Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah
Farmakoterapi dengan judul “Kanker Hati”.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan
yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami
harapkan demi penyempurnaan makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membaca.
i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... I
DAFTAR ISI.................................................................................................... I
I
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 2
2.1 Patofisiologi
2.2 Prevalensi
2.3 Faktor Resiko
2.4 Terapi Farmakologi
2.5 Terapi Nonfarmakologi
BAB III
PENUTUP..........................................................................................
3.1
Kesimpulan...................................................................................
..
DAFTAR
PUSTAKA.......................................................................................
Ii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kanker adalah penyakit akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel
jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker, sel-sel kanker ini dapat
menyebar ke bagian tubuh lainnya sehingga dapat menyebabkan kematian.
Kanker sering dikenal oleh masyarakat sebagai tumor, padahal tidak semua
tumor adalah kanker. Tumor adalah segala benjolan tidak normal atau
abnormal. Tubuh dibagi dalam 2 golongan, yaitu tumor jinak dan tumor ganas.
Kanker adalah istilah umum untuk semua jenis tumor ganas. Kanker dapat
menimpa semua orang, pada setiap bagian tubuh, dan pada semua golongan
umur, namun lebih sering menimpa orang yang berusia 40 tahun. Umumnya
sebelum kanker meluas atau merusak jaringan disekitarnya, penderita tidak
merasakan adanya keluhan ataupun gejala. Bila sudah ada keluahan atau
gejala, biasanya penyakitnya sudah lanjut. Atas dasar itu penulis akan
mencoba membahas lebih dalam mengenai kanker khususnya kanker hati
lebih dalam.
1.2 Rumusan Masalah

Dalam penulisan makalah ini, masalah yang ingin dikaji adalah:

1. Patofisiologi kanker hati?

2. Prevalensi kanker hati?

3. Faktor resiko kanker hati?

4. Terapi farmakologi dan non farmakologi kanker hati?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang akan dicapai adalah:

1. Patofisiologi kanker hati

2. Prevalensi kanker hati

3. Faktor resiko kanker hati

4. Terapi farmakologi dan non farmakologi kanker hati


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Patofisiologi
Mekanisme virus dapat menyebabkan kanker masih belum diketahui secara
pasti. Di samping efek langsung virus terhadap genom, HCC juga dapat
meningkat sebagai hasil yang tidak langsung dari siklus infeksi menjadi nekrosis
dan regenerasi. Resiko yang berhubungan dengan HHC adalah serologi pasien
yang (+) terhadap antigen permukaan Hepatitis B Virus (HBV) yakni HbsAg,
pasien tersebut memiliki resiko untuk terkena HCC 98 kali lebih kuat daripada
pasien yang negatif uji serologisnya. Selain itu, untuk yang (+) antigen e (HbeAg)
mengindikasikan replikasi aktif dan beresiko 36 kali lebih kuat daripada yang
negatif (Burt et al, 2007).
HBV memiliki genom DNA rantai ganda 3,2 kb yang tertutup oleh protein
(HbsAg). Genom dikemas dengan protein inti (HbcAg) dan DNA polimerase.
Setelah penetrasi virus ke dalam sel, genomnya menjadi tertutup sehingga
keseluruhan genom rantai ganda dapat berintegrasi dengan genom host. Protein
pembungkus dari gen S, pre S, proses pre-S2 ; HbeAg dan HbcAg dari gen C dan
sekuens gen pre C, DNA polimerase dari gen P dan protein x dari gen x. DNA
bereplikasi bergantung pada transkripsi RNA intermediate dalam nukleus. Lalu,
virus berkembang dalam sitoplasma dan dihilangkan oleh hepatosit (Burt et al,
2007).
Integrasi HBV ke dalam genom host terlihat sebagai karsinogenetik.
Beberapa gen HBV ditemukan dalam jaringan yang terinfeksi, sepert gen pre-
S2/S hepatitis Bx (HBx) dan HB spliced protein (HBSP), protein berekspresi dari
gen-gen yang berinteraksi tersebut yang telah menunjukkan efek intraseluler,
termasuk efek dalam pertumbuhan sel dan apoptosis. 154 asam amino yang
diproduksi virus telah menunjukkan peranan penting untuk infeksi HBV in vivo.
Hal ini dapat menjadi kandidat primer yang memediasi efek patologi HBV. HBx
dapat menginaktivasi tumor supresor p53 dan menurunkan regulator pertumbuhan
gen p55 dan dapat menurunkan regulasi p21 dan sui 1 yang dapat menghambat
pertumbuhan HCC (Burt et al,2007).
Selain itu, HBx juga dapat berpengaruh melalui efeknya dalam homeostasis
Ca+ dan aktivasi Ca dependen kinase dalam NF-kB (Kumar,2007). Faktor
transkripsi untuk mengontrol respon imun yang juga berhubungan dengan HCV
polipeptida. Protein HBV lain yang berpengaruh adalah protein pembungkus (L
dan M) yang secara tidak langsung dapat memediasi terjadinya HCC melalui
protein pembungkus karena stres seluler (Kumar, 2007).
2.2. Prevalensi
Dalam 10 tahun terakhir ini laporan-laporan ilmiah dari berbagai pusat
penelitian penyakit hati di seluruh dunia menunjukkan bahwa prevalensi
keganasan hati meningkat. Epidemiologi dari karsinoma hepatoseluler atau kanker
hati dapat dilihat dari berbagai sudut pandang penting: pertama, aspek
konvensional dari dampak kesehatan masyarakat secara keseluruhan; kedua,
berhubungan dengan penyakit yang mendasari seperti infeksi hepatitis virus atau
non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD); dan ketiga, variasi epidemiologi
berdasarkan biologis tumor (Caldwell, 2009).
Berdasarkan sudut pandang dari kesehatan masyarakat, prevalensi karsinoma
hepatoseluler merupakan jenis kanker yang menduduki peringkat kelima di
seluruh dunia dan peringkat ketiga jenis kanker yang menyebabkan kematian.
Meskipun demikian telah tercatat beberapa variasi geografis seperti di Asia dan
Afrika memiliki 40 kali lipat lebih banyak kasus berdasarkan tingkat kejadian
sesuai umur dibandinkan dengan negara lain (Caldwell, 2009). Negara China
memiliki angka insidensi tertinggi di dunia (100/100.000 populasi). Amerika
Utara dan Eropa Barat merupakan wilayah dengan angka insidensi yang
cenderung rendah (2,69,8/100.000 populasi) namun angka insidensi ini mulai
meningkat pada negara-negara ini. Suatu studi dari penderita kanker menunjukkan
bahwa adanya peningkatan insidensi dari kejadian karsinoma hepatoseluler serta
angka kematian di Amerika Serikat, Prancis, Jepang, Inggris, dan Italy. Di negara
Amerika Serikat, antara tahun 1976-1995 kejadian karsinoma hepatoseluler telah
meningkat dari 1,4/100.000 populasi/tahun menjadi 2,4/100.000 populasi/tahun
(Sherman, 2008).
Pada negara-negara dengan angka insidensi yang tinggi, kisaran umur pada
penderita karsinoma hepatoseluler berpuncak pada dekade 3 dan dekade 4.
Berbeda dengan negara-negara di Eropa, Amerika Utara dan Asia adalah pada
dekade 5 dan 6. Di Mozambik insidensi pada laki-laki yang berumur kurang dari
40 tahun berkisar 500 kali lebih tinggi daripada populasi kulit putih di Amerika
Serikat, tetapi pada kelompok dengan umur 65 tahun memiliki prevalensi hanya
dua kalinya (Murray, 1983).
Pada berbagai macam literatur menyebutkan bahwa angka kejadian pada laki-
laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Rasio angka kejadian ini
bervariasi di berbagai negara yaitu berkisar antara 2:1 sampai 5:1 atau bahkan
lebih. Belum ada penjelasan yang memuaskan akan fenomena tersebut. Namun
beberapa studi mengatakan bahwa perkembangan karsinoma hepatoseluler pada
sirosis hati terjadi lebih sering pada laki-laki. Hal ini terjadi berdasarkan
keseimbangan hormon yaitu hormone androgen yang lebih banyak pada laki-laki
(Murray, 1983).
Peran dari lingkungan dan toksin eksogen juga memengaruhi kejadian
karsinoma hepatoseluler. Aflatoksin, sebuah mikotoksin poten yang bersifat
karsinogenik pada hati, berperan penting pada kasus karsinoma hepatoseluler.
Aflatoksin tersebut masuk dengan cara menelan biji-bijian yang terkontaminasi,
khususnya di Afrika dan sebagian Asia. Selain aflatoksin, alkohol di negara-
negara barat juga berperan secara sinergis meningkatkan risiko karsinoma
hepatoseluler pada beberapa kondisi misalnya pada hepatitis virus kronik, dan
dapat diperparah dengan kebiasaan merokok. Adanya paparan arsenik yang kronik
dari minuman juga terlibat pada kejadian karsinoma hepatoseluler. Toksin lain
dari lingkungan yang secara tidak langsung berperan penting dalam induksi
kerusakan hati secara kronik, misalnya non-metabolic syndrome-associated
bentuk dari non-alcoholic steatohepatitis telah dilaporkan pada pekerja-pekerja
petrochemical (Caldwell, 2009).
Berdasarkan penyakit yang mendasari, hepatitis virus memainkan peran
hingga 80 % pada seluruh kejadian karsinoma hepatoseluler. Populasi pembawa
hepatitis virus B memiliki angka kejadian kanker primer pada hati lebih mecolok
dibandingkan dengan populasi orang normal. Di Inggris, misalnya, mortalitas dari
kanker hati primer adalah sekitar 1-2 per 100.0000 populasi dan populasi
pembawa antigen hepatitis virus B adalah sekitar 1 per 1000 populasi, sebaliknya
di negara China mortalitas dari kanker hati primer berkisar 17 per 100.000
populasi dan angka pembawa antigen hepatitis virus B sekitar 7,5-14% (Minshan,
2008).
Hubungan antara virus hepatitis C (HCV) dan kejadian karsinoma
hepatoseluler belakangan ini mendapat perhatian luas. Dewasa ini dianggap HCV
adalah salah satu etiologi utama karsinoma hepatoseluler di negara maju. Angka
anti-HCV positif dalam serum pasien di negara maju mencapai 50%, sedangkan di
kalangan pasien karsinoma hepatoseluler negara berkembang berkisar 8,0-38,5%,
sementara di negara China sekitar 10% (Minshan, 2008).
Di Jepang, kebanyakan pasien dengan karsinoma hepatoseluler memiliki
angka anti-HCV positif dalam serum dan sebagian besar dari mereka memiliki
riwayat transfusi darah. Adanya hubungan yang erat antara HCV dan karsinoma
hepatoseluler juga ditemukan di Italia, Spanyol, Afrika Selatan, dan Amerika
Serikat. Hepatitis C kemungkinan memiliki peran yang lebih penting
dibandingkan dengan hepatitis B dalam kejadian karsinoma hepatoseluler. Angka
kejadian kanker hati pada kelompok dengan anti-HCV positif berkisar 4 kali lebih
besar dibandingkan dengan kelompok pembawa HBsAg (Sherlock, 1993).
Sirosis terdapat pada sekitar 80%-90% pasien karsinoma hepatoseluler dan
merupakan faktor risiko yang terberat. Risiko dari perkembangan karsinoma
hepatoseluler pada pasien-pasien dengan sirosis bervariasi tergantung dengan
penyakit yang mendasari dan tergantung secara regional penyakit tersebut.
Perkiraan risiko tertinggi selama 5 tahun adalah sirosis dengan HCV (30% di
Jepang sementara 17% di negara-negara Barat), diikuti oleh hemokromatosis
(21%), sirosis dengan HBV (15% di Asia dan 10 % di negara-negara Barat),
sirosis karena alkoholik (8%), dan sirosis biliaris (4%) (Caldwell, 2009).
Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) dan Non-alcoholic steatohepatitis
(NASH) merupakan penyakit yang umum dijumpai pada negara-negara Barat, dan
sekarang penyakit tersebut juga meningkat pada sejumlah wilayah di Asia, seperti
Jepang dan Korea. Karsinoma hepatoseluler memiliki kesamaan 2 faktor risiko
utama yang juga ditemukan pada NAFLD: obesitas dan diabetes. Pada sebuah
studi kasus longitudinal menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara obesitas
pada steatosis dan kerusakan hati sekunder yang berhubungan dengan NASH,
sebuah kondisi yang dapat menyebabkan sirosis dan karsinoma hepatoseluler itu
sendiri, maupun dapat bekerja secara sinergis dengan penyakit lainnya. Meskipun
ada variasi etnik, sekitar 90% dari populasi obesitas memiliki perlemakan hati,
dari steatosis yang ringan hingga bentuk berat dari NASH, termasuk sirosis. Data
epidemiologi tambahan menunjukkan peningkatan risiko secara signifikan pada
pasien-pasien diabetes (Caldwell, 2009).
Berdasar variasi biologis tumor, ada beberapa variasi fenotip dan genotip
dalam karsinoma hepatoseluler yang dapat diprediksi dengan hubungan
epidemiologi. Misalnya, tambahan kromosom 8q dan ekspresi berlebihan dari
MYC pada pasien karsinoma hepatoseluler telah ditunjukkan lebih signifikan
pada karsinoma hepatoseluler yang berhubungan dengan ETOH dan HCV
daripada dalam karsinoma hepatoseluler dengan kriptogenik (Sakamoto, 2009).
2.3. Faktor Resiko
Seperti kanker lainnya, penyebab kanker hati belum diketahui secara pasti.
Ada beberapa faktor resiko yang diduga dapat memperbesar kemungkinan terkena
kanker hati.
a. Seorang pengidap HBs Ag atau antigen di dalam darah yang tidak normal
(saat pemeriksaan darah ditemukan virus hepatitis B) (Mangan, 2008).
Virus Hepatitis B (HBV) Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan
timbulnya HCC terbukti kuat, baik secara epidemiologis klinis maupun
eksperimental. Karsinogenisitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui
proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV
DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktivitas protein spesifik HBV
berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya perubahan hepatosit dari kondisi
inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat
karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung oleh
kompensasi proliferatif merespons nekroinflamasi sel hati, atau akibat dipicu
oleh ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen yang berubah akibat HBV
(Hussodo, 2009). Koinsidensi infeksi HBV dengan pajanan agen onkogenik
lain seperti aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya HCC tanpa melalui
sirosis hati (HCC pada hati non sirotik). Transaktifasi beberapa promoter
selular atau viral tertentu oleh genx HBV (HBx) dapat mengakibatkan
terjadinya HCC, mungkin karena akumulasi protein yang disandi HBx
mampu menyebabkan proliferasi hepatosit. Dalam hal ini proliferasi
berlebihan hepatosit oleh HBx melampaui mekanisme protektif dari apoptosis
sel (Hussodo, 2009).
b. Virus Hepatitis C (HCV)
Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui aktivitas
nekroinflamasi (Hussodo, 2009). Seorang penderita penyakit kronis, baik
dengan HBs Ag positif maupun HBs Ag negatif (Mangan, 2008).
c. Pecandu alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenic, peminum berat
alkohol ( >50-70g/hari dan berlangsung lama) beresiko untuk menderita HCC
melalui sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik
langsung dari alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan resiko terjadinya
sirosis hati dan HCC pada pengidap infeksi HBV atau HCV (Hussodo, 2009).
d. Mereka yang mempunyai anggota keluarga penderita kanker hati primer
(Mangan, 2008).
e. Sirosis Hati
Lebih dari 80% penderita karsinoma hepatoselular menderita sirosis hati.
Peningkatan pergantian sel pada nodul regeneratif sirosis di hubungkan
dengan kelainan sitologi yang dinilai sebagai perubahan displasia praganas.
Semua tipe sirosis dapat menimbulkan komplikasi karsinoma, tetapi
hubungan ini paling besar pada hemokromatosis, sirosis terinduksi virus dan
sirosis alkoholik (Hussodo, 2009) .
f. Di daerah yang ditemukan infeksi parasit cacing hati, yaitu Clonorchis
sinensis (Mangan, 2008).
g. Mereka yang sering mengonsumsi makanan yang mengandung aflatoxin.
Aflatoxin terbentuk dalam makanan yang disimpan berbulan-bulan di udara
panas dan lembap. Makanan tersebut dapat ditumbuhi jamur aspergillus
flavus yang menghasilkan zat karsinogen aflatoxin yang diketahui dapat
meningkatkan kemungkinan terkena kanker hati. Zat aflatoxin ini tidak dapat
dihilangkan dengan pemanasan biasa dengan suhu 150-200oC. Cuaca di
Indonesia rata-rata bersuhu panas dengan kelemba1pan tinggi, sehingga zat
a1flatoxin sangat mudah terbentuk (Mangan, 2008). Aflaktosin B1 (AFB1)
merupakan mitoksin yang di produksi oleh jamur Aspergillus. Dari percobaan
binatang diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen. Metabolit AFB1 yaitu
AFB 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen utama dari kelompok aflatoksin
