Anda di halaman 1dari 15

Bab 2

Pengujian Sebelum Operasi (Pra-Operatif): Tantangan


Etik, Pengobatan berbasis bukti dan persetujuan (infomed
consent)

Gail A. Van Norman

Abstrak pengujian medik pra-operatif untuk pembiusan dan operasi merupakan tantangan
etik. Bukti medis menunjukkan bahwa sebagian besar pengujian pre-operatif tidak penting
dan kemungkinan dapat berbahaya bagi pasien, melukai prinsip etik untuk tidak
mencelakakan (non-maleficence). Ketika pengujian pra-operatif selesai dilakukan,
keuntungan yang telah diantisipasi dan kemungkinan bahaya harus diungkapkan kepada
pasien, seperti halnya dengan keputusan medis. Pengujian tertentu, seperti pengujian
kehamilan dan HIV (Human Immunodeficiency Virus) memerlukan perawatan khusus dalam
proses persetujuan (informed consent) dari pasien, karena kemungkinan pasien dapat
terpengaruh oleh hak hukum eksplisit pasien. Ketika pasien menolak pengujian pra-operatif,
dokter harus menghormati keputusan pasien jika tidak hal tersebut akan menyebabkan
perawatan yang aneh, sia-sia atau jauh di bawah standar profesional yang dipublikasikan.
Kata kunci Etik • pengujian praoperatif • Pengobatan berbasis bukti •

Presentasi Kasus
Seorang wanita berusia 71 tahun mengunjungi klinik pra-opeartif obat bius (anastesi) untuk
evaluasi pra-operatif untuk suatu artroplasti panggul total elektif untuk kondisi nekrosis
avaskuler panggul. Sejarah kesehatannya menunjukkan tidak ada sejarah penyakit serius
hanya mengenai sejarah panjang merokok. Ahli bedah ortopedi meminta hasil pengujian
skrining pra-operatif termasuk diantaranya jumlah hitung sel darah lengkap, skrining
koagulasi, kimia dasar, dan elektrokardiogram.

Pendahuluan
Etika pengujian medis seperti pengujian genetik, skrining pra-kelahiran (prenatal) dan
pengujian hubungan ayah-anak (paternal) didiskusin secara luas dalam literratur. Namun
implementasi etik untuk pengujian “rutin” yang lebih banyak, termasuk pengujian pra-
operatif rutin, telah lama dipelajari oleh anesteologis dan ahli bedah. Hal ini dapat terjadi
dikarenakan kesalahpahaman bahwa pengujian rutin penting dilakukan untuk mendukung
praktik medis terbaik dan kesejahteraan pasien, tidak mahal, dan hanya sedikit efek negatif
yang dimiliki jika ada. Meskipun disana terdapat banyak literatur dan petunjuk profesional
untuk menyetir pengujian pra-operatif berbasis bukti, studi menunjukkan bahwa
anestesiologis dan ahli bedah secara rutin mengabaikan informasi ini [1]. Tidak hanya
dilandasi dari sisi ilmu pengetahuan alam dan medis, juga menaikkan permasalahan etik.
Dokter secara umum meminta pengujian pra-operatif bermaksud untuk menguntungkan
pasien dengan perawatan peri-operatif terarah dengan lebih tepat (prinsip keuntungan), atau
untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan yang dapat diperbaiki sebelum
dilakukan operasi, sehingga menghindadi resiko yang tidak diinginkan (prinsip untuk tidak
mencelakakan). Pada beberapa kasus, doktermenguji kepercayaan yang salah bahwa mereka
kemungkinan protektif secara hukum medis (medico-legally protective) (“pengobatan
defensif”) atau untuk mencegah penundaan ruang operasi “yang tidak penting” [2]. Strategi
ini adalah sesuatu yang mengejar keinginan pribadi dari menjadi dokter, dan tidak
memperhatikan ketertarikan/ keinginan dari pasien terlebih dahulu. Tenyata, pengeluaran
(cost) berlebih dibebankan pada pasien, penjamin (insurer) dan masyarakat [3]. Dan
pengujian seperti ini secara umum tidak mengurangi dan, jika diikuti dengan tidak cukup
baik, seringkali menambah resiko legalitas hukum dokter [4], dan meningkatkan resiko medis
pasien.
Prinsip etika pengobatan termasuk di dalamnya menghormati otonomi, keuntungan
(mendukung kebaikan), tidak mencelakakan (menghindari bahaya) dari pasien. Perawatan
etika pasien memerlukan kewajiban moral untuk mempertimbangkan apakah aksi kita sesuai
dengan masing-masing prinsip diatas.
Pada bab ini, kita akan mempertimbangkan prinsip pengobatan dan etik secara umum
dari pengujian peri-operatif, menguji contoh yang praktik umum yang secara rutin merusak
prinsip etika, dan mendiskusikan pengujian pre-operatif yang memiliki implikasi etika
spesial – pengujian kehamilan pre-operatif yang wajib dilakukan dan pengujian HIV dan
hepatitis.

Pengujian“skrining” versus pengujian “tertarget”


Pengujian “rutin” atau “skrining” berbeda dari pengujian “tertarget” pada
keseimbangan dari resiko dan keuntungan, sehingga mereka jjuga membedakan beban etika.
Pengujian pra-operatif adalah yang dilakukan pada semua atau setidaknya sebagian besar
pasien dan tidak secara langsung diarahkan oleh pertimbagan pasien sendiri. Hingga baru-
baru ini, misalnya, merupakan praktik yang umum untuk melakukan elektrokardiogram
(EKG) pra-operatif pada semua pasien diatas usia 50 tahun bagaimanapun keberadaan atau
ketidak-adaan morbiditas kardiovaskuler yang diketahui. Seperti EKG seringkali dibenarkan
oleh para anestesiologis sebagai alat bantu untuk mendiagnosa infraks miokardial perioperatif
dengan menyediakan perbandingan dasar sebelum dan sesudah terjadinya sesuatu yang
mencurigakan. Namun sebagaimana yang akan kita lihat, dasar (baseline) EKG tidak banyak
membantu pengobatan perioperatif.
Pengujian skrining tidak mengevaluasi komplain spesifik pasien dan tidak diarahkan
pada resiko tertentu pada masing-masing individu dari baseline penyakit kardiovaskuler yang
tidak terdeteksi. Pengujian seperti ini diarahkan pada populasi umum yang memiliki
prevalensi lebih randah penyakit dibandingkan pasien dengan faktor resiko spesifik.
Prevalensi penyakit yang lebih rendah pada suatu populasi, maka kemungkinan hasil
pengujian menghasilkan hasil “positif dengan tidak sengaja atau falsely positive atau “negatif
dengan tidak sengaja atau “falsely negative”. Bergantung pada sensitivitas dan spesifisitas
pengujian, suatu hasil “paradoks positif dengan tidak sengaja” dapat terjadi pada populasi
dengan prevalensi penyakit yang rendah, dimana jumlah pengujian positif yang keliru dari
pengujian yang benar (Tabel 2.1a).

Tabel 2.1 Paradoks Positif dangan tidak sengaja (falsely positive); pengujian pada populasi
dengan prevalensi penyakit rendah menyebabkan terjadinya hasil “false positive” yang lebih
besar dibandngkan hasil “true positive”.
Kondisi yang dikenal sebagai “Mysterious Anesthesia Reaction” atau MAR berasosiasi dengan resiko signifikan
terjadinya komplikasi setelah pertemuan dengan seorang anestesiologis. Kondisi mempengaruhi 0,5% dari
keseluruhan populasi. Pengujian memiliki laju false positive 5%, dan false negative 0%. Direktur klinik pra-
operasi menentukan bahwa semua pasien harus diuji pra-operatif untuk kondisi tersebut. Pengujian bernilai $20,
anda menguji pada 5000 pasien pertama:
(b) Pengujian pada populasi dengan prevalensi rendah
Jumlah orang yang diuji Jumlah orang dengan Jumlah orang tanpa Total
MAR MAR
Hasil pengujian positif (True positive) 25 (False positive) 250 275
Hasil pengujian negatif (False negative) 0 (True negative) 4725 4725
Total 25 4975 5000
Total pengeluaran: $ 100.000,00
Pengeluaran untuk mendeteksi suatu hasil true positive (pengeluaran yang sesunggahnya untuk menghindari
komplikasi): $ 4000,00
Jumlah orang yang dilabeli sebagai positif: 275 atau 15x jumlah sesungguhnya dari hasil sesungguhnya, 250
dari 5000 orang akan diberi label dengan salah karena mengalami kondisi ini.
(lanjutan)
Ternyata MAR hanya terjadi pada “orang berambut merah” secara alamiah, yang merepresentasikan 2%
populasi klinik. MAR terjadi pada 10% orang berambut merah. Sehingga kamu menentukan akpah hanya akan
menguji pada orang berambut merah saja. Pada 5000 evaluasi pra-operasi, jumlahnya seperti ini:
(b) Pengujian pada populasi dengan prevalensi rendah
Jumlah orang yang diuji Jumlah orang dengan Jumlah orang tanpa Total
MAR MAR
Hasil pengujian positif (True positive) 10 (False positive) 5 15
Hasil pengujian negatif (False negative) 0 (True negative) 85 85
Total 10 90 100 (2%
dari 5000)
Total pengeluaran: $ 2000,00
Pengeluaran untuk mendeteksi suatu hasil true positive: $ 200,00
Jumlah orang yang dilabeli sebagai positif: 15 atau 1,5x jumlah sesungguhnya dari hasil sesungguhnya, 5 dari
5000 orang akan diberi label dengan salah karena mengalami kondisi ini.
Nominal yang disimpan dari strategi pengujian B : $ 88.000,00
Reduksi absolut total pada pengujian false positive: 345

Pengujian “tertarget”, sebaliknya, mengevaluasi permasalahan spesifik pada pasien


