Abstrak pengujian medik pra-operatif untuk pembiusan dan operasi merupakan tantangan
etik. Bukti medis menunjukkan bahwa sebagian besar pengujian pre-operatif tidak penting
dan kemungkinan dapat berbahaya bagi pasien, melukai prinsip etik untuk tidak
mencelakakan (non-maleficence). Ketika pengujian pra-operatif selesai dilakukan,
keuntungan yang telah diantisipasi dan kemungkinan bahaya harus diungkapkan kepada
pasien, seperti halnya dengan keputusan medis. Pengujian tertentu, seperti pengujian
kehamilan dan HIV (Human Immunodeficiency Virus) memerlukan perawatan khusus dalam
proses persetujuan (informed consent) dari pasien, karena kemungkinan pasien dapat
terpengaruh oleh hak hukum eksplisit pasien. Ketika pasien menolak pengujian pra-operatif,
dokter harus menghormati keputusan pasien jika tidak hal tersebut akan menyebabkan
perawatan yang aneh, sia-sia atau jauh di bawah standar profesional yang dipublikasikan.
Kata kunci Etik • pengujian praoperatif • Pengobatan berbasis bukti •
Presentasi Kasus
Seorang wanita berusia 71 tahun mengunjungi klinik pra-opeartif obat bius (anastesi) untuk
evaluasi pra-operatif untuk suatu artroplasti panggul total elektif untuk kondisi nekrosis
avaskuler panggul. Sejarah kesehatannya menunjukkan tidak ada sejarah penyakit serius
hanya mengenai sejarah panjang merokok. Ahli bedah ortopedi meminta hasil pengujian
skrining pra-operatif termasuk diantaranya jumlah hitung sel darah lengkap, skrining
koagulasi, kimia dasar, dan elektrokardiogram.
Pendahuluan
Etika pengujian medis seperti pengujian genetik, skrining pra-kelahiran (prenatal) dan
pengujian hubungan ayah-anak (paternal) didiskusin secara luas dalam literratur. Namun
implementasi etik untuk pengujian “rutin” yang lebih banyak, termasuk pengujian pra-
operatif rutin, telah lama dipelajari oleh anesteologis dan ahli bedah. Hal ini dapat terjadi
dikarenakan kesalahpahaman bahwa pengujian rutin penting dilakukan untuk mendukung
praktik medis terbaik dan kesejahteraan pasien, tidak mahal, dan hanya sedikit efek negatif
yang dimiliki jika ada. Meskipun disana terdapat banyak literatur dan petunjuk profesional
untuk menyetir pengujian pra-operatif berbasis bukti, studi menunjukkan bahwa
anestesiologis dan ahli bedah secara rutin mengabaikan informasi ini [1]. Tidak hanya
dilandasi dari sisi ilmu pengetahuan alam dan medis, juga menaikkan permasalahan etik.
Dokter secara umum meminta pengujian pra-operatif bermaksud untuk menguntungkan
pasien dengan perawatan peri-operatif terarah dengan lebih tepat (prinsip keuntungan), atau
untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan yang dapat diperbaiki sebelum
dilakukan operasi, sehingga menghindadi resiko yang tidak diinginkan (prinsip untuk tidak
mencelakakan). Pada beberapa kasus, doktermenguji kepercayaan yang salah bahwa mereka
kemungkinan protektif secara hukum medis (medico-legally protective) (“pengobatan
defensif”) atau untuk mencegah penundaan ruang operasi “yang tidak penting” [2]. Strategi
ini adalah sesuatu yang mengejar keinginan pribadi dari menjadi dokter, dan tidak
memperhatikan ketertarikan/ keinginan dari pasien terlebih dahulu. Tenyata, pengeluaran
(cost) berlebih dibebankan pada pasien, penjamin (insurer) dan masyarakat [3]. Dan
pengujian seperti ini secara umum tidak mengurangi dan, jika diikuti dengan tidak cukup
baik, seringkali menambah resiko legalitas hukum dokter [4], dan meningkatkan resiko medis
pasien.
Prinsip etika pengobatan termasuk di dalamnya menghormati otonomi, keuntungan
(mendukung kebaikan), tidak mencelakakan (menghindari bahaya) dari pasien. Perawatan
etika pasien memerlukan kewajiban moral untuk mempertimbangkan apakah aksi kita sesuai
dengan masing-masing prinsip diatas.
Pada bab ini, kita akan mempertimbangkan prinsip pengobatan dan etik secara umum
dari pengujian peri-operatif, menguji contoh yang praktik umum yang secara rutin merusak
prinsip etika, dan mendiskusikan pengujian pre-operatif yang memiliki implikasi etika
spesial – pengujian kehamilan pre-operatif yang wajib dilakukan dan pengujian HIV dan
hepatitis.
