Anda di halaman 1dari 29

MODUL 4

EKSKRESI URIN

I. Tujuan Percobaan
Percobaan ini bertujuan untuk mengukur konsentrasi obat dalam ekskresi
urin dan mengetahui parameter-parameter lain yang dapat dihitung serta
memahami cara mengukur konsentrasi obat dari sampel urin.

II. Prinsip Percobaan


Prinsip percobaan yang dilakukan ialah dengan penentuan kurva baku
siprofloksasin sehingga diperoleh persamaan regresi linear. Dari persamaan
regresi tersebut kemudian dilakukan penentuan kadar siprofloksasin dalam
spesimen biologis berupa urin masing-masing dikumpulkan dalam rentang waktu.
Penentuan kadar dilakukan menggunakan HPLC dengan detektor
spektrofotometer UV pada λ 280 nm. Dari data siprofloksasin pada rentang waktu
tersebut, maka dapat diperoleh persamaan farmakokinetik menggunakan metode
laju eksreksi dan metode are yaitu berupa konstanta eliminasi dan t ½.

III. Teori Dasar


Obat dibersihkan dari tubuh melalui berbagai proses
eliminasi. Eliminasi obat berkenaan dengan pembersihan obat
dari tubuh secara ireversibel melalui semua rute eliminasi obat.
Eliminasi obat biasanya dibagi menjadi dua komponen utama :
ekskresi dan biotransformasi (Shargel et al, 2012 : 131).
Ekskresi obat adalah pembersihan obat utuh. Obat-obat
yang tidak mudah menguap terutama diekskresi melalui eksresi
ginjal, suatu proses di mana obat melalui ginjal menuju kandung
kemih dan akhirnya ke dalam urin. Jalur lain untuk ekskresi obat
meliputi ekskresi obat ke dalam empedu, keringat, air susu ibu
(laktasi), atau cairan tubuh lain. Obat-obat yang mudah menguap
, seperti anestesi-gas atau obat-obat dengan tingkat pengupan
tinggi, dieskresikan melalui paru-paru ke dalam udara yang
dihembuskan (Shargel et al, 2012 : 131).
Biotransformasi atau metabolisme obat merupakan proses
di mana obat diubah secara kimia dalam tubuh menjadi suatu
metabolit. Pada umumnya biotransformasi merupakan suatu
proses enzimatis. Sedikit obat diubah secara kimia melalui
proses nonenzimatis (misal hidrolisis ester) (Shargel, et al, 2012 :
131).
Ekskresi ginjal merupakan rute eliminasi utama untuk
beberapa obat-obat yang tidak mudah menguap, larut air,
mempunyai berat molekul yang rendah, atau mengalami
biotransformasi lambat dalam hati dieliminasi melalui ekskresi
ginjal. Proses ekskresi obat melalu ginjal melibatkan kombinasi
(Shargel et al, 2012 : 136).
Filtrasi glomerulus merupakan proses satu arah yang
terjadi pada molekul kecil (BM<500), meliputi obat-obat yang
tidak terdisosiasi (tidak terion) dan terdisosiasi (terion). Obat-
obat yang terikat protein berlaku sebagai molekul besar dan
tidak terfiltrasi dalam glomerulus. Gaya penggerak utama untuk
filtrasi glomerulus adalah tekanan hidrostatik dalam kapiler
glomerulus. Ginjal menerima pasokan darah yang besar (kurang
lebih 25% curah jantung) melalui arteri ginjal dengan penurunan
tekanan hidrostatik yang kecil (Shargel et al, 2012 : 136).
Sekresi tubular aktif merupakan suatu transpor aktif.
Dengan demikian sekresi ginjal aktif merupakan suatu sistem
yang diperantarai pembawa yang memerlukan masukan energi,
oleh karena itu obat ditraspor melawan suatu gradien
konsentrasi. Sistem pembawa terbatasi kapasitas dan dapat
jenuh. Obat-obat dengan struktur serupa dapat berkompetisi
untuk sistem pembawa yang sama. Dua sistem sekresi ginjal
aktif telah diidentifikasi, yakni sistem untuk (1) asam lemah dan
(2) basa lemah. Sebagai contohnya probenesid berkompetisi
dengan penisilin untuk sistem pembawa yang sama (asam
lemah). Laju sekresi tubular aktif bergantung pada aliran plasma
ginjal (Shargel et al, 2012 : 136).
Reabsorpsi tubular terjadi setelah obat difiltrasi melalui
glomerulus dan dapat merupakan proses aktif atau pasif. Jika
suatu obat direabsorpsi sempurna (misal glukosa), maka harga
klirens obat mendekati nol. Untuk obat-obat yang direabsorpsi
sebagian, harga klirens lebih kecil dari GFR 125-130 mL/menit
(Shargel et al, 2012 : 137).
Tetapan laju eliminasi (k) dapat dihitung dari data eksresi
urin. Dalam perhitungan ini laju ekskresi obat dianggap sebagai
orde kesatu. Dengan menggunakan persamaan :
dDu
=Ke. DB
dt
Dari persamaan di atas disubtitusikan dengan D Bo.e-k.t
sehingga persamaanya :
dDu
=Ke. D B o .e−k .t
dt
Dengan memakai logaritma natural untuk kedua sisi untuk
persamaan tersebut dan kemudian diubah ke logaritma biasa,
diperoleh :
dDu −kt
Log = +logKe . D B o
dt 2,3
Dengan menggambarkan log dDu/dt terhadap waktu pada
kertas regular atau pada kertas semilog dDu/dt terhadap waktu
diperoleh garis lurus. Gradien kurva sama dengan –k/2,3 dan
intersep y sama dengan ke DBo. Untuk pemberian intravena cepat
DBo sama dengan dosis Do. Oleh karena itu, jika DBo diketahui
maka tetapan laju eksresi ginjal (Ke) dapat diperoleh. Karena K
dan Ke dapat ditentukkan dengan metode ini, tetapan laju (Knr)
untuk berbagai rute eliminasi selain ekresi ginjal dapat diperoleh
sebagai berikut:
K – Ke = Knr
Oleh karena itu eliminasi suatu obat biasanya dipengaruhi
oleh ekskresi ginjal atau metabolisme (biotransformasi),
sehingga Knr kurang lebih sama dengan Km. Laju ekskresi obat
lewat urin (dDu/dt) tidak dapat ditentukan melalui percobaan
segera setelah pemberian obat. Oleh karena itu laju ekskresi
obat lewat urin rata-rata, Du/dt digambar terhadap waktu rata-
rata t*, untuk kumpulan cuplikan urin. Dalam praktik, urin
dikumpulkan pada jangka waktu tertentu dan konsentrasi obat
dianalisis. Kemudian laju ekskresi urin rata-rata dihitung untuk
tiap waktu pengumpulan. Harga dDu/dt rata-rata digambar pada
suatu skala semilogaritmik terhadap waktu yang merupakan titik
tengah (waktu rata-rata) waktu pengumpulan (Shargel et al,
2012 : 64-65).
Metode lain untuk tetapan laju eliminasi k dari data eksresi
urin adalah metode sigma minus atau metode jumlah obat yang
tersisa yang akan diekresikan. Metode sigma minus kadang-
kadang lebih disukai daripada metode sebelumnya, oleh karena
fluktuasi data eliminasi diperkecil. Jumlah obat tidak berubah
dalam urin dinyatakan sebagai fungsi waktu, melalui persamaan
berikut:
keDo
Du = (1 – e )
- kt
k
Du adalah jumlah kumulatif obat tidak berubah yang
dieksresikan dalam urin. Jumlah obat tidak berubah yang
akhirnya dieksresikan dalam urin , Du∞ dapat di tentukan
dengan membuat waktu t tak hingga. Jadi e – kt
diabaikan dan
dapat dipakai pernyataan sebagai berikut:
ke Do
Du∞ =
k
Substitusi Du∞untuk KeDo/k dalam persamaan diatas
dengan penyusunan kembali dihasilkan:
Du∞ - Du = Du∞ e –kt
Untuk mendapat suatu persamaan linear, persamaan
dapat ditulis dalam bentuk logaritmik
−kt
Log (Du∞ -Du) = + log Du∞
2,3
Metode laju eksresi tidak memerukan data Du∞ dan
hilangnya satu spesimen urin tidak menghilangkan kesahihan
keseluruhan studi ekskresi obat lewat urin. Metode sigma minus
memerlukan penentuan Du∞ yang teliti, yang memerlukan
pengumpulan urin sampai eksresi obat lewat urin sempurna.
Satu kesalahan kecil pada penetapan Du∞ memberikan
kesalahan dalam pembentukan gambar, karena masing-masing
titik didasarkan atas log (Du∞- Du) versus waktu. Fluktuasi dalam
laju eliminasi obat dan kesalahan percobaan yang meliputi
pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna untuk satu
periode pengumpulan menyebabkan ketidaklinearitas pada
penggunaan metode laju, sedangkan ketelitian metode sigma-
minus kurang dipengaruhi. Metode laju dapat diterapkan pada
proses eliminasi obat orde nol sedangkan metode sigma minus
tidak dapat. Tetapan laju eksresi obat renal dapat diperoleh dari
metode laju tetapi tidak dari metode sigma minus (Shargel et al,
2012 : 66-67).
Faktor-faktor tertentu dapat mempersulit untuk
mendapatkan data ekskresi urin yang sahih. Beberapa faktor
tersebut adalah :
1. Suatu fraksi yang bermakna dari obat tidak berubah harus
diekskresi dalam urin.
2. Teknik penetapan kadar harus spesifik untuk obat tidak
berubah, dan harus tidak dipengaruhi oleh metabolit-
metabolit obat yang mempunyai struktur kimia yang
serupa.
3. Diperlukan pengambilan cuplikan yang sering untuk
mendapatkan gambaran kurva yang baik.
4. Sampel urin hendaknya dikumpulkan secara berkala
sampai hampir semua obat diekskresi.
5. Perbedaan pH urin dan volume dapat menyebabkan
perbedaan laju ekresi urin yang bermakna.
6. Subjek hendaknya diberitahu pentingnya untuk
memberikan cuplikan urin yang lengkap (yakni dengan
pengosongan kandung kemih yang sempurna) (Shargel et
al, 2012 : 68-69).

