Anda di halaman 1dari 9

PERCOBAAN VI

PENGUJIAN AKTIVITAS ANALGETIKA-ANTIINFLAMASI

I. Pendahuluan

1.1 Analgetika

Obat analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan


rasa nyeri dan akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang
menderita. Nyeri berkaitan dengan ancaman kerusakan jaringan. Rasa nyeri dalam
kebanyakan halhanya merupakan suatu gejala yang berfungsi sebagai isyarat
bahaya tentang adanya gangguan di jaringan seperti peradangan, rematik, atau
kejang otot (Tjay, 2007).

Semua senyawa nyeri (mediator nyeri) seperti histamine, bradikin,


leukotriendan prostaglandin merangsang reseptor nyeri (nociceptor )di ujung-
ujung saraf bebasdi kulit, mukosa serta jaringan lain dan demikian menimbulkan
antara lain reaksiradang dan kejang-kejang. Nociceptor ini juga terdapat di seluruh
jaringan dan organtubuh, terkecuali di SSP. Dari tempat ini rangsangan disalurkan
ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sangat banyak
sinaps via sumsum- belakang, sumsum-lanjutan dan otak-tengah. Dari thalamus
impuls kemudianditeruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan
sebagai nyeri (Tjay dan Rahardja, 2007).

Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang
berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang
adanya ganguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang
otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat
menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan
zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain dapat
mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri
di ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor ini terdapat
diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di
salurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat
benyak sinaps via sumsumtulang belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah.
Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana
impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay, 2007).

Prostgilandin di duga mensintesis ujung saraf terhadap efek kradilamin,


histamine dan medikator kimia lainnya yang dilepaskan secara local oleh proses
inflamasi. Jadi, dengan menurunkan sekresi PEG, aspirin dan AIN lainnya
menekan sensasi rasa sakit. (Siswandono dan Soekardjo, 2000)

Berdasarkan aksinya, obat-abat analgetik dibagi menjadi 2 golongan yaitu:

a. Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics)

Secara farmakologis praktis dibedakan atas kelompok salisilat (asetosal,


diflunisal) dan non salisilat. Sebagian besar sediaan–sediaan golongan non
salisilat termasuk derivat as. Arylalkanoat (Gilang, 2010).

b. Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat


seperti opium atau morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk
meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Tetap semua analgesik opioid
menimbulkan adiksi/ketergantungan.

Ada 3 golongan obat ini yaitu (Medicastore,2006) :

1) Obat yang berasal dari opium-morfin

2) Senyawa semisintetik morfin

3) Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.

Mekanisme Kerja Obat Analgesik

a. Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics)


Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu
enzim siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah
satunya adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah
mengeblok pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX
pada daerah yang terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator
nyeri . Mekanismenya tidak berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitors. Efek
samping yang paling umum dari golongan obat ini adalah gangguan lambung
usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek
samping biasanya disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan
dosis besar.

b. Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika

Mekanisme kerja utamanya ialah dalam menghambat enzim


sikloogsigenase dalam pembentukan prostaglandin yang dikaitkan dengan kerja
analgesiknya dan efek sampingnya. Kebanyakan analgesik OAINS diduga bekerja
diperifer . Efek analgesiknya telah kelihatan dalam waktu satu jam setelah
pemberian per-oral. Sementara efek antiinflamasi OAINS telah tampak dalam
waktu satu-dua minggu pemberian, sedangkan efek maksimalnya timbul
berpariasi dari 1-4 minggu. Setelah pemberiannya peroral, kadar puncaknya
NSAID didalam darah dicapai dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian,
penyerapannya umumnya tidak dipengaruhi oleh adanya makanan. Volume
distribusinya relatif kecil (< 0.2 L/kg) dan mempunyai ikatan dengan protein
plasma yang tinggi biasanya (>95%). Waktu paruh eliminasinya untuk golongan
derivat arylalkanot sekitar 2-5 jam, sementara waktu paruh indometasin sangat
berpariasi diantara individu yang menggunakannya, sedangkan piroksikam
mempunyai waktu paruh paling panjang (45 jam).