Tabel 2.1 Paradoks Positif dangan tidak sengaja (falsely positive); pengujian pada populasi
dengan prevalensi penyakit rendah menyebabkan terjadinya hasil “false positive” yang lebih
besar dibandngkan hasil “true positive”.
Kondisi yang dikenal sebagai “Mysterious Anesthesia Reaction” atau MAR berasosiasi dengan resiko signifikan
terjadinya komplikasi setelah pertemuan dengan seorang anestesiologis. Kondisi mempengaruhi 0,5% dari
keseluruhan populasi. Pengujian memiliki laju false positive 5%, dan false negative 0%. Direktur klinik pra-
operasi menentukan bahwa semua pasien harus diuji pra-operatif untuk kondisi tersebut. Pengujian bernilai $20,
anda menguji pada 5000 pasien pertama:
(b) Pengujian pada populasi dengan prevalensi rendah
Jumlah orang yang diuji Jumlah orang dengan Jumlah orang tanpa Total
MAR MAR
Hasil pengujian positif (True positive) 25 (False positive) 250 275
Hasil pengujian negatif (False negative) 0 (True negative) 4725 4725
Total 25 4975 5000
Total pengeluaran: $ 100.000,00
Pengeluaran untuk mendeteksi suatu hasil true positive (pengeluaran yang sesunggahnya untuk menghindari
komplikasi): $ 4000,00
Jumlah orang yang dilabeli sebagai positif: 275 atau 15x jumlah sesungguhnya dari hasil sesungguhnya, 250
dari 5000 orang akan diberi label dengan salah karena mengalami kondisi ini.
(lanjutan)
Ternyata MAR hanya terjadi pada “orang berambut merah” secara alamiah, yang merepresentasikan 2%
populasi klinik. MAR terjadi pada 10% orang berambut merah. Sehingga kamu menentukan akpah hanya akan
menguji pada orang berambut merah saja. Pada 5000 evaluasi pra-operasi, jumlahnya seperti ini:
(b) Pengujian pada populasi dengan prevalensi rendah
Jumlah orang yang diuji Jumlah orang dengan Jumlah orang tanpa Total
MAR MAR
Hasil pengujian positif (True positive) 10 (False positive) 5 15
Hasil pengujian negatif (False negative) 0 (True negative) 85 85
Total 10 90 100 (2%
dari 5000)
Total pengeluaran: $ 2000,00
Pengeluaran untuk mendeteksi suatu hasil true positive: $ 200,00
Jumlah orang yang dilabeli sebagai positif: 15 atau 1,5x jumlah sesungguhnya dari hasil sesungguhnya, 5 dari
5000 orang akan diberi label dengan salah karena mengalami kondisi ini.
Nominal yang disimpan dari strategi pengujian B : $ 88.000,00
Reduksi absolut total pada pengujian false positive: 345
Hasil false positive dan false negative dapat melabeli pasien memiliki kondisi yang
tidak dimiliki; atau memastikan dengan salah bahwa pasien tidak memiliki kondisi yang
sebenarnya mereka miliki. Pada kasus terbaru, pengujian lebih lanjut dan intervensi
kemungkinan dapat meningkatkan pembiayaan dan memungkinkan pasien mengalami
komplikasi pengujian, atau untuk pengobatan tidak penting dengan resiko yang lebih besar.
Hasil true positive mungkin secara klinis tidak terlalu signifikan namun dapat menuju
pengujian lebih jauh yang tidak diperlukan dengan resiko yang mengikutinya. Pengujian
lebih jauh selalu meningkatkan biaya - melalui biaya pengujian itu sendiri dan biaya
mengatasi komplikasi atau pengobatan yang mungkin dihasilkan. Pada kasus klinis kami,
pengujian lebih lanjut memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan pada akses intravena
periferal yang melelahkan, memerlukan prosedur yang lebih invasif yang kemudian beresiko
menimbulkan komplikasi lain yang berpotensi mengancam nyawa/hidup (life-threatening
complication).
Pengujian berlebihan sistematik meningkatkan pengeluaran anggaran kesehatan bagi
semua pasien yang telah dibebani dengan sistem perawatan kesehatan. Jenis pengeluaran ini
juga mengalihkan dana yang seharusnya dialokasikan pada aspek produktif perawatan medis
untuk perusahaan yang memiliki harapan kecil atau tidak punya harapan menjadi bermanfaat
bagi pasien ini atau pasien lain secara umum.