Gambar Struktur Siprofloksasin


Siprofloksasin adalah serbuk kristal berwarna hampir putih
atau kuning muda memiliki rumus molekul C17H18FN3O3 dengan
nama IUPAC Asam 1-Siklopropil-6-fluoro-1,4-dihidro-4oxo-7-
piperazin-1-ilkuinolin-3-karboksilat, bobot molekul 331,3 g/mol,
praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam alkohol
terdehidrasi dan diklorometan. Kontra indikasi dengan :
1. Penderita yang hipersensitivitas terhadap siprofloksasin
dan derivat quinolon lainnya.
2. Tidak dianjurkan pada wanita hamil atau menyusui, anak-
anak pada masa pertumbuhan, karena pemberian dalam
waktu yang lama dapat menghambat pertumbuhan tulang
rawan.
3. Hati-hati bila digunakan pada penderita usia lanjut,
menyusui, anak-anak pada masa pertumbuhan, karena
pemberian dalam waktu yang lama dapat menghambat
pertumbuhan tulang rawan.
4. Pada penderita epilepsi dan penderita yang pernah
mendapat gangguan SSP hanya digunakan bila
manfaatnya lebih besar dibandingkan dengan risiko efek
sampingnya (ISO, 2011).
Mekanisme kerja siprofloksasin adalah menghambat
aktifitas DNA girase bakteri, bersifat bakterisida dengan
spektrum luas terhadap bakteri gram positif maupun gram
negatif. Siprofloksasin diabsorbsi secara cepat dan baik melalui
saluran cerna, bioavailabilitas absolut antara 69-86%, kira-kira
16-40% terikat pada protein plasma dan didistribusi ke berbagai
jaringan serta cairan tubuh. Metabolismenya dihati dan
diekskresi terutama melalui urin (ISO, 2011).
Siprofloksasin oral diserap dengan baik melalui saluran
cerna. Bioavaliabilitas absolut adalah sekitar 70%, tanpa
kehilangan yang bermakna dari metabolisme fase
pertama. Berikut ini adalah konsentrasi serum maksimal dan
area di bawah kurva (area under the curve, AUC) dari
siprofloksasin yang diberikan pada dosis 250 ~ 1000mg
(Katzung, 2011).
Ikatan siprofloksasin terhadap protein serum adalah 20-
40% sehingga tidak cukup untuk menyebabkan interaksi ikatan
protein yang bermakna dengan obat lain. Setelah administrasi
oral, siprofloksasin di distribusikan ke seluruh tubuh. Konsentrasi
jaringan seringkali melebihi konsentrasi serum, terutama di
jaringan genital, termasuk prostat. Siprofloksasi ditemukan
dalam bentuk aktif di saliva, sekret, nasal dan brokus, mukosa
sinus, sputum cairan gelembung kulit, limfe, cairan peritoneal,
empedu dan jaringan prostat. Siprofloksasin juga dideteksi di
paru-paru, kulit, jaringan lemak, otot, kartilago dan tulang. Obat
ini berdifusi ke cairan serebro spinal, namun konsentrasi di CSS
adalah kurang dari 10% konsentrasi serum puncak.
Siprofloksasin juga ditemukan pada konsentrasi rendah di
aqueous humor dan vitreus humor (Katzung, 2011).
Tempat metabolit siprofloksasin yang memiliki aktivitas
antimikrobial yang lebih rendah dari siprofloksasin bentuk asli
telah di identifikasi di urin manusia sebesar 15% dari dosis oral
(Katzung, 2011).
Waktu paruh eliminasi serum pada subjek dengan fungsi
ginjal normal adalah sekitar 4 jam. Sebesar 40-50% dari dosis
yang diminum akan diekskresikan melalui urin dalam bentuk
awal sebagai obat yang belum diubah. Eksresi
siprofloksasin melalui urin akan lengkap setelah 24 jam. Dalam
urin semua fluorokuinolon mencapai kadar yang melampaui
konsentrasi hambat minimal (KHM) untuk kebanyakan
kuman patogen selama minimal 12 jam. Klirens ginjal dari
siprofloksasin, yaitu sekitar 300 mL/menit, melebihi laju filtrasi
glomerulus yang sebesar 120 mL/menit. Oleh karena itu, sekresi
tubular aktif memainkan peran penting dalam eliminasi obat ini.
Pemberian siprofloksasin bersama
probenesid berakibat pada penurunan 50% klirens renal siproflok
sasin dan peningkatan 50% pada konsentrasi sistemik (Katzung,
2011) .
Siprofloksasin sediaan tablet bila diberikan bersama
makanan, akan mengalami terjadi keterlambatan absorpsi,
sehingga konsentrasi puncak baru akan dicapai 2 jam setelah
pemberian. Pada siprofloksasin sediaan suspensi, tidak terjadi
keterlambatan absorpsi bila diberikan bersama makanan
sehingga konsentrasi puncak dicapai dalam 1 jam. Bila diberikan
bersama dengan antasid yang mengandung magnesium
hidroksida atau aluminium hidroksida dapat mengurangi
bioavailabilitas siprofloksasin secara bermakna (Sinta, 2011).
Kromatografi merupakan salah satu metode pemisahan
komponen-komponen campuran dimana cuplikan
berkesetimbangan diantara dua fasa, yaitu fasa gerak dan fasa
cair. Fasa gerak membawa cuplikan dan fasa diam yang
menahan cuplikan secara selektif. High Performance Liquid
Chromatography (HPLC) atau kromatografi cair kinerja tinggi
menggunakan sebagai fasa gerak dan fasa diamnya (Hendayana,
2006: 69). Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan
sistem pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi.
Hal ini karena didukung oleh kemajuan dalam teknologi kolom,
sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor yang sangat sensitif
dan beragam. KCKT mampu menganalisa berbabagi cuplikan
secara kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam komponen
