Anda di halaman 1dari 48

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN Februari 2020

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

HERPES ZOSTER

Oleh :

Muhammad Chairil Riskyta Akbar


105505407518

Pembimbing :

dr. Helena Kendengan, Sp. KK

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama / NIM : Muhammad Chairil Riskyta Akbar / 105505407518


Judul Lapsus : Herpes Zoster

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan

klinik pada bagian Ilmu Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas

Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Februari 2020

Pembimbing,

dr. Helena Kendengan, Sp. KK

1
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi ALLAH, atas rahmat dan karunia-Nya jualah,

akhirnya laporan kasus yang berjudul “Herpes Zoster” ini dapat diselesaikan

dengan baik. Laporan Kasus ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk

mengikuti ujian kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya penulis sampaikan kepada

dr. Helena Kendengan, Sp. KK selaku pembimbing dalam laporan kasus ini yang

telah memberikan bimbingan dan banyak kemudahan dalam penyusunan referat

ini.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki banyak

kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan

penulis demi kebaikan di masa yang akan datang. Harapan penulis semoga

laporan kasus ini bisa membawa manfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Makassar, Februari 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan .................................................................................................... i


Kata Pengantar .............................................................................................................. ii
Daftar Isi ...................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi ...................................................................................................... 2
B. Epidemiologi ............................................................................................. 2
C. Etiologi ...................................................................................................... 5
D. Patogenesis.................................................................................................6
E. Manifestasi Klinis ...................................................................................... 9
F. Varian........................................................................................................ 14
G. Diagnosis .................................................................................................. 15
H. Diagnosis Banding.....................................................................................21
I. Penatalaksanaan ........................................................................................ 24
BAB III LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien ......................................................................................... 28
B. Anamnesis ................................................................................................ 28
C. Pemeriksaan Fisik ..................................................................................... 29
D. Diagnosis .................................................................................................. 31
E. Diagnosis Banding ....................................................................................31
F. Penatalaksanaan ........................................................................................ 31
G. Resume ..................................................................................................... 32
H. Prognosis .................................................................................................. 32
I. Edukasi ..................................................................................................... 33
BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................................ 34
BAB V SIMPULAN .................................................................................................... 41
Daftar Pustaka .............................................................................................................. 42

3
BAB I

PENDAHULUAN

Secara etimologi Herpes Zoster berasal dari bahasa yunani yaitu herpein

(merayap) dan zoster (sabuk).1 Istilah awam masyarakat sendiri biasa menyebut

dengan istilah cacar api dikarenakan terdapat ruam kulit yang menimbulkan nyeri

dan seringkali disertai lepuh atau cacar ular.2

Herpes zoster yang sering disebut dengan istilah shingles adalah penyakit

yang disebabkan oleh varicella zoster virus (VZV), dengan manifestasi klinis

berupa nyeri disertai blister yang muncul mengikuti dermatom saraf dan sering

terbatas pada area di satu sisi tubuh dan membentuk garis. Infeksi awal herpes

zoster adalah varicella atau cacar air yang biasanya menyerang pada usia anak

hingga remaja. Setelah varicella sembuh, virus ini akan dalam keadaan dorman di

ganglion saraf dan dapat teraktivasi menimbulkan herpes zoster apabila imunitas

menurun.3

Herpes zoster memiliki insiden tertinggi dari semua penyakit saraf,

dengan sekitar 500.000 kasus baru setiap tahun di Amerika Serikat. Herpes zoster

termasuk penyakit yang angka kejadiannya kecil, diperkirakan 10-12 %

populasi akan terinfeksi herpes zoster selama hidupnya. Di Indonesia,

prevalensi herpes zoster kurang dari 1%.4

Patogenesis herpes zoster belum seluruhnya diketahui. Selama terjadi

varisela, virus varisela zoster berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan

mukosa ke ujung saraf sensorik dan ditransportasikan secara sentripetal melalui

1
serabut saraf sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion terjadi infeksi laten,

virus tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap

mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi infeksius. Herpes zoster pada

umumnya terjadi pada dermatom sesuai dengan lokasi ruam varisela yang

terpadat. Aktivasi virus varisela zoster laten diduga karena keadaan tertentu yang

berhubungan dengan imunosupresi, dan imunitas selular merupakan faktor

penting untuk pertahanan pejamu terhadap infeksi endogen. 5

Pengobatan herpes zoster yaitu diberikan antivirus berupa aciklovir tablet

dengan dosis 800 mg lima kali sehari selama tujuh sampai 10 hari. Selain itu

diberikn analgetik untuk menghilangkan rasa nyerinya dan bedak salicyl talc

untuk memantu mengurangi gesekan sehingga menghindari pecahnya vesikel. 6

Komplikasi herpes zoster dapat terjadi pada 10-15% kasus, komplikasi

yang terbanyak adalah neuralgia paska herpetik yaitu berupa rasa nyeri yang

persisten setelah krusta terlepas. Komplikasi jarang terjadi pada usia di bawah 40

tahun, tetapi hampir 1/3 kasus terjadi pada usia di atas 60 tahun. Penyebaran dari

ganglion yang terkena secara langsung atau lewat aliran darah sehingga terjadi

herpes zoster generalisata. Hal ini dapat terjadi oleh karena defek imunologi

karena keganasan atau pengobatan imunosupresi. 5

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFENISI

Secara etimologi Herpes Zoster berasal dari bahasa yunani yaitu

herpein (merayap) dan zoster (sabuk).1 Istilah awam masyarakat sendiri

biasa menyebut dengan istilah cacar api dikarenakan terdapat ruam kulit

yang menimbulkan nyeri dan seringkali disertai lepuh atau cacar ular.2

Herpes zoster (HZ) merupakan erupsi vesikuler akut yang disebabkan

oleh reaktivasi dari Varicella Zoster Virus (VZV) dengan manifestasi klinis

berupa nyeri disertai blister yang muncul mengikuti dermatom saraf dan

sering terbatas pada area di satu sisi tubuh dan membentuk garis. Infeksi

awal herpes zoster adalah varicella atau cacar air yang biasanya menyerang

pada usia anak hingga remaja. Setelah varicella sembuh, virus ini akan

dalam keadaan dorman di ganglion saraf dan dapat teraktivasi menimbulkan

herpes zoster apabila imunitas menurun.3

B. EPIDEMIOLOGI

Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa prevalensi

musiman dan tidak tergantung pada prevalensi varisela. Tidak ada bukti

yang meyakinkan bahwa herpes zoster dapat diperoleh melalui kontak

dengan orang-orang dengan varisela atau herpes zoster. Melainkan, kejadian

herpes zoster ditentukan oleh faktor-faktor yang memengaruhi hubungan

virus host dan keberadaan respons imun yang diperlukan untuk mencegah

reaktivasi kembali dari VZV laten.7

3
Terdapat 1 juta kasus herpes zoster yang terjadi di Amerika Serikat

setiap tahun, dengan insiden 1,2 sampai 4,8 kasus per 1000 orang per tahun.

Herpes zoster biasanya muncul pada orang berkulit putih (35% lebih tinggi

dibandingkan orang kulit gelap) dan insiden meningkat 3 sampai 7 kali lebih

tinggi pada orang lanjut usia. Pada pasien immunocompromised memiliki

risiko 20 kali lebih tinggi dibandingkan pasien immunocompetent.

Beberapa studi melaporkan insiden pada wanita lebih tinggi dibandingkan

laki-laki (3,8 kasus per 1000 penduduk per tahun pada wanita dan 2,6 kasus

per 1000 penduduk per tahun). 8

Secara umum, herpes zoster jarang terjadi pada individu yang berusia

kurang dari 10 tahun dan jarang terjadi pada bayi. Semakin muda seorang

anak ketika ia menderita varisela, semakin besar kemungkinan herpes zoster

akan berkembang masa kanak-kanak atau dewasa awal. Dalam hal ini,

herpes zoster infantil lebih sering dikaitkan dengan infeksi virus uterus

varisela-zoster daripada infeksi postnatal. Pada sekitar 2% anak-anak

terpapar virus varisela-zoster di dalam rahim, varisela subklinis

berkembang, dan karena itu mereka berisiko untuk herpes zoster setelah

kelahiran.9

Varicella zoster virus (VZV) memiliki level infektifitas yang tinggi dan

memiliki prevalensi yang terjadi di seluruh dunia. Herpes zoster tidak

memiliki kaitan dengan musim dan tidak terjadi epidemik. Hubungan yang

kuat terdapat pada peningkatan usia, yaitu 1,2 sampai 3,4 per 1000

4
penduduk per tahun pada orang sehat berusia muda, dan meningkat menjadi

3,9 sampai dengan 11,8 per 1000 penduduk pada usia di atas 65 tahun.10

Tidak terdapat bukti yang kuat untuk menunjukan adanya hubungan

genetik dengan penyakit Herpes Zoster. Suatu studi pada tahun 1994 di

California, Amerika Serikat menunjukan adanya komplikasi pada 26% kasus

herpes zoster, insiden 2,1 per 100.000 penduduk per tahun dan meningkat

menjadi 9,3 per 100.000 penduduk per tahun pada usia 60 tahun ke atas.8

Menurut Data Depkes pada tahun 2011-2013 Didapatkan prevalensi

herpes zoster dari 13 rumah sakit pendidikan di Indonesia sepanjang 2011

hingga 2013 mencapai 2.232 kasus. Puncak kasus terjadi pada penderita

berusia 45-64 tahun dengan jumlah 851 kasus atau 37,95 persen dari total

kasus herpes zoster.4

C. ETIOLOGI

Gambar 1. Morfologi Herpervirus varicellae

5
Varicella zoster virus (VZV) adalah virus yang menyebabkan cacar
air (chicken pox) dan herpes zoster (shingles). VZV memiliki klasifikasi
taksonomi sebagai berikut :

Kelas : Kelas I (dsDNA)

Famili : Herpesviridae

Upafamili : Alphaherpesvirinae

Genus : Varicellovirus

Spesies : Human herpes zoster

Varicella zoster adalah virus yang hanya dapat hidup di manusia dan
primata (simian). Pertikel virus (virion) varicella zoster memiliki ukuran
120-300 nm. Virus ini memiliki 69 daerah yang mengkodekan gen tertentu
sedangkan genom virus ini berukuran 125 kb (kilo-basa). Komposisi virion
adalah berupa kapsid, selubung virus, dan nukleokapsid yang berfungsi
untuk melindungi inti berisi DNA double stranded genom. Nukleokapsid
memiliki bentuk ikosahedral, memiliki diameter 100-110 nm, dan terdiri
dari 162 protein yang dikenal dengan istilah kapsomer. Virus ini akan
mengalami inaktivasi pada suhu 56-60 °C dan menjadi tidak berbahaya
apabila bagian amplop virus ini rusak. Penyebaran virus ini dapat terjadi
melalui pernapasan dan melalui vesikel pada kulit pada penderita.11

D. PATOGENESIS

Selama perjalanan dari varicella, VZV lewat melalui lesi di kulit dan
permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik dan diangkut secara sentripetal
sampai serabut saraf sensorik ke ganglia sensoris. Di ganglia, virus
membentuk infeksi laten yang bertahan untuk hidup. Herpes zoster terjadi
paling sering pada dermatom dimana ruam varicella terbanyak yang
diinervasi oleh saraf oftalmikus dari ganglia sensoris trigeminal dari T1 ke
L27

6
Walaupun virus laten di ganglia mempertahankan potensi untuk
infektivitas penuh, reaktivasi bias sewaktu-waktu dan jarang, infeksi virus
tdak tampak saat fase laten. Mekanisme yang terlibat dalam reaktivasi VZV
laten tidak jelas, namun reaktivasi telah dikaitkan dengan immunosupresi,
stres emosional, iradiasi dari sumsum tulang belakang, keterlibatan tumor,
serabut ganglion dorsalis, atau struktur yang berdekatan, trauma lokal,
manipulasi bedah tulang belakang , dan sinusitis frontalis (sebagai endapan
zoster oftalmica). Yang paling penting adalah penurunan kekebalan seluler
VZV spesifik yang terjadi dengan bertambahnya usia 7

VZV juga dapat mengaktifkan kembali tanpa menghasilkan penyakit


yang jelas. Jumlah kecil yang dilepaskan antigen virus selama reaktivasi
tersebut, diharapkan dapat merangsang dan mempertahankan system
kekebalan tubuh VZV. 7

Ketika kekebalan seluler VZV spesifik berada pada beberapa tingkat


kritis, reakticasi virus tidak terkandung lagi. Virus berkembang biak dan
menyebar di dalam ganglion, menyebabkan nekrosis neuronal dan peradangan
parah, sebuah proses yang sering disertai dengan neuralgia parah. Infeksi VZV
kemudian menyebar secara antidromikal menuruni saraf sensorik,
menyebabkan neuritis parah, dan dilepaskan dari saraf sensorik yang berakhir
di kulit, di mana ia menghasilkan karakteristik dari vesikel zoster. Penyebaran
infeksi ganglionic proksimal sepanjang akar saraf posterior ke meninges dan
hasil serabut di leptomeningitis lokal, pleocyosis cairan serebrospinal, dan
myelitis segmental. Infeksi motor neuron di kornu anterior dan radang akun
akar saraf anterior untuk palsi lokal yang mungkin menyertai erosi kulit, dan
infeksi berkelanjutan dalam sistem saraf pusat (SSP) dapat mengakibatkan
komplikasi herpes zoster (meningoenchepalitis, myelitis melintang). 7

7
Gambar2. Varicella dan Herpes Zoster
A. Selama infeksi (varicella dan cacar air) primer varicella-zoster virus (VZV) virus
menginfeksi ganglia sensoris. B. VZV tetap dalam fase laten dalam ganglia untuk
kehidupan C. Indiviual dengan fungsi kekebalan tubuh berkurang, VZV aktif
kembali dalam ganglia sensoris, turun melalui saraf sensorik, dan direplikasi di
kulit.7

Patogenesa Nyeri pada Herpes Zoster dan Postherpetic Neuralgia

Nyeri adalah gejala utama dari herpes zoster. Didahului dengan gejala
ini dan umumnya disertai ruam, dan gejala ini sering berlanjut walau ruam
sudah sembuh, dengan komplikasi yang dikenal sebagai postherpetic
neuralgia (PHN). Sejumlah mekanisme yang berbeda tetapi tumpang tindih
tampaknya terlibat dalam patogenesis nyeri pada herpes zoster dan PHN.7

Cedera pada saraf perifer dapat memicu sinyal rasa nyeri pada saraf di
ganglion aferen. Peradangan di kulit memicu sinyal nosiseptif yang lebih
terasa nyeri di kulit. Rilis yang berlebihan dari pengeluaran asam amino dan
neuropeptida yang disebabkan oleh rentetan berkelanjutan dari impuls
afferent selama fase akut dan prodormal pada herpes zoster kemungkinan
dapat menyebabkan cedera eksitotoksik dan hilangnya hambatan interneuron
di sumsum tulang belakang. Kerusakan neuron di sumsum tulang belakang,
ganglion dan saraf perifer, adalah penting dalam patogenesis PHN. Kerusakan
saraf aferen primer dapat menjadi aktif secara spontan dan peka terhadap

8
rangsangan perifer dan simpatis. Aktivasi nosiseptor yang berlebihan dan
impuls ektopik mungkin, menurunkan sesitivitas SSP. penambahan dan
perpanjangan rangsangat pada pusat itu berbahaya. Pada klinis, ini dinamakan
allodynia (nyeri dan / atau sensasi yang tidak menyenangkan yang
ditimbulkan oleh rangsangan yang biasanya tidak menyakitkan (sentuhan
ringan) dengan rangsang sensori sedikit atau tidak ada sama sekali. 7

Perubahan anatomi dan Fisiologi bertanggung jawab terhadap


manifestasi PHN yang dibentuk di awal perjalanan dari hepes zoster. Hali ini
akan menjelaskan korelasi antara keparahan nyeri awal dan adanya nyeri
prodormal dengan perkembangan selanjutnya dari PHN, dan kegagalan terapi
antivirus untuk mencegah PHN. 7

Gambar 3. Patognesis PHN (3)

E. GAMBARAN KLINIS

Gejala awal herpes zoster yang tidak spesifik meliputi sakit kepala,
demam, dan malaise. Gejala-gejala tersebut lalu diikuti oleh sensasi
nyeri terbakar, gatal, hyperesthesia atau paresthesia pada dermatom yang
terkena. Gejala yang timbul ini bisa berkembang menjadi ringan

9
maupun berat. Gejala herpes zoster pada anak-anak lebih sering tidak
menimbulkan rasa nyeri, sedangkan pada usia lanjut cenderung lebih
nyeri dan berkembang menjadi lebih parah. Sensasi yang sering
dirasakan pada dermatom dapat berupa rasa tersengat, tertusuk, nyeri,
mati rasa, maupun rasa seperti tertimpa beban berat.7