tertentu yang beresiko. Kajian penggambaran miokardial (myocardial imaging) kemungkinan
dilakukan sebelum dilakukan operasi pada pasien dengan sejarah nyeri di dada yang
menunjukkan resiko terjadinya angina, misal. Pengujian tertarget memiliki probabilitas yang
lebih tinggi menghasilkan hasil true posiitve dibanding hasil true negative, akibat mereka
mengarahkan pasien dengan prevalensi penyakit yang lebih tinggi (Tabel 2.1 b).
Semua pengujian medis, baik pengujian skrining atau pengujian tertarget dapat
membawa resiko yang signifikan sehingga harus ditimbang terhadap kemungkinan pengujian
yang menunjukkan informasi yang nyata, relevan, dan penting. Lebih jauh lagi, tidak semua
pengujian medis sama secara etika. Beberapa seperti HIV dan pengujian kehamilan, dapat
mengenalkan resiko sosial yang serius dan menciptakan bahaya yang spesifik dan tidak
terelakkan yang tidak dimiliki pengujian lainnya.
Presentasi kasus, lanjutan
Anestesiologis pada klinik perioperatif mempelajari grafik sepanjang malam dan menemukan bahwa
aPTT pasien (activated partial thromboplastine time) adalah 56. Semua kajian koagulasi berada pada
batasan normal. Pasien tidak memiliki bukti faktor-faktor yang akan meningkatkan resiko pasien
mengalami pendarahan dan memanggil ahli bedah untuk memberitahukan hasil dari pasien. Ahli bedah
merespon bahwa pasien memerlukan pengambilan aPTT ulang pada area penanganan pre-operatif di pagi
hari. Hari selanjutnya, phlebotomist membuat 5 usaha sebelum memperoleh darah untuk pengujian ulang
aPTT. Darah membeku dalam perjalanan menuju lab, dan phlebotomist kembali pada pasien dan
mengulangi sebanyak 2 kali. Hasil pengulangan pengujian aPTT menunjukkan hasil 56. Operasi ditunda 2
hari, dan ahli bedah memutuskan meneruskan operasi sekalipun hasil lab abnormal kedua. Tanpa akses
vena perifer, anestesiologis memilih menempatkannya pada saluran pusat, meyebabkan terjadiya
pneumothorax yang besar dan memerlukan pengobatan hipotensi dan pemasangan tabung dada ((chest
tube).

Hasil false positive dan false negative dapat melabeli pasien memiliki kondisi yang
tidak dimiliki; atau memastikan dengan salah bahwa pasien tidak memiliki kondisi yang
sebenarnya mereka miliki. Pada kasus terbaru, pengujian lebih lanjut dan intervensi
kemungkinan dapat meningkatkan pembiayaan dan memungkinkan pasien mengalami
komplikasi pengujian, atau untuk pengobatan tidak penting dengan resiko yang lebih besar.
Hasil true positive mungkin secara klinis tidak terlalu signifikan namun dapat menuju
pengujian lebih jauh yang tidak diperlukan dengan resiko yang mengikutinya. Pengujian
lebih jauh selalu meningkatkan biaya - melalui biaya pengujian itu sendiri dan biaya
mengatasi komplikasi atau pengobatan yang mungkin dihasilkan. Pada kasus klinis kami,
pengujian lebih lanjut memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan pada akses intravena
periferal yang melelahkan, memerlukan prosedur yang lebih invasif yang kemudian beresiko
menimbulkan komplikasi lain yang berpotensi mengancam nyawa/hidup (life-threatening
complication).
Pengujian berlebihan sistematik meningkatkan pengeluaran anggaran kesehatan bagi
semua pasien yang telah dibebani dengan sistem perawatan kesehatan. Jenis pengeluaran ini
juga mengalihkan dana yang seharusnya dialokasikan pada aspek produktif perawatan medis
untuk perusahaan yang memiliki harapan kecil atau tidak punya harapan menjadi bermanfaat
bagi pasien ini atau pasien lain secara umum.

Peranan Pengujian Berbasis Bukti pada Perawatan etik Pasien:


Membahas Keseimbangan Resiko dan Manfaat
Prinsip etika medis meminta bahwa resiko pengujian pra-operatif (potensi
mencelakakan orang lain) ditimbang dibandingkan dengan kepentingan informasi yang
diterima (potensi manfaat). Praktik modern kedokteran sangat berakar pada kepercayaan
mengenai bukti saintifik: menggunakan data saintifik untuk memberitahukan pengobatan
pasien merupakan sesuatu yang membedakan praktik purba kala kedokteran dari sihir. Saat
ini, kita membicarakan mengenai berlatih “kedokteran berbasis bukti” atau “evidence-based
medicine” (EBM), dalam praktik berbasis bukti, pengalaman klinis tidak terpisahkan terkait
dengan ketelitian dan kegunaan eksplisit bukti medis terbaik yang tersedia ketika membuat
keputusan klinis. Pengalaman klinis nonsistematik (anekdotal) dan dugaan yang tidak teruji
adalah dasar yang tidak cukup untuk menentukan tindakan dokter pada semua namun kondisi
yang paling langkah – dan kemudian hanya jika terdapat bukti yang tidak kredibel. EBM
menekankan menghormati otonomi pasien, melalui permintaan bahwa pasien akan
diinformasikan mengenai resiko dan manfaat pengujian dan terapi yang diajukan. Persetujuan
dan pengenalan nilai pasien dan tujuan juga menekankan pada praktik EBM [5-7].
Bukti menunjukkan bahwa banyak praktik medis pada tempat umum tidak hanya tidak
membantu, namun sebenarnya menyebabkan bahaya yang serius. Contohnya termasuk
administrasi albumin untuk shock, yang sekarang diketahui meningkatkan kematian [8].
Skrining mamografi memperpanjang kehidupan 1 dari 2000 wanita selama lebih dari 10
tahun, namun menunjukkan suatu diagnosis yang salah tentang kanker dan institusi terapi
kanker pada 10 wanita dalam satu waktu, menyebabkan banyak pertanyaan timbul mengenai
rasio manfaat-resiko nya [9].
Terlepas dari bukti medis kuat mengenai bahaya, beberapa praktisi tidak ingin
melepaskan praktik jangka panjang [10]. Harapan pasien mengenai manfaat dan bahaya dari
pengujian skrining dan pengobatan seringkali tidak realistis, dan lebih jauh dapat mendorong
dokter untuk gegabah dalam mengarahkan mereka [11]. Keengganan untuk melepaskan
tradisi namun berpotensi sebagai praktik berbahaya yang kemungkinan memiliki akar
psikologis yang mendalam, menyebabkan beberapa mengusulkan tindakan legislatif untuk
memaksa dokter menggunakan bukti yang disajikan pada suatu studi/kajian [12]. Pergerakan
seperti kampanye “memilih dengan bijak” di amerika serikat memperoleh banyak dasar, dan,
“memilih dengan bijak” telah teridentifikasi pengujian pra-operatif yang tidak perlu sebagai
suatu area target untuk peningkatan praktik dalam anestesiologi dan ilmu bedah [13].
Ketika kita memahami bahwapengujian pra-operatif etik termasuk (1) mengidentifikasi
manfaat nyata bagi pasien dan (2) menyeimbangkannnya dengan bukti bahaya, (3)
menentukan pengujian mana yang memberikan informasi yang tidak hanya akurat namun
yang relevan secara klinis (misal, informasi yang akan menyebabkan optimisasi pra-operatif
yang efektif dan strategi mengurangi resiko peri-operatif), (4) menyediakan informasi bagi
pasien dalam proses persetujuan dan (5) mengejar kerjasama dengan pasien mengenai desain
strategi klinis untuk memaksimalkan potensi manfaat dan meminimalisir potensi bahaya yang
sesuai dengan nilai mereka, kita dapat menggambar rencana klinis lebih jelas dan memiliki
cost yang efektif untuk pengobatan peri-operatif.