tunggal maupun campuran (Depkes RI, 1995).
Kromatografi didasarkan atas distribusi partisi sampel
(komponen) diantara fasa gerak dan fasa diam. Fasa gerak yaitu
fasa yang bergerak dengan arah yang telah ditentukan. Fasa
gerak bergerak melalui fasa diam. Sedangkan fasa diam adalah
fasa yang secara tetap tidak bergerak. Prinsip kerja HPLC adalah
pemisahan komponen analit berdasarkan kepolarannya, artinya
komponen pada suatu analit (sampel) akan terpisah berdasarkan
sifat kepolaran masing-masing komponen dalam sampel. Jika
kepolarannya lebih mirip dengan fasa diam, maka dia akan
tertinggal di fasa diam atau bergerak lebih lambat atau jika
kepolarannya lebih mirip dengan fasa gerak sehingga dia akan
bergerak terdistribusi lebih jauh dan lebih cepat. Dengan
bantuan pompa, fase gerak cair dialirkan melalui kolom detektor.
Cuplikan (sampel) dimasukkan kedalam airan fasa gerak dengan
cara penyuntikan. Didalam kolom terjadi pemisahan komponen-
komponen campuran. Karena perbedaan kekuatan interaksi
antara solut-solut terhadap fasa diam. Solut-solut yang kurang
interaksinya dengan fasa diam, maka komponen tersebut akan
keluar lebih lama. Setiap campuran komponen yang keluar dari
kolom deteksi oleh detektor kemudian di rekam dalam bentuk
kromatogram, kromatogram HPLC serupa dengan kromatogram
kromatografi gas, dimana jumlah luas peak menyatakan
konesntrasi komponen dalam campuran. Komputer digunakan
untuk mengontrol kerja sistem HPLC dan mengumpulkan serta
mengolah data hasil pengukuran (Hendayana, 2006: 69).
Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah
senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologs, analisa
ketidakmurnian (impurities) dan analisis senyawa-senyawa yang
tidak mudah menguap (nonvolatil). KCKT paling sering digunakan
untuk: menetapkan kadar senyawa-senyawa tertentu seperti
asam-asam amino, asam-asam nukleat dan protein-protein
dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa-senyawa
aktif obat dan lain-lain.
Kelebihan KCKT antara lain :
1. Mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu
campuran.
2. Resolusinya baik.
3. Mudah melaksanakannya.
4. Kecepatan analisis dan kepekaannya tinggi.
5. Dapat dihindari terjadinya dekomposisi/kerusakan bahan
yang dianalisis.
6. Dapat digunakan bermacam-macam detektor.
7. Kolom dapat digunakan kembali,
8. Mudah melakukan recovery cuplikan.
9. Teknik tidak begitu bergantung pada keahlian operator dan
reprodusibitasnya tinggi.
10. Instrumennya memungkinkan untuk bekerja secara
automatis dan kuantitatif.
11. Waktu analisis umumnya singkat.
12. Kromatografi cair preparatif memungkinkan dalam skala
besar.
13. Ideal untuk molekul besar dan ion (Putra, 2007).
Keterbatasan metode KCKT adalah untuk identifikasi
senyawa, kecuali jika KCKT dihubungkan dengan
sprektrofotometer massa (MS). Keterbatasan lainnya adalah jika
sampelnya sangat kompleks, maka resolusi yang baik sulit
diperoleh (Munson, 1991).
Kromatografi merupakan teknik yang mana solut atau zat-
zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi,
dikarenakan solut-solut ini melewati suatu kolom kromatografi.
Pemisahan solut-solut ini diatur oleh distribusi dalam fasa gerak
dan fase diam.penggunaan kromatografi cair membutuhkan
penggabungan secara tepat dari berbagai macam kondisi
operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan
diameter kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom dan
ukuran sampel (Rohman, 2007).
Larutan induk adalah larutan baku kimia yang dibuat dengan kadar tinggi
dan akan digunakan untuk membuat larutan baku dengan kadar yang lebih rendah
(Bapedal, 1996).
Larutan stok merupakan larutan yang berisi satu atau lebih komponen
media yang konsentrasinya lebih tinggi daripada konsentrasi kompenen tersebut
dalam formulasi media yang akan dibuat. Larutan stok biasanya dibuat dengan
konsentrasi 10, 100 atau 1000 kali lebih pekat. Jika larutan stok dibuat,
pembuatan media dapat dilakukan dengan cara mengambil sejumlah larutan stik
sehingga konsentrasinya menjadi sesuai dengan yang terdapat pada formulasi
media yang dikehendaki (Yusnita, 2003).
Dalam pembuatan larutan stok, yang perlu diperhatikan adalah penyatuan
beberapa komponen media sekaligus dalam suatu larutan stok dan harus
mempertimbangkan kecocokan dan kestabilan dari sifat kimianya. Dalam larutan
stok yang berisi beberapa komponen media jangan sampai ada endapan. Hal ini
erat kaitannya dengan ketersediaan hara  dalam media eksplan atau tanaman yang
dikulturkan. Setelah larutan stok dibuat, pengambilanya untuk media dapat
dilakukan dengan cara memipet atau menakarnya dengan gelas ukur (Yusnita,
2003).
Pembutan larutan stok dimaksudkan untuk memberi kemudahan pekerjaan
dalam pembutan media salnjutnya antara lain;
1. Menghemat pekerjaan menimbang bahan media setiap kali ingin membuat
media
2. Mengatasi kesulitan penimbangan dalam jumlah yang sangat kecil
3. Mengurangi kerusakan bahan kimia akibat terlau sering dibuka dan ditutup
(Marlin dkk, 2007).

IV. Alat Bahan


Alat-alat yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu
beaker glass, HPLC dengan detektor spektrofotometri UV 280
nm, kertas perkamen, labu takar, mikropipet, timbangan dan
vial.
Bahan-bahan yang digunakan yaitu Asetonitril, air, asam
asetat 1 M, dapar ammonium asetat, kolom oksadesil silane,
urin, siprofloksasin 10 mg dan tietanolamin.

V. Prosedur
V.1. Pengambilan sampel
Dilakukan pengumpulan urin blanko sebelum obat diminum
oleh sukarelawan. Kemudian obat siprofloksasin dengan kadar
500 mg diminum sukarelawan pada pukul 08.00 satu hari
sebelum dilakukan percobaan , pengumpulan sampel dilakukan
pada rentang waktu tertentu. Urin yang terkumpul disimpan di
dalam matkan plastic dan di ukur volumenya lalu diambil
masing-masing 10 mL dan dimasukan ke dalam vial.

Shift Pengambilan ke- Rentang waktu


pengumpulan
urin
1 08.00-11.00
2 11.00-14.00
3 14.00-17.00
Pagi 4 17.00-20.00
5 20.00-tidur
6 Bangun tidur-
08.00

V.2. Perlakuan sampel


Larutan blanko
Dilakukan pembuatan larutan induk Siprofloksasin 1000
ppm dengan cara siprofloksasin ditimbang sebanyak 10mg
kemudian dilarutkan dalam urin blanko sebanyak 10 mL. Dari
larutan induk dibuat larutan stok 100 ppm dengan cara 1 mL
larutan induk diencerkan dengan dapar ammonium asetat hingga
10 mL. Selanjutnya dibuat larutan seri dengan konsentrasi 0,1;
0,5; 1; 5; 10; 20 dan 50 µg/mL dari larutan stok. Masing-masing
larutan blanko diinjeksikan kedalam kolom HPLC dan dicatat luas
area larutan blanko urin.
Larutan sampel
Dari 6 sampel urin yang telah dikumpulkan, diambil
masing-masing sebanyak 1 mL dan dimasukan kedalam labu
takar 10 mL. Kemudian masing-masing sampel diencerkan
dengan dapar ammonium asetat hingga volume 10 mL (1:100).
Masing-masing larutan sampel diinjeksikan kedalam kolom HPLC
dan dicatat luas area larutan sampel urin.

VI. Data Pengamatan dan Perhitungan


VI.1. Pembuatan Fase Gerak
Total fase gerak : 500 mL
Fase gerak asetonitril : air (25:75)
25
Asetonitril = ×500 mL = 166,67 mL
75
Air = 500 mL-166,67 mL = 333,33 mL
0,1
TEA 0,1% = ×500 mL = 0,5 mL
100

