1
2

didapati 18 % pasien mengalami nyeri dalam waktu lebih dari 3 bulan dan 12,3 %

mengalami nyeri lebih dari 10 bulan (Nikolajsen et al., 2004).

Hal diatas sejalan dengan penelitian metaanalisis yang dilakukan oleh

Weibel et al. (2016) pada 15 penelitian dengan 4475 sample. Hasil penelitian ini

menyebutkan bahwa nyeri kronik pasca operasi sesar 3 bulan sampai 6 bulan

didapati 15 % sedangkan nyeri kronik 6 bulan sampai 12 bulan diperkirkan 11 %

Dari data tersebut terlihat angka nyeri kronik terus meningkat dan pencegahan nyeri

kronik pasca operasi tdak mununjukan keberhasilan yang bermakna.

Ditemukan 2% sampai 10% pasien pascaoperasi sesar mengalami

penurunan kualitas hidup akibat nyeri kronik pascaoperasi (IASP, 2011). Selama

ini pengobatan nyeri kronik dianggap kurang memuaskan oleh karena terapi hanya

berbasis kepada pengobatan gejala dan hanya berfokus kepada penghambatan

neurotransmisi sehingga hanya menghasilkan dampak penurunan nyeri yang

bersifat sementara (Ji et al., 2009). TIdak hanya itu dari pengalaman klinis cukup

sering juga ditemukan nyeri dibekas sayatan dan bekas suntikan anestesi spinal

pada pasien yan telah dilakukan operasi sesar.

Terapi nyeri kronik harus diadasarkan kepada patofisiologi yang

mendasarinya. Tidak hanya sekedar melakukan pemblokadean transmisi nyeri saja

tetapi, terapi yang diberikan harus mempengaruhi perjalan penyakit (Kawasaki et

al., 2008; Ji et al., 2009). Penyebab nyeri kronik ini sering disebabkan oleh

kerusakan saraf dari perifer atau sentral yang ini sering disebut sebagai kondisi

neuropatik.

Berdasarkan pada patogenesis nyeri kronik yang mendalam, ada enzim yang

sangat berperan yaitu metalloprotease (MMP) 9 dan 2. MMP-9 dan MMP-2 akan
3

meningkat di jaringan saraf yang telah rusak akibat tindakan operasi sesar

(Schomber et al,. 2012) sehingga hal ini memicu terjadinya nyeri neuropatik.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa perkembangan nyeri neuropatik di awal dan

fase akhir dipengaruhi oleh MMP-9 dan MMP-2 (Ji et al., 2009).

Hal senada juga dibuktikan dari penelitian hewan coba yang dilakukan oleh

Kawasaki et al. (2008) dengan melakukan ligasi pada saraf lumbal 5 tikus (merusak

jaringan saraf). Pada penelitian ini menunjukkan kadar MMP-9 yang meningkat di

hari pertama tetapi peningkatannya ini bersifat sementara dan kadar MMP 9

menurun setelah 3 hari. Sebaliknya kadar MMP-2 menunjukkan peningkatan kadar

yang terlambat yaitu pada hari ke-7 dan bertahan sampai hari ke-21.

Meningkatnya kadar MMP-9 dan MMP-2 ini pada hewan coba sejalan

dengan adanya hiperlagesia dan allodinia. Sumber lain menyebutkan hambatan

yang dilakukan terhadap keluarnya MMP-9 dan MMP-2 ternyata mencegah

terjadinya hiperalgesia dan allodinia pada hewan coba sehingga dianggap MMP-9

dam MMP-2 ini berberperan pada nyeri neuropatik (kronik) (Ji et al., 2009).

Penelitian sebelumnya mengenai kadar kadar MMP-9 dan MMP-2

dilakukan oleh Staci Goussev et al. (2003). Penelitian ini menggunakan hewan coba

tikus yang dibuat menjadi cedera saraf atau spinal cord injury (SCI) pada tulang

punggung dengan cara diberikan beban 1 gr, 2 gr dan 3 gr. Dari penelitian ini

didapati adanya kemunculan serta peningkatan kadar MMP-9 pada hari ke-1 setelah

cedera saraf dan bertahan sampai hari ke-14. Sementara itu, kadar MMP-2 muncul

pada hari ke-7 pascacedera saraf dan tetap meningkat sampai hari ke-21

pascacedera. Hasil yang sama juga diperoleh oleh penelitian yang dilakukan oleh

Yu F et al. 2008. Dalam penelitian tersebut percobaan dilakukan dengan hewan


4

coba; tikus yang dibuat juga menjadi SCI. Pada penelitian ini kadar MMP-9

meningkat 24 jam setelah cedera saraf terjadi dan menurun kadarnya dalam waktu

3 hari dan bertahan dalam waktu 7 hari. Sebaliknya kadar MMP-9 turun setelah 24

jam dan kadar MMP-2 justru meningkat dalam kurun waktu hari ke-3 sampai hari

ke-7.

Hasil peningkatan dari kadar MMP-9 dan MMP-2 pada penelitian

Kawasaki et al. (2008), Goussev et al. (2003), Yu et al. (2008) juga sesuai dengan

hasil dari 13 penelitian hewan coba yang ditelah oleh Zhang et al.2011. Dari hasil

telaah ini didapati kadar MMP-9 rata rata akan meningkat setelah cedera saraf pada

jam ke-12 sampai jam ke-24. Kemudian diikuti kadar MMP-2 yang akan meningkat

pada hari ke-5 pascacedera saraf.

Dari beberapa penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa MMP-9 berperan

pada fase awal neuropatik sementara MMP-2 berperan pada fase akhir (late) dari

nyeri neuropatik. Pengeluaran MMP-9 dan MMP-2 akan menyebabkan aktivasi

dari prointerleukin 1-β (tidak aktif) menjadi interleukin 1-β (aktif) dan hal ini akan

menyebabkan hipereksitabiltas sel saraf. Hipereksitabilitas sel saraf terjadi melalui

peningkatan kanal natrium dan kalsium yang berada disekitar jaringan saraf.

Peningkatan kanal natrium dan kalsium ini tentunya akan menyebabkan

mudahnya terjadi potensial aksi dan diperkirakan akan berpengaruh kepada

keseimbanan elektrolit tubuh. termasuk ion magnesium yang berperan menghambat

aktifnya NMDA reseptor.

[N-methyl-D-aspartate (NMDA) adalah salah satu reseptor yang nyeri yang

bertanggung jawab atas munculnya hipereksitabilitas sel saraf (Bennet GJ, 2000).

Keparahan ini akan ditambah dengan peningkatan canel natrium dan kalsium secara
5

keseluruhan pada pasien dengan nyeri yang tidak tertangani sehingga akan

mengakibatkan banyak terbentuk sinyal-sinyal ektopik sehingga akan memicu

timbulnya sensitisasi perifer kemudian diikuti dengan sensitisasi sentral. Oleh

karena adanya sensitisasi maka kondisi nyeri neuropatik akan tercapai (Lakhan et

al., 2012)

Berdasarkan berapa sumber kepustakaan diatas maka penulis bermaksud

menggunakan kadar MMP ini sebagai prediktor untuk meramalkan tentang

kejadian nyeri neuropatik yang merupakan bentuk dari nyeri kronik yang terjadi

pada pasien-pasien pascaoperasi sesar. Penelitian MMP-9 dan MMP-2 selama ini

hanya dlakukan ditingkat hewan tikus saja dengan meggunakan model spinal cord

injury (SCI) atau tanpa secara langsung menghubungkannya dengan nyeri

pascaoperasi sesar.