Elektrokardiogram
Pada tahun 199, Atkins dan Roizenm dalam suatu perdebatan pandangan mengenai
EBM, menyediakan suatu kasus yang kuat untuk merelakan satu dari pengujian skrining pra-
operatif yang paling dicintai: ECG [15]. ECG merupakan suatu pemeriksaan yang tidak
sensitif dan tidak spesifik yang memiliki peran cukup kecil dalam manajemen pra-operatif,
dan namun merupakan satu dari yang tersulit untuk dilepaskan oleh anestesiologis dan ahli
bedah. Pasien dengan ECG pra-operatif yang tidak normal memiliki resiko yang lebih besar
untuk mengalami kematian karena penyakit kardiovaskuler daripada orang dengan ECG
normal (1,8% vs 0,3%, rasio aneh 4,5). Meskipun hal itu muncul dengan perbedaan yang
cukup berarti, untuk resiko operasi rendah-hingga-intermediet, perbedaan absolut pada kasus
kematian akibat kondisi kardiovaskuler tidak signifikan secara klinis, dan nilai pengujian ini
sebagai suatu alat prediksi hasil negatif hampir nol [16]. Lebih jauh lagi, pengujian tidak
berpengaruh pada perubahan manajemen yang kemungkinan mencatat resiko mitigasi. Pada
populasi pra-operatif yang tidak dipilih, hampir sebagian dari semua ECG adalah tidak
normal. Revaskularisasi koroner sebelum operasi jantung saat ini berdasarkan pada
penemuan klinis dan terapi medis pasien terkini dan bukan ECG, dan jarang terindikasi pada
pasien asimptomatik [17]. Review pustaka yang komprehensif menemukan bahwa kekuatan
prediksi ECG pra-operatif adalah lemah pada kondisi terbaik, dan bahwa tidak terdapat bukti
yang mendukung keberadaan suatu ECG yang tidak normal, namun tidak memperkirakan
faktor resiko yang mudah dimodifikasi untuk pasien bedah. Pada satu kajian, 1149 ECG yang
direview, hanya 0,44% pasien tanpa faktor resiko klinis memiliki abnormalitas pada ECGnya,
tidak terkait dengan usia [19]. Pada pasien dengan usia di atas 70 tahun, diatas 75% memiliki
abnormalitas pada ECG pra-operatif, namun abnormalitas ini tidak dengan leluasa
memprediksi komplikasi kardiak post-operatif ketika stratifikasi resiko klinis yang lain
selesai dilakukan seperti status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) dan indeks
resiko jantung American Heart Association (AHA) [20]. Kekuatan prediksi ECG abnormal
untuk kasus kardiovaskular peri-operatif sedikit lebih besar bagi pasien dengan faktor resiko
kardiovaskular dibandingkan dengan pasien yang tidak memilikinya, namun perbedaannya
tidak signifikan secara statistik. Ternyata, pada salah satu studi ECG normal memiliki nilai
prediktif yang sama untuk kejadian serupa [21]. Menurut petunjuk AHA, ECG pra-operatif
tidak terindikasi padaorang dengan asimptomatik (tanpa gejala) pada berbagai usia yang
mengikuti prosedur beresiko rendah [22]. ASA Task Force pada evaluasi pre-anasthesia
menemukan tidak ada bukti kuat untuk pengujian ECG rutin hanya untuk indikasi umur,
namun merekomendasikan pengujian yang mungkin dilakukan untuk orang-orang yang
beresiko akibat penyakit yang medasarinya atau akibat temuan klinis pada kunjungan pra-
operatifnya [23].
Beban total bahaya skrining ECG tidak diketahui, namun pada beberapa pasien dengan
temuan abnormal dengan salah atau temuan abnormal yang tidak signifikan secara klinis,
pengujian tambahan seringkali dilakukan dengan pengeluaran ekonomi attendant dan resiko
medis. Bagaimana kita dapat berargumentasi secara etik atau medis bahwa ECG harus
diarahkan dengan rutin pada pasien beresiko rendah hingga intermediet ketika (1) tidak ada
bukti bahwa sebagian besar pasien memperoleh manfaat, (2) tidak terdapat bukti bahwa
pengobatan berubah, dan (3) terdapat bukti setidaknya dari sisi ekonomi bahwa baik pasien
secara individu maupun secara kolektif menderita bahaya/ celaka.
Elektrolit
Pustaka atau referensi terbaru pada skrining pra-operatif rutin dari elektrolit serum
sedikit namun hasil sejalan dengan hasil pengujian ECG.