yang mampu membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA (Hussodo,
2009).
Faktor risiko untuk HCC di Amerika Serikat termasuk infeksi kronis
Hepatitis C (Bruno et al, 1997) atau Hepatitis B, konsumsi alkohol berlebihan
(Trichopouloset al.,2011), merokok, dan yang jarang penyakit genetik seperti
porphyrias (Langet al, 2015), hemochromatosis (Fracanzani et al, 2001),
Wilson‟s disease (Walshe et al, 2003), defisiensi alpha-1 antytrypsin, penyakit
penyimpanan glikoge (Hamed et al, 2013). Penelitian terbaru menunjukan
terjadinya peningkatan jumlah penderita HCC pada pasien diabetes (Polesel et al.,
2009), obesitas (Regimbeau et al., 2004), dan penderita nonal.coholic fatty liver
disease (NAFLD) (Baffyet al., 2012). Konsumsi alfatoksin juga dapat
menimbulkan HCC. Orang merokok tembakau juga memiliki faktor risiko lebih
tinggi daripada orang tanpa merokok untuk menderita HCC.
2.4. Terapi Farmakologi
Berikut yang pengobatan yang bisa dilakukan untuk pasien anti kanker :
(Mangan, 2008)
 Operas
Operasi adalah pengobatan yang paling optimal, tetapi kebanyakan pasien
tidak dapat menjalani operasi karena sirosis atau tumor yang telah menyebar.
Tumor yang kecil (kurang dari 5cm) dapat dioperasi agar tidak menyebar dan
hati dapat berfungsi normal kembali.
 Ablasi
Pilihan ini akan menghancurkan sel kanker secara langsung.
Menggunakan ethanol hangat yang diinjeksi, atau suhu yang beku (siroterapi)
untuk menghancurkan sel kanker. Pengobatan ini cocok bagi pasien yang
tidak bisa melakukan operasi atau transplantasi.
 Kemoterapi
Pasien yang tidak bisa dioperasi dapat diobati dengan metode lain
termasuk dengan obat kemoterapi yang disuntik ke arteri, agar darah
memompa ethanol langsung ke tumor dan menghancurkannya. Walaupun
efektif, kemoterapi bisa menyebabkan beberapa efek samping seperti mual
dan muntah, penurunan nafsu makan, sakit kepala, lemas, menggigil, dan
demam, juga mencederai sel sehat lainnya. Kemoterapi juga mungkin sering
meningkatkan risiko infeksi.
 Transplantasi hati.
Prosedur ini dilakukan dengan mengganti organ hati pasien dengan hati
yang sehat dari pendonor. Biasanya prosedur ini dilakukan pada pasien yang
tumornya telah membesar atau memiliki kerusakan hati yang parah. Setelah
transplantasi hati, nantinya akan diberikan obat-obatan untuk mencegah
tubuh dari menolak hati yang baru.
 Terapi radiasi
Pilihan pengobatan ini menggunakan sinar tinggi energi untuk membunuh
sel kanker. Bisa diberikan melalui sinar eksternal dan internal radiasi.
Pengobatan ini juga menghancurkan suplai pembuluh darah pada kanker.
 Terapi target
Pengobatan ini melibatkan pemberiaan obat-obatan yang secara khusus
menargetkan sel kanker. Obat-obatan, seperti Sorafenib (Nexavar®), akan
menghancurkan sel kanker di mana mereka menjadi rentan. Terapi target
digunakan pada pasien yang tidak cocok melakukan transplantasi atau
operasi. Namun, terapi target bisa memiliki efek samping yang signifikan.
Silakan konsultasi ke dokter untuk mengurangi risiko efek samping.
 Embolisasi dan kemoembolisasi
Pilihan pengobatan ini bisa juga digunakan bagi mereka yang bukan
kandidat untuk operasi atau transplantasi. Ini adalah teknik untuk menyumbat
arteri hati menggunakan spon kecil atau partikel lain.Prosedur ini dilakukan
dengan cara memotong suplai darah pada sel kanker. Embolisasi bisa
sementara atau permanen. Pembuluh darah pada bagian tersebut bisa
mensuplai darah pada hati sementara arteri pada kanker dihalangi.
Pada kemoembolisasi, kemoterapi diinjeksi ke dalam arteri hati sebelum
partikel disuntikkan. Penyumbatan kemudian menjaga kemoterapi pada hati
untuk beberapa jangka waktu lama
2.5. Terapi Nonfarmakologi
Beberapa perubahan gaya hidup dan pengobatan di rumah yang bisa
membantu untuk mengatasi penyakit kanker hati adalah (Mangan, 2008) :
1. Mencegah penularan hepatitis B dengan berperilaku hidup sehat
2. Mencegah infeksi hepatitis B dengan melakukan vaksinasi hepatitis B,
baik ketika saat masih bayi maupun sudah dewasa
3. Mengonsumsi makanan segar dan menghindari makanan yang diawetkan
atau makanan yang disimpan terlalu lama
4. Menghindari makanan dan minuman yang mengandung alkohol yang serta
mengandung aflatoxin
6. Melakukan pemeriksaan secara berkala terutama bagi yang berisiko tinggi
terkenan kanker hati
7. Minum obat sesuai dengan perintah dokter. Jangan menunda,
menambahkan, atau mengurangi pengobatan yang diberikan dokter.
8. Berhenti merokok dan rajin berolahraga
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