Apakah Bukti Untuk Menjalankan Pengujian Skrining Pra-


Operatif?
Untuk menginformasikan dengan benar pasien kita mengenai pengujian pre-operatif
dan menentukan secara rasional apakah pengujian harus dilakukan, semua dokter yang
terlibat dalam pengobatan peri-operatif terpaksa secara etis untuk setidaknya memberikan
pengetahuan atas bukti mengenai pengujian yang mereka minta lakukan, dan untuk
menggunakan ilmu pengetahuan tersebut dengan cara yang rasional. Beruntungnya untuk
anestesiologi dan ahli bedah, pustaka mengenai pengujian Pra-operatif rutin sangat banyak
dan cukup konsisten. Sayangnya, kajian menunjukkan bahwa anestesiologis dan ahli bedah
seringkali tidak peduli pada bukti terkait ketidakbergunaan pengujian, dan/ atau dengan sadar
mengabaikan bukti di tangan. Beberapa kajian menunjukkan bahwa pada banyak kasus,
dokter bahkan tidak pernah memeriksa hasil pengujian yang mereka minta lakukan [14].

Elektrokardiogram
Pada tahun 199, Atkins dan Roizenm dalam suatu perdebatan pandangan mengenai
EBM, menyediakan suatu kasus yang kuat untuk merelakan satu dari pengujian skrining pra-
operatif yang paling dicintai: ECG [15]. ECG merupakan suatu pemeriksaan yang tidak
sensitif dan tidak spesifik yang memiliki peran cukup kecil dalam manajemen pra-operatif,
dan namun merupakan satu dari yang tersulit untuk dilepaskan oleh anestesiologis dan ahli
bedah. Pasien dengan ECG pra-operatif yang tidak normal memiliki resiko yang lebih besar
untuk mengalami kematian karena penyakit kardiovaskuler daripada orang dengan ECG
normal (1,8% vs 0,3%, rasio aneh 4,5). Meskipun hal itu muncul dengan perbedaan yang
cukup berarti, untuk resiko operasi rendah-hingga-intermediet, perbedaan absolut pada kasus
kematian akibat kondisi kardiovaskuler tidak signifikan secara klinis, dan nilai pengujian ini
sebagai suatu alat prediksi hasil negatif hampir nol [16]. Lebih jauh lagi, pengujian tidak
berpengaruh pada perubahan manajemen yang kemungkinan mencatat resiko mitigasi. Pada
populasi pra-operatif yang tidak dipilih, hampir sebagian dari semua ECG adalah tidak
normal. Revaskularisasi koroner sebelum operasi jantung saat ini berdasarkan pada
penemuan klinis dan terapi medis pasien terkini dan bukan ECG, dan jarang terindikasi pada
pasien asimptomatik [17]. Review pustaka yang komprehensif menemukan bahwa kekuatan
prediksi ECG pra-operatif adalah lemah pada kondisi terbaik, dan bahwa tidak terdapat bukti
yang mendukung keberadaan suatu ECG yang tidak normal, namun tidak memperkirakan
faktor resiko yang mudah dimodifikasi untuk pasien bedah. Pada satu kajian, 1149 ECG yang
direview, hanya 0,44% pasien tanpa faktor resiko klinis memiliki abnormalitas pada ECGnya,
tidak terkait dengan usia [19]. Pada pasien dengan usia di atas 70 tahun, diatas 75% memiliki
abnormalitas pada ECG pra-operatif, namun abnormalitas ini tidak dengan leluasa
memprediksi komplikasi kardiak post-operatif ketika stratifikasi resiko klinis yang lain
selesai dilakukan seperti status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) dan indeks
resiko jantung American Heart Association (AHA) [20]. Kekuatan prediksi ECG abnormal
untuk kasus kardiovaskular peri-operatif sedikit lebih besar bagi pasien dengan faktor resiko
kardiovaskular dibandingkan dengan pasien yang tidak memilikinya, namun perbedaannya
tidak signifikan secara statistik. Ternyata, pada salah satu studi ECG normal memiliki nilai
prediktif yang sama untuk kejadian serupa [21]. Menurut petunjuk AHA, ECG pra-operatif
tidak terindikasi padaorang dengan asimptomatik (tanpa gejala) pada berbagai usia yang
mengikuti prosedur beresiko rendah [22]. ASA Task Force pada evaluasi pre-anasthesia
menemukan tidak ada bukti kuat untuk pengujian ECG rutin hanya untuk indikasi umur,
namun merekomendasikan pengujian yang mungkin dilakukan untuk orang-orang yang
beresiko akibat penyakit yang medasarinya atau akibat temuan klinis pada kunjungan pra-
operatifnya [23].
Beban total bahaya skrining ECG tidak diketahui, namun pada beberapa pasien dengan
temuan abnormal dengan salah atau temuan abnormal yang tidak signifikan secara klinis,
pengujian tambahan seringkali dilakukan dengan pengeluaran ekonomi attendant dan resiko
medis. Bagaimana kita dapat berargumentasi secara etik atau medis bahwa ECG harus
diarahkan dengan rutin pada pasien beresiko rendah hingga intermediet ketika (1) tidak ada
bukti bahwa sebagian besar pasien memperoleh manfaat, (2) tidak terdapat bukti bahwa
pengobatan berubah, dan (3) terdapat bukti setidaknya dari sisi ekonomi bahwa baik pasien
secara individu maupun secara kolektif menderita bahaya/ celaka.

Elektrolit
Pustaka atau referensi terbaru pada skrining pra-operatif rutin dari elektrolit serum
sedikit namun hasil sejalan dengan hasil pengujian ECG.
Pada suatu studi, tidak hanya bahwa insiden penemuan yang tidak normal pada
pengujian kimia rendah, namun juga tidak ada pasien dengan modifiasi manajemen anestesi
sebagai hasil dari suatu pengujian [24]. Pada review sistematik yang lain, biokimia pra-
operatif rutin menemukan level sodium atau potasium yang tidak normal yaitu 1,4% pada
waktu tersebut dan level kreatinin tidak normal hingg 2,5% dari pasien, namun manajemen
klinis jarang termodifikasi [18]. Survey studi dari National Health Service di Inggris gagal
untuk mengidentifikasi bukti lain mengenai keefektifan suatu pengujian [25]. Lebih jauh lagi,
beberapa studi mendemonstrasikan bahwa hipoklaemia kronis tidak berkaitan dengan
peningkatan resiko aritmia perioperatif pada pasien operasi non-kardiak [26, 27]. Fritsch et
al. Menemukan bahwa elektrolit tidak normal terjadi pada sekitar 1,6% pasien denga pra-
operatif, namun bukan prediktor dari komplikasi perioperatif [28]. Johnson dan Mortimer
melaporkan bahwa manajemen pra-operatif tekah diubah akibat hanya 0,2% dari hasil pada
100 pasien. Tidak ada komplikasi yang meingkat yang disebabkan oleh hasil pengujian [29].

Jumlah Hitung Darah Total


Pada suatu review mengenai pengujian jumlah hitung darah lengkap pra-operatif pada
pasien asimptomatik, level tidak normal dari hematokrit (HCT) atau hemoglobin (Hgb)
ditemukan sekitar 5%, namun Hgb sangat jarang di bawah 9%, diatas ambang batas yang
direkomendasikan terkini untuk transfusi. Temuan CBC menyebabkan perubahan manajeman
pada 0,1-2% pasien. Jumlah hitung platelet rendah yang tidak terduga cukup jarang (<1%)
dan jarang memiliki hasil pada perubahan manajemen [18]. Studi lain pengujian preoperatif
rutin menemukan bahwa 60% tidak memiliki indikasi dan hanya 0,22% ditemukan
abnormalitas yang mungkin dapat mengubah manajemen perioperatif. Bagaimanapun,
abnormalitas tersebut tidak pernah mempengaruhi dan tidak menyebabkan komplikasi.

Skrining Koagulasi
Pengujian pra-operatif rutin parameter koagulasi pada pasien asimptomatik dalam suatu
usaha untuk memprediksi pendarahan intra- dan post- operatif dipelajari dengan baik. Untuk
pasien yang mengalami operasi non-kardiak yang tidak memiliki sejarah atau temuan fisik
sugestif dari peningkatan resiko pendarahan (tabel 2.2). pengujian pre-operatif tidak
mengidentifikasinya pada peningkatan resiko, cukup mahal dan mengekspos pasien pada
resiko pengujian lebih lanjut yang tidak penting.
Banyak kajian yang melibatkan orang dewasa dan anak-anak mengalami resiko rendah
operasi rawat jalan, operasi umum besar, operasi ortopedik besar, operasi saraf besar, operasi
tulang belakang, prosedur endoskopik dan prosedur telinga, hidung dan tenggorokan (THT)
mendemonstrasikan bahwa skrining koagulasi tidak memprediksi resiko pendarahan dan
sejarah pasien setidaknya dapat memprediksi dengan efektif pendarahan perioperal [31-37].
ASA Task Force pada evaluasi pra-anesthesia tidak merekomendasikan skrining koagulasi
rutin.
Pada skenario kamu, penyebab paling umum adalah dari elevasi suatu PTT (setelah tidak
ditentukan adalah antibodi anti-lups. Antibodi ini adalah prokoagulan dan berasosiasi dengan
percepatan pembekuan, bukan pendarahan abnormal. Pada seri besar pasien dengan temuan
yang mengalami operasi hebat, terdapat dua komplikasi kecil (bisa hematoma), baik re-
eksplorasi. Sehingga pada pengujian yang lebih jauh, trauma fisik dan komplikasi bagi pasien
dengan presentasi kasus yang sangat tidak perlu.