Pada kebanyakan kasus, setelah satu sampai dua hari tetapi pada
beberapa kasus bisa sampai bermingu-minggu setelah gejala tersebut
muncul akan diikuti oleh munculnya tanda berupa lesi pada kulit. Rasa
nyeri dan lesi pada kulit biasanya muncul pada ekstrimitas, tetapi
dapat juga muncul pada wajah, mata, maupun bagian tubuh lain. Lesi awal
terlihat mirip dengan lesi yang tampak pada cacar air, namun lesi pada
herpes zoster terbatas pada dermatom, yang biasanya akan tampak
seperti ikat pinggang atau berupa garis yang terletak unilateral dan
tidak melewati garis tengah tubuh. Lesi yang muncul bilateral
biasanya terjadi pada kasus immunocompromised. Zoster sine
herpete(zostertanpa herpes) adalah pasien yang memiliki semua gejala
herpes zoster tanpa penampakan lesi.7

Selanjutnya, lesi berubah menjadi vesikel yang membentuk blister


kecil yang dipenuhi oleh eksudat serous, pada fase ini gejala berupa
demam dan malaise masih berlanjut. Pada akhirnya lesi berubah menjadi
lebih gelap karena terisi darah, dan menjadi krusta setelah 7-10 hari.
Biasanya krusta akan lepas dengan sendirinya dan penampakan kulit
kembali normal. Namun pada beberapa kasus, setelah proses blisterring
yang lama, akan meninggalkan bekas berupa scar dan perubahan warna
kulit menjadi lebih gelap pada dermatom yang terkena7

10
Gambar 4. Gambaran klinis herpes zoster (Sumber: Fitzpatrick) Dermatom 7

Gambar 5. Gambaran dermatom sensorik tubuh manusia

Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf
spinalis. Masing masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang
dipersarafinya ke otak. Dermatom pada dada dan perut seperti tumpukan

11
cakram yang dipersarafi oleh saraf spinal yang berbeda, sedangkan
sepanjang lengan dan kaki, dermatom berjalan secara longitudinal sepanjang
anggota badan.7

Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk


menemukan tempat kerusakan saraf saraf spinalis. Virus yang menginfeksi
saraf tulang belakang seperti infeksi herpes zoster (shingles), dapat
mengungkapkan sumbernya dengan muncul sebagai lesi pada dermatom
tertentu.7

Berikut merupakan penjabaran manifestasi klinis herpes zoster:

1. PRODROMAL

Nyeri dan paresthesia pada dermatom yang terlibat sering

mendahului erupsi 1 hingga 3 hari, tetapi kadang-kadang seminggu

atau lebih lama. Sensasi abnormal bervariasi dari gatal superfisial,

kesemutan, atau terbakar hingga sakit parah. Rasa sakitnya bisa

konstan atau intermiten, dan seringkali disertai dengan kelembutan dan

hiperestesia kulit pada dermatom yang terlibat. Nyeri prodromal dari

herpes zoster mungkin dikacaukan dengan nyeri akibat penyakit pada

organ visceral (seperti infark miokard, kolesistitis, kolik ginjal, diskus

intervertebral yang prolaps), dan ini dapat menyebabkan misdiagnosis

dan investigasi salah arah serta intervensi dan intervensi. Nyeri

prodromal jarang terjadi pada orang imunokompeten yang lebih muda

dari 30 tahun, tetapi terjadi pada sebagian besar orang dengan herpes

zoster di atas usia 60 tahun. Beberapa pasien mengalami neuralgia

segmental akut tanpa pernah mengembangkan erupsi kulit — suatu

kondisi yang dikenal sebagai zoster sine herpete. 7

12
2. RUAM

Ciri khas herpes zoster yang paling khas adalah lokalisasi dan

distribusi ruam, yang bersifat unilateral dan umumnya terbatas pada

area kulit yang dipersarafi oleh ganglion sensoris tunggal. Kulit

dipasok oleh saraf trigeminal, terutama divisi oftalmikus (10% -15%),

dan batang dari T3 ke L2 (> 50%), paling sering terkena; lesi herpes

zoster jarang pada distal ke siku atau lutut. 7

Meskipun lesi individual herpes zoster dan varisela secara

histologis tidak dapat dibedakan, lesi herpes zoster cenderung

berkembang lebih lambat dan biasanya terdiri dari vesikel yang

dikelompokkan secara erat pada basis eritematosa, daripada vesikel

varisela yang terdistribusi secara acak dan terpisah. Perbedaan ini

mencerminkan penyebaran virus (aksonal) intraneural ke kulit dalam

herpes zoster, sebagai lawan dari penyebaran viremia pada varisela.

Lesi herpes zoster dimulai sebagai makula eritematosa dan papula

dalam distribusi dermatomal. Vesikel terbentuk dalam waktu 12 hingga

24 jam dan berevolusi menjadi pustula pada hari ketiga. Kemudian

kering dan keras dalam 7 hingga 10 hari. Pada orang normal, lesi baru

terus muncul selama 1 hingga 4 hari (kadang-kadang selama 7 hari).

Ruam ini paling parah dan berlangsung paling lama pada orang tua,

dan paling parah pada anak-anak. 7

3. NYERI

13
Meskipun ruam itu penting, nyeri adalah gejala utama dari herpes

zoster, terutama pada orang tua. Beberapa pasien dengan herpes zoster

tidak mengalami rasa sakit, tetapi sebagian besar (> 85% di atas usia

50) memiliki nyeri dermatomal atau ketidaknyamanan selama fase

akut (30 hari pertama setelah onset ruam) yang berkisar dari ringan

hingga berat. Pasien menggambarkan rasa sakit atau ketidaknyamanan

mereka sebagai "terbakar," "sakit dalam," "kesemutan," atau

"menusuk." 7

Pada beberapa pasien, gatal-gatal mungkin merupakan gejala

utama. Untuk beberapa pasien, intensitas rasa sakit sangat hebat

sehingga kata-kata seperti "mengerikan" atau "menyiksa" digunakan

untuk menggambarkan pengalaman. 7

4. PRURITUS

Gatal sering merupakan gejala yang menonjol dan menyusahkan

sepanjang fase akut herpes zoster. 7

F. VARIAN HERPES ZOSTER

Gejala khas dari herpes zoster tidak selalu muncul. Pada


beberapa kasus herpes zoster, khususnya yang menyerang pasien
imunokompromise, menyebabkan manifestasi atipikal yaitu diantaranya
adalah herpes zoster diseminata, bulosa, gangrenosa, dan hemoragik.7

Herpes zoster desiminata adalah kondisi yang menimbulkan lebih


dari 20 lesi kutaneus diluar lesi pada dermatom. Selain kulit, organ
lain seperti liver atau otak juga terkena (menyebabkan hepatitis atau
encephalitis), sehingga dapat mengakibatkan letal.7

14
Herpes zoster gangrene adalah keadaan dimana lesi herpes zoster
disertai dengan munculnya gangrene, yang merupakan hasil dari proses
nekrosis. Hal ini disebabkan karena adanya superinfeksi bakteri yang
berpotensi mengancam jiwa. 7

Terdapat pula sindrom nyeri atipikal yang tidak menunjukan lesi


kutaneus seperti blister dan kemerahan, namun pada pemeriksaan serologi
dan PCR ditemukan adanya reaktivasi VZV. Sindrom ini disebut dengan
zoster sine herpeteatau herpes zoster tanpa rash. 7

Herpes zoster hemoragik adalah infeksi sistemik letal dari VZV. Kasus
ini sering terkait gangguan hematologi pada pasien imunokompromise,
seperti pada leukemia atau penerima transplantasi bone marrow. Vesikel
hemoragik yang irregular sering muncul pada badan, wajah, dan kepala. 7

G. DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis herpes zoster umumnya didasari gambaran


klinis. Komponen utama dalam penegakan diagnosis adalah terdapatnya:

1. Gejala prodromal berupa nyeri


2. Distribusi yang khas dermatomal
3. Vesikel berkelompok, atau dalam beberapa kasus ditemukan papul
4. Beberapa kelompok lesi mengisi dermatom, terutama dimana terdapat
nervus sensorik
5. Tidak ada riwayat ruam serupa pada distribusi yang sama
(menyingkirkan herpes simpleks zosteriformis)
6. Nyeri dan allodinia (nyeri yang timbul dengan stimulus yang secara
normal tidak menimbulkan nyeri) pada daerah ruam.7
Pemeriksaan laboratorium direkomendasikan bila lesi atipikal seperti

lesi rekuren, dermatom yang terlibat multipel, lesi tampak krusta kronis atau

nodul verukosa dan bila lesi pada area sakral sehingga diragukan

15
patogennya virus varisela zoster atau herpes simpleks. Pemeriksaan

laboratorium yang dapat dilakukan adalah PCR yang berguna pada lesi
krusta, imunoflouresensi direk dari spesimen lesi vesikular, dan kultur virus
yang tidak efektif karena membutuhkan waktu 1-2 minggu.1,7