VI.2. Pembuatan Kurva Kalibrasi Siprofloksasin


1) Pembuatan larutan induk 1000 ppm dalam 10 mL
1000 ppm = 1000 μg/mL
1000 μg
Siprofloksasin yang ditimbang = ×10 mL = 10.000 μg
1 mL
10.000 μg = 10 mg → ad 10 mL dapar amonium asetat
2) Pembuatan larutan stok 100 ppm dalam 10 mL
Dilakukan pengenceran terhadap larutan induk (1000 ppm)
V1 × N1 = V 2 × N2
V 1 ×1000 ppm = 10 mL×100 ppm
V1 =1 mL → ad 10 mL dapar amonium asetat
3) Pembuatan larutan seri
Dilakukan pengenceran terhadap larutan stok (100 ppm)
 0,1 ppm; 10 mL
V1 × N1 = V 2 × N2
V1 ×100 ppm = 10 mL×0,1 ppm
V 1 = 0,01 mL
 0,5 ppm; 10 mL
V1 × N1 = V 2 × N2
V 1 ×100 ppm = 10 mL×0,5 ppm
V1 = 0,05 m L
 1 ppm; 10 mL
V 1 × N1 = V 2 × N 2
V1 ×100 ppm = 10 mL×1 ppm
V1 = 0,1 mL
 5 ppm; 10 mL
V 1 × N1 = V 2 × N 2
V 1 ×100 ppm = 10 mL×5 ppm
V1 = 0,5 mL
 10 ppm; 10 mL
V1 × N1 = V 2 × N2
V1 ×100 ppm = 10 mL×10 ppm
V 1 = 1 mL
 20 ppm; 10 mL
V1 × N1 = V 2 × N2
V 1 ×100 ppm = 10 mL×20 ppm
V1 = 2 mL
 50 ppm; 10 mL
V1 × N1 = V 2 × N2
V1 ×100 ppm = 10 mL×50 ppm
V 1 = 5 mL
4) Data Kurva Kalibrasi
Tabel 6.1. Data kurva kalibrasi.

Konsentrasi (ppm) Luas area (AUC) Waktu retensi


0,1 1353949 3.433
0,5 84331429 3.427
1 1828015 3.433
5 9970672 3.390
10 22982319 3.430
20 45569629 3.440
50 80607778 3.420

Hasil regresi linier antara konsentrasi dengan luas area:


a = 4656137,749; b =1595275,136 ; r = 0,9864
y = 4656137,749+1595275,136x
5) Kurva Kalibrasi Siprofloksasin
Gambar 6.1. Kurva kalibrasi siprofloksasin.

VI.3. Hasil Pengumpulan Urin


Tabel 6.2. Hasil Pengumpulan Urin

Pengambilan Ke- Rentang Waktu Pengumpulan Urin Volume Urin (mL)

Blangko Sebelum minum obat 180


1 08.00-11.00 170
2 11.00-13.00 190
3 13.00-16.00 240
4 16.00-20.00 80
5 20.00-tidur 100
66 Sesaat setelah420
bangun
mL tidur - 08.00 240
VI.4. Pengolahan Sampel Data Urin
Tabel 6.3. Data Pengolahan Sampel Data Urin

Sampel Uji AUC C (µg/mL) CxFaktor Pengenceran (x10) (µg/mL) CP (mg/mL) :1000 Waktu Retensi

1 62085743 36 360 0,36 3,023


2 25270908 12,922 129,22 0,129 2,763
3 12759635 5,08 50,8 0,051 2,723
4 17657567 8,15 81,5 0,082 2,69
5 15279235 6,659 66,59 0,067 2,69
6 6686678 1,273 12,73 0,013 2,82

Perhitungan nilai C (mg/mL)


y = 4656137,749+1595275,136x
1) Sampel 1 (AUC = 62085743)
62085743 = 4656137,749+1 595 275,136 x
57429605,25
x=
1 595 275,136
x = 36,00 µg/mL
2) Sampel 2 (AUC = 25270908)
25270908 = 4656137,749 +159 5 275,136 x
20614770,25
x=
1 595 275,136
x = 12,922 µg/mL
3) Sampel 3 (AUC = 12759635)
12759635 = 4656137,749 +1 595 275,136 x
8103497,251
x=
1 595 275,136
x = 5,080 µg/mL
4) Sampel 4 (AUC = 17657567)
17657567 = 4656137,749 +159 5 275,136 x
13001429,25
x=
1 595 275,136
x = 8,150 µg/mL
5) Sampel 5 (AUC = 15279235)
15279235 = 4656137,749 +1 595 275,136 x
10623097,25
x=
1 595 275,136
x = 6,659 µg/mL
6) Sampel 6 (AUC = 6686678)
6686678 = 4656137,749 +159 5 275,136 x
2030540,251
x=
1 595 275,136
x = 1,273 µg/mL
VI.5. Metode Laju Ekresi
Tabel 6.4. Data Metode Laju eksresi

Waktu Pengambilan t (jam) t' (jam) tmid (jam) Volume urin (mL) CP (mg/mL) Du (mg) Du/t' Ln Du/t'

08.00-11.00 3 3 1,5 170 0,36 61,2 20,4 3,015


11.00-14.00 6 3 4,5 190 0,129 24,51 8,17 2,1
14.00-17.00 9 3 7,5 240 0,051 12,24 4,08 1,406
17.00-20.00 12 3 10,5 80 0,082 6,56 2,19 0,784
20.00-22.00 14 2 13 100 0,067 6,7 3,35 1,209
05.00-08.00 24 10 19 240 0,013 3,12 0,321 -1,165

VI.6. Kurva Laju Eksresi

Kurva Laju Eksresi


12

10

8
Kurva Laju Eksresi
Ln Du/t

0
0 1 2 waktu (jam)
3 4 5 6 7 8
Gambar 6.6. Kurva Laju Eksresi

Hasil regresi linier antara tmid dengan Ln Du/t1:


a = 3,234; b = -0,215; r= -0,958
y = 3,234-0,215x
Parameter Farmakokinetika
1) Nilai konstanta laju eliminasi (K)
K = b = 0,215/jam
2) Waktu paruh siprofloksasin
0,693
t½ = = 3,223 jam
0,215
3) Nilai kostanta laju ekskresi (Ke)
a = Ln K e × D 0
3,234 = Ln K e × 500 mg
ε 3,234
Ke = = 0,051/ja m
500
4) Nilai konstanta laju metabolisme (Km)
K m = K- Ke
K m =0,215/jam-0,051 /jam
Km = 0,164/jam
5) Kesimpulan: obat tidak dieksresikan secara utuh melalui ginjal karena
mengalami metabolism di hati yang ditunjukan dengan nilai Ke< K dengan
laju metabolism sebesar 0,164/jam
VI.7. Metode Sigma Minus (ARE)
Tabel 6.5. Data Metode Sigma Minus (ARE)

t (jam) Du (mg) Du* Du - Du (ARE) Ln ARE

3 61,2 61,2 53,13 3,973


6 24,51 85,71 28,62 3,354
9 12,24 97,95 16,38 2,796
12 6,56 104,51 9,82 2,284
14 6,7 111,21 3,12 1,138
24 3,12 114,33 0

VI.8. Kurva sigma Minus


Kurva Sigma Minus
12

10

8
Ln ARE

6 Kurva Sigma Minus


4

0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam)

Gambar 6.8. Kurva Sigma Minus


Hasil regresi linier antara t dan Ln ARE:
a = 4,792; b = -0,237; r= -0,972
y = 4,792-0,237x
Parameter Farmakokinetika
5) Nilai konstanta laju eliminasi (K)
K = b = 0,237/jam
6) Waktu paruh siprofloksasin
0,693
t½ = = 2,924 jam
0,237
I. Pembahasan
Ginjal merupakan organ yang penting dalam pengaturan kadar cairan tubuh,
keseimbangan elektrolit dan pembuangan metabolit-metabolit sisa dan obat dari tubuh.
Kerusakan atau degenerasi fungsi ginjal akan mempunyai pengaruh pada farmakokinetika
obat. Percobaan kali ini untuk mengukur konsentrasi obat dalam urin dan mengetahui
parameter-parameter farmakokinetik. Obat yang digunakan untuk analisa konsentrasinya
adalah siprofloksasin. Siprofloksasin digunakan dalam percobaan karena siprofloksasin
tidak mengalami first pass effect, sehingga dieksresikan secara sempurna melalui urin.
Siprofloksasin merupakan obat antibakteri yang memiliki mekanisme menghambat
aktifitas DNA girase bakteri, bersifat bakterisida dengan spektrum luas terhadap bakteri
gram positif maupun gram negatif. Siprofloksasin tersedia dalam bentuk tablet da nada juga
kaplet. Jika diberikan melalui oral bioavaliabilitas absolut dari obat ini adalah sekitar 70%,
tanpa dipengaruhi oleh metabolisme pertama.
Siprofloksasi menurut Katzung, 2011 menyatakan bahwa sebesar 40-50% dari dosis
yang diminum akan diekskresikan melalui urin dalam bentuk awal sebagai obat yang belum
diubah. Eksresi siprofloksasin melalui urin akan lengkap setelah 24 jam. Sehingga cocok
untuk pengukuran konsentrasi obat melalui urin karena pegeluaran atau eliminasi obat
dalam urin besar dan tereliminasi dalam bentuk utuhnya tidak diubah yang menyebabkan
pengukuran konsentrasi obat lebih mudah.
Kemudian obat siprofloksasin memiliki interaksi dengan makanan. Menurut Sinta,
2011, Siprofloksasin sediaan tablet bila diberikan bersama makanan, akan mengalami
terjadi keterlambatan absorpsi sedangkan pada sediaan suspensi, tidak terjadi keterlambatan
absorpsi bila diberikan bersama makanan. Sehingga disini peran bentuk sediaan
berpengaruh pada proses absorbsi contohnya sediaan tablet akan mengalami keterlambatan
pada proses absorbsi karena memerlukan proses penghancuran terlebih dahulu sedangkan
jika ada makanan maka akan mengganggu proses penghancuran tersebut sehingga akan
menyebab proses absorbsi menjadi lambat, tetapi jika dibandingkan dengan sediaan
suspensi maka tidak terjadi keterlambatan karena sediaan suspensi merupakan fase dispersi
dimana zat aktif terdispersi dalam cairan dalam bentuk partikel-partikel kecil sehingga pada
proses penghancuran akan lebih cepat walaupun adanya makanan kemudian jika ada
makanan atau minuman yang dapat merubah pH saluran cerna diberikan bersamaan dengan
obat ini karena pengaruh pH jika makanan atau minuman tersebut besifat asam maka akan
terbentuk ionisasi karboksilat kelompok molekul kuinolon yang memungkinkan terbentuk
khelat dengan kation menjadi kelarutan menjadi berkurang dan absorbsi terganggu. Jika
berupa minuman contohnya susu akan mempengaruhi proses absorbsi obat karena
kandungan dari susu yaitu kalsium akan membentuk ikatan kompleks dengan
siprokfloksasin. Menurut Papai, 2010 menyatakan bahwa sejumlah kalsium berinteraksi
dengan Floroquinolon yang ada dalam siprofloksasin membentuk hemat kelat larut dengan
ion logam di- dan trivalen. Karena membentuk kompleks dengan kalsium sehingga molekul
menjadi besar sehingga kelarutan menjadi berkurang menyebabkan proses absorbsi
terganggu.
Interaksi siprofloksasin dengan obat lainya contohnya dengan antasida akan
mempengaruhi proses absorbsi dari obat siprofloksasin yang menyebabkan bioavaibilitas
dalam tubuh sedikit. Karena antasida yang mengandung magnesium hidroksida atau
aluminium hidroksida dapat mengurangi bioavailabilitas siprofloksasin secara bermakna
(Sinta, 2011). Hal ini dapat terjadi karena antasida akan menurunkan kelarutan dari
siprofloksasin yang sifatnya basa. Sehingga proses absorbsi terhambat. Kemudian contoh
lainya yaitu dengan probenesid yaitu dapat menurunkan ekskresi siprofloksasin dan
meningkatkan kadar obat disistemik. (Katzung, 2011).
Penetapan kadar siprofloksasin dilakukan dengan cara mengambil sample urin yang
diambil secara berkala selama 24 jam dan menggunakan alat KCKT dengan detektor UV
sebagai yang dapat mengukur kadar obat siprofloksasin. Dasar dari pemilihan KCKT yaitu
dapat dilihat dari struktur siprofloksasin yang memiliki gugus kromofor.
Penggunaan detektor sinar UV (ultraviolet) dengan panjang gelombang 280 nm
dikarenakan siprofloksasin memiliki panjang gelombang maksimum 278 nm sehingga
puncak zat aktif terbaca karena masih dalam rentang panjang gelombang nya (Sari, 2013).
Selain itu, pada struktur siprofloksasin terdapat gugus kromofor. Gugus kromofor
merupakan gugus fungsi yang menyerap atau mengabsorpsi radiasi elektromagnetik di
daerah panjang gelombang sinar UV (ultraviolet) yaitu 200 - 400 nm dan panjang
gelombang sinar tampak (visible) yaitu 400 - 800 nm. Gugus kromofor yang terdapat pada
struktur siprofloksasin berupa ikatan rangkap terkonjugasi serta pasangan elektron bebas
yang terdapat pada atom O.
Pengukuran menggunakan KCKT sistem fase balik yaitu fase gerak yang polar dan
fase diam yang nonpolar. Fase diam yang digunakan yaitu oktadesil silane yang bersifat
nonpolar. Fase gerak yang digunakan adalah asetonitril-air (25:75) dengan penambahan
Trietanolamin 0,1% dan pH disesuaikan hingga 2,5 dengan asam sulfat 1 M. Fase gerak
yang digunakan bersifat polar karena perbandingan air lebih banyak dibandingkan dengan
asetonitril. Kemudian penambahan trietanolamin (TEA) digunakan agar tidak terjadinya
tailing, TEA akan me-masking residu Si-OH, sehingga saat senyawa basa melewati kolom
tidak terjadi ikatan yang terlalu kuat, hingga akhirnya dapat memperkecil terjadinya tailing.
Tetapi harus diperhatikan penggunaanya jangan terlalu banyak karena dapat menyebabkan
hilangnya fungsi residu silanol pada kolom RP-18. Sedangkan asam sulfat 1 M digunakan
untuk mnyesuaikan pH hingga 2,5. Detektor yang digunakan yaitu sinar UV pada panjang
gelombang 280 nm.
Tahap pertama yaitu pembuatan kurva kalibrasi dengan cara pembuatan larutan
induk. Larutan induk adalah larutan baku kimia yang dibuat dengan kadar tinggi dan akan
digunakan untuk membuat larutan baku (stok) dengan kadar lebih rendah. Larutan induk
dibuat dari campuran urin blanko 10 mL dan 10 mg siprofloksasin yang memiliki
konsentrasi 1000 ppm dalam 10 mL. Blanko urin yang diambil pada hari pertama sesaat
setelah bangun tidur yang belum minum atau makan apapun. Hal ini dilakukan karena urin
blanko adalah sebagai pelarut untuk larutan induk, diambil sesaat setelah bangun tidur dan
sebelum memakan atau meminum apapun untuk menjaga agar blanko urin tidak
mengandung lebih banyak komponen yang disebabkan oleh makanan atau minuman, yang
dapat mengganggu pada proses pengukuran kurva kalibrasi.
Kemudian pembuatan larutan stok yang diambil dari larutan induk yang
berkonsentrasi 1000 ppm dalam 10 mL, menjadi 100 ppm dalam 10 mL perhitungan yang
dilakukan yaitu menggunakan pengenceran dan didapat 1 mL larutan induk yang akan
dijadikan larutan stok. Larutan stok adalah larutan yang dibuat dari larutan induk kemudian
diencerkan dengan tujuan agar dapat menjadi pembanding larutan sampel dan untuk
membuat kurva kalibrasi.
Selanjutnya yaitu pembuatan larutan seri. Larutan seri adalah larutan yang dibuat
dari larutan stok yang dibuat berbagai konsentrasi yaitu 0,1; 0,5; 1,5; 10, 20, dan 50 µg/mL,
pembuatan larutan seri diambil dari larutan stok dengan cara perhitungan pengenceran yang
didapat secara berturut-turut yaitu 0,01; 0,05; 0,1; 0,5; 1, 2, 5 mL. Tujuan dari pembuatan
larutan seri yaitu untuk membuat kurva kalibrasi. Kurva kalibrasi digunakan untuk
menghitung kadar obat siprofloksasin dalam urin. Kemudian diinjeksikan kedalam alat
KCKT dan dilihat waktu retensi dan luar area yang dihasilkan.
Berdasarkan grafik kurva kalibrasi menunjukan kurva yang linier dilihat dari nilai r
yaitu 0,9864 yang mendekati 1, sehingga data kurva kalibrasi menunjukan nilai yang bagus
yaitu setiap kenaikan konsentrasi maka luas area (AUC) akan semakin besar dan dapat
menentukan nilai konsentrasi obat siprofloksasin dalam urin, dan didapat persamaan regresi
y = 4656137,749 + 1595275,136x.
Kemudian penentuan konsentrasi siprofloksasin dalam sampel urin dengan cara
mengambil 1 mL urin dari tiap rentang dimasukan kedalam labu ukur 10 mL dan
diencerkan dengan ammonium asetat sampai 10 mL. sehingga didapat 6 sampel urin yang
diinjeksikan kedalam alat KCKT dengan sistem yang sama dengan cara penentuan kurva
kalibrasi, sebanyak 40 µg dan dilihat waktu retensi dan luar area yang dihasilkan. Hasil
AUC yang didapat yaitu dari 6 sampel adalah secara berturut-turut yaitu 62085743,
25270908, 12759635, 17657567, 15279235, dan 6686678. Menurut (Katzung, 2011) waktu
paruh eliminasi dari siprofloksasin yaitu 4 jam sehingga tiap 4 jam rentang waktu
seharusnya memberikan nilai AUC yang meningkat, semakin lama proses pengumpulan
urin maka konsetrasi obat dalam urin semakin besar.
Kemudian dicari nilai C (µg/mL) dengan cara memasukan nilai AUC dari tiap
sampel urin sebagai nilai Y dari persamaan regresi kurva kalibrasi y = 4656137,749 +
1595275,136x. Kemudian dicari x adalah nilai C. Setelah dicari nilai C kemudian dikali
dengan faktor pengenceran 10x dan diubah kedalam  mg/mL. Hasil yang didapat yaitu
0,360 ; 0.129 ; 0,051 ; 0,815 ; 0,605 ; 0,127. Data tersebut yang akan digunakan untuk
mencari parameter farmakokinetik melalui sampel urin seperti (K) dan t 1/2 dengan metode
laju ekresi dan metode sigma minus.
Metode pertama yaitu dengan laju ekskresi hal pertama yang harus dilakukan yaitu
mencari du dengan cara mengkalikan volume urin tiap rentang dengan Cp. Volume urin
yang didapat pada rentang secara berturut-turut yaitu 170, 190, 240, 80, 100, 240 mL
volume tersebut dikalikan dengan Cp sehingga didapat nilai du. Kemudian mencari nilai
du/t waktu yang digunakan adalah rentang dari setiap pengambilan urin dan didapat data
sebagai berikut 20,4 ; 8,17 ; 4,08 ; 2, 19 ; 3,35 ; 0,312. Sebelum meregresikan dicari
terlebih dahulu waktu titik tengah (tmid) dengan cara membagi dua dari awal pemberian
ditambah akumulasi rentang dan didapat nilai tmid yaitu 1,5; 4,5; 7,5; 10,5; 13 , 19.
Kemudian meregresikan antara ln du/t terhadap tmid dan didapat hasil a = 3,234 b = -0,215 r
= -0,458 sehingga persamaan regresinya sebagai berikut y = 3,234 + -0,215x. Nilai
konstanta laju eliminasi dinyatakan dalam nilai b yaitu 2,15/jam dan untuk mencari t1/2
dengan cara ln2/k sehingga didapat hasil 3,223 jam.
Berdasarkan grafik metode laju ekskresi menunjukan hasil yang tidak linier dapat
dilihat dari nilai r yang tidak mendekati 1 yaitu hanya -0,458. Hal ini dapat disebabkan
fluktuasi dalam laju eliminasi obat dan kesalahan percobaan yang meliputi pengosongan
kandung kemih yang tidak sempurna untuk satu periode pengumpulan menyebabkan
ketidaklinearitas pada penggunaan metode laju ekskresi. (Shargel et al, 2012 : 67).
Metode kedua yaitu dengan metode ARE (sigma minus). Dalam menentukan
parameter farmakokinetik menggunakan metode ARE pertama-tama harus mencari du
terlebih dahulu dengan cara mengkalikan c dengan volume urin dan didapat nilai du secara
beruturut-turut 61,20; 24,51; 12,24; 6,58; 6,70; 3,20. Kemudian mencari du ∞ dengan cara
menambahkan volume urin dari awal sampai akhir dan hasil yang didapat 61,2; 85,71;
97,95; 104,51; 111,21; 114,93. Kemudian setelah didapat du dan du∞ kemudian mancari
ARE dengan mengurangi jumlah du∞ dengan du hasil yang didapat kemudian di ln kan dan
diapat hasil ln ARE yaitu 3,973; 3,354; 2,796; 2,284; 1,138 . Kemudian meregresikan
antara ln ARE terhadap penambahan interval waktu. Sehingga didapat hasil nilai a = 4,792
nilai b = 0,237 nilai r = -0,972 dan didapat persamaan regresi yaitu y = 4,792-0,972x. Nilai
konstanta laju eliminasi (K) dinyatakan dalam nilai b yaitu 0,237/jam kemudian waktu
paruh (t1/2) diapat dari perhitungan ln2/K dan hasil yang didapat yaitu 2,924/ jam.
Berdasarkan data kurva sigma minus menunjukan hasil yang linier dapat dilihat dari
nilai r yang mendekati 1 yaitu -0,972. Hal ini berbeda dengan metode laju ekskresi yang
tidak linier, karena metode sigma minus tidak dipengaruhi oleh fluktuasi data eliminasi,
sehingga kurva yang didapat linier.
Perbedaan dari metode laju ekskresi dengan metode sigma minus yaitu metode laju
ekskresi tidak memerlukan pengambilan data sampai du∞ dan hilangnya satu sampel urin
tidak bermasalah, Fluktuasi pada kecepatan eliminasi obat dan kesalahan percobaan seperti
pengosongan kandung kencing tidak sempurna dapat mempengaruhi linearitas mtode laju
ekskresi, dapat digunakan untuk obat dimana proses kinetika eliminasinya mengikuti orde
0, konstanta kecepatan ekskresi obat renal dapat ditentukan dengan mengunakan metode
kecepatan ekskresi. Sedangkan untuk metode Sigma Minus kebalikan dari metode Laju
Ekskresi. (Shargel et al, 2012)
Untuk hasil konstanta laju eliminasi (K) dan t1/2 menunjukan nilai yang berbeda
dengan kedua metode seharusnya dengan kedua metode tersebut memberikan nilai yang
sama atau mendekati hal ini dapat disebabkan karena adanya fluktuasi sampel urin sehingga
mempengaruhi laju ekskresi sedangkan metode sigma minus tidak terpengaruhi