Tabel 2.2. Faktor yang mengidentifikasi resiko peningkatan pendarahan peri-operatif.


Pasien umumnya beresiko mengalami peningkatan pendarahan yang diatur dengan menjawab pertanyaan di
bawah ini;.ketidakadaan respon positi untuk setidaknya satu pertanyaan di bawah ini, pasien dipertimbangkan
resiko rendah pendarahan.
1. Apakah anda memiliki gangguan pendarahan yang didiagnosa?
2. Apakah ada anggota keluarga yang didiagnosa gangguan pendarahan yang didiagnosa.
3. Apakah jamu berdarah atau memar dengan mudah (misal memar dengan trauma sedikit atau tanpa
trauma, pendarahan dari gusi 5 menit sebelum berhenti menggosok gigi, sejarah transfusi untuk trauma
kecil atau operasi, menstruasi yang sangat berat hingga memerlukan intervensi, pendarahan hebat
setelah operasi awal atau melahirkan normal (vaginal delivery)
4. Apakah anda mengambil pengobatan pengurus darah seperti coumadin, lovenox,heparin, plavix atau
pradaxa.
5. Apakah kamu memiliki kondisi medis yang cenderung mempengaruhi pendarahan seperti penyakit
hati atau ginjal advanced?

Pengujian Medis dengan signifiknsi Etik Spesial


Banyak pengujian darah memilki implikasi sosial sidikit. Nmaun sementara efek
negatif dari sebagian besar pengujian darah yang tidak terlalu penting kemungkinan terbatas
pada biaya, ketidaknyamanan pasien, dan resiko bahwa mereka akan menuju pengujian lebih
jauh, pembiayaan dan potensi komplikasi, beberapa tes membawa permasalahan sosial yang
serius bagi pasien – hingga dan termasuk keamanannya. Misalnya pengujian seperti HIV,
hepatitis, dan pengujian kehamilan wajib.

HIV dan Hepatitis


Pengujian skrining keberadaan infeksi HIV dan hepatitis kemungkinan masi dapat
diberikan saran khususnya mengenai populasi pasien yang terbaats. Misalnya, skrining
kehamilan wanita kemungkinan menambah probabilitas bahwa bayi yang lahir dari seorang
ibu penderita HIV-positive dan memberikan terapi awal san menghindari infeksi HIV kronis.
Namun skrining dalam populasi pra-operatif rutin sangat tidak mungkin untuk dibenarkan.
Telah ditunjukkan bahwa insiden temuan positif pada skrining pra-operatf rutin untuk
HIV dan Hepatitis B dan C diawal perasi ortopedik elektif rendah (0,4% dari populasi besae).
Weber dan rekannya menyimpulkan bahwa pengeluaran pengujian tidak di jamin dengan
hasil. Prevalensi hepatitis C pada pasien operasi ortopedik elektif hampir mencapai 0.6%.
prevalensi yang serupa dengan untuk hepatitis B dan C (0,41%) ditemukan pada suatu
populasi operasi ortopedik elektif dengan abnormalitas prevalensi yang tinggi dari pengujian
fungsi hari (LFT)(13%). Penyebab yang paling umum akibat peningkatan transaamino sejauh
ini steatohepatitis non akhoholik dab bukan agen infeksius.
Prevalensi infeksi HIV asimptomatik pada pasien operasi orthopedik elektif telah
menunjukan hasil yang rendah (0,15%) dan pengujian pada populasi prevalensi-kecil
berasosiasi dengan laju yang sama false positive pada nyata dibandingkan dengan pengujian
positif nyata (0,11% vs 0,14%). Sehingga masing-masing pasien teridentifikasi dengan benar
terdeteksi dengan benar sebagai HIV positif dan tidak akan labeli, satu akan diberi label
denga salah besok.
Terdapat 2 pendapat mengenai pembawaan pengujian rutin untuk agen infeksius pada
periode perioperatif. Yang pertama apakah pasien menderita dari penyakit yang
meningkatkan sebagian resiko pada periode peri-operatif. Bagaimananapun, pasien HIV dan
hepatitis asimptomatik tidak meningkatkan resiko secara substansial terhadap komplikasi
perioperatif selama selama operasi dan anestesia eletif. Kedua bahwa cedera provider selama
pengobatan operasi pasien dengan agen infeksi kemungkinan dapat mengekspos provider
untuk meningkatkan resiko, intervensi awal setelah terjadinya luka. Namun intervensi
postanesthesia care unit (PACU) tidaklah penting padatahapan awal setelah hollow needle
stick atau eksposure terhadap patogen blood borne dalam ruangan operasi.
Beberapa provider penting kemungkinan akan meminta dilakukan pengujian sehingga
mereka dapat mengidentifikasi pasien positif dan menujukkan mereka “peringatan extra”.
Bagaimanapun kepercayaan ini melandasi ketidakpahaman penyakit infeksi, pengujian
antibodi negatif yang benar dapat terjadi pasar.yang tidak memiliki infeksi, dan juga terjadi
pada siapapun yang mengalami tahapan awal dan belum memilki antibodi yang
dikeambangkan yang mengubah test positive. Kedua hasil uji adalah true negative dan
dengan tepat mengidentifikasi pasien tanpa antibodi. Namun tahapan awal infeksi sebelum
perkembangan antibodi, muatan viral (viral load) seringkali pada kondisi terbaik dan pasien
yang paling infeksius. Sehingga center of Disease Control (CDC) merekomendasikan
“peringatan universal” dibandingkan dengan peringatan saja yang diarahkan pada pasien cara
yang efektif.
Pengujian HIV dan hepatitis tanpa sadar kemungkinan menyakiti hak pribadi pasien,
tidak benar, dan kemungkinan menyebabkan pengeluaran (cost) tidak penting yang lebih
jauh dan menekan pada pasien ketika provider intraoperatif cukup umum. Sebagian besar
rumah sakit telah memiliki prosedur ketika terdapat kejdian seorang provider cedera,
termasuk pendekatan pasien untuk memperoleh persetujuan pengujian, proteksi hak privasi
pasien, dan menyediakan konseling yang diperlukan secara legal untuk pasien yang
mengetahui dengan cara ini dan mereka memiliki penyakit infeksius kronis.
Konsekuensi sosial merugi pada pasien positif-HIV termasuk perekrutan pegawai
adanya diskriminasi, kehilangan asuransi, dan isolasi sosial. Pengujian wajib HIV mencegah
beberapa pasien untuk mencari pengobatan medis. Seropositivity HIV terkait dnegan
perceraian, ditinggalkan kekerasan verbal dan fisikal pada wanita yang memiliki status HIV
yang dibuka. US kemudian memasukkan pasien sindrom AIDS pada proteksi yang harus
dicapai dibawah peran American with Disabilities , dan aturan yang secara spesifik
melindungi privasi status HIV pasien.

Pengujian Kehamilan
Pengujian kehamilan pra-operatif rutin memiliki analog ramifikasi etik terhadap
pengujian HIV. Pengujian kehamilan pra-operatif merupakan yang paling logis dalam tahap
kehamilan awal, ketika tidak terlalu jelas apakah pasien atau providernya bahwa ia hamil.
Namun selama kehamilan awal, hak ibu umumnya dikenal untuk menggantikan ketertarikan
janin paling banyak di Amerika Serikat.
Pada beberapa negara, orang hak seorang wanita dewasa atas privasi terkait isu
reproduktif adalah absolut hingga dan termasuk keputusan untuk mengakhiri kehamilan, pada
beberapa negara, hak itu diberikan tanpa batasan untuk wanita yang masih kecil juga, wanita
muda seringkali diberikan hak untuk mencari pengobatan medis. Namun alasan yang lebih
serius dan jahat juga diperdebatkan: kehamilkan usia dini kemungkinan diakibatkan oleh
kekerasan anak, incest atau pemerkosaan didalam rumah anak. Memberitahukan kepada
orang tua wanita muda mengenai kehamilan putrinya dapat menempatkan anak tersebut
dalam bahawa kekerasan fisik yang lebih jauh lagi, karena ini kemungkinan menjadi bukti
tindakan kriminal dari orang yang masih bagiann dari keluarga , atau keluarga teman, atau
kenalan. Beberapa negara memiliki keperluan hukum untuk dokter agar melaporkan bukti
kekerasan anak, dan beberapa otoritas merekomendasikan laporan kehamilan usia dini pada
Child Protective Service untuk investigasi mengenai kemungkinan kekerasan seksual.
Kumandangnmenyebabkan ketakutan akan kekerasan fisik dan bahkan kematian pada gadis
yang ringkih dalam lingkungan sosial dimana kehamilan tidak dapat diterima.
Melawan bahaya besar yang sangat potensial, apakah yang potensi manfaat dari
pengujian kehamilan?? Bukti bahaya dari anestesia dan operasi elektif pada kehamilan awal
sangat sedikit mengejutkan. Beberapa faktor spesifik menjadi perhatian mengenai operasi
elektif pada tahap awal kehamilan: radiasi, manipulasi uterus atau pelvis, dan eksposure pada
obat-obatan atau agen anestesi.
Eksposure radiasi janin diatas 5Gy diketahui menyebabkan peningkatan laju kanker,
meskipun malformasi tidak secara umum dilaporkan, sehingga prosedur untuk mengekspos
janin untuk radiasi langsung dalam uterus (sebagaimana yang mungkin terjadi dengan operasi
tulang belakang bawah, misal) atau radiasi scatter tidak langsung dari prosedur intraoperasi
termasuk floroskopi atau alat radiasi lain menjadi pertimbangan. Namun eksposure radiasi
janin bahkan pada prosedur ortopedi secara umum di bawah 5Gy.
Skala besar kajian mengenai hasil kehamilan mengikuti operasi pelvis atau perut pada
pasien hamil belum dilakukan, akan tetapi, serangkaian kecil dan laporan kasus semakin
emingkat melaporkan bahwa soperasi laparoskopi pada wanita hamil kemungkonan dapat
dilakukan dengan aman. Review terbaru mendemonstrasikan peningkatan kematian janin
yang kemungkinan sebagian dikurangi melalui pemilihan pendekatan operasi (terbuka vs
laparoskopi).
Kajian populasi berdesain baik (well-design) tidak mendemonstrasikan bahwa anestetik
menyebabkan kematian janin atau meningkatkan malformasi janin. Ternyata ASA Task Force
pada pengujian peri-operatif menilai literatur “tidak cukup” untuk mendukung kepedulian
mengenai eksposure janin pada anestetik. Lebih sedikit satu per tiga praktik anestesiologi
Amerika meminta pengujian kehamilan sebelum dilakuka operasi.
Beberapa pasien kemungkinan memilih untuk menjalani operasi elektif terhadap
keinginannya secara eksplisit melangga otonomi pasien. Ketertarikan pribadi dokter
(pengpbatan defensif) pembenaran yang tidak cukup untuk mengabaikan otonomi pasien atau
melanggar privasi pasien. Ini merupakan rekomendasi gabungan dari ASA Task Force pada
pengujian pra-operatif dan ASA Committee perihal etik bahwa anestesiologist menawarkan
pilihan pengujian kehamilan pra—operatif untuk wanita yang memiliki keinginan ,
menjelaskan mengenai resiko dan manfaat yang potensial, dan memperoleh persetujuan
untuk dilakukan pengujian.
Persetujuan (Informed of Consent) untuk Pengujian Pra-operatif
Peesetujuan untuk pengujian pra-operatif dari jenis apapun adalah sama, sebagai
persetujuan aspek lain untuk pengobatan medis. Resiko dan manfaat pengujian harus
dijelaskan kepada pasien termasuk resiko jika tidak diujikan. Menghormati otonomi pasien
memerlukan kita secara umum untuk menghormati pilihan pasien mengenail pengujian pra-
operatif.
Pengujian tertarget jauh lebih mudah untuk membenarkan pada pasien bahwa alasan
satu-satunya dilakukan pengujian adalah “karena kami selalu mengerjakannya”.
Kenyataannya, jika pengujian memiliki probabilitas yang rendah dalam menghasilkan hasil
yang berarti dan mengubah manajemen, ini susah untuk membenarkan pengujian baik untuk
dasar etik ataupun medik. Bahkan dengan pembenaran minimal, pasien kemungkinan
merespon dengan positif keinginan untuk mengikuti pengujian untuk menghindari
ketidaknyamanan dari pembatalan yang tidak diinginkan. Itu, bagaimanapun, harus menjadi
pilihan mereka. Tidaklah benar untuk secara rutin melakukan pengujian medis yang
berpotensi menimbulkan bahaya ekonomi, sosial, dan medik, untuk mencegah
ketidaknyamanan didalam schedule, ahli bedah atau anestesiologis.

Bagaimana Jika Pasien Menolak Pengujian Pra-Operatif


Pasien, jikadiberikan informasi akurat mengenai kemungkinan bahwa pengujian medis
akan menguntungkan mereka, mungkin mereka tidak akan menginginkan menjalani
pengujian pra-operatif rutin.
Dokter tidak pernah diperlukan untuk memberikan pengobatan yang sia-sia, aneh, atau
tidak terstandar kepada pasien. Jika kekurangan pengujian akan menyebabkan suatu situasi,
ini kemungkinan ada pada kebijaksanaan dokter untuk menolak melanjutkan operasi jika
pasien menolak pengujian. Akan tetapi ternyata beberapa jika bukan sebagian besar dokter
dengan tidak berpikir mengarahkan pengujian yang tidak penting sebelum dilakukan operasi
tidak membuat pengujian seperti itu menjadi “standar”, atau kurang dari itu “substandar”.
“Pengobatan standar” tergantung pada peningkatan bukti dan petunjuk medis organisasi
profesional, dan jauh berkurang bukan dari praktik individu. Jika tidak ada atau sedikit ada
keuntungan yang diberikan untuk menjalani pengujian, ini sepertinya tidak akan bisa dilabeli
sebagai substandar, bahkan jika ini adalah pengujian yang umum. Lebih jauh lagi,
kebanyakan petunjuk dan standar sekarang tidak lebih panjang dari endorse daris ebagian
besar pengujian skring pra-operatif : karena itu tidak mungkin bahwa kegagalan untuk
melakukan pengujian skrining akan dipertimbangkan sebagai pengobatan substandar dari
sudut pandang hukum medis.
Jika dokter merasa terdapat alasan spesifik untuk pengujian praoperatif, ini dengan jelas
harus dibuka kepada pasien, terutama hasil pengujian yang dapat menyebabkan pembatalan
operasi.
Pada suatu kasus dalam praktik penulis, misalnya, seorang wanita yang menjalani
histerektomi akibat kelainan genetik yang tidak hanya menyebabkan keguguran spontan pada
masa awal kehamilan, namun juga menyebabkan pendarahan yang mengancam nyawa
dengan menstruasi dan keguguran. Setelah hamil beberapa kali dan mengalami pendarahan
yang mengancam keselamatan jiwa, dia memilikih untuk menjalani hiperektomi profilaktik
(prophylactic hysterectomy). Rumah sakit yang dipilih memilih organisasi katolik yang tidak
menginformasikan dia bahwa pengujian kehamilan diperlukan oleh kebijakan rumah sakit
sebelum dilakukan operasi pada wanita dengan usia melahirkan anak dengan landasan religi.
Dia tidak menginginkan pengujian kehamilan, karena hal tersebut menyakitkan baginya
untuk dipikirkan bahwa akan menyebabkan ia tidak akan bisa hamil lagi selama menjalankan
operasi, meskipun tidak ada harapan untuk diselesaikan. Ketika staf perawat menyampaikan
bahwa ia tetap ingin melakukan pengujian, dia mulai menangis dan bercerita pada penulis
bahwa jika ia tau syarat-syarat dilakukan pengujian, dia tidak akan pernah menjadwalkan
operasi pada rumah sakit pinggiran yang tidak memiliki kebijakan tersebut.
Ketika pengujian membawa relevansi yang sangat penting bagi pasien, anestesiologis
dan ahli bedah memiliki kewajiban etik untuk menghormati bahwa pasien yang telah
sepenuhnnya diinformasikan mengenai suatu pengobatan akan membuat pilihan untuk tetap
menjaga kesehatannya, termasuk mencari provider lain –dan bahwa mereka memiliki hak
sepenuhnya untuk melakukannya.

Anda mungkin juga menyukai