1.2 Inflamasi
II. Tujuan

 Mengenal berbagai cara untuk mengevaluasi secara eksperimental efek


analgetika-antiinflamasi suatu obat
 Memahami dasar-dasar perbedaan efektivitas analgetika-antiinflamasi
suatu obat

III. Alat dan Bahan

Alat Bahan Hewan Uji


Alat suntik 1 ml Air panas Mencit
Alat Siegmund Asam asetat 1% Tikus putih
sekelamin yang telah
dipuasakan 18 jam
tetapi tetap diberi
minum
Pletysmometer Asam mefenamat
Spidol Aspirin
Sonde oral Deksametason
Stopwatch Larutan
karagenan 1%
Timbangan Piroksikam
Tramadol

IV. Prosedur Percobaan

4.1 Uji Aktivitas Analgetika dengan Metode Siegmund (Induksi Kimia)

4.2 Uji Aktivitas Analgetika dengan Metode Jentik Ekor (Induksi Panas)

Pengujian ini dilakukan oleh kelompok I sampai kelompok VI, 6 ekor


mencit disiapkan, setiap mencit diberi sediaan berbeda. Pada mencit, sebagai uji
kontrol (diberi suspensi CMC Na). Pada mencit 2, diberi aspirin. Pada mencit 3,
diberi asam mefenamat. Pada mencit 4, diberi piroksikam. Pada mencit 6, diberi
tramadol. Semua hewan diberi sediaan uji dengan rute oral. Kemudian setelah 30
menit, ekor mencit dimasukkan ke dalam penangas air dengan suhu 50C. Mencit
diusahakan tidak bergerak selama pengamatan. Respon nyeri timbul beruapa
sentaan ekor keluar penangas air. Kemudian waktu yang diperlukan hingga ekor
tersentak ke luar diukur. Untuk menghindari kerusakan jaringan selama uji,
pemaparan ekor pada penangas air tidak lebih dari 15 detik. Pengamatan
dilakukan setiap 10 menit selama 120 menit. Bila selama 15 detik pengujian tidak
menunjukan reaksi nyeri maka waktu pengamatan dianggap 15 detik. Setelah itu,
parameter waktu yang teramati antarperlakuan dibandingkan untuk
membandingkan efek obat uji.

4.3 Uji Aktivitas Antiinflamasi

V. Data Pengamatan

5.1 Uji Aktivitas Analgetika dengan Metode Siegmund (Induksi Kimia)

5.2 Uji Aktivitas Analgetika dengan Metode Jentik Ekor (Induksi Panas)

5.3 Uji Aktivitas Antiinflamasi


VI. Pembahasan

6.1 Uji Aktivitas Analgetika dengan Metode Siegmund (Induksi Kimia)

6.2 Uji Aktivitas Analgetika dengan Metode Jentik Ekor (Induksi Panas)

Pada praktikum kali ini diujikan evaluasi mengenai pengujian memahami


efek analgesik beberapa obat pereda nyeri dengan metode rangsang kimia (induksi
kimia) dan metode rangsang suhu (induksi panas). Analgetik atau obat
penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran (berbeda dengan anastesi umum).

Percobaan ini menggunakan metode jentik ekor, dengan


prinsip yaitu menimbulkan jentikan pada ekor mencit, sehingga dapat diamati
respon mencit ketika menahan nyeri pada perut dengan cara menelupkan ujung
ekor mencit pada air panas. Dengan pemberian obat analgetik (aspirin, tramadol,
asam mefenamat, dan parasetamol) akan mengurangi respon tersebut serta CMC
Na sebagai pengujian kontrol. Percobaan ini dibagi 6 kelompok yaitu kelompok 1
menggunakan obat analgetik tramadol, kelompok 2 menggunakan piroksikam,
kelompok 3 menggunakan asam mefenamat, kelompok 4 menggunakan
parasetamol, kelompok 5 (kami sendiri) menggunakan aspirin serta kelompok 6
menggunakan uji kontrol CMC Na untuk diperlakukan sama memberikan obat
secara peroral, lalu tunggu selama 30 menit kira kira sampai obat terabsorbsi
secara penuh.