\
DAFTAR PUSTAKA
Baffy, G., Brunt, E.M., Caldwell, S.H. (2012). Hepatocellular carcinoma in
nonalcoholic fatty liver disease: an emerging menace‟, J Hepatol , vol.
56(6), pp.
Bruno, S., Silini, E., Crosignani, A., Borzio, F., Leandro, G., Bono ,F., Asti,
M.,Rossi, S., Larghi, A., Cerino, A., Podda, M., Mondelli,
M..1997,„Hepatitis C virus genotypes and risk of hepatocellular carcinoma
in cirrhosis: a prospectivestudy‟, Hepatology, vol. 25, no. 3, pp.
Budihussodo, U. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi V. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Caldwell S, Park SH. The epidemiology of hepatocelullar cancer: from the
perspectives of public health problem to tumor biology. Journal of
Gastroenterology. 2009;44: 96-100.
Fracanzani, A.L., Conte, D., Fraquelli, M., Taioli, E., Mattioli, M., Losco,
A.,Fargion, S.. (2001). Increased cancer risk in a cohort of 230 patients
withhereditary hemochromatosis in comparison to matched control
patients with noniron-related chronic liver disease. Hepatology, vol. 33,
no. 3, pp.
Hamed, M.A., Ali, S.A. (2013). Non-viral factors contributing to hepatocellular
Carcinoma. World J Hepatol, vol. 5, no. 6, pp.
Lang, E., Schäfer, M., Schwender, H., Neumann, N.J., Frank, J.. (2015).
Occurrence of malignant tumours in the acute hepatic porphyrias. JIMD
Rep., vol. 22, pp.
Mangan, Yellia. (2008). Sehat dengan Ramuan Tradisional: Cara Bijak
Menaklukan Kanker. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Minshan C, Yaqi Z. (2008). Karsinoma Hati Primer. Desen W, editor. Buku Ajar
Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Murray-Lyon IM. (1983). Primary and secondary cancer of the liver. Gazet JC,
editor. Carcinoma of the Liver, Biliary Tract and Pancreas. London:
Edward Arnold.
Sakamoto M. (2009). Early HCC: Diagnosis and molecular markers. Journal of
Gastroenterology.
Sherman M. (2008). Hepatocellular Carcinoma: Epidemiology, Screening, and
Prevention. Kelsen DP, Daly JM. Kern SE, Levin B, Tepper JE, Cutsem
VE, editor. Principles and Practice of Gastrointestinal Oncology.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business.
Sherlock S, Dooley J. (1993). Disease of the Liver and Biliary System. London:
Blackwell Scientific Publications.
Trichopoulos, D., Bamia, C., Lagiou, P., Fedirko, V., Trepo, E., Jenab, M.,
Pischon, T., Nöthlings, U., Overved, K., Tjønneland, A., Outzen, M.,
Clavel-Chapelon, F., Kaaks, R., Lukanova, A., Boeing, H., Aleksandrova,
K., Benetou, V., Zylis, D., Palli, D., Pala, V., Panico, S., Tumino, R.,
Sacerdote, C., Bueno-De-Mesquita, H.B,. Van Kranen, H.J., Peeters, P.H.,
Lund, E., Quirós, J.R., González, C.A., Sanchez Perez, M.J., Navarro, C.,
Dorronsoro, M., Barricarte, A., Lindkvist, B.,Regnér, S., Werner, M.,
Hallmans, G., Khaw, K.T., Wareham, N., Key, T., Romieu, I., Chuang,
S.C., Murphy, N., Boffetta, P., Trichopoulou, A., Riboli, E..
(2011). Hepatocellular carcinoma risk factors and disease burden in a
European cohort: a nested case-control study‟. J Natl Cancer Inst., vol.
103, no. 22, pp.
Walshe, J.M., Waldenström, E., Sams, V., Nordlinder, H., Westermark, K..
(2003). Abdominal malignancies in patients with Wilson's disease. QJM,
vol. 96,no. 9, pp.

Anda mungkin juga menyukai