Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN CONGESTIVE HEARTH FAILURE (CHF) DENGAN


DISERTAI EDEMA PARU

A. KONSEP DASAR GAGAL JANTUNG KONGESTIF


1. Definisi Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung kongestif adalah suatu keadaan patofisiologi adanya kelainan fungsi
jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian
tekanan pengisian ventrikel kiri (Santoso, 2012).
Gagal jantung kongestif adalah sindrome klinis (sekumpulan tanda dan gejala) yang
ditandai oleh sesak napas dan fatigue yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi
jantung (Sudoyo, 2012).
Gagal jantung kongestif adalah suatu keadaan dimana jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme tubuh (Sutanto, 2010).

2. Klasifikasi Gagal Jantung Kongestif


Menurut Hudak dan Gallo (2011) Gagal Jantung Kongestif diklasifikasikan menjadi
beberapa kelompok yaitu sebagai berikut:
a. Berdasarkan derajat sakitnya menurut NYHA (New York Heart Association)
Tabel 2.1
Klasifikasi Gagal Jantung New York Heart Association (NYHA)

Kelas Definisi Istilah


I Tidak ada keterbatasan aktivitas fisik. Disfungsi ventrikel
Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan kiri yang asimtomatik
keletihan yang tidak semestinya atau
dispnea.
II Sedikit keterbatasan aktivitas fisik. Merasa Gagal jantung ringan.
nyaman saat istirahat, tetapi aktivitas biasa
menyebabkan keletihan dan dispnea.
III Keterbatasan nyata aktivitas fisik tanpa gejala. Gagal jantung
Gejala terjadi bahkan saat istirahat. Jika sedang.
aktivitas fisik dilakukan gejala meningkat.
IV Tidak mampu melakukan aktivitas fisik tanpa Gagal jantung berat.
gejala. Gejala terjadi bahkan pada saat
istirahat. Jika aktivitas fisik dilakukan gejala
meningkat.

b. Berdasarkan letaknya
1) Gagal jantung kiri merupakan kegagalan kiri untuk memompa darah sehingga
curah jantung kiri menurun sehingga mengakibat tekanan akhir diastolik dalam
ventrikel kiri dan volume akhir diastolik dalam ventrikel kiri meningkat. Gagal
jantung kiri dibagi menjadi 2:
a) Disfungsi sistolik
Adalah persentase volume diastolic akhir ventrikel kiri atau fraksi ejeksi
kurang dari 40% yang disebabkan oleh penurunan kontraktilitas.
b) Disfungsi diastolik
Adalah persentase volume diastolik-akhir ventrikel kiri atau fraksi ejeksi
kadang-kadang 80% yang disebabkan oleh gangguan relaksasi dan
pengisian.
2) Gagal jantung kanan merupakan kegagalan ventrikel kanan untuk memompa
secara adekuat sehingga isi sekuncup ventrikel kanan menurun (Hudak dan
Gallo, 2011).

3. Etiologi Gagal Jantung Kongestif

Menurut Muttaqin (2010) gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh:

a. Kelainan mekanik
1) Peningkatan beban tekanan dari sentral contohnya stenosis aorta, dan tekanan
dari perifer seperti hipertensi sistemik.
2) Peningkatan beban volume karena terjadi regurgitasi katup-pirau, dan adanya
peningkatnya preload (beban awal).
3) Hambatan pengisian ventrikel terjadi pada stenosis mitral atau tricuspid.
4) Tamponade pericardium
5) Retriksi endokardium dan miokardium
6) Dis-sinergi ventrikel
7) Aneurisma ventrikel
b. Kelainan miokardial
1) Primer misalnya karena kardiomiopati, gangguan neuromuscular miokarditis,
Diabetes Mellitus, keracunan seperti keracunan alkohol, obat, dll.
2) Sekunder misalnya karena adanya iskemik pada penyakit jantung koroner,
gangguan metabolik, inflamasi, penyakit infiltrate seperti restrictive
cardiomiophaty, penyakit sistemik, penyakit paru obstruktif kronis, serta obat-
obatan yang mendepresi miokard.
c. Gangguan irama jantung misalnya karena henti jantung, ventrikularis fibrilasi,
takhikardi atau bradikardi yang ekstrim, dan gangguan konduksi.

4. Manifestasi Klinis Gagal Jantung Kongestif


Manifestasi klinis pada gagal jantung kongestif dibedakan menjadi kriteria mayor
dan kriteria minor. Diagnosa gagal jantung kongestif ditegaggkan minimal ada 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor. Berikut adalah manifestasi klinis dari gagal jantung kongestif
menurut Sudoyo (2012):
a. Kriteria mayor seperti paroksimal nocturnal dispnea, distensi vena jugularis, suara
napas tambahan (ronki) paru, kardiomegali, edema paru akut, suara jantung Gallop
(S3), refluk hepatojugular.
b. Kriteria minor seperti edema ektremitas, batuk pada malam hari, dispnea d’effort,
hepatomegali, efusi pleura, penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal, takikardi
(lebih dari 120x/mnt).

5. Patofisiologi Gagal Jantung Kongestif


Mekanisme yang mendasari gagal jantung kongestif meliputi gangguan kemampuan
kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung
normal. Curah jantung adalah frekuensi jantung dikalikan volume sekuncup (Stroke
Volume). Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi.
Volume ini tergantung oleh faktor preload, afterload, dan kontraktilitas (Smeltzer &
Bare, 2013).
Apabila curah jantung tidak adekuat memicu jantung untuk memberikan respon
kompensasi guna mencukupi kebutuhan metabolisme tubuh. Mekanisme kompensasi
jantung terdiri atas:
a. Aktivasi neurohormonal yang mempengaruhi sistem saraf simpatik.
Sistem saraf simpatik ini berperan dalam respon kompensasi penurunan curah
jantung dengan menstimulasi irama jantung dan kontraktilitas otot jantung, serta
memelihara perfusi jaringan berbagai organ terutama otak dan jantung. Ketika
curah jantung tidak adekuat, maka sistem saraf simpatis akan merangsang
pengeluaran ketokolamin dari saraf andregenik jantung dan medulla adrenal yang
berfungsi untuk mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah
jantung. Aspek negatif dari peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik melibatkan
peningkatan tahanan sistem vascular dan kelebihan kemampuan jantung dalam
memompa darah, sehingga menyebabkan penurunan aliran darah ke kulit, ginjal,
otot, dan organ abdominal. (Smeltzer & Bare, 2013).
b. Mekanisme Renin-Angiotensin-Aldosteron
Menurunnya curah jantung dalam gagal jantung kongestif menyebabkan aliran
darah ke ginjal berkurang sehingga menyebabkan kecepatan filtrasi glomerulus
berkurang. Penurunan aliran darah ke ginjal menyebabkan peningkatan sekresi
renin oleh ginjal yang secara paralel akan meningkatkan pembentukan angiotensin.
Peningkatan konsentrasi angiotensin menyebabkan vasokontriksi dan menstimulasi
produksi aldosteron dari korteks adrenal. Selanjutnya aldosteron akan
meningkatkan reabsorbsi natrium dengan mengikat air. Retensi cairan yang
berlangsung terus menerus menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah yang
kembali ke jantung (Hudak & Gallo, 2011).
c. Hipertrofi ventrikel
Perkembangan hipertrofi otot jantung dan remodeling jantung merupakan
mekanisme untuk meningkatkan kerja jantung dan meningkatkan volume sekuncup.
Keadaan hipertrofi dan remodeling menyebabkan perubahan dalam struktur dan
fungsi miokardium (Muttaqin, 2010).
Jika kompensasi jantung tidak mampu untuk mengatasi kebutuhan tubuh,
mengakibatkan terjadinya payah jantung. Hal ini menyebabkan compliance ventrikel
berkurang sehingga menyebabkan penurunan kemampuan pengosongan ventrikel yang
efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup, dan
meningkatkan volume residu ventrikel. Dengan meningkatnya EDV (End Diastolic
Ventrikel), maka terjadi pula pengingkatan LVEDP (Left Ventrikel End Diastolic Pressure).
Derajat peningkatan tekanan tergantung dari kelenturan ventrikel. Dengan
meningkatnya LVEDP, maka terjadi pula peningkatan LAP (Left Atrium Pressure) karena
atrium dan ventrikel berhubungan langsung selama diastole. Peningkatan LAP
diteruskan ke dalam anyaman vascular paru-paru (darah kembali ke dalam sirkulasi
pulmonal), sehingga meningkatkan tekanan kapiler dan vena paru-paru. Keadaan ini
membuat jantung berdilatasi, dan meningkatakan tekanan kapiler pulmonal. Jika
tekanan hidrostatik dari anyaman kapiler pulmonal melebihi tekanan onkotik vasculer,
maka akan terjadi transudasi cairan ke dalam interstisial paru. Apabila kecepatan
transudasi cairan melebihi kecepatan drainase limfatik, maka akan terjadi edema
interstisial. Peningkatan cairan dan darah dalam paru membuat paru menjadi berat,
sehingga menyebabkan dispnea. Selain itu peningkatan tekanan lebih lanjut dapat
mengakibatkan cairan merembes ke dalam alveoli, sehingga mengurangi pertukaran gas
dan menyebabkan hipoksemia (Greenberg, 2011).
Gagal jantung kiri meningkatkan tekanan vaskuler pulmonal, dan menyebabkan
overload. Tekanan arteria pulmonal dapat meningkat sebagai respon terhadap
peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonary meningkatkan tahanan
terhadap ejeksi ventrikel kanan sehingga menyebabkan peningkatan volume dan
tekanan akhir diastolik ventrikel kanan yang akan berlanjut pada atrium kanan dan vena
cava superior maupun inferior. Apabila hal ini terus berlanjut dapat menyebabkan
kongesti sistemik, distensi vena jugular dan edema (Sudoyo, 2011,).
6. Pathway

COP
7. Pemeriksaan Diagnostik pada Gagal Jantung Kongestif
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa CHF
yaitu:
a. Elektrokardiogram (EKG)
Digunakan untuk memberikan informasi tentang struktur dan fungsi jantung,
untuk mengukur ejeksi, mengevaluasi struktur katub, mendiagnosis disritmia,
mengidentifikasi pembesaran atrium dan hipertrofi ventrikel
b. Scan jantung: tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan dinding.
c. Kateterisasi jantung
Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal
jantung kanan dan gagal jantung kiri dan stenosis katup atau insufisiensi.
d. Rongent dada
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi
atau hipertropi bilik, atau perubahan dalam pembuluh darah abnormal. Pada
pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio
thoraxic ratio > 50%) dan gambaran kongesti vena pulmonalis. Normal CTR= 48%-
50%, CTR > 50% menandakan Kardiomegali, biasanya diikuti dengan ictus cordis
deviasi ke lateral.
e. Pemeriksaan Laboratorium
Meliputi: elektrolit serum yang mengungkapkan kadar natrium yang rendah
sehingga hasil hemodelusi darah dari adanya kelebihan retensi air, CKMB, SGOT,
SGPT, K, Na, Cl, Ureum, gula darah (Rubenstein, Wayne, and John, 2012).

8. Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif


Sasaran dalam penatalaksanaan pada gagal jantung kongestif adalah
a. Menurunkan kerja jantung
1) Tirah baring
Tirah baring merrupakan bagian yang penting dari pengobatan gagal
jantung kongestif, khususnya pada tahap akut dan sulit disembuhkan. Selain itu
untuk menurunkan seluruh kebutuhan kerja pada jantung, tirah baring
membantu dalam menurunkan beban kerja dengan menurunkan volume
intravaskuler melalui induksi diuresis berbaring. Dengan adanya penurunan
volume intravaskuler dan jumlah darah yang ada untuk dipompakan jantung
(preload), kompensasi jantung dapat ditingkatkan.
2) Terapi nitrat dan vasodilator.
Menyebabkan vasodilatasi perifer, penurunan afterload, penurunan
pulmonary artery wedge pressure (pengukuran yang menunjukkan derajat
kongesti vaskuler pulmonal dan beratnya gagal ventrikel kiri), dan penurunan
konsumsi oksigen miokard. Namun perlu pemantauan hemodinamik akurat
dari tekanan wedge arteri dan pulmonal. Obat-obat yang sering digunakan
seperti Apresoline, Nifedine, Captopril.
b. Meningkatkan curah jantung dan kontraktilitas miokardium
1) Digitalis
Obat digitalis berfungsi untuk memperlambat frekuensi ventrikel dan
meningkatkan kekuatan kontraksi, peningkatan efisiensi jantung. Saat curah
jantung meningkat, volume cairan lebih besar dikirim ke ginjal untuk filtrasi dan
ekskresi dan volume intravaskular menurun. Dalam pemberian digitalis perlu
diawasi secara ketat pemberian dosis sesuai dengan batas jumlah obat yang
dapat dimetabolisme tubuh, sehingga tidak terjadi keracunan digitalis.
2) Inotropik positif
Dobutamin adalah obat simpatomimetik dengan kerja beta 1 adrenergik.
Efek beta 1 meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium (efek inotropik
positif) dan meningkatkan denyut jantung (efek kronotropik positif) (Hudak &
Gallo, 2010).
c. Menurunkan retensi garam dan cairan.
1) Pemberian diuretik
Pemberian diuretik untuk memicu dikeluarkannya natrium dan air melalui
ginjal sehingga dapat mengurangi edema paru. Diuretik diberikan pada pagi
hari sehingga diuresis yang terjadi tidak mengganggu istirahat klien serta
asupan dan haluaran cairan perlu dicatat kerena klien mungkin mengalami
kehilangan sejumlah cairan yang besar. Efek samping pemberian diuretik
adalah hiponatremia dan hipokalemia (Davey, 2010).
2) Morfin
Morfin adalah obat yang paling berguna untuk menangani edema pulmonal
akut. Morfin dapat mencapai manfaat fisiologis yang bermanfaat melalui efek
vasodilatasi perifer, membentuk penampungan darah perifer yang
menurunkan aliran balik vena dan kerja jantung. Selain itu morfin membantu
menghilangkan ansietas yang berhubungan dengan dipsnea berat dan
menenangkan pasien dengan demikian menurunkan mekanisme pompa
pernapasan untuk meningkatkan aliran balik vena, serta menurunkan tekanan
darah arteri dan tahanan, mengurangi kerja jantung (penurunan afterload)
(Hudak & Gallo, 2010).
3) Pembatasan natrium
Pembatasan natrium ditujukan untuk mencegah, mengontrol, atau
menghilangkan edema. klien yang dibatasi diet natriumnya diupayakan untuk
menghindari makanan kaleng dan minum obat-obatan tanpa resep seperti
antasida, sirup obat batuk, penenang atau pengganti garam, karena produk
tersebut mengandung natrium atau jumlah kalium yang berlebihan (Smeltzer &
Bare, 2012).
B. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GAGAL JANTUNG KONGESTIF
Fokus dari pengkajian pada klien dengan gagal jantung kongestif lebih di tekankan pada
manifestasi klinis dari kerusakan pada jantung seperti terjadinya kelebihan cairan maupun
gejala sistemik lainnya. Berikut ini adalah proses asuhan keperawatan pada klien dengan
gagal jantung kongestif adalah sebagai berikut:
1. Pengkajian
Pengkajian Primer
a. Airway
Pastikan bahwa jalan napas klien lancar, tidak ada sumbatan maupun benda asing.
Dengan kontrol tulang belakang. Membuka jalan napas menggunakan teknik ‘head
tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu, periksa adakah
benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas, muntahan,
makanan, darah atau benda asing lainnya. Klien dengan CHF yang disertai dengan
edema pulmonal, pada airway dapat terjadi sumbatan seperti sputum, benda asing.
b. Breathing
Periksa pernapasan dengan menggunakan cara ‘lihat – dengar – rasakan’ tidak lebih
dari 10 detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak. Selanjutnya lakukan
pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya
pernapasan). Dispnea saat aktifitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal
c. Circulation
Kaji status peredaran darah tekanan darah, nadi, frekuensi jantung, irama jantung,
nadi apical, bunyi jantung S3, gallop, nadi perifer berkurang, perubahan dalam
denyutan nadi juguralis, warna kulit, kebiruan punggung, kuku pucat atau sianosis,

Anda mungkin juga menyukai