Setelah 30 menit didiamkan, ekor mencit dicelupkan pada penangas air


50C. Selang waktu diberikan adalah setiap 10 menit dengan durasai pencelupan
15 detik, namun apabila selama 15 detik tersebut mencit tidak memberikan respon
apapun maka dapat dicatat pengamatan selama 15 detik. Pencelupan selama 15
detik bertujuan untuk menghindari kerusakan jaringan pada tubuh mencit.

Berdasarkan data pengamatan yang diperoleh didapat pada kelompok 1 ... ,


kelompok 2 ..... , kelompok 3..... , kelompok 4 ....., kelompok 5..... , kelompok
6......
Setelah dilakukan percobaan didapatkan hasil bahwa urutan obat yang
memiliki daya analgetik paling tinggi atau kuat adalah .... lalu ... (diurutin
berdasaran rata-rata tiap kelompok). Hasil ini juga (sesuai atau tidak) dengan
teori, karena yang seharusnya memiliki efek analgetik yang lebih kuat adalah ......
karena absorbsinya lebih cepat di lambung, sementara indikator nyeri juga
diberikan pada lambung. Kemudian diikuti oleh...... , karena hanya mempunyai
efek ringan pada siklooksigenase perifer.

Berdasarkan data pengamatan yang diperoleh, rata-rata waktu jentikan


ekor aspirin lebih banyak dibandingkan dengan parasetamol. Hal ini tidak sesuai
dengan literatur (Ganiswara, 2008) Parasetamol menghambat siklooksigenase
sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat
menghambat siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat
siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan
parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat
pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada
siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan parasetamol hanya
menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol
tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini
menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan bukan
blokade langsung prostaglandin.

Pernyataan tersebut mengartikan bahwa semakin lama rata-rata waktu


tikus dapa menahan jentikan ekornya, maka kerja obat semakin baik. Berdasarkan
literatur tersebut, parasetamol memiliki kerja obat yang lebih baik daripada
aspirin. Penyimpangan ini dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu pada saat
pemegangan mencit pada pencelupakan ekornya pada air panas 50C, mencit
tersebut merasa tidak nyaman. Hal ini mengakibatkan mencit menjentikan
ekornya. Jadi, bukan dikarenakan mencit yang tidak bisa merasakan nyeri
melainkan mencit tersebut tidak nyaman. Selain itu faktor fisiologis dari mencit,
yang mengalami beberapa kali percobaan sehingga kemungkinan mencit stress,
dan yang terakhir mencit tidak di puasakan mencit yang akan di uji, dikarenakan
keterbatasannya waktu. Sebelum perlakuan mencit (Mus musculus) terlebih
dahulu dipuasakan untuk menghilangkan faktor makanan karena interaksi
makanan bisa mempengaruhi pemberian obat kepada hewan perlakuan hewan uji
mencit (Mus musculus). Walaupun demikian faktor variasi biologisnya dari hewan
tidak dapat dihilangkan sehingga faktor ini relative dapat memengaruhi hasil
praktikum yang dilakukan di laboratorium.

6.3 Uji Aktivitas Antiinflamasi

VII. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara, G.S.,(2008 ), Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima, Balai Penerbit


FKUI, Jakarta
Gilang, (2010), Analgesik Non-Opioid atau NSAID/OAINS.
Medicastore, (2006), Obat Analgesik Antipiretik.
Siswandono dan Soekardjo, B., (2000), Kimia Medisinal , Edisi 2, Airlangga
University Press, Surabaya
Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja, (2007) , Obat-obat Penting , PT Gramedia,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai