Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keperawatan kesehatan jiwa adalah suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang
menerepkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri sendiri secara
terapeutik sebagai kiatnya atau instrumennya.

Keperawatan jiwa merupakan sebagian dari penerapan ilmu tentang perilaku manusia
psikososial, bio-psik dan teori-teori kepribadian, dimana penggunaan diri perawat itu sendiri
secara terapeutik sebagai alat atau instrument yang digunakan dalam memberikan asuhan
keperawatan (Erlinafsiah, 2010)

Keperawatan jiwa adalah pelayanan kesehatan profesional yang didasarkan pada ilmu
perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan respon
psiko-sosial yang maladaptif yang disebabkan oleh gangguan bio-psiko-sosial, dengan
menggunakan diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa melalui proses keperawatan untuk
meningkatkan, mencegah,mempertahankan dan memulihkan masalah kesehatan jiwa
individu, keluarga dan masyarakat (Sujono dan Teguh, 2009).
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mengetahui dan memahami konsep dasar Keperawatan kesehatan jiwa
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian dari Keperawatan kesehatan jiwa
b. Mengetahui Peran perawat jiwa
c. Mengetahui fungsi perawat jiwa
d. Mengetahui Konsep Klien dengan perilaku kekerasan
e. Mengetahui Penatalaksanaan dari kesehatan jiwa

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi perawat kesehatan Jiwa


Keperawatan kesehatan jiwa adalah suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan
yang menerepkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri sendiri
secara terapeutik sebagai kiatnya atau instrumennya.
Keperawatan jiwa merupakan sebagian dari penerapan ilmu tentang perilaku
manusia, psikososial, bio-psik dan teori-teori kepribadian, dimana penggunaan diri
perawat itu sendiri secara terapeutik sebagai alat atau instrument yang digunakan dalam
memberikan asuhan keperawatan (Erlinafsiah, 2010)
Keperawatan jiwa adalah pelayanan kesehatan profesional yang didasarkan pada
ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan
respon psiko-sosial yang maladaptif yang disebabkan oleh gangguan bio-psiko-sosial,
dengan menggunakan diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa melalui proses
keperawatan untuk meningkatkan, mencegah,mempertahankan dan memulihkan masalah
kesehatan jiwa individu, keluarga dan masyarakat (Sujono dan Teguh, 2009).

B. Peran perawat jiwa

Peran perawat kesehatan jiwa mempunyai peran yang bervariasi dan spesifik
(Dalami, 2010). Aspek dari peran tersebut meliputi kemandirian dan kolaborasi
diantaranya adalah yang pertama yaitu sebagai pelaksana asuhan keperawatan, yaitu
perawat memberikan pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa kepada individu, keluarga
dan komunitas. Dalam menjalankan perannya, perawat menggunakan konsep perilaku
manusia, perkembangan kepribadian dan konsep kesehatan jiwa serta gangguan jiwa
dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada individu, keluarga dan komunitas.
Perawat melaksanakan asuhan keperawatan secara komprehensif melalui pendekatan
proses keperawatan jiwa, yaitu pengkajian, penetapan diagnosis keperawatan,
perencanaan tindakan keperawatan, dan melaksanakan tindakan keperawatan serta
evaluasi terhadap tindakan tersebut.

2
Peran perawat yang kedua yaitu sebagai pelaksana pendidikan keperawatan yaitu
perawat memberi pendidikan kesehatan jiwa kepada individu, keluarga dan komunitas
agar mampu melakukan perawatan pada diri sendiri, anggota keluarga dan anggota
masyarakat lain. Pada akhirnya diharapkan setiap anggota masyarakat bertanggung jawab
terhadap kesehatan jiwa. Peran yang ketiga yaitu sebagai pengelola keperawatan adalah
perawat harus menunjukkan sikap kepemimpinan dan bertanggung jawab dalam
mengelola asuhan keperawatan jiwa. Dalam melaksanakan perannya ini perawat diminta
menerapkan teori manajemen dan kepemimpinan, menggunakan berbagai strategi
perubahan yang diperlukan, berperan serta dalam aktifitas pengelolaan kasus dan
mengorganisasi pelaksanaan berbagai terapi modalitas keperawatan.Peran perawat yang
kekempat yaitu sebagai pelaksana penelitian yaitu perawat mengidentifikasi masalah
dalam bidang keperawatan jiwa dan menggunakan hasil penelitian serta perkembangan
ilmu dan teknologi untuk meningkatkan mutu pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa.

C.Fungsi perawat jiwa

Fungsi perawat jiwa adalah memberikan asuhan keperawatan secara langsung dan
asuhan keperawatan secara tidak langsung (Erlinafsiah, 2010). Fungsi tersebut dapat
dicapai melalui aktifitas perawat jiwa, yaitu: pertama, memberikan lingkungan terapeutik
yaitu lingkungan yang ditata sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perasaan
aman, nyaman baik fisik, mental,dan sosial sehingga dapat membantu penyembuhan
pasien. Kedua, bekerja untuk mengatasi masalah klien “here and now” yaitu dalam
membantu mengatasi segera dan tidak ditunda sehingga tidak terjadi penumpukkan
masalah. Ketiga, sebagai model peran yaitu perawat dalam memberikan bantuan kepada
pasien menggunakan diri sendiri sebagai alat melalui contoh perilaku yang ditampilkan
oleh perawat. Fungsi perawat yang keempat yaitu memperhatikan aspek fisik dari
masalah kesehatan klien merupakan hal yang sangat penting. Dalam hal ini perawat perlu
memasukkan pengkajian biologis secra menyeluruh dalam evaluasi pasien jiwa untuk
mengidentifikasi adanya penyakit fisik sedini mungkin sehingga dapat diatasi dengan
cara yang tepat. Kelima, memberikan pendidikan kesehatan yang ditujukan kepada
pasien, kleuarga dan komunitas yang mencakup pendidikan kesehatan jiwa, gangguan
jiwa, ciri-ciri sehat jiwa, penyebab gangguan jiwa, cirri-ciri gangguan jiwa, fungsi dan

3
tugas keluarga, dan upaya perawatan pasien ganggua jiwa. Keenam, sebagai perantara
sosial yaitu perawat dapat menjadi perantara dari pihak pasien, keluarga dan masyarakat
dalam memfasilitasi pemecahan masalah pasien. Fungsi yang ketujuh adalah kolaborasi
dengan tim lain adalah perawat membantu pasien mengadakan kolaborasi dengan petugas
kesehatan lain yaitu dokter jiwa, perawat kesehatan masyarakat (perawat komunitas),
pekerja sosial,psikolog, dll. Kedelapan, memimpin dan membantu tenaga perawatan
adalah pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan jiwa didasarkan pada manajemen
keperawatan kesehatan jiwa. Kesembilan, menggunakan sumber di masyarakat
sehubungan dengan kesehatan mental. Hal ini penting diketahui oleh perawat bahwa
sumber-sumber yang ada dimasyarakat perlu diidentifikasi untuk digunakan sebagai
faktor pendukung dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa yang ada dimasyarakat.

D. Konsep klien dengan perilaku kekerasan

Konsep klien dengan perilaku kekerasan meliputi definisi klien dengan perilaku
kekerasan, perubahan-perubahan yang terjadi pada klien dengan perilaku kekerasan,
rentang respon marah pada klien dengan perilaku kekerasan, factor predisposisi dan
faktor presipitasi, perilaku-perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan, tindakan
keperawatan yang dilakukan untuk menengani klien dengan perilaku kekerasan, serta
prinsip-prinsip dalam pengelolaan klien dengan perilaku kekerasan

E. Definisi klien dengan perilaku kekerasan

Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut.
Perilaku kekerasan merupakan suatu tanda dan gejala dari gangguan skizofrenia akut
yang tidak lebih dari 1 % (Purba dkk, 2009). Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk
perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis
(Berkowitz, 1993 dalam Sujono dan Teguh, 2009). Berdasarkan defenisi ini maka
perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan scara verbal dan fisik
(Keltner et al, 1995 dalam Sujono dan Teguh, 2009). Perilaku kekerasan seperti perilaku
mencederai orang lain dapat berupa acaman melukai diri sendiri; perilaku merusak
lingkungan seperti peraot rumah tangga, membangting pintu; ancaman verbal berupa kata

4
kata kasar, nada suara yang tinggi dan bermusuhan (Morrisson, 1993 dalam Purba dkk,
2009). Sedangkan marah tidak harus memiliki tujuan khusus. Marah lebih menunjuk
kepada suatu perangkat perasaan-perasaan tertentu yang biasanya disebut dengan
perasaan marah (Berkowitz, 1993). Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul
sebagai respons terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman (Keliat, 1996
dalam Sujono dan Teguh, 2009). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana klien
mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk orang
lain dan barang-barang (Maramis, 2005).

a. Perubahan yang terjadi pada klien dengan perilaku kekerasan

Menurut Stuart dan Laraia dalam Purba dkk (2009), klien dengan perilaku kekerasan
dapat memperlihatkan perubahan-perubahan baik secara fisik, psikologis maupun
spiritual. Perubahan secara fisik yang diperlihatkan oleh klien dengan perilaku kekerasan
yaitu dengan mencederai diri klien itu sendiri dan peningkatan mobilitas tubuh.
Perubahan secara psikologis yang terlihat dari klien yaitu emosional, marah yang tidak
dapat dikontrol, mudah tersinggung dan menentang. Sementara perubahan secara
spiritual yang klien perlihatkan yaitu merasa dirinya yang paling berkuasa dan tidak
bermoral.

Rentang respon marah pada klien dengan perilaku kekerasan

Respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif – mal adaptif. Rentang
respon kemarahan dapat dijelaskan sebagai berikut (Keliat, 1997, dalam Sujono dan Teguh,
2009) :

1) Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan orang lain, atau
tanpa merendahkan harga diri orang lain.

2) Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau keinginan. Frustasi
dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan. Akibat dari ancaman tersebut dapat
menimbulkan kemarahan.

3) Pasif adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan yang dialami.

5
4) Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat dikontrol oleh
individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak orang lain. Dia berpendapat bahwa
setiap orang harus bertarung untuk mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan
perlakuan yang sama dari orang lain.

5) Mengamuk atau perilaku kekerasan adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai
kehilangan kontrol diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun
terhadap orang lain.

a. Faktor predisposisi

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori biologik,
teori psikologi dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Townsend (1996) dalam Purba dkk
(2009) hlm 118 :

1. Teori biologik

Teori ini terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:

a. Neurobiologik

Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem limbik, lobus
frontal, dan hipothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau
menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi emosi,
perilaku dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau
menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu
tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif.
Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat
impuls agresif. Sistem limbik terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak
atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif (Goldstein dikutip dari Purba dkk, 2009)

b. Biokimia

Goldstein (dikutip dari Purba dkk, 2009) menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter
(epinefrine, noreepinefrine, dopamine, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam

6
memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau
flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respon terhadap stres.

c. Genetik

Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku kekerasan dengan genetik
karyotype XYY.

d. Gangguan otak

Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak
kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang system limbik dan lobus temporal; trauma
otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsi,
khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.

2) Teori psikologik

a. Teori psikoanalitik

Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan
rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah.
Agresif dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra
diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan
merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga
diri.

b. . Teori pembelajaran

Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang tua mereka
sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh,
atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal
tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal, namun dengan perkembangan yang
dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang
dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka
dengan hukuman fisik akan cendrung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa (Owens &
Straus dikutip dari Purba dkk, 2009).

7
3). Teori Sosiokultural

Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap
perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai
cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku kekerasan,
apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara
konstruktif. Penduduk yang ramai dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku
kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.

a. Faktor presipitasi

Stresor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat unik. Stresor
tersebut dapat disebabkan dari luar maupin dalam. Contoh stressor yang berasal dari luar antara
lain serangan fisik, kehilangan, kematian, dan lain-lain. Sedangkan stresor yang berasal dari
dalam adalah putus hubungan dengan orang yang berarti, kehilangan rasa cinta, ketakutan
terhadap penyakit fisik, dan lain-lain. Selain itu lingkungan yang terlalu ribut, padat, kritikan
yang mengarah pada penghinaan, tindakan kekerasan, dapat memicu perilaku kekerasan.

a. Perilaku-perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan

Ada beberapa perilaku-perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain (Sujono
dan Teguh, 2009), perilaku-perilaku tersebut antara lain :

(1) Menyerang atau menghindar (fight or flight) Pada keadaan ini respon fisiologis timbul
karena kegiatan sistem saraf otonom beraksi terhadap sekresi epinephrin.

(2) Menyatakan secara asertif (assertiveness) Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam
mengekspresikan kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif
adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan marah karena individu dapat mengekspresikan
rasa marahnya tanpa ini dapat juga untuk pengembangan diri klien. menyakiti orang lain secara
fisik maupun psikolgis. Di samping itu perilaku
(3) Memberontak (acting out) Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku
“acting out” untuk menarik perhatian orang lain.