II. Kesimpulan
1. Mengukur parameter farmakokinetik dapat menggunakan metode
laju ekresi dan sigma minus (ARE).
2. Parameter yang dapat ditentukan dari sampel urin dapat
menentukan konstanta laju eliminasi (K) dan t1/2. Metode laju
ekresi memberikan hasil nilai K= 0,215/jam dan nilai t1/2 =3,223
jam sedangkan untuk metode sigma minus (ARE) memberikan
hasil nilai K=0,237 /jam dan t1/2= 2,924 jam.
Daftar Pustaka

Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Departemen Kesehatan RI. Jakaarta
Hendayana, Sumar. (2006). Kimia Pemisahan Metode Kromatografi dan Elektrolisis
Modern. Remaja Rosadakarya. Bandung
Informasi Spesialite Obat Indonesia 2011. Vol. 46. Ikatan Apoteker Indonesia. Jakarta
Katzung.Bertram, G. (2011). Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 10. Pustaka buku
kedokteran. Jakarta
Munson, J. W., (1991). Analisis Farmasi Metode Modern. Airlangga University Press
Surabaya.
Papai,K., M. Budai, K. Lundanyi, I. Antal, I. Klebovich, (2010), In Vitro Food-Drug
Interaction Study: Which Milk Component Has a Decreasing Effect on the
Bioavailability of Ciproflokxacin, Journal of Pharmaceutical and Biomedical
Analysis.
Putra, E. (2007). Dasar- dasar Kromtografi Gas & Kromatograpi Cair Kinerja Tinggi.
Fakultas Farmasi USU-Medan
Rohman, Abdul. (2007), Kimia Analisis Farmasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Sari, I. (2013). Analisis Kadar Ciprofloxacin dalam Sediaan Tablet dengan Metode
Spektroskopi Near-Infrared dan Kemometrik. Artikel Ilmiah Hasil Penelitian
Mahasiswa. Fakultas Farmasi UNEJ. Jember
Shargel, Leon., Wu-Pong, Susanna., B.C. YU, Andrew. (2012). Biofarmasetika &
Farmakokinteika Terapan Edisi Kelima. Airlangga University Press, Surabaya.
Sinta. Metta. (2011). Farmakologi dan Terapi, Edisi 5. fakultas kedokteran universitas
Indonesia. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai