Anda di halaman 1dari 37

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN Februari 2020

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

HERPES ZOSTER

Oleh :

Muhammad Chairil Riskyta Akbar


105505409218

Pembimbing :

dr. A. Amal Alamsyah, Sp.KK, M.Si, FINS-DV

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama / NIM : Syahrianti Sarea, S.Ked / 105505409218

Judul Lapsus : Herpes Zoster

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan

klinik pada bagian Ilmu Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas

Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Desember 2019

Pembimbing,

dr. A. Amal Alamsyah, Sp.KK, M.Si FINS-DV

i
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi ALLAH, atas rahmat dan karunia-Nya jualah,

akhirnya laporan kasus yang berjudul “Herpes Zoster” ini dapat diselesaikan

dengan baik. Laporan Kasus ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk

mengikuti ujian kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya penulis sampaikan kepada

dr. A. Amal Alamsyah, Sp.KK, M.Si, FINS-DV selaku pembimbing dalam

laporan kasus ini yang telah memberikan bimbingan dan banyak kemudahan

dalam penyusunan referat ini.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki banyak

kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan

penulis demi kebaikan di masa yang akan datang. Harapan penulis semoga

laporan kasus ini bisa membawa manfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Makassar, Desember 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ..................................................................................................... i


Kata Pengantar ............................................................................................................... ii
Daftar Isi ....................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi ....................................................................................................... 2
B. Epidemiologi .............................................................................................. 2
C. Etiopatogenesis ........................................................................................... 4
D. Gambaran Klinik ........................................................................................ 6
E. Diagnosis Banding ..................................................................................... 9
F. Diagnosis ................................................................................................... 12
G. Penatalaksanaan ......................................................................................... 17
H. Pencegahan ................................................................................................ 20
BAB III LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien .......................................................................................... 21
B. Anamnesis ................................................................................................. 21
C. Pemeriksaan Fisik ...................................................................................... 22
D. Diagnosis ................................................................................................... 23
E. Diagnosis Banding .................................................................................... 23
F. Penatalaksanaan ......................................................................................... 23
G. Resume ...................................................................................................... 24
H. Prognosis ................................................................................................... 24
I. Edukasi ...................................................................................................... 24
BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................................. 26
BAB V KESIMPULAN ................................................................................................ 31
Daftar Pustaka ............................................................................................................... 32

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Secara etimologi Herpes Zoster berasal dari bahasa yunani yaitu herpein

(merayap) dan zoster (sabuk).1 Istilah awam masyarakat sendiri biasa menyebut

dengan istilah cacar api dikarenakan terdapat ruam kulit yang menimbulkan nyeri

dan seringkali disertai lepuh atau cacar ular.2

Herpes zoster yang sering disebut dengan istilah shingles adalah penyakit

yang disebabkan oleh varicella zoster virus (VZV), dengan manifestasi klinis

berupa nyeri disertai blister yang muncul mengikuti dermatom saraf dan sering

terbatas pada area di satu sisi tubuh dan membentuk garis. Infeksi awal herpes

zoster adalah varicella atau cacar air yang biasanya menyerang pada usia anak

hingga remaja. Setelah varicella sembuh, virus ini akan dalam keadaan dorman di

ganglion saraf dan dapat teraktivasi menimbulkan herpes zoster apabila imunitas

menurun.3

Herpes zoster memilik insiden tertinggi dari semua penyakit saraf,

dengan sekitar 500.000 kasus baru setiap tahun di Amerika Serikat. Herpes zoster

termasuk penyakit yang angka kejadiannya kecil, diperkirakan 10-12 %

populasi akan terinfeksi herpes zoster selama hidupnya. Di Indonesia,

prevalensi herpes zoster kurang dari 1%.4

Patogenesis herpes zoster belum seluruhnya diketahui. Selama terjadi

varisela, virus varisela zoster berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan

mukosa ke ujung saraf sensorik dan ditransportasikan secara sentripetal melalui

1
serabut saraf sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion terjadi infeksi laten,

virus tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap

mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi infeksius. Herpes zoster pada

umumnya terjadi pada dermatom sesuai dengan lokasi ruam varisela yang

terpadat. Aktivasi virus varisela zoster laten diduga karena keadaan tertentu yang

berhubungan dengan imunosupresi, dan imunitas selular merupakan faktor

penting untuk pertahanan pejamu terhadap infeksi endogen. 5

Pengobatan herpes zoster yaitu diberikan antivirus berupa aciklovir tablet

dengan dosis 800 mg lima kali sehari selama tujuh sampai 10 hari. Selain itu

diberikn analgetik untuk menghilangkan rasa nyerinya dan bedak salicyl talc

untuk memantu mengurangi gesekan sehingga menghindari pecahnya vesikel. 5

Komplikasi herpes zoster dapat terjadi pada 10-15% kasus, komplikasi

yang terbanyak adalah neuralgia paska herpetik yaitu berupa rasa nyeri yang

persisten setelah krusta terlepas. Komplikasi jarang terjadi pada usia di bawah 40

tahun, tetapi hampir 1/3 kasus terjadi pada usia di atas 60 tahun. Penyebaran dari

ganglion yang terkena secara langsung atau lewat aliran darah sehingga terjadi

herpes zoster generalisata. Hal ini dapat terjadi oleh karena defek imunologi

karena keganasan atau pengobatan imunosupresi. 5

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFENISI

Herpes zoster (HZ) merupakan erupsi vesikuler akut yang disebabkan

oleh reaktivasi dari Varicella Zoster Virus (VZV) laten pada ganglia

sensoris setelah sebelumnya terpajan dengan infeksi primer varisela.3

Herpes zoster adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh reaktivasi

virus varisela zoster yang laten berdiam terutama dalam sel neuronal dan

kadang--kadang di dalam sel satelit ganglion radiks dorsalis dan ganglion

sensorik saraf kranial; menyebar ke dermatom atau jaringan saraf yang

sesuai dengan segmen yang dipersarafinya.4

B. EPIDEMIOLOGI

Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa prevalensi

musiman dan tidak tergantung pada prevalensi varisela. Tidak ada bukti

yang meyakinkan bahwa herpes zoster dapat diperoleh melalui kontak

dengan orang-orang dengan varisela atau herpes zoster. Melainkan, kejadian

herpes zoster ditentukan oleh faktor-faktor yang memengaruhi hubungan

virus host dan keberadaan respons imun yang diperlukan untuk mencegah

reaktivasi kembali dari VZV laten.2

Faktor risiko utama untuk herpes zoster adalah usia. Insiden herpes

zoster meningkat dengan bertambahnya usia. Masa kumulatif insiden di

antara populasi umum adalah sekitar 10% hingga 30%, dengan risiko

meningkat tajam setelah 50 tahun. Dalam studi oleh Insigna dkk, kejadian

3
herpes zoster yang disesuaikan dengan usia dan jenis kelamin adalah 320 per

100.000 orang-tahun di Amerika Serikat dari 2000 hingga 2001. Angka itu

lebih tinggi di antara perempuan (390 per 100.000 orang-tahun)

dibandingkan di antara laki-laki (260 per 100.000 orang-tahun). Kejadian di

antara anak-anak berusia 0 hingga 14 tahun adalah 110 per 100.000 orang-

tahun.2,5

Secara umum, herpes zoster jarang terjadi pada individu yang berusia

kurang dari 10 tahun dan jarang terjadi pada bayi. Semakin muda seorang

anak ketika ia menderita varisela, semakin besar kemungkinan herpes zoster

akan berkembang masa kanak-kanak atau dewasa awal. Dalam hal ini,

herpes zoster infantil lebih sering dikaitkan dengan infeksi virus uterus

varisela-zoster daripada infeksi postnatal. Pada sekitar 2% anak-anak

terpapar virus varisela-zoster di dalam rahim, varisela subklinis

berkembang, dan karena itu mereka berisiko untuk herpes zoster setelah

kelahiran.5

Faktor risiko utama lainnya untuk herpes zoster adalah penurunan

imunitas yang dimediasi sel khusus VZV. Pasien dengan imunokompromais

memiliki risiko herpes zoster yang secara signifikan lebih besar (tergantung

pada kondisi yang mendasarinya) dibandingkan individu dengan

imunokompeten pada usia yang sama. Sepuluh persen kasus herpes zoster

terjadi pada pasien imunokompromais. Kondisi imunokompromais terkait

dengan peningkatan risiko herpes zoster termasuk sumsum tulang dan

transplantasi organ padat, keganasan tumor hematologis, dan penyakit yang

4
dimediasi kekebalan (misalnya, lupus eritematosa sistemik, artritis

reumatoid). 2

C. ETIOPATOGENESIS

Virus varisela zoster (VZV) adalah herpesvirus yang merupakan

penyebab dari 2 penyakit berbeda yaitu varisela (juga dikenal cacar air) dan

herpes zoster (juga dikenal sebagai shingles/cacar ular/cacar api/dompo).4

Infeksi primer dengan VZV atau varisela pada umumnya ringan,

merupakan penyakit self--limited yang biasanya ditemukan pada anak--anak

ditandai dengan demam ringan dan disertai vesikel berisi cairan yang gatal

pada seluruh tubuh. Selama varisela, VZV berpindah dari lesi di kulit dan

permukaan mukosa ke ujung saraf sensoris yang berdekatan dan ke serat

sensorik ke ganglia sensoris. Di ganglia, virus membentuk infeksi laten pada

neuron yang dapat bertahan seumur hidup. Densitas VZV laten terbanyak di

daerah ganglia yang menginervasi kulit dengan kepadatan terbesar dari lesi

varisela. Akibatnya, herpes zoster paling sering terjadi pada dermatoma di

mana ruam varisela paling padat.2,4

Sel T sitotoksik yang terbentuk 2-3 hari setelah awitan varisela

mengurangi keparahan penyakit. Imunitas selular sangat penting berperan

dalam mencegah reaktivasi virus dan zoster. Jika imunitas seluler spesifik

terhadap VZV menurun, virus dapat reaktivasi dari ganglion turun melalui

axon saraf ke sel epitel berreplikasi dan menyebabkan zoster dermatomal.

Pada individu dengan gangguan sistem imun berat dapat terjadi zoster

diseminata.4

5
Menurut teori Hope-Simpson, sesudah infeksi primer VZV, selain

VZV akan menetap laten di ganglion saraf dorsalis, infeksi ini akan

menimbulkan kekebalan seluler spesifik VZV yang menghambat

kemampuan VZV laten untuk reaktivasi. Kekebalan seluler spesifik VZV ini

menurun bertahap sejalan usia namun secara berkala juga di-booster oleh

infeksi subklinis akibat paparan VZV (misalnya ketika merawat anak yang

menderita cacar air). Beberapa episode reaktivasi terjadi namun dengan

cepat dihambat oleh respon imun sehingga tidak ada ruam yang timbul.

Hope-Simpson menyebutkan kasus abortif ini “contained reversions” yang

kadang menimbulkan nyeri di dermatom terkait tanpa timbul ruam, disebut

‘zoster sine herpete’.4

Seiring berjalannya usia, kekebalan spesifik VZV bisa turun dibawah

batas ambang, yang menyebabkan reaktivasi virus, dan menyebabkan herpes

zoster. Besarnya jumlah VZV yang diproduksi selama episode herpes zoster

meningkatkan lagi kekebalan terhadap VZV, sehingga hal ini menjelaskan

mengapa jarang terjadi rekurensi pada individu yang imunokompeten. 4

6
Gambar1. Pathogenesis herpes zoster bedasarkan Hope-Simpson 1965.

Frekuensi dan mekanisme reaktivasi ini tidak diketahui, tetapi

reaktivasi dan replikasi VZV yang menghasilkan HZ telah dikaitkan paling

jelas dengan penekanan imun. Faktor lain seperti radiasi, trauma fisis, obat-

obatan tertentu, infeksi lain, atau stress dapat dianggap sebagai pencetus

walaupun belum pasti. 1,2

D. GAMBARAN KLINIS

1. PRODROMAL

Nyeri dan paresthesia pada dermatom yang terlibat sering

mendahului erupsi 1 hingga 3 hari, tetapi kadang-kadang seminggu

atau lebih lama. Sensasi abnormal bervariasi dari gatal superfisial,

kesemutan, atau terbakar hingga sakit parah. Rasa sakitnya bisa

konstan atau intermiten, dan seringkali disertai dengan kelembutan dan

hiperestesia kulit pada dermatom yang terlibat. Nyeri prodromal dari

7
herpes zoster mungkin dikacaukan dengan nyeri akibat penyakit pada

organ visceral (seperti infark miokard, kolesistitis, kolik ginjal, diskus

intervertebral yang prolaps), dan ini dapat menyebabkan misdiagnosis

dan investigasi salah arah serta intervensi dan intervensi. Nyeri

prodromal jarang terjadi pada orang imunokompeten yang lebih muda

dari 30 tahun, tetapi terjadi pada sebagian besar orang dengan herpes

zoster di atas usia 60 tahun. Beberapa pasien mengalami neuralgia

segmental akut tanpa pernah mengembangkan erupsi kulit — suatu

kondisi yang dikenal sebagai zoster sine herpete. 2

2. RUAM

Ciri khas herpes zoster yang paling khas adalah lokalisasi dan

distribusi ruam, yang bersifat unilateral dan umumnya terbatas pada

area kulit yang dipersarafi oleh ganglion sensoris tunggal. Kulit

dipasok oleh saraf trigeminal, terutama divisi oftalmikus (10% -15%),

dan batang dari T3 ke L2 (> 50%), paling sering terkena; lesi herpes

zoster jarang pada distal ke siku atau lutut. 2

Meskipun lesi individual herpes zoster dan varisela secara

histologis tidak dapat dibedakan, lesi herpes zoster cenderung

berkembang lebih lambat dan biasanya terdiri dari vesikel yang

dikelompokkan secara erat pada basis eritematosa, daripada vesikel

varisela yang terdistribusi secara acak dan terpisah. Perbedaan ini

mencerminkan penyebaran virus (aksonal) intraneural ke kulit dalam

herpes zoster, sebagai lawan dari penyebaran viremia pada varisela.

8
Lesi herpes zoster dimulai sebagai makula eritematosa dan papula

dalam distribusi dermatomal. Vesikel terbentuk dalam waktu 12

hingga 24 jam dan berevolusi menjadi pustula pada hari ketiga.

Kemudian kering dan keras dalam 7 hingga 10 hari. Pada orang

normal, lesi baru terus muncul selama 1 hingga 4 hari (kadang-kadang

selama 7 hari). Ruam ini paling parah dan berlangsung paling lama

pada orang tua, dan paling parah pada anak-anak. 2

3. NYERI

Meskipun ruam itu penting, nyeri adalah gejala utama dari herpes

zoster, terutama pada orang tua. Beberapa pasien dengan herpes zoster

tidak mengalami rasa sakit, tetapi sebagian besar (> 85% di atas usia

50) memiliki nyeri dermatomal atau ketidaknyamanan selama fase

akut (30 hari pertama setelah onset ruam) yang berkisar dari ringan

hingga berat. Pasien menggambarkan rasa sakit atau ketidaknyamanan

mereka sebagai "terbakar," "sakit dalam," "kesemutan," atau

"menusuk." 2

Pada beberapa pasien, gatal-gatal mungkin merupakan gejala

utama. Untuk beberapa pasien, intensitas rasa sakit sangat hebat

sehingga kata-kata seperti "mengerikan" atau "menyiksa" digunakan

untuk menggambarkan pengalaman. 2

4. PRURITUS

Gatal sering merupakan gejala yang menonjol dan menyusahkan

sepanjang fase akut herpes zoster. 2

9
E. DIAGNOSA BANDING

1. Dermatitis venenata

Dermatitis venenata merupakan salah satu bagian dari dermatitis

kontak iritan tipe akut lambat yang biasanya disebabkan oleh gigitan,

liur, atau bulu serangga yang terbang pada malam hari, dimana

gambaran klinis dan gejalanya baru muncul 8 sampai 24 jam atau lebih

setelah kontak.6

Dermatitis kontak iritan akut akibat toxin serangga, paling sering

terjadi di daerah yang panas serta beriklim tropis, salah satu yang

tersering adalah paederin, suatu toksin yang disekresi oleh serangga

dari genus paederus, yang termasuk dalam ordo Coleoptera. Paederus

dewasa lebih suka bertelur di tempat lembab, vegetasi dirawa dan

ladang pertanian, seranga ini berukuran kecil dengan permukaan tubuh

yang halus, memiliki panjang sekitar 7–13 mm. berwarna oranye,

kecuali untuk kepala, sayap depan dan ujung perut, yang berwarna

hitam. 6

Serangga paederus tidak menggigit ataupun menyengat. Toksin

dikeluarkan serangga bila terjadi sentuhan atau benturan dengan kulit

secara langsung atau tidak langsung melalui handuk, baju, atau alat

lain yang tercemar oleh racun serangga tersebut. Kelainan kulit dapat

berupa lepuhan, kulit kemerahan, di atasnya terdapat vesikel papul,

pustule, bentuk polimorf, multipel, tersebar tergantung penyebaran

racun. Paederin menyebabkan reaksi pada kulit sekitar 24 jam setelah

10
kontak. Respon yang berbeda terlihat pada kulit tergantung pada

konsentrasi durasi paparan, dan karakteristik individu. 6

Umumnya Lesi berbentuk linear. Dalam kasus ringan, eritema

ringan dapat berlangsung selama beberapa hari. Kasus yang berat,

selain menunjukkan lesi yang lebih luas, dapat menunjukkan gejala

tambahan, seperti demam, neuralgia, artralgia, dan muntah. Bagian

tubuh yang paling sering terkena termasuk wajah, leher, bahu, lengan

dan area di sekitar pinggang. Dapat pula terjadi kondisi kissing lesion

yaitu sepasang lesi kulit yang sama yang terjadi akibat lesi kulit

pertama menempel pada kulit normal lainnya. 6

Gambar 2. Dermatitis venenata. Gambar 3. Herpes zoster

2. Herplex simplex zosteriform

Virus herpes simpleks (HSV) adalah agen penyebab infeksi kulit

berulang yang ditandai secara klinis oleh vesikel dan borok

eritematosa yang menyakitkan. Penularan terjadi melalui kontak kulit

langsung dengan lesi atau sekresi yang terinfeksi. Virus herpes

simpleks tipe 1 (HSV-1) terutama menyebabkan lesi oral dan perioral,

sedangkan herpes simpleks tipe 2 (HSV-2) biasanya menyebabkan

infeksi genital. Herpes simplex tipe 1 mempengaruhi 70-80% orang

11
dewasa dan umumnya didapat selama masa kanak-kanak melalui

transmisi nonseksual. Infeksi herpes simpleks tipe 2 terutama didapat

melalui kontak seksual dengan individu yang simtomatik atau

asimptomatik.7

Masa inkubasi setelah infeksi HSV adalah antara 2 dan 14 hari.

Erupsi awal sering didahului dengan sensasi terbakar, gatal,

kesemutan, atau nyeri yang dapat terjadi berjam-jam sebelum

timbulnya lesi kulit. 7

Ruam herpes simpleks ditandai oleh vesikel kecil yang

dikelompokkan pada dasar eritematosa yang akhirnya membentuk

ulkus superfisial yang menyakitkan dengan cairan dan lapisan kulit di

atasnya. Berbeda dengan lesi kulit, ulserasi di daerah mukosa

cenderung tetap lembab dan tidak membentuk kerak. Infeksi dengan

HSV-1 cenderung mempengaruhi daerah oral dan perioral, meskipun

lesi mungkin menyebar ke daerah genital. HSV-1 terutama

mempengaruhi permukaan mukosa mulut keratin termasuk bibir

kutaneus, lidah dorsal dan lateral, gingiva, dan palatum keras. Ruam

HSV-2 biasanya mempengaruhi batang dan kelenjar penis pada pria

dan labia dan meatus uretra pada wanita. Wabah pada wanita

cenderung lebih luas dan parah. 7

Temuan sistemik seperti kelelahan, demam, malaise, dan

limfadenopati lunak adalah umum, terutama dengan infeksi awal. Lesi

HSV-1 dan HSV-2 biasanya sembuh setelah 10-14 hari, meskipun

12
virus masih tetap ada dalam keadaan tidak aktif di ganglia akar saraf

lokal. 7

Gambar 4. Herpes simpleks zosteriform. Gambar 5. Herpes zoster

F. DIAGNOSIS

Pada tahap pra erupsi, nyeri prodromal dari herpes zoster sering

dikacaukan dengan penyebab nyeri lokal lainnya. Setelah erupsi muncul,

karakter dan lokasi dermatomal dari ruam, ditambah dengan nyeri

dermatomal dan abnormalitas sensorik lokal, biasanya membuat diagnosis

menjadi jelas. 2

Untuk kasus- kasus yang tidak jelas, deteksi antigen atau nucleus acid

varicella zoster virus, isolasi virus dan sediaan hapus lesi atau pemeriksaan

antibiotic IgM spesifik diperlukan. Pemeriksaan dengan teknik polymerase

chain reaction (PCR) merupakan tes diagnostic yang paling sensitive dan

spesifik (dapat mendeteksi virus varisela zoster dari cairan vesikel).1

Lesi varisela dan herpes zoster tidak dapat dibedakan dengan

histopatologi. Infeksi kulit VZV diawali oleh infeksi sel epitel di lapisan

basal (stratum germinativum) dan stratum spinosum. Lesi papula yang

dihasilkan berevolusi menjadi vesikel intraepitel dalam waktu 12 hingga 24

jam sebagai akibat dari infeksi peningkatan jumlah sel epitel, yang

13
menunjukkan acanthosis, "degenerasi balon," badan inklusi intranuklear

eosinofilik (asidofilik), dan pembentukan sel raksasa berinti banyak.2

Masuknya cairan edema meningkatkan stratum korneum yang tidak

terlibat untuk membentuk vesikel bening yang halus yang mengandung

sejumlah besar virus infeksi sel bebas dan sel raksasa berinti banyak dengan

badan inklusi intranuklear eosinofilik. Sel-sel raksasa berinti banyak

terbentuk oleh fusi sel-sel epitel yang terinfeksi dengan sel-sel yang

terinfeksi dan tidak terinfeksi yang berdekatan di pangkalan dan pinggiran

vesikel. Dermis yang mendasarinya menunjukkan edema dan infiltrasi sel

mononuklear.2

Kehadiran sel raksasa berinti banyak dan sel epitel yang mengandung

badan inklusi intranuklear asidofilik membedakan lesi kulit yang dihasilkan

oleh VZV dari semua erupsi vesikular lainnya, seperti yang disebabkan oleh

poxvirus, Coxsackievirus, dan echovirus, kecuali untuk yang diproduksi

oleh HSV. Sel-sel ini dapat diperlihatkan dalam apusan Tzanck yang

disiapkan di samping tempat tidur dari bahan yang dikikis dari dasar lesi

vesikular dan diwarnai dengan hematoxylin dan eosin, Giemsa, atau

pewarnaan sejenis. Ketika cairan vesikel yang mengandung virus diinokulasi

ke dalam kultur jaringan fibroblast manusia, sel raksasa berinti banyak yang

serupa yang mengandung badan inklusi intranuklear asidofilik terbentuk

oleh fusi sel yang terinfeksi dengan sel yang terinfeksi dan yang tidak

terinfeksi yang berdekatan.2

14
Tes diagnostik terbaik untuk mendeteksi VZV adalah reaksi rantai

polimerase (PCR) karena sensitivitas dan spesifisitasnya yang sangat tinggi,

ketersediaan siap, dan waktu penyelesaian yang relatif cepat (1 hari atau

kurang) . Cairan vesikel adalah spesimen terbaik untuk analisis PCR, tetapi

kerokan lesi, kerak, biopsi jaringan, atau cairan serebrospinal sama-sama

bermanfaat. PCR dapat membedakan VZV dari HSV, dan wildtype VZV

dari strain vaksin Oka dari VZV Isolasi virus kurang sensitif dan mungkin

memakan waktu seminggu atau lebih, tetapi itu adalah satu-satunya teknik

yang menghasilkan VZV menular untuk analisis lebih lanjut, seperti

penentuan sensitivitas terhadap obat antivirus. VZV sangat labil, dan hanya

30% hingga 60% dari kultur dari kasus yang terbukti umumnya positif.

Untuk memaksimalkan pemulihan virus, spesimen harus segera diinokulasi

ke dalam kultur sel. Penting untuk memilih vesikel baru yang mengandung

cairan bening untuk aspirasi, karena kemungkinan mengisolasi VZV

berkurang dengan cepat ketika lesi menjadi pustular. VZV hampir tidak

pernah diisolasi dari kerak. 2

Tes serologis memungkinkan diagnosis retrospektif varisela dan

herpes zoster ketika serum akut dan konvalesen tersedia untuk

perbandingan, tetapi ini jarang dilakukan. Tes serologis lebih penting untuk

mengidentifikasi individu yang rentan yang mungkin kandidat untuk isolasi

atau profilaksis. Teknik yang paling umum digunakan adalah uji

imunosorben terkait-enzim fase padat (ELISA). Namun, tes ini (ada banyak

sumber komersial) sering kurang sensitivitas. (fitz)

15
Sekelompok vesikel, terutama di dekat mulut atau alat kelamin, dapat

mewakili herpes zoster, tetapi juga mungkin infeksi HSV berulang .

Zosteriform herpes simplex sering tidak mungkin dibedakan dari herpes

zoster karena alasan klinis. Dengan tidak adanya defisiensi imun yang jelas

dan klinis, riwayat berulangnya beberapa kali pada dermatom yang sama

membedakan herpes simpleks zosteriform dari herpes zoster. 2

16
Gejala dan pemeriksaan fisik

Sesuai Tidak

Herpes zoster Diagnosis banding lainnya

HZO/sindrom RH/organ Terapi antiviral oral


viseral/dengan keterlibatan motorik Ya
Rujuk ke spesialis terkait

Tidak

Terapi antiviral oral ditambah


Faktor resiko NPH? analgesic asetaminofen +
Ya
amitriptilin atau gabapentin atau
pregabalin

Tidak

Terapi suportif
Terapi antiviral oral Mempertahankan lesi kulit bersih dan kering
ditambah analgesic Rasa tidak nyaman: kompres basah / dingin /
asetaminofen/NSAID losio kalamin
Infeksi sekunder: antibiotik topikal atau oral
Asiklovir topikal tidak direkomendasikan

Gambar 6. Bagan alur diagnosis Herpes Zoster.8

17
G. PENGOBATAN

1. Sistemik

a. Obat antivirus

Obat antivirus terbukti menurunkan durasi lesi herpes zoster

dan derajat keparahan nyeri herpes zoster akut. Efektivitasnya

dalam mencegah NPH masih kontroversial. Tiga antivirus oral

yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk

terapi herpes zoster, famsiklovir (Famvir®), valasiklovir

hidrokhlorida(Valtrex®), dan asiklovir (Zovirax®), Bioavailabilitas

asiklovir hanya 15-20%, lebih rendah dibandingkan valasklovir

(65%) dan famsiklovir (77%) Antivirus famsiklovir 3x 500mg atau

valasiklovir 3x 1000 mg atau asikiovir 5x 800 mg diberikan

sebelum 72 Jam awitan lesi selama 7 hari.1

b. Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid oral sering dilakukan, walaupun

berbagai peneltian menunjukkan hasil beragam.Prednison yang

digunakan bersama asiklovir dapat mengurangi nyeri akut. Hal ini

disebabkan penurunan derajat neuritis akibat infeksi virus dan

kemungkinan juga menurunkan derajat kerusakan pada saraf yang

terlibat. 1

Akan tetapi pada penelitian lain, penambahan kortikosteroid

hanya memberikan sedikit manfaat dalam memperbaiki nyeri dan

tidak bermanfaat untuk mencegah NPH, walaupun memberkan

18
perbaikan kualitas hidup. Mengingat risiko komplikasi terapi

kortikosteroid lebih berat daripada keuntungannya, Departemen

Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUIRSCM tidak

menganjurkan pemberian kortikosterold pada herpes zoster. 1

c. Analgesik

Pasien dengan nyeri akut ringan menunjukkan respons baik

terhadap AINS (asetosal, piroksikam, ibuprofen, diklofenak), atau

analgetik non opioid (parasetamol, tramadol, asam mefenamat),

Kadang-kadang dibutuhkan opioid (kodein, morfin atau

oksikodon) untuk pasien dengan nyeri kronik hebat. Pernah dicoba

pemakaiankombinasi parasetamol dengan kodein 30-60 mg. 1

d. Antidepresan dan antikonvulsan

Penelitian-penelitian terakhir menunjukkan bahwa kombinasi

terapi asiklovir dengan antidepresan trisiklik atau gabapentin sejak

awal mengurangi prevalensi NPH. 1

2. Topikal

a. Analgetik topical

1) Kompres

Kompres terbuka dengan solusio Burowi dan solusio Calamin

(Caladry®) dapat digunakan pada lesi akut untuk mengurangi

nyeri dan pruritus, Kompres dengan Solusio Burowi

(alumunium asetat 5%) dilakukan 4-6 kali/hari selama 30-60

menit. Kompres dingin atau cold pack juga sering digunakan. 1

19
2) Antiinflamasi non steroid

Berbagai AINS topikal seperti bubuk aspirin dalam kloroform

atau etil eter, krim indometasin dan diklofenak banyak dipakai.

Asam asetil salisilat topikal dalam pelembab lebih efektif

dibandingkan aspirin oral dalam memperbaiki nyeri akut.

Aspirin dalam etil eter atau kloroform dilaporkan aman dan

bermanfaat menghilangkan nyeri untuk beberapa jam. Krim

indometasin sama efektifnya dengan aspirin, dan aplikasinya

lebih nyaman. 1

Penggunaannya pada area luas dapat menyebabkan gangguan

gastrointestinal akibat absorpsi per kutan. Penelitian lain

melaporkan bahwa krim indometasin dan diklofenak tidak

lebih baik dari plasebo. 1

b. Anastesi local

Pemberian anestetik lokal pada berbagai lokasi sepanjang jaras

saraf yang terlibat dalam herpes zoster telah banyak dilakukan

untuk menghilangkannyeri. Pendekatan seperti infltrasi lokal

subkutan, blok saraf perifer, ruang paravertebral atau epidural, dan

blok simpatis untuk nyeri yang berkepanjangan sering digunakan.

Akan tetapi, dalam studi prospektif dengan kontrol berskala besar,

efikasi blok saraf terhadap pencegahan NPH belum terbukti dan

berpotensi menimbulkan risiko. 1

20
c. Kortikosteroid

Krim/losio mengandung yang kortikosteroid tidak digunakan

pada lesi akut herpes zoster dan juga tidak dapat mengurangi resiko

terjadinya NPH. 1

H. PENCEGAHAN

Vaksin herpes zoster [Oka/Merck] ditujukkan untuk mencegah

terjadinya herpes zoster dengan meningkatkan kekebalan tubuh – VZV

spesifik, yang merupakan mekanisme yang melindungi terhadap reaktivasi

VZV dan komplikasinya.4

Pemberian booster vaksin variseka strain Oka terhadap orangtua harus

dipikirkan untuk meningkatkan kekebalan spesifik terhadap VZV sehingga

dapat memodifikasi perjalanan penyakit herpes zoster. 1

21
BAB III

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : Nn. SS

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 14 Tahun

Pekerjaan : Pelajar

Tanggal Periksa : 27 November 2019

Alamat : Jl. Malengkeri I

J. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada

tanggal 27-11-2019 di poli Kulit dan Kelamin RSKD Dadi Makassar.

1. Keluhan Utama :

Nyeri dan terasa panas

2. Riwayat Penyakit

Pasien perempuan berumur 14 tahun di poli kulit dan kelamin

RSKD Dadi Makassar dengan keluhan nyeri dan terasa panas pada

punggung sebelah kiri. Keluhan nyeri pertama kali muncul sejak

kurang lebih 5 hari yang lalu. Nyeri di rasakan hilang timbul dan biasa

pada sore-malam hari. Selain itu terdapat lesi kulit berupa bintik-bintik

kecil yang merah dan berisi air. Pada awalnya pasien hanya merasa

nyeri pada punggung kiri, namun lama kelamaan muncul bitnik

kemerahan berisi air yang berkelompok dan semakin banyak tiap

22
harinya. Pasien juga mengeluh demam sebelumnya dan telah

mengonsumsi obat paracetamol sejak 3 hari yang lalu. Riwayat alergi

disangkal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat cacar air ketika berusia kurang lebih 3 tahun, dan berobat

di puskesmas terdekat.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Terdapat keluarga dengan riwayat cacar air sebelumnya yaitu adik

kandung pasien.

5. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien adalah pelajar di SMP 24 Makassar, dan aktif dalam

organisasi dalam sekolah yaitu pramuka.

K. Pemeriksaan Fisik

Lokasi : region lumbaris

Effloresensi : Pada region lumbaris sinistra tampak vesikel dan bulla dengan

dasar eritematosa

23
.

Gambar 7. Effloresensi herpes zoster. tampak vesikel berkelompok dan bulla


dengan dasar eritematosa.

L. Diagnosis

Herpes Zoster

M. Diagnosis Banding

1. Dermatitis venenata

2. Herpes simplex zosteriform

N. Penatalaksanaan

1. Asiklovir 800mg Tablet No. XXX (5 dd 1)

2. Cefadroxyl 500 mg Tablet No. X (2 dd 1)

3. Asam Mefenamat 500 mg Tablet No. VI (4 dd 1/2)

24
O. Resume

Pasien perempuan berumur 14 tahun di poli kulit dan kelamin RSKD Dadi

Makassar dengan keluhan nyeri dan terasa panas pada punggung sebelah

kiri. Keluhan nyeri pertama kali muncul sejak kurang lebih 5 hari yang lalu.

Nyeri di rasakan hilang timbul dan biasa pada sore-malam hari. Selain itu

terdapat lesi kulit berupa bintik-bintik kecil yang merah dan berisi air. Pada

awalnya pasien hanya merasa nyeri pada punggung kiri, namun lama

kelamaan muncul bitnik kemerahan berisi air yang berkelompok dan

semakin banyak tiap harinya. Pasien juga mengeluh demam sebelumnya dan

telah mengonsumsi obat paracetamol sejak 3 hari yang lalu. Riwayat alergi

disangkal. Riwayat varisela (+) saat berumur 3 tahun, riwayat keluarga

menderita varisela (+). Riwayat pengobatan (-).

P. Prognosis

Ad vitam : bonam

Ad Functionam : bonam

Ad sanationam : bonam

Q. Edukasi

Pasien yang terkena infeksi menular karena virus dapat ditularkan melalui

kontak langsung dengan lesi herpes zoster dan, lebih jarang, melalui

penyebaran melalui udara dari aerosolisasi virus dari lesi kulit. Anak-anak

yang terkena harus dijauhkan dari sekolah atau penitipan anak sampai kerak

muncul dan kontak dengan wanita hamil khususnya harus dihindari. Cacar

air dapat berkembang pada individu yang rentan terpapar herpes zoster.

25
Tindakan pencegahan umum meliputi kebersihan pribadi yang baik, dengan

penekanan khusus pada mencuci tangan, pakaian yang tepat, dan menutupi

lesi yang terbuka dengan perban. Kuku harus dipangkas untuk mengurangi

cedera akibat garukan. Jika infeksi bakteri sekunder terjadi, terapi antibiotik

topikal atau sistemik diindikasikan.

26
BAB IV

PEMBAHASAN

HZ (juga disebut zoster atau herpes zoster) adalah erupsi vesikular akut

yang disebabkan oleh reaktivasi infeksi laten dengan VZV di ganglia sensoris.

Meskipun paling sering terlihat pada orang tua atau orang yang tertekan sistem

imunnya, hal itu juga dapat terjadi pada anak-anak. Meskipun zoster pediatrik

paling sering terjadi pada anak-anak yang imunokompromais atau mereka yang

memiliki infeksi intrauterin primer atau varisela akut dalam tahun pertama

kehidupan, kadang-kadang terjadi pada anak-anak tanpa faktor risiko ini. Seperti

pada pasien ini, berdasarkan anamnesis yang didapat, tidak di temukan adanya

infeksi intrauterine, riwayat varisela berumur 3 tahun dan tidak termasuk dalam

anak dengan imunokompromais.3

Frekuensi dan mekanisme reaktivasi VZV tidak diketahui pasti, tetapi

reaktivasi dan replikasi VZV yang menghasilkan HZ telah dikaitkan paling jelas

dengan penekanan imun. Imunitas selular sangat penting berperan dalam

mencegah reaktivasi virus dan zoster. Jika imunitas seluler spesifik terhadap VZV

menurun, virus dapat reaktivasi dari ganglion turun melalui axon saraf ke sel

epitel berreplikasi dan menyebabkan zoster dermatomal. Selain usia dan keadaan

imunokompromais, faktor lain seperti radiasi, trauma fisis, obat-obatan tertentu,

infeksi lain, atau stress dapat dianggap sebagai pencetus. Pada pasien ini

didapatkan bahwa pasien adalah anak yang aktif dalam organisasi pramuka dan

sering mengikuti perkemahan. Sehingga banyaknya aktivitas yang dilakukan

27
dapat mengakibatkan penurunan imunitas serta dapat menyebabkan stress

emosional.

Studi kejadian HZ sejak pelaksanaan program vaksinasi pada tahun 1995

telah didapatkan hasil yang bertentangan, menunjukkan peningkatan insiden dan

tidak ada peningkatan, dan menunjukkan bahwa mungkin ada faktor risiko lain

yang tidak teridentifikasi untuk HZ yang berubah dari waktu ke waktu. Dalam

penelitian terhadap 322 anak-anak dengan HZ, kejadian pada anak-anak yang

divaksinasi (baik tipe liar atau jenis vaksin) 79% lebih rendah dibandingkan anak

yang tidak divaksinasi (tipe liar saja). Karena lisensi dari vaksin Oka strain

varicella yang dilemahkan, telah menjadi jelas bahwa HZ dapat disebabkan oleh

reaktivasi virus vaksin laten, bahkan pada anak-anak.3

Berdasarkan autoanamnesis didapatkan keluhan adanya bintil-bintil merah

berair di daerah punggung sebelah kiri yang timbul sejak 5 hari sebelum pasien

datang ke rumah sakit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan vesikel multiple

disertai bulla yang berkelompok di atas dasar kulit yang eritema yang terdapat di

regio lumbaris (L2). Awalnya pasien mengeluh nyeri pada punggung sebelah

kiri, kemudian timbul bintil-bintil merah berisi air dan berkelompok di daerah

punggung sebelah kiri dan semakin bertambah banyak. Riwayat demam dialami

2-3 hari sebelum timbul lesi, namun keluhan membaik setelah minum obat

penurun panas.

HZ ditandai oleh vesikel dan eritema yang terkelompok dalam distribusi

dermatomal dari satu atau lebih saraf sensorik. Dermatom yang paling sering

terkena adalah saraf servikal kedua hingga ke sarah lumbar kedua (C2 ke L2) dan

28
sarah kranial kelima dan ketujuh. Pasien sering mengeluh hiperestesia, nyeri, dan

nyeri tekan ringan di daerah yang terkena, biasanya sebelum ada temuan kulit.

Meskipun erupsi biasanya unilateral dengan batasan yang jelas di garis tengah,

keterlibatan kontralateral sesekali terlihat. Adalah tidak biasa untuk melihat

beberapa lesi vesikuler yang tersebar secara acak di luar keterlibatan dermatom

primer, dan lesi yang tersebar seperti itu tidak selalu merupakan zoster

diseminata. 3

Selama zoster, virus merangkak kembali ke dermis menggunakan serabut

saraf yang menyimpang dari situs latensi ganglion. Pada dermis dan epidermis,

virus membentuk siklus replikasi baru dengan munculnya kelompok lesi vesikular

pada dermatom yang dipersarafi oleh serat saraf, paling umum di dada. Biasanya,

satu dermatome terlibat, walaupun dua atau tiga dermatom yang berdekatan

mungkin terpengaruh. Lesi disertai dengan rasa sakit setempat yang, pada

beberapa individu, sangat intens dan berkepanjangan sehingga memerlukan

pemberian anestesi lokal. Dalam beberapa kasus, nyeri bertahan selama lebih dari

sebulan dan ditandai oleh hipersensitivitas kulit (neuralgia pasca herpes). 9

Diagnosis HZ sering bersifat klinis, dan dalam kasus-kasus tertentu evaluasi

lebih lanjut umumnya tidak diperlukan. Pada pasien di mana konfirmasi

diagnostik diindikasikan, deteksi langsung dengan noda antibodi fluorescent dari

kerokan vesikel berguna. Biakan virus dapat digunakan, tetapi VZV dapat

memakan waktu hingga 1 minggu untuk menginduksi perubahan sitopatik. Studi

PCR tidak tersedia secara luas untuk penggunaan klinis, dan studi serologis

umumnya tidak berguna dalam pengaturan ini.

29
Pengobatan untuk HZ terdiri dari tindakan simptomatik dan terapi antivirus

spesifik. Pada pasien ini, diberikan pengobatan antivirus yaitu, asiklovir 800 mg

dengan dosis 5 x 1 selama 5 hari. Tujuan dari terapi antivirus adalah untuk

mengurangi pelepasan virus, mempercepat penyembuhan lesi kulit, mencegah

pembentukan lesi yang baru, mengurangi rasa sakit yang terkait dengan neuritis

akut dan mungkin mengurangi komplikasi dari penyakit. Asiklovir oral (20 mg /

kg / dosis, maksimum 800 mg / dosis) lima kali sehari selama 5 hingga 7 hari

harus dipertimbangkan untuk herpes zoster tanpa komplikasi pada anak

imunokompeten. Asiklovir intravena (10 mg / kg atau 500 mg / m 2 setiap 8 jam)

selama 7 hingga 10 hari adalah pengobatan pilihan untuk anak-anak

immunocompromised yang berisiko terkena penyakit diseminasi. Opsi antivirus

lain pada pasien imunokompeten atau mereka yang dengan HZ tanpa komplikasi

termasuk valasiklovir dan famciclovir.3,5

Perawatan simptomatik meliputi kompres basah, lotion pengeringan (mis.,

Calamine), antihistamin, dan analgesik. Yang mana pada pasien ini di berikan

analgesik, berupa asam mefenamat 500mg dengan dosis 4x1/2 selama 3 hari.

Dengan tujuan mengurangi gejala nyeri yang dirasakan pasien.

Selain itu pasien di berikan juga antibiotik, cefadroxyl 500 mg dengan dosis

2x1 selama 5 hari. Tujuan pemberian antibiotik adalah sebagai profilaksis

terhadap infeksi bakteri sekunder. Lesi pada herpes zoster dimulai dari

terbentuknya vesikel dan eritema yang terkelompok dalam distribusi dermatomal

dari satu atau lebih saraf sensorik yang perluasaanya dapat terjadi hingga 1

minggu. Vesikel-vesikel pada herpes zoster mengalami pemecahan pada proses

30
penyembuhannya sehingga ketika pecah terjadi luka terbuka yang dapat menjadi

portal entry bagi bakteri-bakteri sehingga mengakibatkan terjadinya infeksi

sekunder.

31
BAB V

KESIMPULAN

Herpes zoster (HZ) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh reaktivasi

virus varisela zoster (VZV) yang laten berdiam terutama dalam sel neuronal dan

kadang--kadang di dalam sel satelit ganglion radiks dorsalis dan ganglion sensorik

saraf kranial; menyebar ke dermatom atau jaringan saraf yang sesuai dengan

segmen yang dipersarafinya.

Faktor risiko utama untuk herpes zoster adalah usia. Secara umum, herpes

zoster jarang terjadi pada individu yang berusia kurang dari 10 tahun dan jarang

terjadi pada bayi. Semakin muda seorang anak ketika ia menderita varisela,

semakin besar kemungkinan herpes zoster akan berkembangmasa kanak-kanak

atau dewasa awal. Faktor lain seperti radiasi, trauma fisis, obat-obatan tertentu,

infeksi lain, atau stress dapat dianggap sebagai pencetus walaupun belum pasti.

Pemberian vaksin herpes zoster [Oka/Merck] ditujukkan untuk mencegah

terjadinya herpes zoster dengan meningkatkan kekebalan tubuh – VZV spesifik,

yang merupakan mekanisme yang melindungi terhadap reaktivasi VZV dan

komplikasinya.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Pusponegoro EHD, Herpes Zoster, Dalam: Menaldi SLSW, Bramono K,

Indriatmi W (editors). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ke 7. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016. Hal: 121-6 .

2. Levin MJ, Schmader KE, Oxman MN. Varisela and Herpes Zoster. Dalam:
Kang S, Amagi M, Bruckner AL, editors. Fitzpatricks’ Dermatology. 9th
Edition. New York: Mc-Graw Hill; 2019. Hal: 3035-64.,
3. Paller AS, Mancini AJ. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 5th ed.
Canada: Elsevier Saunders, 2016.
4. Pusponegoro EHD, Nilasari H, Lumintang H, Niode NJ, Daili SF, Djauzi S.
Buku Panduan Herpes Zoster Di Indonesia. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2014. Hal: 121-6
5. Leung AK, Barankin B. Herpes zoster in childhood. OJPed. 2015;5:39-44
6. Fahri M, Hidayat N, Ismail S. Dermatitis Venenata. Jurnal Medical
Profession; 2019. Hal: 23-7.
7. Currimbhoy S, Dominguez AR. Herpes Simplex and Varicella Zoster. Dalam
: Richard DJ, Pandya AG, editors. Dermatology Atlas for Skin of Color.
Verlag Berlin Heidelberg. Springer; 2018. Hal : 201-14
8. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI).
Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia.
Jakarta: PERDOSKI; 2017.
9. Freer G, Pistello M,. Varicella-zoster virus infection: natural history, clinical
manifestations, immunity and current and future vaccination strategies. New
Microbiologica. 2018; 41, 2, 95-105.
10. Kennedy PGE, Gershon AA. Clinical Features of Varicella-Zoster Virus
Infection. MDPI; 2018;10;609-20

33

Anda mungkin juga menyukai