Untuk kasus- kasus yang tidak jelas, deteksi antigen atau nucleus acid

varicella zoster virus, isolasi virus dan sediaan hapus lesi atau pemeriksaan

antibiotic IgM spesifik diperlukan. Pemeriksaan dengan teknik polymerase

chain reaction (PCR) merupakan tes diagnostic yang paling sensitive dan

spesifik (dapat mendeteksi virus varisela zoster dari cairan vesikel).7

Lesi varisela dan herpes zoster tidak dapat dibedakan dengan

histopatologi. Infeksi kulit VZV diawali oleh infeksi sel epitel di lapisan

basal (stratum germinativum) dan stratum spinosum. Lesi papula yang

dihasilkan berevolusi menjadi vesikel intraepitel dalam waktu 12 hingga 24

jam sebagai akibat dari infeksi peningkatan jumlah sel epitel, yang

menunjukkan acanthosis, "degenerasi balon," badan inklusi intranuklear

eosinofilik (asidofilik), dan pembentukan sel raksasa berinti banyak.7

Masuknya cairan edema meningkatkan stratum korneum yang tidak

terlibat untuk membentuk vesikel bening yang halus yang mengandung

sejumlah besar virus infeksi sel bebas dan sel raksasa berinti banyak dengan

badan inklusi intranuklear eosinofilik. Sel-sel raksasa berinti banyak

terbentuk oleh fusi sel-sel epitel yang terinfeksi dengan sel-sel yang

terinfeksi dan tidak terinfeksi yang berdekatan di pangkalan dan pinggiran

vesikel. Dermis yang mendasarinya menunjukkan edema dan infiltrasi sel

mononuklear. 7

16
Kehadiran sel raksasa berinti banyak dan sel epitel yang mengandung

badan inklusi intranuklear asidofilik membedakan lesi kulit yang dihasilkan

oleh VZV dari semua erupsi vesikular lainnya, seperti yang disebabkan oleh

poxvirus, Coxsackievirus, dan echovirus, kecuali untuk yang diproduksi

oleh HSV. Sel-sel ini dapat diperlihatkan dalam apusan Tzanck yang

disiapkan di samping tempat tidur dari bahan yang dikikis dari dasar lesi

vesikular dan diwarnai dengan hematoxylin dan eosin, Giemsa, atau

pewarnaan sejenis. Ketika cairan vesikel yang mengandung virus

diinokulasi ke dalam kultur jaringan fibroblast manusia, sel raksasa berinti

banyak yang serupa yang mengandung badan inklusi intranuklear asidofilik

terbentuk oleh fusi sel yang terinfeksi dengan sel yang terinfeksi dan yang

tidak terinfeksi yang berdekatan. 7

Tes diagnostik terbaik untuk mendeteksi VZV adalah reaksi rantai

polimerase (PCR) karena sensitivitas dan spesifisitasnya yang sangat tinggi,

ketersediaan siap, dan waktu penyelesaian yang relatif cepat (1 hari atau

kurang) . Cairan vesikel adalah spesimen terbaik untuk analisis PCR, tetapi

kerokan lesi, kerak, biopsi jaringan, atau cairan serebrospinal sama-sama

bermanfaat. PCR dapat membedakan VZV dari HSV, dan wildtype VZV

dari strain vaksin Oka dari VZV Isolasi virus kurang sensitif dan mungkin

memakan waktu seminggu atau lebih, tetapi itu adalah satu-satunya teknik

yang menghasilkan VZV menular untuk analisis lebih lanjut, seperti

penentuan sensitivitas terhadap obat antivirus. VZV sangat labil, dan hanya

30% hingga 60% dari kultur dari kasus yang terbukti umumnya positif.

17
Untuk memaksimalkan pemulihan virus, spesimen harus segera diinokulasi

ke dalam kultur sel. Penting untuk memilih vesikel baru yang mengandung

cairan bening untuk aspirasi, karena kemungkinan mengisolasi VZV

berkurang dengan cepat ketika lesi menjadi pustular. VZV hampir tidak

pernah diisolasi dari kerak. 7

Tes serologis memungkinkan diagnosis retrospektif varisela dan

herpes zoster ketika serum akut dan konvalesen tersedia untuk

perbandingan, tetapi ini jarang dilakukan. Tes serologis lebih penting untuk

mengidentifikasi individu yang rentan yang mungkin kandidat untuk isolasi

atau profilaksis. Teknik yang paling umum digunakan adalah uji

imunosorben terkait-enzim fase padat (ELISA). Namun, tes ini (ada banyak

sumber komersial) sering kurang sensitivitas.7

Sekelompok vesikel, terutama di dekat mulut atau alat kelamin, dapat

mewakili herpes zoster, tetapi juga mungkin infeksi HSV berulang .

Zosteriform herpes simplex sering tidak mungkin dibedakan dari herpes

zoster karena alasan klinis. Dengan tidak adanya defisiensi imun yang jelas

dan klinis, riwayat berulangnya beberapa kali pada dermatom yang sama

membedakan herpes simpleks zosteriform dari herpes zoster. 7

18
Gambar 6 – Pemeriksaan Tzanck, dengan pewarnaan wright terlihat sel giant
multinuklear; sedangkan pada imunofluoresensi direk pendaran warna hijau
mengindikasikan terdapatnya antigen virus varisela zoster7

19
Gejala dan pemeriksaan fisik

Sesuai Tidak

Herpes zoster Diagnosis banding lainnya

HZO/sindrom RH/organ
Ya Terapi antiviral oral
viseral/dengan keterlibatan motorik
Rujuk ke spesialis terkait

Tidak

Terapi antiviral oral ditambah


Faktor resiko NPH? analgesic asetaminofen +
Ya
amitriptilin atau gabapentin atau
pregabalin

Tidak

Terapi suportif
Terapi antiviral oral ditambah  Mempertahankan lesi kulit bersih dan kering
analgesic  Rasa tidak nyaman: kompres basah / dingin /
asetaminofen/NSAID losio kalamin
 Infeksi sekunder: antibiotik topikal atau oral
 Asiklovir topikal tidak direkomendasikan