Pada suatu studi, tidak hanya bahwa insiden penemuan yang tidak normal pada
pengujian kimia rendah, namun juga tidak ada pasien dengan modifiasi manajemen anestesi
sebagai hasil dari suatu pengujian [24]. Pada review sistematik yang lain, biokimia pra-
operatif rutin menemukan level sodium atau potasium yang tidak normal yaitu 1,4% pada
waktu tersebut dan level kreatinin tidak normal hingg 2,5% dari pasien, namun manajemen
klinis jarang termodifikasi [18]. Survey studi dari National Health Service di Inggris gagal
untuk mengidentifikasi bukti lain mengenai keefektifan suatu pengujian [25]. Lebih jauh lagi,
beberapa studi mendemonstrasikan bahwa hipoklaemia kronis tidak berkaitan dengan
peningkatan resiko aritmia perioperatif pada pasien operasi non-kardiak [26, 27]. Fritsch et
al. Menemukan bahwa elektrolit tidak normal terjadi pada sekitar 1,6% pasien denga pra-
operatif, namun bukan prediktor dari komplikasi perioperatif [28]. Johnson dan Mortimer
melaporkan bahwa manajemen pra-operatif tekah diubah akibat hanya 0,2% dari hasil pada
100 pasien. Tidak ada komplikasi yang meingkat yang disebabkan oleh hasil pengujian [29].
Skrining Koagulasi
Pengujian pra-operatif rutin parameter koagulasi pada pasien asimptomatik dalam suatu
usaha untuk memprediksi pendarahan intra- dan post- operatif dipelajari dengan baik. Untuk
pasien yang mengalami operasi non-kardiak yang tidak memiliki sejarah atau temuan fisik
sugestif dari peningkatan resiko pendarahan (tabel 2.2). pengujian pre-operatif tidak
mengidentifikasinya pada peningkatan resiko, cukup mahal dan mengekspos pasien pada
resiko pengujian lebih lanjut yang tidak penting.
Banyak kajian yang melibatkan orang dewasa dan anak-anak mengalami resiko rendah
operasi rawat jalan, operasi umum besar, operasi ortopedik besar, operasi saraf besar, operasi
tulang belakang, prosedur endoskopik dan prosedur telinga, hidung dan tenggorokan (THT)
mendemonstrasikan bahwa skrining koagulasi tidak memprediksi resiko pendarahan dan
sejarah pasien setidaknya dapat memprediksi dengan efektif pendarahan perioperal [31-37].
ASA Task Force pada evaluasi pra-anesthesia tidak merekomendasikan skrining koagulasi
rutin.
Pada skenario kamu, penyebab paling umum adalah dari elevasi suatu PTT (setelah tidak
ditentukan adalah antibodi anti-lups. Antibodi ini adalah prokoagulan dan berasosiasi dengan
percepatan pembekuan, bukan pendarahan abnormal. Pada seri besar pasien dengan temuan
yang mengalami operasi hebat, terdapat dua komplikasi kecil (bisa hematoma), baik re-
eksplorasi. Sehingga pada pengujian yang lebih jauh, trauma fisik dan komplikasi bagi pasien
dengan presentasi kasus yang sangat tidak perlu.
Pengujian Kehamilan
Pengujian kehamilan pra-operatif rutin memiliki analog ramifikasi etik terhadap
pengujian HIV. Pengujian kehamilan pra-operatif merupakan yang paling logis dalam tahap
kehamilan awal, ketika tidak terlalu jelas apakah pasien atau providernya bahwa ia hamil.
Namun selama kehamilan awal, hak ibu umumnya dikenal untuk menggantikan ketertarikan
janin paling banyak di Amerika Serikat.
Pada beberapa negara, orang hak seorang wanita dewasa atas privasi terkait isu
reproduktif adalah absolut hingga dan termasuk keputusan untuk mengakhiri kehamilan, pada
beberapa negara, hak itu diberikan tanpa batasan untuk wanita yang masih kecil juga, wanita
muda seringkali diberikan hak untuk mencari pengobatan medis. Namun alasan yang lebih
serius dan jahat juga diperdebatkan: kehamilkan usia dini kemungkinan diakibatkan oleh
kekerasan anak, incest atau pemerkosaan didalam rumah anak. Memberitahukan kepada
orang tua wanita muda mengenai kehamilan putrinya dapat menempatkan anak tersebut
dalam bahawa kekerasan fisik yang lebih jauh lagi, karena ini kemungkinan menjadi bukti
tindakan kriminal dari orang yang masih bagiann dari keluarga , atau keluarga teman, atau
kenalan. Beberapa negara memiliki keperluan hukum untuk dokter agar melaporkan bukti
kekerasan anak, dan beberapa otoritas merekomendasikan laporan kehamilan usia dini pada
Child Protective Service untuk investigasi mengenai kemungkinan kekerasan seksual.