1.2 Perumusan Masalah

Apakah kadar MMP-9 dan MMP-2 dapat digunakan sebagai prediktor

kejadian nyeri neuropatik pascaoperasi sesar.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk membuktikan hubungan kadar matrix metalloprotease (MMP-9) 9

dan kadar matrix metalloprotease (MMP-2) 2 sebagai prediktor kejadian

nyeri neuropatik pada pasien pascaoperasi sesar yang telah dilakukan

pembiusan dengan anestesi spinal


6

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Melihat hubungan kadar MMP-9 dengan kejadian nyeri neuropatik

pascaoperasi sesar

2. Melihat hubungan kadar MMP-2 dengan kejadian nyeri neuropatik

pascaoperasi sesar

2. Melihat perbedaan kadar MMP-9 menurut tingkat nyeri yang dirasakan

3. Melihat perbedaan kadar MMP-2 menurut tingkat nyeri yang dirasakan

4. Melihat hunbungan MMP-9, MMP-2, IL-1β, Neutrofil, Limfosit, Natrium,

Kalsium, Magnesium

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik

1. Sebagai sumber informasi dan bahan referensi bagi penelitian

selanjutnya.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan acuan

untuk meningkatkan pelayanan manajemen nyeri pascabedah.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan

terutama ilmu anestesi.

1.4.2 Manfaat Pelayanan

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kenyamanan untuk

pencegahan nyeri kronik pascabedah.

1.4.3 Pengembangan Penelitian

Dapat digunakan sebagai pedoman penelitian untuk ditemukannya MMP-9

dan MMP-2 inhibitor yang dapat diberikan langsung sebelum nyeri terjeadi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Nyeri (pain) masih menjadi alasan utama pasien untuk datang mencari

pertolongan. Nyeri adalah suatu ilmu yang dinilai sangat berkembang dan

terkadang sulit dipahami tetapi, menjadi sesuatu hal yang sering dihadapi oleh

tenaga kesehatan (Ardinata, 2007). Pada tahun 1968, McCaffery mendefinisikan

nyeri sebagai “whatever the experiencing person says it is, existing whenever she

says it does” (Argoff & Cleane 2009).

Definisi ini memberikan pengertian bahwa nyeri adalah sesuatu yang terkait

dengan perasaan sehingga nyeri sifatnya sangat subjektif. Oleh karena itu apa yang

dirasakan oleh pasien belum tentu sama dengan apa yang dirasakan oleh pasien

yang lain. Pada tahun 1979, International Association for the Study of Pain

mendefinisikan nyeri adalah An unpleasant sensory and emotional experience

associated with actual or potential tissue damage, or described in terms of such

damage (IASP, 1979).

Dari definisi di atas terlihat bahwa nyeri adalah suatu pengalaman, sifatnya

sangat subjektif, penilaiannya sesuai dengan apa yang dirasakan dan dilaporkan

oleh pasien. Nyeri tidak hanya dapat dirasakan ketika ada kerusakan jaringan tetapi

juga tanpa adanya kerusakan jaringan. Hal ini dapat dilihat pada pasien nyeri yang

sudah menjalani operasi amputasi. Walaupun amputasinya sudah berlangsung

lama, dan luka telah sembuh, tetapi pasien masih dapat merasakan sakit diujung

7
8

bekas luka amputasi bahkan merasakan nyeri seolah olah kaki nya masih ada,

kondisi ini disebut sebagai nyeri phantom atau phantom pain (Subhedi B &

Grossbreg 2011).

2.2 Patofisiologi nyeri

Nyeri berasal dari stimulus yang secara terminologi disebut sebagai

stimulus noxius. Stimulus ini kemudian ditangkap oleh reseptor nyeri yang dikenal

sebagai nociceptor. (IASP 2011; Cervero & Merskey 1996). Nociceptor adalah

reseptor yang khusus menerima rangsangan nyeri (stimulus noxious). Reseptor ini

merupakan “free nerve ending” dari serabut saraf A delta (Aδ) dan Serabut C. Nyeri

yang ditangkap oleh reseptor ini akan dihantarkan ke tingkat pusat (sentral) melalui

proses yang kita kenal sebagai transmisi dan persepsi (pain pathway) (Dubin &

Patapoutan A 2010).

Ada empat proses yang harus dilalui dalam proses nyeri yaitu transduksi,

transmisi, modulasi dan persepsi (Reddi & Curran 2012; Das 2013). Proses pertama

adalah transduksi. Transdukasi adalah proses diubahnya rangsangan yang semula

bersifat mekanis atau termal atau kimiawi menjadi sinyal-sinyal listrik saraf atau

potensial aksi (Park & Luo 2010; Mc Entire et al. 2016).

Jaringan yang telah rusak secara spontan akan melepaskan dua ion penting

dalam proses nyeri yaitu ion hydrogen, kalium walaupun pada akhirnya dalam

proses nyeri ditemukan ion kalsium dan natrium juga berperan dalam proses nyeri

(Tsantoulas C & B. McMahon S 2014;Park JF & Luo DZ 2010;Ren K & Dubner R

2008). Kerusakan membran sel akan melepaskan senyawa fosfolipid yang


9

mengandung asam arakhidonat dan terjadi aktivasi ujung nosiseptif aferen. Asam

arakhidonat atas pengaruh prostaglandin (PG) endoperoxide synthase akan

membentuk cyclic endoperoxide (PGG2 dan PGH2) dan akan membentuk mediator

inflamasi sekaligus mediator nyeri seperti tromboksan (TXA2), prostaglandin

(PGE2, PG2α), prostasiklin (PGI2). Terbentuk pula leukotrien (LT) atas pengaruh

5-lipooksigenase. Setelah kerusakan jaringan, timbul mediator nyeri atau inflamasi

berupa substansi P, PGs, LTs dan bradikinin (Setiabudi A, 2005).

Sel mast juga aktif dan akan melepaskan histamin. Kombinasi senyawa ini

menimbulkan vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah

lokal sehingga membantu gerakan cairan ekstravasasi ke dalam ruang interstisial

jaringan yang rusak. Proses ini mengawali mekanisme respon inflamasi yang

merupakan langkah pertama dalam proses pertahanan terhadap cedera jaringan dan

reparasi luka (Setiabudi A, 2005).

Pada akhirnya mediator juga mengaktifkan nosiseptor. PGs dan LTs tidak

langsung diaktifkan melainkan mensensitisasi nosiseptor agar dapat dirangsang

oleh senyawa lain seperti bradikinin, histamin sehingga terjadi hiperalgesia, yaitu

respon stimuli yang meningkat, pada kondisi normal sudah menimbulkan sakit.

Pelepasan mediator kimiawi terus menerus dapat menyebabkan stimulasi dan

sensitisasi terus menerus pula sehingga terjadi hiperalgesia, allodinia dan proses ini

berakhir sesudah terjadi proses penyembuhan (Setiabudi A, 2005).

Selanjutnya lekotrien D4 (LTD4) mengaktifkan makrofag dan basofil yang

akan menstimulus dan meningkatkan pelepasan eikosanoid, yaitu metabolit yang

terlepas akibat terjadinya metabolisme asam arakhidonat. Lekotrien D4 juga


10

melepas substansi P dan secara tidak langsung bekerja pada neuron sensoris dengan

menstimulus sel lain untuk melepaskan bahan neuron aktif. Leukosit Poli Morfo

Nuklear (PMN) melepaskan leukotrien B4 (LTB4). Keduanya berperan dalam

sensitisasi nosiseptor (Setiabudi A, 2005).

Pada inflamasi, sistem imun akan melepaskan sitokin proinflamasi:

interleukin IL1β, IL6, TNF, IFN. Sitokin ini dengan cepat akan berinteraksi dengan

saraf perifer melalui mediator. IL1β berinteraksi dengan neuron sensoris,

mengaktifkan eikosanoid dalam sel seperti fibroblas dan menyebabkan terlepasnya

prostaglandin. Platelet dan sel mast melepaskan serotonin yang langsung

mengaktifkan atau mensensitisasi nosiseptor dan menimbulkan hiperalgesia

(Setiabudi A, 2005).

Suatu sumber menyebutkan bahwa prostaglandin, ion hidrogen dan kalium

adalah unsur penting pada aktivasi reseptor nyeri yang ada di perifer dan berperan

untuk terjadinya sensitisasi perifer dan hal ini akan memicu munculnya nyeri kronik

atau neuropatik (Davies et al.1984).

Proses kedua dikenal dengan nama transmisi. Transmisi adalah proses

membawa sinyal elektrik (postensial aksi) yang sudah terbentuk sebelumnya di

transduksi tadi ke medula spinalis menuju thalamus. Di medula spinalis sinyal nyeri

akan disampaikan di lamina I, substansia gelaitnosa (lamina II, III), lamina IV dan

V. Lamina adalah inti atau tempat informasi akan diteruskan. Jika sinyal tidak

sampai ke lamina I maka sinyal tidak akan diteruskan ke talamus. Tipe saraf yang

terlibat dalam proses transmisi ini adalah saraf A delta (Aδ) dan serabut C (Steeds,

2016).
11

Serabut saraf A delta merupakan serabut saraf yang berselaput sedikit atau

lightly myelinated dengan kecepatan konduksi 5-30 meter/detik. Serabut ini

bertanggung jawab menghantarkan sensasi nyeri tajam dan dapat dilokalisir.

Sedangkan serabut saraf C adalah serabut saraf yang tidak bermielin (selaput)

dengan kecepatan hantaran 0,6-2 meter/detik. Saraf ini bertanggung jawab

menghantarkan sinyal nyeri yang bersifat tumpul, bersifat difus dan hantarannya

lambat (Das, 2013 & Manzano et al. 2008).

Saraf A delta (Aδ) dan serabut C berakhir di limina I-II sementara itu serabut

saraf A-betha berakhir di lamina III-VI (Steeds, 2016). Dari dorsal horn (medulla

spinalis) sinyal nyeri tersebut akan dibawa menuju thalamus.Thalamus merupakan

kunci awal diprosesnyan sinyal nyeri. Dari thalamus sinyal nyeri akan dikirimkan

ke sistem limbik, korteks insular, somatosensori korteks (S1 S2), prefrontal korteks,

anterior cingulate korteks (ACC), PAG (Periaqua ductal gray) dan RAS (Reticular

activating system) (Das, 2013).

Tabel 2.2 Jenis serabut saraf yang ada diperifer

Tipe serabut Fungsi Bermilein Diameter Kecepatan


saraf ? (micrometer) konduksi
(m/s)
A-alpha Propriosepsi Bermielin 12-22 70-120

A-betha Sentuhan Bermielin 5-12 30-70

A-Delta Nyeri Bermielin 1-5 5-30


(mekanikal
dan termal)
C Nyeri Tidak 0,1-1,3 0,6-2
(mekanikal, bermielin
12

termal,
kimiawi)

Sumer: Manzano et al. 2008 .

Persepsi adalah kondisi dimana sinyal nyeri sampai di susunan saraf pusat

yaitu di sistem limbik, korteks otak, insular, somatosensori korteks (S1 S2),

prefrontal korteks, anterior cingulate corteks (ACC). Persepsi akan menentukan

aspek kognitif, diskriminatif, emosi dan motivasi dari nyeri (Setiabudi 2005;

Butterworth et al.2006).

Setelah itu sinyal nyeri akan sampai ke PAG (Peri Aquaductal Grey).

Setelah sampai ke PAG maka sistim modulasi menjadi aktif. Modulasi adalah

sistim penghambatan terhadap sinyal nyeri yang sampai di otak. Penghambatan

yang dimaksudkan disini adalah descending inhibitory pathway (Dafny, 1997). Ada

beberapa mekanisme yang berperan pada sistim modulasi, salah satu mekanisme

tersebut adalah endogenous pain modulation system (Ossipov et al.2014; Sharma

& Das 2013; Benarroch 2012).

Penghambatan disini diperankan oleh opioid endogen. Opioid tersebut

antara lain: endorphine, enkephalin dan dynorphin yang bekerja pada reseptor

opioid yang ada di medula spinalis (dorsal horn) dan menghasilkan inhibisi

presinaps. (Ossipov et al.2014; Sharma & Das 2013; Benarroch 2012). Kedua

adalah sistim inhibisi segmental yang ditandai adanya inhibisi lokal yang dilakukan

oleh GABA dan glisin (Paul 2000; Sharma & Das 2013).

Proses penghambatan dari modulasi yang sangat populer adalah gate

control theory. Maksud dari teori ini adalah jika terjadi rangsangan pada saraf besar
13

Aβ mennyebabkan inhibisi atau hambatan pada serabut saraf kecil yaitu Aδ dan C.

Saraf ini merupakan saraf yang bertanggung jawab terhadap nyeri sehingga, jika

saraf besar terangsang otomatis nyeri akan terhambat. Saraf besar berfungsi sebagai

sensasi sentuhan dan propriosepsi (orientasi lokasi) sedangkan Aδ dan C berperan

dalam menerima nyeri (Kirkpatrick et al. 2015). Terakhir adalah aktivasi sistim

descending inhibitory pathway diaktifkan oleh serotonin dan norepinephrin yang

juga merupakan bagian dari proses modulasi (Millan 2002; Pertovaraa 2006).

2.3 Pembagian nyeri

Jika dilhat dari segi waktu maka nyeri dapat dibagi menjadi nyeri akut dan

kronik. Nyeri akut adalah nyeri yang muncul dalam kurun waktu kurang dari tiga

bulan atau muncul segera setelah kerusakan jaringan. Nyeri kronik adalah nyeri

yang terus muncul ketika lukanya telah sembuh dan umumnya mucul 3-6 bulan

(Turk & Okifuji 2010). Jika dilihat dari patofisiologinya nyeri dapat dibagi menjadi

nyeri nosiseptif dan neuropatik. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang diakibatkan

adanya kerusakan jaringan yang bukan jaringan saraf (non neural) dan secara

patofisiologi nyeri ini diakibatkan oleh aktivasi dari nosiseptor (IASP, 2011).

Nyeri nosiseptif Nyeri neuropatik

Terjadi oleh karena kerusakan jaringan Terjadi oleh karena kerusakan jaringan yang

yang bukan jaringan saraf (non neural) merupakan jaringan saraf (neural)

Bersifar fisiologis Bersifat patologis

Ada hubungan antara kerusakan jaringan Tidak ada hubungan antara kerusakan

dengan nyeri yang sedang terjadi jaringan dengan nyeri yang sedang terjadi
14

Mudah untuk didiagnosis dan diterapi Sulit untuk didiagnosis dan terapi

Tabel 2.3. Perbedaan nyeri nosiseptif dengan neuropatik (Haanpaa & Treede

2010)

Sebagian ahli berpendapat bahwa nyeri nosiseptif muncul sebagai

mekanisme pertahanan tubuh. Melalui mekanisme ini tubuh hendak memberi tahu

bahwa tubuh sedang mengalami cedera (injury). Nyeri nosiseptif sebagian besar

adalah akut, dan jika nyeri akut ini tidak diterapi dengan baik maka nyeri akut akan

menjadi nyeri kronik atau sering dalam bentuk neuropatik. Nyeri neuropatik adalah

bentuk nyeri kronik yang diakibatkan oleh kerusakan saraf akibat banyak sebab.

(IASP, 2011). Berikut (Tabel 2.3.) perbedaan nyeri nosiseptif dan neuropatik dapat

dilihat pada tabel dibawah ini. Nyeri akut dan kronik dapat muncul bersama-sama

begitu juga nyeri nosiseptif bisa muncul bersama denga neuropatik. Misalnya pada

pasien nyeri kronik pascaoperasi sesar (nyeri krionik) yang pertama harus kembali

menjalani operasi sesar yang kedua (nyeri akut) atau pada pasien previous operasi

SC.

2.3.1 Mekanisme nyeri kronik pasca operasi

Konsep nyeri kronik terkini menyebutkan bahwa patofisiologi nyeri kronik

didasari atas adanya perubahan pada susunan saraf baik perifier atau pusat serta

ditandai adanya perubahan sistem fisiologi serta patologis. Perkembangan nyeri

kronik setelah operasi kemungkinan terjadi sebagai akibat dari mekanisme biokimia

yang kompleks serta mekanisme patofisiologi yang berbeda tergantung prosedur

pembedahan yang mendasari. Ada beberapa faktor predisposisi untuk terjadinya

nyeri kronik pascaoperasi (Schug & Bruce 2017).


15

1. Nyeri yang sudah ada sebelumnya ditempat atau daerah yang akan dilakukan

tindakan pembedahan

2. Faktor psikososial

3. Jenis anestesi

4. Jenis kelamin

5. Lamanya nyeri operasi yang dirasakan

6. Faktor pembedahan

a. Kerusakan jaringan saraf akibat pembedahan

b. Inflamasi daerah pembedahan yang berlama lama (nyeri tidak ditangani)

c. Lamanya waktu pembedahan

d. Tipe pembedahan

e. Operasi yang berulang

Nyeri pascaoperasi yang berlama-lama akan menyebabkan remodeling sel

saraf dan menyebabkan fase nyeri akut pascaoperasi akan berubah ke fase kronik

pascaoperasi. Hasil dari remodeling saraf tersebut adalah neuroplastisitas atau

neuroplasticity. Neuroplasticity ditandai dengan adanya perubahan eksitabilitas

membran sel saraf yang konstan, kehilangan mekanisme inhibisi saraf dan terjadi

peningkatan eksitabiltas sel saraf oleh karena terbentuknya impuls-impuls nyeri

yang bersifat persisten sampai di medula spinalis. Sehingga sistem inhibisi sel saraf

yang seharusnya mampu menghambat sinyal ini menjadi mati atau tidak bekerja

(Sadatsune et al. 2011; Sharma & Das 2013).

Selanjutnya sel glial, akan merombak sinaps sel saraf untuk

mengintensifkan impuls nyeri. Sel glial merupakan sel yang banyak berperan dalam
16

mempertahankan kondisi fisik dan metabolik sel saraf. Sel glial ini juga banyak

berperan dalam proses penghantaran sinyal di sel saraf. Akibat aktivasi dari sel

glial, maka neuron yang menimbulkan rasa sakit akan menjadi lebih sensitif,

bereaksi lebih intens terhadap rangsangan, dan tumbuh lebih banyak (Ceruti, 2017).

Singkatnya, proses neuroplastisitas ini selanjutnya mengarah ke sensitisasi.

Sensitisasi adalah mekanisme yang mendasari terjadinya nyeri kronik

(neuropatik) pada umumnya dan khususnya pascabeda. Sensitisasi merupakan

kejadian respon yang tidak normal atau respon yang tidak sesuai terhadap stimulus

normal. IASP (International Association for Study of Pain) mendifinisikan

sensitisasi sebagai peningkatan respon dari neuron nosiseptif terhadap normal

stimulus (IASP, 2011). Ada dua jenis sensitisasi, pertama sensitisasi perifer yang

kedua adalah sensitisasi sentral.

Sensitisasi perifer adalah sensitisasi yang terjadi diperifer. Menurut IASP

adalah perubahan yang terjadi pada saraf perifer berupa peningkatan respon dan

menurunnya ambang rangsang nyeri neuron nosiseptif terhadap stimulus yang

diterima di perifer (IASP, 2011). Ada beberapa mekanisme yang berkaitan dengan

munculnya sensitisasi diperifer yaitu: (Sharma & Das 2013)

1. Up regulation dari nosiseptor yang aktif. Hal ini ditandai dengan meningkatnya

jumlah reseptor nyeri di perifer. Menyebabkan stimulus nyeri yang diterima

dan diproses akan lebih cepat dan juga karena banyaknya resepor nyeri yang

aktif ambang rangsang nyeri juga akan menurun.

2. Sensitisasi dari aferen perifer terminal. Kerusakan jaringan non neural di

perifer menyebabkan terjadi pengeluaran mediator-mediator inflamasi. Oleh


17

karena pelepasan mediator ini tidak dikendalikan (nyeri tidak ditangani) maka

banyak mediator yang keluar secara besar ini akan mensensitisasi atau

merangsang silent nociceptor dan sel normal nosiseptor. Proses ini

menyebabkan peningkatan respon nyeri.

3. Ectopic discharge. Terjadi peningkatan potensial aksi di jaringan saraf,

tepatnya di sepanjang axon serabut saraf afferen primer, terminal presinap dan

di DRG (dorsal root ganglion). Umumnya hal ini diakibatkan oleh peningkatan

dari kanal natrium dan kalsium di membran sel saraf.

4. Phenothypic switching. Terjadi pembentukan neuropeptida yang banyak

seperti substansia P, CGRP dan sebagainya.

5. Somatic-sympathethic coupling. Serabut saraf simpatik eferen mengeluarkan

katekolamin (adrenalin dan noradrenalin) yang seharusnya bekerja pada

reseptor simpatis tetapi, pada proses ini ketokalamin tidak bekerja ditempat

semestinya. Mereka bekerja di nosiseptor yang sudah tersensitisasi yang

sebenarnya hanya merespon terhadap rangsangan suhu, mekanik dan kimiawi

dalam rangka memproduks potensial aksi.

Proses dari sensitisasi perifer akan berlanjut menjadi sensitisasi sentral jika

nyeri tidak juga ditanggulangi. Sensitisasi sentral bertempat di susunan saraf pusat.

Sensitisasi sentral adalah perubahan yang terjadi pada saraf sentral (susunan saraf

pusat) berupa peningkatan respon dan menurunnya ambang rangsang nyeri neuron

nosiseptif terhadap stimulus yang diterima di sentral yang semula berasal dari

perifer (IASP, 2011). Ada beberapa mekanisme yang berkaitan dengan munculnya

sensitisasi sentral, yaitu (Sharma & Das 2013).


18

1. Central reorganization. Terjadi peningkatan area nyeri akibat aktivasi sel

saraf di tingkat medula spinalis sekaligus terjadi kehilangan fungsi dari jalur

inhibisi.

2. Ectopoic discharge, Terjadi peningkatan potensial aksi di jaringan saraf.

Umumnya hal ini diakibatkan oleh peningkatan dari kanal natrium dan

kalsium di membran sel saraf.

3. Wind up phenomen. Stimulasi nyeri yang berulang (nyeri tak tertangani)

terhadap serabut saraf C menyebabkan penumpukan sementara dari input

rangsang nyeri sehingga terjadi peningkatan respon rangsang dari nyeri.

4. Disinhibiotion. Adanya downregulation dari neurotrasmiter yang

bertanggung jawab terhadap nyeri termasuk glisin, GABA dan termasuk juga

reseptor opioid di medula spinalis tepatnya di dorsal horn.

5. Aktivasi dari WDR neuron. Sel Wide Dynamic Range (WDR) ikut kedalam

jalur nyeri

Secara singkat dapat dikatakan bahwa nyeri kronik akibat kondisi

neuropatik ini terjadi oleh karena adanya sensitisasi secara terus-menerus yang

diakibatkan oleh adanya impuls-implus nyeri yang muncul secara konstan yang

berasal dari kerusakan jaringan saraf perifer atau perubahan fungsional di dorsal

horn atau di dorsal root ganglion sebagai hasinya terlihat adanya simpatik

sprouting. Semuanya ini akan menyebabkan munculnya gejala klinis yang

merupakan gambaran khas dari neuropatik, seperti:

a) Peningkatan intensitas nyeri, area dan durasinya

b) Toleransi terhadap nyeri menurun


19

c) Munculnya masalah baru yaitu masalah psikologis

d) Nyeri akan sangat sulit untuk merespon terhadap terapi konvensional.

2.4 Matrix metalloprotease (MMP)

Matrix metalloproteinase (MMP) adalah anggota atau superfamili dari

metzincin dari golongan enzim protease yang memiliki tempat ikatan ion zinc

sebagai tempat aktivasi enzim ini. MMP memiliki fungsi dasar untuk

mendegradasikan berbagai macam komponen matriks ekstraseluler. Namun,

penelitian baru-baru ini telah membawa kita untuk menggunakan MMP sebagai

regulator jaringan ekstraseluler terutama sebagai pengantar sinyal ekstra dan

intraselular (Loffek et al. 2011).

MMP ini banyak menentukan fungsi fisiologis, inflamasi, homeostasis

seperti remodeling tulang, angiogenesis, imunitas dan kesembuhan luka. Aktivitas

MMP ini dikontrol oleh aktivitas dari tingkat transkripsi RNA, aktivasi propeptida

dan penghambatan yang dilakukan oleh penghambat MMP. Disregulasi MMP

menyebabkan banyak kondisi patologis seperti artritis, inflamasi dan kanker

(Loffek et al. 2011).

Di tubuh manusia sendiri MMP terdiri dari 23 jenis. Pembagian ini

didasarkan atas stuktur dan spesifikasi substrat yang dibagi menjadi beberapa,

yaitu: (Klein & Bischoff 2011)

1. Kolagenase yang terdiri dari MMP-1, MMP-8 , MMP-13 dan MMP-18

2. Gelatinase yang terdiri dari MMP-2 dan MMP-9

3. Stromelysin yang terdiri dari MMP-3, MMP-10 dan MMP-11


20

4. Tipe-membran yang terdiri dari MMP-14 (MT1-MMP), MMP-15 (MT2-MMP),

MMP-16 (MT3-MMP) dan MMP-25 (MT6-MMP) dan MMP yang lain

Secara umum MMP terdiri dari 3 struktur domain yang terdiri dari: Domain

N-terminal peptida, domain katalitik internal, dan domain C-terminal hemopexin.

Pada umumnya MMP diproduksi dalam keadaan tidak aktif dengan residu sistein

yang berada pada regio propeptida. Aktivasi MMP membutuhkan pemindahan

domain propeptida sehingga tempat aktif katalitik menjadi terekspos (Zhang et

al.2011)

Gambar 2.4. Struktur protein secara umum dari seluruh MMP (Catania,

2006)

Keterangan: S, urutan sekresi; prodomain (zimogen); kotak hitam antara Pro dan

katalitik domain di tipe membran (MT)-MMP adalah tempat pembelahan furin;

Catalytic domain; Fn, fibronectin-like domain; TMD, transmembrane domain;

GPI, glycosylphosphatidylinositol.
21

2.4.1 Regulasi MMP

Spektrum MMP ini sangat luas, maka MMP merupakan satu kumpulan

enzim yang saling memiliki fungsi yang terintegrasi dengan fungsi homeostasis

tubuh serta terkait dengan sistem imunitas antara jaringan dan sel. Sejak diketahui

bahwa fungsi MMP yang berlebihan dapat menyebabkan banyak kerusakan maka

sistem fisiolois tubuh mengatur aktivasi dari MMP ini. Akivasi MMP secara garis

besar diatur oleh 4 mekanisme, mekanisme tersebut antara lain (Loffek et al.2011):

1. Mekanisme ekspesi gen dengan melibatkan proses transkripsi dan regulasi

pasca transkripsi

2. Produksi MMP ditentukan oleh lokasi serta jenis atau jaringan yang

memproduksi MMP tersebut yang dikenal sebagai kompartementalisasi

3. Aktivasi proenzim dengan melepaskan ikatan pro-domain

4. Inhibisi atau penghambatan dengan TIMP (Tissue Inhibitors of Matrix

Metalloprotease) dan penghambatan oleh proteinase non spesifik seperti a2-

macroglobulin

Sekali MMP teraktivasi maka akan berpotensial terjadinya reaksi proteolitik

global di lingkungan ekstraseluler melalui aktivasi (MMP pro-form) aktivasi dan

degradasi inhibitor atau inaktivasi protease lainnya.

2.4.2 MMP-9 dan MMP-2 pada penyakit saraf

Dari 23 jenis MMP yang paling banyak dibahas terkait dengan proses

inflamasi adalah MMP-9 dan MMP-2. Kedua jenis MMP ini banyak ditemukan di

matriks ekstraselular, cairan di otak dan serum dalam pembuluh darah (Zang et al.

2011).
22

Saat ini banyak mekanisme yang dapat mengaktifkan MMP-9 dan MMP-2

tetapi secara spesifik diketahui MMP-9 dan MMP-2 diaktifkan oleh

plasminogen/plasmin dan MMP-14. MMP-2 terdapat dibanyak jaringan dan MMP-

9 sangat mudah terangsang oleh mekanisme yang lain. Aktivitas MMP diatur oleh

inhibitor endogen yaitu TIMP (inhibitor jaringan metaloproteinase) (Ji RR et al,

2008).

Aktivitas MMP-9 dan MMP-2 masing-masing dihambat oleh TIMP-1 dan

TIMP-2. MMP terutama MMP-9 dan MMP-2 juga memainkan peran penting dalam

peradangan saraf dan terlibat dalam berbagai penyakit CNS termasuk Alzheimer,

amyotrophic lateral sclerosis, multiple sclerosis, otak, trauma sumsum tulang

belakang, epilepsi, dan stroke. (Ji et al. 2008).

Dengan mengganggu homeostasis sel-sel dan matriks sel, MMPs juga dapat

memicu jalur anoikis-seperti kematian sel otak. Secara konsisten, MMP-9 dan

MMP-2 banyak ditemukan dalam bebrapa penyakit CNS yang mentargetkan

matriks. MMP dapat menyebabkan pengeluaran growth factors dan sitokin

ekstraseluler yang banyak terlibat dalam berbagai reaksi biokimiawi tubuh. Selain

itu, proses patologis MMP-9 dan MMP-2 banyak berperan pada proses fisiologis

yaitu fungsi perkembangan dan regenerasi. Banyak sumber mengatakan MMP

terlibat dalam proses nyeri neuropatik (Ji et al. 2008).

2.4.3 MMP-9 dan MMP-2 pada nyeri neuropatik

Secara tingkat seluler patofisiologi nyeri neuropatik dapat dibagi menjadi

dua bagian. Yang pertama fase awal atau early phase (beberapa hari) dan kedua

adalah fase lanjut atau late phase (mulai dari hitungan minggu sampai bulan dan
23

tahun). Diketahui luka operasi akan menyebabkan kerusakan saraf di perifer dan

nyeri yang berlama lama akan menyebabkan perubahan proses hantaran saraf di

perifer dan sentral. Hal ini mendasari terjadinya nyeri neuropatik perifer (Ji et

al.2009).

Insisi operasi sesar pada umumnya melakukan pendekatan laparatomi. Insisi

kulit akan menyebabkan juga rusaknya jaringan saraf perifer. Rusaknya jaringan

saraf perifer akan memicu munculnya sensitisasi ditempat perlukaan tadi

dilanjutkan menjadi sensitisasi sentral. Setelah terjadi kerusakan sel saraf diperifer

(termasuk kerusakan axon) maka sel schwan akan melepaskan MMP-9,

menginsiasi untuk infiltrasi sel makrofag. Kemudian akan terjadi degradasi dari

protein dasar myelin. Adanya axon yang rusak tadi akan menyebabkan peningkatan

jumlah kanal natrium dan kalsium sehingga memicu terjadinya hipereksitabilitas

sinyal ektopik dari serabut saraf afferent. Hasilnya adalah potensial aksi yang terus

menerus muncul dan pada akhirnya berkontribusi terjadinya sensitisasi perifer

kemudian berlanjut ke sensitisasi sentral yang ditandai dengan kondisi hiperalgesia

dan allodinia (Ji et al.2009).

Sitokin proinflamatori seperti interleukin (IL)-1β muncul setelah terjadi

kerusakan jaringn saraf yang berperan dalam sensitisasi pada nyeri neuropatik.

Setelah terjadi cedera jaringan saraf maka kadar MMP-9 pada awa-awal cedera

akan meningkat di dorsal root ganglion (model ligase lumbal 5) walaupun

sebenarnya MMP-9 dan MMP-2 dapat ditemukan di serum dan cairan cerebrospinal

(Lakhan & Avramut 2012).


24

Tidak hanya MMP-9 kadar pro interleukin (IL)-1β juga meningkat diawal

cedera saraf. Pemberian MMP-9 intratechal menurut penelitian yang telah

dilakukan, ditemukan adanya allodinia, begitu juga sebaliknya inhibitor MMP-9

yang diberikan secara intratekal ternyata menyebabkan menurunya insidensi nyeri

neuropatik di fase awal. Oleh karenanya disimpulkan bahwa MMP-9 menyebabkan

munculnya nyeri neuropatik yang disebabkan oleh aktivasi interleukin (IL)-1β yang

sebelumnya telah diaktivasi oleh MMP-9 dari bentuk inaktif (pro- interleukin (IL)-

1β) menjadi bentuk aktif interleukin (IL)-1β. Interleukin (IL)-1β ini nantinya akan

mengaktifkan pro MMP-9 menjadi MMP-9 yang aktif dan menyebabkan

hiperkesitabilitas saraf dengan bekerja pada sel reseptor nosiseptif yang saling

berdekatan (Ji et al.2008; Lakhan et al.2012).

Selain itu juga pelepasan MMP-9, interleukin (IL)-1β, p38MAPK akan

mengaktivasi mikroglia (ditandai dengan meningkatnya marker dari mikroglia

yaitu CD 11b dan Iba1) di medulla spinalis. Aktivasi mikroglia akan menyebkan

degradasi matriks ekstraseluler jaringan saraf yang akan diikuti dengan degradasi

myelin yang nantinya semua proses ini akan menyebabkan terjadinya

hiperksitabilitas sel saraf sehingga ini akan memicu timbulnya gejala neuropatik (Ji

et al.2008; Lakhan et al.2012).

Secara bersama-sama, data penting ini menunjukkan peran MMP-9 dan

interleukin (IL)-1β dalam perkembangan nyeri neuropatik melalui pembentukan

interleukin (IL)-1β dan aktivasi dari sel mikroglial. Mikroglial munucul setelah dua

hari pascacedera saraf dimana mikroglia ini berasal dari aktivasi p38MAPK

(mitogen activated protein kinase) (Ji et al.2008; Lakhan et al.2012).


25

Setelah 5-6 hari, kadar MMP-9 akan menurun digantikan dengan

peningkatan kadar MMP-2. Meningkatnya kadar MMP-2 menandai dimulainya

fase lanjut daripada nyeri neuropatik. Penigkatan MMP-2 akan mengaktivasi

interleukin (IL)-1β dari bentuk pro interleukin (IL)-1β yang semula tidak aktif.

Tetapi, aktivasi interleukin (IL)-1β ini akan mengaktifkan MMP-2 secara langsung

akan dikeluarkan oleh sel astrosit dan secara autokrim (gambar 2). MMP-2 ini akan

mengaktivasi kerja dari pada astrosit tetapi astrosit juga dapat diaktivasi melalui

ERK (extracellular signal-regulated kinase). (Ren K & Dubner R 2008; Ji et

al.2008; Lakhan et al.2012).

Aktivasi astrosit (ditandai dengan meningkatnya marker dari astrosit GFAP

dan S-100) dapat muncul dalam keadaan level puncak pada fase lanjut (Ji et

al.2008; Lakhan et al.2012). Astrosit di medulla spinalis memproduksi molekul

seperti phophorylated c-Jun N-terminal kinase (pJNK), basic fibroblast growth

factor (bFGF) (Ji et al.2008; Lakhan et al.2012).


26

Gambar 2.4.3. MMP di DRG model ligase saraf lumbal (Lakhan et al.2012)

Akibat meningkatnya astrosit ini sebenarnya sama dengan akibat

meningkatnya sel mikroglial. Percobaan yang memberikan astrosit inhibiotor

seperti alpha aminoadipate dan JNK inhibitor dapat sangat efektif menurunkan

nyeri neuropatik difase lanjut. Inhibisi pada jalur pERK juga menunjukkan

penghambatan pada fase awal atau lanjut dari nyeri neuropatik yang dapat sangat

berguna untuk mengurangi nyeri neuropatik (Ji et al.2008; Lakhan et al.2012).

Aktivasi mikroglia memegang peranan penting untuk terciptanya nyeri

neuropatik di fase awal dan peran astrosit pada fase lanjut. Dari keterangan tadi
27

terlihat bahwa yang menyebabkan terjadinya nyeri neuropatik melalui

hipereksitabilitas (hipersensitiasi) sel saraf adalah IL-1β, MMP-9 pada fase awal,

MMP-2 pada fase akhir dan terakhir adalah sel mikroglia dan astrosit. (Ji et

al.2008; Lakhan et al.2012)

Dari keseluruhan teori tadi maka dapat disimpulkan bahwa luka operasi

yang disebabkan akan menyebabkan peningkatan kadar MMP-9 dan MMP-2 baik

di perifer (tempat sayatan). Hal ini berdasarkan banyak percobaan yang melakukan

“injury” pada jaringan saraf dalam hal ini saraf lumbal tikus. Kesemua percobaan

menghasilkan hasil yang seragam yaitu peningkatan MMP-9, MMP-2, mikroglia

dan astrosit ditempat saraf yang diberikan “injury” tadi. Sehingga dalam hal ini

dapat disimpulkan MMP-9, MMP-2, mikroglia dan astrosit dapat ditemukan

dijaringan perifer. Walaupun pada operasi SC tidak dilaukan “injury” pada saraf

lumbal pasien tetapi, MMP-9, MMP-2 dapat ditemukan meningkat di ganglion atau

DRG. Hal ini sejalan dengan sumber yang menyebutkan bahwa inflamasi yang

muncul di bagian wajah (orofacial) menyebabkan peningkatan sel glia dalam hal

ini astrosit di ganglion trigeminal (Ren K & Dubner R 2008). Sehingga luka operasi

SC di daerah perut bagian bawah akan menyebabkan peningkatan sel glia di medula

spinalis dalam hal ini DRG juga.

2.5 Metode penilaian nyeri

Pengobatan nyeri didasarkan oleh seberapa berat nyeri tersebut. Berat

ringannya nyeri tergantung dari alat ukur yang dipakai. Secara universal alat ukur

nyeri dapat menggunakan angka (numeric rating scale), kata-kata (verbal rating
28

scale), wajah (wong backer faces scale), dan garis lurus (visual analoug scale).

Modifikasi dari alat ukur diatas banyak telah dibuat berupa pertanyaan-pertanyaan

yang menggambnarkan nyeri. Dalam tulisan ini yang dibahas adalah nyeri kronik

dalanm bentuk neuropatik. Untuk nyeri neuropatik sendiri ada beberapa modifikasi

alat ukur yang dipakai seperti Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and

Signs (LANSS) Pain Scale, Douleur neuropathique 4 questions (DN4) (Eckell FD

et al. 2015), PainDETECT dan masih ada yang lain dengan sensitfitas dan spesifitas

yang berbeda beda. Berikut beberapa metode yang dipakai dalam pengukuran nyeri.

1. Numeric rating scale (NRS)

Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana

pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka

0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 5 atau

10 menunjukkan nyeri yang sedang sampai hebat (Breivik H el al 2008)

2. Verbal rating scale

Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala

lima poin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat (Breivik H el al 2008).

3. Wong backer faces scale

Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai

dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien

dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang

kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat

(Breivik H el al 2008).
29

4. Visual analogue scale (VAS)

Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang

merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak

ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk

membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan.

Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh

penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah

direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS

juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya mudah

hanya menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan.

Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan

menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling baik dalam menilai derajat

nyeri. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan

digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia.Nilai VAS > 4 dianggap nyeri

sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu

diberikan obat analgetik penyelamat (analgetic rescue) (Breivik H el al 2008)

5. Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and Signs (LANSS) Pain Scale

Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and Signs (LANSS) Pain Scale

adalah adalah alat yang bertujuan membedakan nyeri neuropatik dari nyeri non-

neuropatik. Alat ini membutuhkan waktu 30 menit untuk diterapkan dan didasarkan

pada analisis deskripsi sensitivitas dan evaluasi defisit sensoris. Lima kelompok

gejala dipertimbangkan, yaitu dysesthesia, allodynia, nyeri paroxysmal, perubahan

otonom dan sensasi terbakar di tempat yang menyakitkan. Berkenaan dengan


30

evaluasi fisik, dua item dipertimbangkan: allodynia dan perubahan ambang nyeri

pada penusukan jarum. Area kontralateral tempat nyeri disebut digunakan sebagai

kontrol. Jawaban untuk kuesioner ini adalah biner dan merujuk pada rasa sakit yang

dirasakan pada minggu terakhir. Skor bervariasi dari nol hingga 24, karena skor di

bawah 12 menunjukkan bahwa tidak mungkin nyeri berasal dari neuropatik (Eckell

FD et al. 2015). Di sisi lain, skor yang sama dengan atau di atas 12 berarti bahwa

mekanisme neuropatik akan terlibat dalam rasa sakit pasien. Alat ini terdiri dari

beberapa pertanyaan yang mencakup mengenai sensitivitas dan evaluasi gangguan

sensorik. Lima grup gejala yang dievaluasi dalam alat ini terdiri dari dystesia,

allodinia, nyeri paroksismal, perubahan autonomik, dan sensasi terbakar di tempat

nyeri. Secara statistic LANS memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 80%

(Bennett M, 2001).

6. DN4

Douleur neuropathique 4 questionare (DN4) salah satu alat yang dapat

digunakan untuk menilai nyeri neuropatik. Alat ini terdiri dari 7 pertanyaan yang

tekait dengan gejala dan 3 yang lain terkait dengan evaluasi fisik. Setiap item diberi

skor 1 jika jawabannya positif dan nol jika negatif, mengarah ke skor minimum nol

dan maksimum 10. Poin cut off adalah empat, karena skor yang sama dengan atau

lebih dari 4 menunjukkan nyeri neuropatik ) (Eckell FD et al. 2015). DN4 memiliki

sensitivitas 83% dan spesifisitas 90% dibandingkan dengan diagnosis medis

(Bouhassira D et al. 2005)

7. PainDETECT atau Pain Detect Questionnaire (PD-Q)


31

Ini merupakan alat yang sederhana, berguna dan dapat dilakukan sendiri

oleh tenaga medis yang sudah dilatih. Alat ini memiliki sensitivitas 85%,

spesifisitas 80% (Freynhagen R et al. 2006). Alat ini terdiri dari pertanyaan yang

terkait dengan intensitas nyeri, dan perjalanan nyeri, di samping kehadiran dan

keparahan yang dirasakan dalam tujuh gejala nyeri neuropatik. Untuk tujuan

diagnostik, skor total dihitung bervariasi antara nol dan 38 berdasarkan jawaban

pasien. Ketika skor total di atas 18, ini berarti bahwa kemungkinan komponen nyeri

neuropatik, sementara skor di bawah 13 tidak menunjukkan bahwa nyeri neuropatik

(Eckell FD et al. 2015)

2.6. Hipotesis

Kadar MMP-9 dan MMP-2 memiliki hubungan dengan keajdian nyeri

neuropatik pada pasien pascaoperasi sesar.

2.7. Kerangka Konsep

MMP 9

Nyeri neuropatik

MMP2

Variabel bebas

Variabel tergantung

Gambar 2.7 Kerangka konsep


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan penelitian

Rancangan penelitian ini merupakan penelitian experimental terbuka dengan

mengamati nilai MMP-9, MMP-2, IL-1β, Neutrofil, Limfosit, Natrium, Kalsium,

Magnesium pada waktu 24 jam sebelum operasi, 24 jam, 72 jam, 168 jam pasca

operasi serta 3 bulan pascaoperasi.

3.2 Tempat dan waktu penelitian

a. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini akan dilaksanakan setelah disetujui

Komite Etik Universitas Sumatera Utara. Pemeriksaan kadar kadar MMP-9

serum dan kadar MMP-2 serum dilakukan di laboratorium Patologi Klinik

RSUP H. Adam Malik Medan.

b. Waktu penelitian akan dilaksanakan setelah mendapat ijin dari komite etik

fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.3 Subjek penelitian

Subjek penelitian diambil dari populasi pasien ibu hamil yang akan dan telah

dilakukan operasi sesar di di Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara.

32
33

3.3.1 Populasi sasaran

Pasien ibu hamil yang akan dan telah dilakukan operasi sesar di Rumah

Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.3.2 Populasi terjangkau

Pasien ibu hamil yang akan dan telah dilakukan operasi sesar sesar di

Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.4 Perkiraan besar sampel

Perkiraan besar sampel menggunakan rumus perhitungan besar sampel

untuk rancangan penelitian kohort atau prospektif. Oleh karena penulis belum

menemukan penelitian yang secara langsung menilai kadar MMP-9 dan MMP-2

dengan nyeri neuropatik menggunakan PAIN DETECT tool skoring, maka peneliti

mengambil contoh sampel dari penelitian Pinta P 2018


2
𝑍𝛼 + 𝑍𝛽
𝑛= [ ] +3
1+𝑟
0,5 𝑙𝑛 1 − 𝑟

n = Besar sampel yang dibutuhkan

Zα = Kesalahan tipe 1, detetapkan 5%, hipotesis satu arah, sehingga Zα = 1,64

Zβ = Kesalahan tipe 2, ditetapkan sebesar 10%, sehingga Zβ = 1,28

r =0,6. Koefesien korelasi minimal antaera nilai MMP dengan pain

DETECT tool. diambil dari penemlitian Pinta P 2018


2
1,64 + 1,28
𝑛= [ ] +3
1 + 0,6
0,5 𝑙𝑛 1 − 0,6
34

2
2,92
𝑛= [ ] +3
0,5 𝑥1,386

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus besar sample diatas maka diperoleh

besar sanmpel 20,89 atau dibulatkan menjadi 21 pasien.

3.5 Kriteria inklusi dan eksklusi

3.5.1 Kriteria inklusi

Semua pasien hamil physical status ASA 2 yang akan dilakukan tindakan

operasi sesar di Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara.

1. Usia 20-40 tahun.

2. Memberikan persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian dan

menandatangani formulir persetujuan.

3.5.2 Kriteria eksklusi

1. Pasien dengan riwayat operasi cesar sebelumnya

2. Pasien dengan riwayat operasi explorasi laparotomy sebelumnya

3.6 Variabel penelitian

3.6.1 Variabel independen

1. Kadar Matriks Metalloproteinase-9 (MMP-9)

2. Kadar matriks Metalloproteinase-2 (MMP-2)

3.6.2 Variabel dependen

Nyeri pascaopersi sesar


35

3.7 Definisi operasional

No Nama Variabel Definisi Cara Alat Nilai Normal/Acuan Skala ukur


Pengukuran Pengukuran
1 Physical status Menurut American Society of Anesthesia Wawancara Kuessioner Pasien tidak memiliki Nominal
ASA 2 physical status ASA 2 adalah suatu riwayat penyakit yang
kondisi Penyakit ringan hanya tanpa sedang diderita saat ini.
batasan fungsional substantif. Contohnya Dibuktikan oleh anamnesis
termasuk (tetapi tidak terbatas pada): dan pemeriksaan
perokok aktif, peminum alkohol sosial,
kehamilan, obesitas (30 <BMI <40), DM /
HTN yang dikendalikan dengan baik,
penyakit paru-paru ringan
2 Rentang Usia Menurut WHO: Wawancara Kuessioner Menurut BKKBN usia Ordinal
(World Health 1. 0-21 tahun (Anak-anak/Remaja) (dibuktikan diatas 20 tahan adalah usia
Organization 2. 22-44 tahun (Dewasa) lewat kartu produktif dan usia diatas 35
1982; Ahmad et 3. 45-65 tahun (Dewasa Lanjut) identitas tahun kesuburuan mulai
al. 2001) 4. >65 tahun (Lansia) yang menurun.
berlaku)
6 Matrix Protein yang berguna untuk memicu Pemeriksaa Pemeriksaa Data belum tersedia1. Rasio
Metaloproteina proses penghancuran matriks n darah n darah
se 9 (MMP9) ekstraseluler, proses pro apoptoisis (ELISA)
(National Center for Biotechnology
Information 2017a; National Center for
Biotechnology Information 2017b;
GeneCards 2017).

1
Belum ditemukan data pengukuran kadar normal
36

7 Matrix Protein yang berguna untuk memicu Pemeriksaa Pemeriksaa Data belum tersedia2. Rasio
Metaloproteina proses penghancuran matriks n darah n darah
se 2 (MMP-2) ekstraseluler, proses pro apoptoisis (ELISA)
(National Center for Biotechnology
Information 2017a; National Center for
Biotechnology Information 2017b;
GeneCards 2017).
8 SC (secsio Suatu metode melahirkan bayi dengan Wawancara Kuesioner Bekas operasi diaerah perut Nominal
Cesaria) teknik operasi dengan melakukan sayatan bagian bawah
di utrerus (U.S. Department of health and
Human Services, 2017)

2
Belum ditemukan data pengukuran kadar normal
3.8 Pelaksanaan penelitian

Setelah memperoleh persetujuan dari Komite Etik Penelitian Bidang

Kesehatan FK-USU, maka penelitian dapat dilakukan dengan prosedur sebagai

berikut :

1. Pemilihan laboratorium Patologi Klinik RS H. Adam Malik Medan

2. Persetujuan komite etik penelitian bidang kesehatan FKUSU

3. Identifikasi subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

4. Pengambilan Informed consent persetujuan calon subjek penelitian

5. Pengambilan, penyimpanan dan persiapan sampel darah

a. Pemeriksaan MMP-9 secara kuantitatif sebelum 24 jam sebekum

operasi, 24, 72, 168 jam pascaoperasi serta 3 bulan pascaoperasi.

Menggunakan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

dengan reagen Human MMP-9©Qayee-Bio kit

b. Pemeriksaan MMP-2 secara kuantitatif sebelum 24 jam sebekum

operasi, 24, 72, 168 jam pascaoperasi serta 3 bulan pascaoperasi.

Menggunakan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

dengan reagen Human MMP-2©Qayee-Bio kit

37
38

3.9 Alur Kerja

Populasi
Inklusi Eksklusi

Sampel

24 jam sebelum operasi: Cek kadar MMP-9, MMP-2, IL-1β, Neutrofil, Limfosit,
Natrium, Kalsium, Magnesium

Operasi SC

24 jam pascaoperasi: Cek kadar MMP-9, MMP-2, IL-1β, Neutrofil,


Limfosit, Natrium, Kalsium, Magnesium

72 jam (hari ke 3) pascaoperasi: Cek kadar MMP-9, MMP-2, IL-1β,


Neutrofil, Limfosit, Natrium, Kalsium, Magnesium

168 jam pascaoperasi (hari ke 7): Cek kadar MMP-9, MMP-2, IL-1β,
Neutrofil, Limfosit, Natrium, Kalsium, Magnesium

4 bulan pascaoperasi sesar pasien akan diwawancarai mengenai nyeri pascaoperasi


mengunakan PAIN DETECT TOOL

Analisa data

Gambar 3.9. Alur kerja


39

3.10 Analisa Statistik

Pengolahan data dilakukan dengan menganalisa data yang telah di ambil. Data

yang dikumpulkan ditabulasi dalam bentuk distribusi frekuensi. Pengolahan data

adalah suatu proses dalam memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan dengan

menggunakan cara-cara tertentu (Wahyuni 2008), yaitu :

1) Editing : Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data.


2) Coding : Data yang telah dikumpul dan dikoreksikan ketepatan dan
kelengkapannya kemudian diberi kode secara manual sebelum diolah dengan
komputer.
3) Entri
Data dibersihkan kemudian dimasukkan ke program komputer.
4) Cleaning data
Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam program
komputer guna menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data.
5) Saving
Penyimpanan data untuk siap dianalisa.
Data yang diambil selanjutnya akan dianalisis menggunakan aplikasi

statistik, yaitu SPSS. Data akan dianalisa melalui metode uji ANOVA, dimana

didapatkan kelompok paling berhubungan diantara variable-variabel independen

dan dependen yang diuji.

Hasil yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.

Karakteristik subjek penelitian akan disajikan dalam bentuk statistik deskriptif.

Anda mungkin juga menyukai