Gambar 7. Bagan alur diagnosis Herpes Zoster.12

20
H. DIAGNOSA BANDING

1. Dermatitis Venenata

Dermatitis venenata merupakan salah satu bagian dari dermatitis

kontak iritan tipe akut lambat yang biasanya disebabkan oleh gigitan,

liur, atau bulu serangga yang terbang pada malam hari, dimana

gambaran klinis dan gejalanya baru muncul 8 sampai 24 jam atau lebih

setelah kontak.13

Dermatitis kontak iritan akut akibat toxin serangga, paling sering

terjadi di daerah yang panas serta beriklim tropis, salah satu yang

tersering adalah paederin, suatu toksin yang disekresi oleh serangga

dari genus paederus, yang termasuk dalam ordo Coleoptera. Paederus

dewasa lebih suka bertelur di tempat lembab, vegetasi dirawa dan

ladang pertanian, seranga ini berukuran kecil dengan permukaan tubuh

yang halus, memiliki panjang sekitar 7–13 mm. berwarna oranye,

kecuali untuk kepala, sayap depan dan ujung perut, yang berwarna

hitam. 13

Serangga paederus tidak menggigit ataupun menyengat. Toksin

dikeluarkan serangga bila terjadi sentuhan atau benturan dengan kulit

secara langsung atau tidak langsung melalui handuk, baju, atau alat

lain yang tercemar oleh racun serangga tersebut. Kelainan kulit dapat

berupa lepuhan, kulit kemerahan, di atasnya terdapat vesikel papul,

pustule, bentuk polimorf, multipel, tersebar tergantung penyebaran

21
racun. Paederin menyebabkan reaksi pada kulit sekitar 24 jam setelah

kontak. Respon yang berbeda terlihat pada kulit tergantung pada

konsentrasi durasi paparan, dan karakteristik individu. 13

Umumnya Lesi berbentuk linear. Dalam kasus ringan, eritema

ringan dapat berlangsung selama beberapa hari. Kasus yang berat,

selain menunjukkan lesi yang lebih luas, dapat menunjukkan gejala

tambahan, seperti demam, neuralgia, artralgia, dan muntah. Bagian

tubuh yang paling sering terkena termasuk wajah, leher, bahu, lengan

dan area di sekitar pinggang. Dapat pula terjadi kondisi kissing lesion

yaitu sepasang lesi kulit yang sama yang terjadi akibat lesi kulit

pertama menempel pada kulit normal lainnya. 13

Gambar 8. Dermatitis venenata. Gambar 9. Herpes zoster

2. Herplex Simplex Zosteriform

Virus herpes simpleks (HSV) adalah agen penyebab infeksi kulit

berulang yang ditandai secara klinis oleh vesikel dan borok

eritematosa yang menyakitkan. Penularan terjadi melalui kontak kulit

langsung dengan lesi atau sekresi yang terinfeksi. Virus herpes

simpleks tipe 1 (HSV-1) terutama menyebabkan lesi oral dan perioral,

sedangkan herpes simpleks tipe 2 (HSV-2) biasanya menyebabkan

22
infeksi genital. Herpes simplex tipe 1 mempengaruhi 70-80% orang

dewasa dan umumnya didapat selama masa kanak-kanak melalui

transmisi nonseksual. Infeksi herpes simpleks tipe 2 terutama didapat

melalui kontak seksual dengan individu yang simtomatik atau

asimptomatik.14

Masa inkubasi setelah infeksi HSV adalah antara 2 dan 14 hari.

Erupsi awal sering didahului dengan sensasi terbakar, gatal,

kesemutan, atau nyeri yang dapat terjadi berjam-jam sebelum

timbulnya lesi kulit. 14

Ruam herpes simpleks ditandai oleh vesikel kecil yang

dikelompokkan pada dasar eritematosa yang akhirnya membentuk

ulkus superfisial yang menyakitkan dengan cairan dan lapisan kulit di

atasnya. Berbeda dengan lesi kulit, ulserasi di daerah mukosa

cenderung tetap lembab dan tidak membentuk kerak. Infeksi dengan

HSV-1 cenderung mempengaruhi daerah oral dan perioral, meskipun

lesi mungkin menyebar ke daerah genital. HSV-1 terutama

mempengaruhi permukaan mukosa mulut keratin termasuk bibir

kutaneus, lidah dorsal dan lateral, gingiva, dan palatum keras. Ruam

HSV-2 biasanya mempengaruhi batang dan kelenjar penis pada pria

dan labia dan meatus uretra pada wanita. Wabah pada wanita

cenderung lebih luas dan parah. 14

Temuan sistemik seperti kelelahan, demam, malaise, dan

limfadenopati lunak adalah umum, terutama dengan infeksi awal. Lesi

23
HSV-1 dan HSV-2 biasanya sembuh setelah 10-14 hari, meskipun

virus masih tetap ada dalam keadaan tidak aktif di ganglia akar saraf

lokal. 14

Gambar 10. Herpes simpleks zosteriform. Gambar 11. Herpes zoster

I. PENGOBATAN

1. Sistemik

a. Obat antivirus

Obat antivirus terbukti menurunkan durasi lesi herpes zoster

dan derajat keparahan nyeri herpes zoster akut. Efektivitasnya

dalam mencegah NPH masih kontroversial. Tiga antivirus oral

yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk

terapi herpes zoster, famsiklovir (Famvir®), valasiklovir

hidrokhlorida(Valtrex®), dan asiklovir (Zovirax®), Bioavailabilitas

asiklovir hanya 15-20%, lebih rendah dibandingkan valasklovir

(65%) dan famsiklovir (77%) Antivirus famsiklovir 3x 500mg atau

valasiklovir 3x 1000 mg atau asikiovir 5x 800 mg diberikan

sebelum 72 Jam awitan lesi selama 7 hari.6

b. Kortikosteroid

24
Pemberian kortikosteroid oral sering dilakukan, walaupun

berbagai peneltian menunjukkan hasil beragam.Prednison yang

digunakan bersama asiklovir dapat mengurangi nyeri akut. Hal ini

disebabkan penurunan derajat neuritis akibat infeksi virus dan

kemungkinan juga menurunkan derajat kerusakan pada saraf yang

terlibat. 6

Akan tetapi pada penelitian lain, penambahan kortikosteroid

hanya memberikan sedikit manfaat dalam memperbaiki nyeri dan

tidak bermanfaat untuk mencegah NPH, walaupun memberkan

perbaikan kualitas hidup. Mengingat risiko komplikasi terapi

kortikosteroid lebih berat daripada keuntungannya, Departemen

Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUIRSCM tidak

menganjurkan pemberian kortikosterold pada herpes zoster. 6

c. Analgesik

Pasien dengan nyeri akut ringan menunjukkan respons baik

terhadap AINS (asetosal, piroksikam, ibuprofen, diklofenak), atau

analgetik non opioid (parasetamol, tramadol, asam mefenamat),

Kadang-kadang dibutuhkan opioid (kodein, morfin atau

oksikodon) untuk pasien dengan nyeri kronik hebat. Pernah dicoba

pemakaiankombinasi parasetamol dengan kodein 30-60 mg. 6

d. Antidepresan dan antikonvulsan

25
Penelitian-penelitian terakhir menunjukkan bahwa kombinasi

terapi asiklovir dengan antidepresan trisiklik atau gabapentin sejak

awal mengurangi prevalensi NPH. 6

2. Topikal

a. Analgetik topical

1) Kompres

Kompres terbuka dengan solusio Burowi dan solusio Calamin

(Caladry®) dapat digunakan pada lesi akut untuk mengurangi

nyeri dan pruritus, Kompres dengan Solusio Burowi

(alumunium asetat 5%) dilakukan 4-6 kali/hari selama 30-60

menit. Kompres dingin atau cold pack juga sering digunakan. 6

2) Antiinflamasi non steroid

Berbagai AINS topikal seperti bubuk aspirin dalam kloroform

atau etil eter, krim indometasin dan diklofenak banyak dipakai.

Asam asetil salisilat topikal dalam pelembab lebih efektif

dibandingkan aspirin oral dalam memperbaiki nyeri akut.

Aspirin dalam etil eter atau kloroform dilaporkan aman dan

bermanfaat menghilangkan nyeri untuk beberapa jam. Krim

indometasin sama efektifnya dengan aspirin, dan aplikasinya

lebih nyaman. 6

Penggunaannya pada area luas dapat menyebabkan gangguan

gastrointestinal akibat absorpsi per kutan. Penelitian lain

26
melaporkan bahwa krim indometasin dan diklofenak tidak

lebih baik dari plasebo. 6

b. Anastesi local

Pemberian anestetik lokal pada berbagai lokasi sepanjang jaras

saraf yang terlibat dalam herpes zoster telah banyak dilakukan

untuk menghilangkannyeri. Pendekatan seperti infltrasi lokal

subkutan, blok saraf perifer, ruang paravertebral atau epidural, dan

blok simpatis untuk nyeri yang berkepanjangan sering digunakan.

Akan tetapi, dalam studi prospektif dengan kontrol berskala besar,

efikasi blok saraf terhadap pencegahan NPH belum terbukti dan

berpotensi menimbulkan risiko. 6

c. Kortikosteroid

Krim/losio mengandung yang kortikosteroid tidak digunakan

pada lesi akut herpes zoster dan juga tidak dapat mengurangi resiko

terjadinya NPH. 6

J. PENCEGAHAN

Vaksin herpes zoster [Oka/Merck] ditujukkan untuk mencegah

terjadinya herpes zoster dengan meningkatkan kekebalan tubuh – VZV

spesifik, yang merupakan mekanisme yang melindungi terhadap reaktivasi

VZV dan komplikasinya.15

Pemberian booster vaksin variseka strain Oka terhadap orangtua harus

dipikirkan untuk meningkatkan kekebalan spesifik terhadap VZV sehingga

dapat memodifikasi perjalanan penyakit herpes zoster. 15

27
BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Tn. AM

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tanggal lahir/ Usia : 01-09-1998/ 22 Tahun

Pekerjaan : Mahasiswa

Tanggal Periksa : 27 Januari 2020

Alamat : Perum. Romang Polong Indah, Gowa

B. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada

tanggal 27-01-2020 di Poli Kulit dan Kelamin RSUD Syekh Yusuf Gowa.

1. Keluhan Utama :

Nyeri dan terasa panas

2. Riwayat Penyakit

Pasien laki-laki berusia 22 tahun datang di Poli Kulit dan Kelamin

RSUD Syekh Yusuf Gowa dengan keluhan nyeri, gatal dan terasa

panas sebagian besar berlokasi pada daerah punggung kanan dan

sebagian kecil di daerah dada kanan. Keluhan nyeri pertama kali

muncul sejak kurang lebih 1 minggu yang lalu. Nyeri di rasakan hilang

timbul dan biasa pada sore-malam hari. Selain itu terdapat lesi kulit

berupa bintik-bintik kecil berukuran jarum pentul hingga biji jagung

berwarna merah gelap berisi air dengan dasar kulit merah pada daerah

28
sekitar lesi. Pada awalnya pasien hanya merasa gatal hingga nyeri pada

punggung kiri, namun lama kelamaan muncul bintik kemerahan berisi

air yang berkelompok dan semakin banyak tiap harinya. Lesi

menyebar ke daerah dada kanan 3 hari terakhir dan berwarna semakin

gelap dengan ciri yang sama. Pasien juga mengeluh lemas dan demam

sebelumnya dan telah mengonsumsi obat paracetamol dan asam

mefenamat dari puskesmas sejak 4 hari yang lalu. Riwayat alergi

disangkal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat cacar air ketika berusia kurang lebih 1 SMA (15 tahun), dan

berobat di puskesmas terdekat.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Terdapat keluarga dengan riwayat cacar air sebelumnya yaitu adik

kandung pasien.

5. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien adalah seorang Mahasiswa

C. Pemeriksaan Fisik

Status Dermatologikus

Distribusi : Regional
Ad Regio : Thorakalis
Deskripsi : Sebagian besar vesikel hingga bula dengan permukaan

lesi hiperpigmentasi, beberapa terdapat pustule, seluruh lesi

berdasar eritem, dengan ukuran milier hingga lenticular,

tersebar sebagian besar di punggung kanan dan beberapa

29
di dada kanan
Efflorosensi : Vesikel dan bula berkelompok dengan dasar eritematous

Tampak depan

Tampak samping

30
Tampak belakang

D. Diagnosis

Herpes Zoster

E. Diagnosis Banding

1. Dermatitis venenata

2. Herpes simplex zosteriform

3. Varicella

4. Dermatitis kontak alergi

F. Penatalaksanaan

1. Asiklovir 800mg 5x1

2. Neurosanbe 500mg 2x1

3. MBO talc

4. Fusipar cream

5. Mespirol 500 mg 2x1

31
G. Resume

Pasien laki-laki berusia 22 tahun datang di Poli Kulit dan Kelamin RSUD

Syekh Yusuf Gowa dengan keluhan nyeri, gatal dan terasa panas sebagian

besar berlokasi pada daerah punggung kanan dan sebagian kecil di daerah

dada kanan. Keluhan nyeri pertama kali muncul sejak kurang lebih 1

minggu yang lalu. Nyeri di rasakan hilang timbul dan biasa pada sore-

malam hari. Selain itu terdapat lesi kulit berupa bintik-bintik kecil

berukuran jarum pentul hingga biji jagung berwarna merah gelap berisi air

dengan dasar kulit merah pada daerah sekitar lesi. Pada awalnya pasien

hanya merasa gatal hingga nyeri pada punggung kiri, namun lama kelamaan

muncul bintik kemerahan berisi air yang berkelompok dan semakin banyak

tiap harinya. Lesi menyebar ke daerah dada kanan 3 hari terakhir dan

berwarna semakin gelap dengan ciri yang sama. Pasien juga mengeluh

lemas dan demam sebelumnya dan telah mengonsumsi obat paracetamol

dan asam mefenamat dari puskesmas sejak 4 hari yang lalu. Riwayat alergi

disangkal. Riwayat varicella saat 1 SMA (15 tahun) dan telah berobat di

puskesmas terdekat. Riwayat keluarga menderita keluhan yang sama (+).

H. Prognosis

Ad vitam : bonam

Ad Functionam : bonam

Ad sanationam : bonam

32
I. Edukasi

Pasien yang terkena infeksi menular karena virus dapat ditularkan melalui

kontak langsung dengan lesi herpes zoster dan, lebih jarang, melalui

penyebaran melalui udara dari aerosolisasi virus dari lesi kulit. Anak-anak

yang terkena harus dijauhkan dari sekolah atau penitipan anak sampai kerak

muncul dan kontak dengan wanita hamil khususnya harus dihindari. Cacar

air dapat berkembang pada individu yang rentan terpapar herpes zoster.

Tindakan pencegahan umum meliputi kebersihan pribadi yang baik, dengan

penekanan khusus pada mencuci tangan, pakaian yang tepat, dan menutupi

lesi yang terbuka dengan perban. Kuku harus dipangkas untuk mengurangi

cedera akibat garukan. Jika infeksi bakteri sekunder terjadi, terapi antibiotik

topikal atau sistemik diindikasikan.

33
BAB IV

PEMBAHASAN

Herpes Zoster (awam : cacar ular/ cacar api) adalah erupsi vesicular akut

yang disebabkan oleh reaktivasi infeksi laten VZV di ganglia sensoris. Herpes

zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa prevalensi musiman dan tidak

tergantung pada prevalensi varisela. Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa

herpes zoster dapat diperoleh melalui kontak dengan orang-orang dengan varisela

atau herpes zoster. Melainkan, kejadian herpes zoster ditentukan oleh faktor-faktor

yang memengaruhi hubungan virus host dan keberadaan respons imun yang

diperlukan untuk mencegah reaktivasi kembali dari VZV laten. Dalam hal ini

pasien memiliki riawayat terinfeksi varicella pada saat berusia 16 tahun (sekarang

berusia 22 tahun). 8

Berdasarkan epidemiologi, prevalensi jenis kelamin kasus wanita lebih

banyak dibandingkan pria (3,8 : 2,6/ 1000 penduduk/ tahun) ditilik dari kasus

yang notabenenya adalah seorang pria namun tidak menutup kemungkinan dapat

terpapar reaktivasi infeksi dan bersifat slight case of shingles. Ditilik dari faktor

usia pada kasus pasien berusia 22 tahun, sedangkan berdasarkan pustaka orang

dengan lanjut usia >60 tahun beresiko 3-7 kali mengalami HZ ketimbang usia

muda. Namun tidak menutup kemungkinan dapat terpapar reaktivasi infeksi.

Meskipun zoster paling sering terjadi pada pasien dengan immunocompromised

(20 kali) namun dapat terjadi pula tanpa faktor resiko ini (dalam hal ini pasien

tidak termasuk immunocompromised). 8

34
Frekuensi dan mekanisme reaktivasi VZV tidak diketahui pasti, tetapi

reaktivasi dan replikasi VZV yang menghasilkan HZ telah dikaitkan paling jelas

dengan penekanan imun. Imunitas selular sangat penting berperan dalam

mencegah reaktivasi virus dan zoster. Jika imunitas seluler spesifik terhadap VZV

menurun, virus dapat reaktivasi dari ganglion turun melalui axon saraf ke sel

epitel bereplikasi dan menyebabkan zoster dermatomal. Selain usia dan keadaan

imunokompromais, faktor lain seperti radiasi, trauma fisis, obat-obatan tertentu,

infeksi lain, atau stress dapat dianggap sebagai pencetus. Pada pasien ini

didapatkan bahwa selain sebagai mahasiswa pasien juga memiliki pekerjaan

sampingan dan 1 bulan terakhir (3 minggu sebelum terjadi lesi) pasien memiliki

banyak aktivitas yang dapat mengakibatkan penurunan imunitas serta dapat

menyebabkan stress emosional.8

Berdasarkan autoanamneesis didapatkan keluhan adanya bintil-bintil merah

berair di daerah punggung dan dada sebelah kanan yang timbul sejak 1 minggu

sebelum pasien datang kerumah sakit. Lebih tepatnya pada pemeriksaan fisik

didapatkan vesikel multiple disertai bulla diatas dasar kulit yang eritema berlokasi

di regio thorakalis. Secara teoritis Herpes Zoster lebih sering terjadi pada

dermatom dimana ruam varicella terbanyak yang diinervasi oleh saraf oftalmikus

dari ganglia sensoris trigeminal dari T1 ke L2 (dalam hal ini lesi pasien terletak

pada regio thorakalis). 7

35
PRODROMAL

Gejala awal herpes zoster yang tidak spesifik meliputi sakit kepala, demam,

dan malaise (dalam hal ini pasien menderita demam 2 hari sebelum terdapat lesi

dan telah diberikan analgesic dan antipiretik di puskesmas). 7

Lesi awal terlihat mirip dengan lesi yang tampak pada cacar air, namun

lesi pada herpes zoster terbatas pada dermatom, yang biasanya akan tampak

seperti ikat pinggang atau berupa garis yang terletak unilateral dan tidak

melewati garis tengah tubuh (dalam hal ini lesi pasien terletak unilateral pada

bagian tubuh kanan dan tidak melewati garis tengah tubuh). 7

Lesi berubah menjadi vesikel yang membentuk blister kecil yang

dipenuhi oleh eksudat serous, pada fase ini gejala berupa demam dan malaise

masih berlanjut. Pada akhirnya lesi berubah menjadi lebih gelap karena terisi

darah, dan menjadi krusta setelah 7-10 hari. (Pada lesi pasien tampak berwarna

gelap dengan beberapa eksudat serous pada punggung belakang kanan dengan

onset 7 hari). 7

RUAM

Lesi herpes zoster dimulai sebagai makula eritematosa dan papula dalam

distribusi dermatomal. Vesikel terbentuk dalam waktu 12 hingga 24 jam dan

berevolusi menjadi pustula pada hari ketiga. Kemudian kering dan keras dalam 7

hingga 10 hari. (Pada pasien sudah sampai tahap vesiko-pustulosa). 7

36
NYERI

Pasien menggambarkan rasa sakit atau ketidaknyamanan mereka sebagai

"terbakar," "sakit dalam," "kesemutan," atau "menusuk”. (Berdasarkan anamnesis

pasien mengeluh rasa nyeri, kesemutan dan terbakar). 7

Nyeri adalah gejala utama dari herpes zoster. Sejumlah mekanisme yang

berbeda tetapi tumpang tindih tampaknya terlibat dalam patogenesis nyeri pada

herpes zoster dan PHN. Cedera pada saraf perifer dapat memicu sinyal rasa nyeri

pada saraf di ganglion aferen. Peradangan di kulit memicu sinyal nosiseptif yang

lebih terasa nyeri di kulit. Rilis yang berlebihan dari pengeluaran asam amino dan

neuropeptida yang disebabkan oleh rentetan berkelanjutan dari impuls afferent

selama fase akut dan prodormal pada herpes zoster kemungkinan dapat

menyebabkan cedera eksitotoksik dan hilangnya hambatan interneuron di sumsum

tulang belakang. Kerusakan neuron di sumsum tulang belakang, ganglion dan

saraf perifer, adalah penting dalam patogenesis PHN. Kerusakan saraf aferen

primer dapat menjadi aktif secara spontan dan peka terhadap rangsangan perifer

dan simpatis. Aktivasi nosiseptor yang berlebihan dan impuls ektopik mungkin,

menurunkan sesitivitas SSP. penambahan dan perpanjangan rangsangat pada pusat

itu berbahaya. Pada klinis, ini dinamakan allodynia (nyeri dan / atau sensasi yang

tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh rangsangan yang biasanya tidak

menyakitkan (sentuhan ringan) dengan rangsang sensori sedikit atau tidak ada

sama sekali (Pasien juga sering mengeluh hiperestesia, nyeri, dan nyeri tekan

ringan di daerah yang terkena disertai rasa terbakar). 7

37
Diagnosis HZ sering bersifat klinis, dan dalam kasus-kasus tertentu evaluasi

lebih lanjut umumnya tidak diperlukan. Pada pasien di mana konfirmasi

diagnostik diindikasikan, deteksi langsung dengan noda antibodi fluorescent dari

kerokan vesikel berguna. Biakan virus dapat digunakan, tetapi VZV dapat

memakan waktu hingga 1 minggu untuk menginduksi perubahan sitopatik. Studi

PCR tidak tersedia secara luas untuk penggunaan klinis, dan studi serologis

umumnya tidak berguna dalam pengaturan ini. 16,17

Manifestasi Klinis Crosschec

k
Gejala prodromal berupa nyeri +
Distribusi yang khas dermatomal +
Vesikel berkelompok, atau dalam beberapa kasus ditemukan papul +
Beberapa kelompok lesi mengisi dermatom, terutama dimana +
terdapat nervus sensorik
Tidak ada riwayat ruam serupa pada distribusi yang sama +

(menyingkirkan herpes simpleks zosteriformis)


Nyeri dan allodinia (nyeri yang timbul dengan stimulus yang secara +

normal tidak menimbulkan nyeri) pada daerah ruam

Pengobatan untuk HZ terdiri dari tindakan simptomatik dan terapi antivirus

spesifik. Pada pasien ini, diberikan pengobatan antivirus yaitu, asiklovir 800 mg

dengan dosis 5 x 1 selama 5 hari. Tujuan dari terapi antivirus adalah untuk

mengurangi pelepasan virus, mempercepat penyembuhan lesi kulit, mencegah

pembentukan lesi yang baru, mengurangi rasa sakit yang terkait dengan neuritis

akut dan mungkin mengurangi komplikasi dari penyakit. Asiklovir oral (20 mg /

kg / dosis, maksimum 800 mg / dosis) lima kali sehari selama 5 hingga 7 hari

harus dipertimbangkan untuk herpes zoster tanpa komplikasi pada pasien

38
imunokompeten. Asiklovir intravena (10 mg / kg atau 500 mg / m 2 setiap 8 jam)

selama 7 hingga 10 hari adalah pengobatan pilihan untuk anak-anak

immunocompromised yang berisiko terkena penyakit diseminasi. Opsi antivirus

lain pada pasien imunokompeten atau mereka yang dengan HZ tanpa komplikasi

termasuk valasiklovir dan famciclovir.3,5

Perawatan simptomatik meliputi kompres basah, lotion pengeringan (mis.,

Calamine), antihistamin, dan analgesik. Yang mana pada pasien ini di berikan

analgesik, berupa asam mefenamat 500mg dengan dosis 4x1/2 selama 3 hari.

Dengan tujuan mengurangi gejala nyeri yang dirasakan pasien.

Selain itu pasien di berikan juga antibiotik, cefadroxyl 500 mg dengan dosis

2x1 selama 5 hari. Tujuan pemberian antibiotik adalah sebagai profilaksis

terhadap infeksi bakteri sekunder. Lesi pada herpes zoster dimulai dari

terbentuknya vesikel dan eritema yang terkelompok dalam distribusi dermatomal

dari satu atau lebih saraf sensorik yang perluasaanya dapat terjadi hingga 1

minggu. Vesikel-vesikel pada herpes zoster mengalami pemecahan pada proses

penyembuhannya sehingga ketika pecah terjadi luka terbuka yang dapat menjadi

portal entry bagi bakteri-bakteri sehingga mengakibatkan terjadinya infeksi

sekunder.

Pengobatan untuk HZ terdiri dari tindakan simptomatik dan terapi antivirus

spesifik. Pada pasien ini, diberikan pengobatan antivirus yaitu, asiklovir 800 mg

dengan dosis 5 x 1 selama 5 hari. Tujuan dari terapi antivirus adalah untuk

mengurangi pelepasan virus, mempercepat penyembuhan lesi kulit, mencegah

pembentukan lesi yang baru, mengurangi rasa sakit yang terkait dengan neuritis

39
akut dan mungkin mengurangi komplikasi dari penyakit. Asiklovir oral (20 mg /

kg / dosis, maksimum 800 mg / dosis) lima kali sehari selama 5 hingga 7 hari

harus dipertimbangkan untuk herpes zoster tanpa komplikasi pada anak

imunokompeten. Asiklovir intravena (10 mg / kg atau 500 mg / m 2 setiap 8 jam)

selama 7 hingga 10 hari adalah pengobatan pilihan untuk anak-anak

immunocompromised yang berisiko terkena penyakit diseminasi. Opsi antivirus

lain pada pasien imunokompeten atau mereka yang dengan HZ tanpa komplikasi

termasuk valasiklovir dan famciclovir.3,5

Perawatan simptomatik meliputi kompres basah, lotion pengeringan (mis.,

Calamine), antihistamin, dan analgesik. Yang mana pada pasien ini di berikan

analgesik, berupa asam mefenamat 500mg dengan dosis 4x1/2 selama 3 hari.

Dengan tujuan mengurangi gejala nyeri yang dirasakan pasien.

Selain itu pasien di berikan juga antibiotik, cefadroxyl 500 mg dengan dosis

2x1 selama 5 hari. Tujuan pemberian antibiotik adalah sebagai profilaksis

terhadap infeksi bakteri sekunder. Lesi pada herpes zoster dimulai dari

terbentuknya vesikel dan eritema yang terkelompok dalam distribusi dermatomal

dari satu atau lebih saraf sensorik yang perluasaanya dapat terjadi hingga 1

minggu. Vesikel-vesikel pada herpes zoster mengalami pemecahan pada proses

penyembuhannya sehingga ketika pecah terjadi luka terbuka yang dapat menjadi

portal entry bagi bakteri-bakteri sehingga mengakibatkan terjadinya infeksi

sekunder.

BAB V

SIMPULAN

40
Herpes zoster merupakan hasil dari reaktivasi virus varisela zoster yang
memasuki saraf kutaneus selama episode awal chicken pox. Shingles adalah nama
lain dari herpes zoster. Virus ini tidak hilang tuntas dari tubuh setelah infeksi
primernya dalam bentuk varisela melainkan dorman pada sel ganglion dorsalis
sistem saraf sensoris yang kemudian pada saat tertentu mengalami reaktivasi dan
bermanifestasi sebagai herpes zoster.

Manifestasi dari herpes zoster biasanya ditandai dengan rasa sakit yang
sangat dan pruritus selama beberapa hari sebelum mengembangkan karakteristik
erupsi kulit dari vesikel berkelompok pada dasar yang eritematosa.

Gejala prodormal biasanya nyeri, disestesia, parestesia, nyeri tekan


intermiten atau terus menerus, nyeri dapat dangkal atau dalam terlokalisir,
beberapa dermatom atau difus. Nyeri prodormal tidak lazim terjadi pada penderita
imunokompeten kurang dari usia 30 tahun, tetapi muncul pada penderita
mayoritas diatas usia 60 tahun. Nyeri prodormal : lamanya kira –kira 2 – 3 hari,
namun dapat lebih lama.

Salah satu faktor risiko yang kuat adalah usia lebih tua. Lesi kulit yang
paling sering dijumpai adalah vesikel dengan eritema di sekitarnya herpetiformis
berkelompok dengan distribusi segmental unilateral. Dermatom yang terlibat :
biasanya tunggal dermatom dorsolumbal merupakan lokasi yang paling sering
terlibat, diikuti oleh trigeminal oftalmika, kemudian servikal dan sakral.
Ekstremitas merupakan lokasi yang paling jarang terkena.

Pemeriksaan laboratorium antara lain : tzanck smear, direct fluorescent


antibody dilakukan untuk HSV-1, kultur virus : tes yang sangat spesifik, tetapi
tidak sensitif. Diagnosa banding dari herpes zoster antara lain herpes simpleks
karena herpes zoster dapat muncul di daerah genital, selulitis, erisipelas, eritema
gangrenosum terutama bentuk atipikal, infeksi jamur diseminata, infeksi
mikobakterium diseminata.

Komplikasi yang paling sering adalah neuralgia paska herpes. Neuralgia


pascaherpes merupakan keadaan yang dirasakan paling menganggu pada herpes

41
zoster dirasakan sebagai nyeri dermatomal yang menetap setelah penyembuhan
walau lesi sudah hilang.

Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya


valasiklovir. Obat yang lebih baru ialah famsiklovir dan pensiklovir yang
mempunyai waktu paruh eliminasi yang lebih lama sehingga cukup diberikan
3x250 mg sehari.

Dosis asiklovir yang dianjurkan ialah 5 x 800 mg sehari dan biasanya


diberikan 7 hari,paling lambat dimulai 72 jam setelah lesi muncul berupa rejimen
yang dianjurkan. Valasiklovir cukup 3 x 1000 mg sehari karena konsentrasi dalam
plasma lebih tinggi. Valasiklovir terbukti lebih efektif dibandingkan asiklovir
sedangkan famsiklovir sama dengan asiklovir. Pengobatan lain yang juga dipakai
antara lain kortikosteroid jangka pendek dan diberikan pada masa akut. Indikasi
pemberian kortikosteroid ialah sindrom Ramsay Hunt. Diberikan prednison dosis
3 x 20 mg sehari, setelah seminggu dosis diturunkan bertahap. Jika masih stadium
vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel
agar tidak terjadi infeksi sekunder.

Menurut FDA, obat pertama yang dapat diterima untuk nyeri neuropatik
pada neuropati perifer diabetik dan neuralgia paska herpetic ialah pregabalin. Obat
tersebut lebih baik daripada obat gaba yang analog yaitu gabapentin, karena efek
sampingnya lebih sedikit, lebih poten (2 – 4 kali), kerjanya lebih cepat, serta
pengaturan dosisnya lebih sederhana.Terapi topikal seperti krim EMLA, lidokain
patches, dan krim capsaicin dapat digunakan untuk neuralgia paska herpes.
Vaksin Zostavax℗ merupakan strain hidup yang dilemahkan dari VVZ.
Telah disetujui oleh FDA untuk pasien > 60 tahun tanpa riwayat penyakit herpes
zoster sebelumnya. Zostavax telah diktahui untuk mengurangi penyakit herpes
zoster dan neuralgia paska herpes.

Prognosis umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis


bergantung pada tindakan perawatan secara dini.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Etymologia: Varicella Zoster Virus. (2015). Emerging Infectious Diseases,


21(4), 698. doi:10.3201/eid2104.ET2104
2. Center for Disease Control and Prevention (CDC) 2018. Vaksin Zoster
(Cacar Api) Hidup, ZVL: Yang Perlu Anda Ketahui.
3. United States Centers for Disease Control and Prevention. Shingles
Surveillance. https://www.cdc.gov/shingles/surveillance.html. Diakses pada
05 Februari 2020 pukul 16.05 WITA
4. Departemen Kesehatan Republik Indonedia (Depkes RI) 2014. Profil
Keseheatan Indonesia Tahun 2013. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
5. Amnil,A.2010. Postherpetic Neuralgia Setelah Menderita Herpes Zoster Oris.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16560/3/Chapter%20II.pdf.
Diakses pada 05 Februari 2020 pukul 16.18 WITA
6. Pusponegoro EHD, Nilasari H, Lumintang H, Niode NJ, Daili SF, Djauzi S.
Buku Panduan Herpes Zoster Di Indonesia. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2014. Hal: 121-6
7. Levin MJ, Schmader KE, Oxman MN. Varisela and Herpes Zoster. Dalam:
Kang S, Amagi M, Bruckner AL, editors. Fitzpatricks’ Dermatology. 9 th
Edition. New York: Mc-Graw Hill; 2019. Hal: 3035-64.,
8. Adriana Weinberg, Zoran Popmihajlov, Kenneth E Schmader, Michael J
Johnson, Yupanqui Caldas, Adriana Tovar Salazar, Jennifer Canniff, Barbara J
McCarson, Jason Martin, Lei Pang, Myron J Levin, Persistence of Varicella-
Zoster Virus Cell-Mediated Immunity After the Administration of a Second
Dose of Live Herpes Zoster Vaccine, The Journal of Infectious Diseases,
Volume 219, Issue 2, 15 January 2019, Pages 335–338,
https://doi.org/10.1093/infdis/jiy514
9. Leung AK, Barankin B. Herpes zoster in childhood. OJPed. 2015;5:39-44
10. Cohen J. I. (2013). Clinical practice: Herpes zoster. The New England journal
of medicine, 369(3), 255–263. doi:10.1056/NEJMcp1302674

43
11. Bubak, Andrew & Como, Christina & Blackmon, Anna & Jones, Dallas &
Nagel, Maria. (2018). Varicella zoster virus differentially alters morphology
and suppresses proinflammatory cytokines in primary human spinal cord and
hippocampal astrocytes. Journal of Neuroinflammation. 15. 10.1186/s12974-
018-1360-9. Rahaus, M., Desloges, N., & Wolff, M.P. (2006). Molecular
Biology of Varicella-Zoster Virus.
12. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI).
Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia.
Jakarta: PERDOSKI; 2017.
13. Fahri M, Hidayat N, Ismail S. Dermatitis Venenata. Jurnal Medical Profession;
2019. Hal: 23-7.
14. Currimbhoy S, Dominguez AR. Herpes Simplex and Varicella Zoster. Dalam :
Richard DJ, Pandya AG, editors. Dermatology Atlas for Skin of Color. Verlag
Berlin Heidelberg. Springer; 2018. Hal : 201-14
15. Pusponegoro EHD, Herpes Zoster, Dalam: Menaldi SLSW, Bramono K,

Indriatmi W (editors). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ke 7. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016. Hal: 121-6 .

16. Freer G, Pistello M,. Varicella-zoster virus infection: natural history, clinical
manifestations, immunity and current and future vaccination strategies. New
Microbiologica. 2018; 41, 2, 95-105.
17. Kennedy PGE, Gershon AA. Clinical Features of Varicella-Zoster Virus
Infection. MDPI; 2018;10;609-20

44

Anda mungkin juga menyukai