Kumandangnmenyebabkan ketakutan akan kekerasan fisik dan bahkan kematian pada gadis
yang ringkih dalam lingkungan sosial dimana kehamilan tidak dapat diterima.
Melawan bahaya besar yang sangat potensial, apakah yang potensi manfaat dari
pengujian kehamilan?? Bukti bahaya dari anestesia dan operasi elektif pada kehamilan awal
sangat sedikit mengejutkan. Beberapa faktor spesifik menjadi perhatian mengenai operasi
elektif pada tahap awal kehamilan: radiasi, manipulasi uterus atau pelvis, dan eksposure pada
obat-obatan atau agen anestesi.
Eksposure radiasi janin diatas 5Gy diketahui menyebabkan peningkatan laju kanker,
meskipun malformasi tidak secara umum dilaporkan, sehingga prosedur untuk mengekspos
janin untuk radiasi langsung dalam uterus (sebagaimana yang mungkin terjadi dengan operasi
tulang belakang bawah, misal) atau radiasi scatter tidak langsung dari prosedur intraoperasi
termasuk floroskopi atau alat radiasi lain menjadi pertimbangan. Namun eksposure radiasi
janin bahkan pada prosedur ortopedi secara umum di bawah 5Gy.
Skala besar kajian mengenai hasil kehamilan mengikuti operasi pelvis atau perut pada
pasien hamil belum dilakukan, akan tetapi, serangkaian kecil dan laporan kasus semakin
emingkat melaporkan bahwa soperasi laparoskopi pada wanita hamil kemungkonan dapat
dilakukan dengan aman. Review terbaru mendemonstrasikan peningkatan kematian janin
yang kemungkinan sebagian dikurangi melalui pemilihan pendekatan operasi (terbuka vs
laparoskopi).
Kajian populasi berdesain baik (well-design) tidak mendemonstrasikan bahwa anestetik
menyebabkan kematian janin atau meningkatkan malformasi janin. Ternyata ASA Task Force
pada pengujian peri-operatif menilai literatur “tidak cukup” untuk mendukung kepedulian
mengenai eksposure janin pada anestetik. Lebih sedikit satu per tiga praktik anestesiologi
Amerika meminta pengujian kehamilan sebelum dilakuka operasi.
Beberapa pasien kemungkinan memilih untuk menjalani operasi elektif terhadap
keinginannya secara eksplisit melangga otonomi pasien. Ketertarikan pribadi dokter
(pengpbatan defensif) pembenaran yang tidak cukup untuk mengabaikan otonomi pasien atau
melanggar privasi pasien. Ini merupakan rekomendasi gabungan dari ASA Task Force pada
pengujian pra-operatif dan ASA Committee perihal etik bahwa anestesiologist menawarkan
pilihan pengujian kehamilan pra—operatif untuk wanita yang memiliki keinginan ,
menjelaskan mengenai resiko dan manfaat yang potensial, dan memperoleh persetujuan
untuk dilakukan pengujian.
Persetujuan (Informed of Consent) untuk Pengujian Pra-operatif
Peesetujuan untuk pengujian pra-operatif dari jenis apapun adalah sama, sebagai
persetujuan aspek lain untuk pengobatan medis. Resiko dan manfaat pengujian harus
dijelaskan kepada pasien termasuk resiko jika tidak diujikan. Menghormati otonomi pasien
memerlukan kita secara umum untuk menghormati pilihan pasien mengenail pengujian pra-
operatif.
Pengujian tertarget jauh lebih mudah untuk membenarkan pada pasien bahwa alasan
satu-satunya dilakukan pengujian adalah “karena kami selalu mengerjakannya”.
Kenyataannya, jika pengujian memiliki probabilitas yang rendah dalam menghasilkan hasil
yang berarti dan mengubah manajemen, ini susah untuk membenarkan pengujian baik untuk
dasar etik ataupun medik. Bahkan dengan pembenaran minimal, pasien kemungkinan
merespon dengan positif keinginan untuk mengikuti pengujian untuk menghindari
ketidaknyamanan dari pembatalan yang tidak diinginkan. Itu, bagaimanapun, harus menjadi
pilihan mereka. Tidaklah benar untuk secara rutin melakukan pengujian medis yang
berpotensi menimbulkan bahaya ekonomi, sosial, dan medik, untuk mencegah
ketidaknyamanan didalam schedule, ahli bedah atau anestesiologis.