(4) Perilaku kekerasan Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan.

8
a. Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk menangani klien dengan perilaku kekerasan

Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan seorang perawat jiwa pada klien dengan perilaku
kekerasan adalah :

(1). Bina hubungan saling percaya. Dalam membina hubungan saling percaya perlu
dipertimbangkan agar klien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan perawat.
Tindakan yang harus perawat lakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya adalah:
Mengucapkan salam terapeutik, berjabat tangan, menjelaskan tujuan interaksi, membuat kontrak
topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien. Tindakan yang selanjutnya,

(2). Diskusikan bersama klien penyebab perilakukekerasan saat ini dan yang lalu.

(3). Diskusikan bersama klien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan. Diskusikan tanda dan
gejala perilaku kekerasan baik secara fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan intelektual.

(4). Diskusikan bersama klien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada saat marah secara
sosial atau verbal, terhadap orang lain, terhadap diri sendiri, dan terhadaplingkungan.

(5) Diskusikan bersama klien akibat perilaku kekerasan yang dilakukannya.

(6) Diskusikan dengan klien cara mengontrol perilaku kekerasan secara: fisik, obat, sosial atau
verbal, dan spiritual. Selanjutnya tindakan

(7) Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik dengan latihan napas dalam dan pukul
kasur-bantal, olahraga, kemudian susun jadwal latihan napas dalam dan pukul kasur-bantal serta
olahraga.

(8) Latihan

mengontrol perilaku kekerasan secara sosial ataupun verbal dengan menolak dengan baik,
meminta dengan baik, mengungkapkan persaan dengan baik. Kemudian susun jadwal latihan
mengungkapkan marah secara verbal.

(9) Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual dengan sholat atau berdoa sesuai
dengan keyakinan dan cara klien kemudian susun jadwal untuk berdoa.

9
(10) Latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan patuh minum obat secara teratur dengan
prinsip lima benar kemudian susun jadwal minum obat secara teratur.

a. Prinsip-prinsip dalam pengelolaan klien dengan perilaku kekerasan Ada beberapa prinsip
yang perlu diperhatikan pada saat melakukan pengelolaan klien dengan perilaku
kekerasan (Sujono dan Teguh, 2009). Prinsip yang perlu diperhatikan tersebut adalah
sebagai berikut: (1) Seluruh staf sebaiknya diberi latihan khusus mengenai pencegahan
dan pengelolaan klien perilaku kekerasan termasuk bermain peran untuk memberikan
intervensi keperawatan. Perbandingan klien dengan perawat 1:1.

(2) Pada pasien kehilangan kendali secara akut, tangani segera dengan pengekangan fisik. Untuk
memberikan tindakan pengamanan staf, sebaiknya dilakukan secara kompak, tidak dibenarkan
menghadapi klien dengan perilaku kekerasan seorang diri.

(3) Berikan informasi atas tindakan yang akan dilakukan dan pemberian obat.

(4) Staf sebaiknya harus dapat melindungi bagian tubuh yang vital dari upaya perlukaan.
Selanjutnya prinsip yang dilakukan adalah

(5) Setelah situasi ditangani, segera mungkin staf mendiskusikan insiden yang terjadi.

(6) Setelah klien tenang dan dapat mengontrol perilakunya, berikan kesempatan kepadanya untuk
mengekspresikan perasaannya.

(7) Berikan penguatan positif apabila klien dapat mengekspresikan perasaannya.

C.Riset Fenomenologi

Fenomenologi merupakan suatu ilmu yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena,


ataupun kejadian khusus, misalnya pengalaman hidup. Fokus utama fenomenologi adalah
pengalaman nyata. Hal ini yang dikaji adalah deskriptif mengenai bagaimana pengalaman orang
lain dan apa maknanya bagi mereka (Saryono dan Anggraeni, 2010). Penelitian fenomenologi
berusaha untuk memahami respon seluruh manusia terhadap suatu hal atau sejumlah situasi
(Dempsey dan Dempsey, 2002).

10
Tujuan penelitian fenomenologi adalah untuk mengembangkan makna
pengalaman hidup dari suatu fenomena dalam mencari kesatuan makna dengan
mengidentifikasi inti fenomena dan menggambarkan secara akurat dalam pengalaman
hidup sehari-hari (Steubert dan Carpenter, 2003). Terdapat dua macam penelitian
fenomenologi yaitu fenomenologi deskriptif dan fenomenologi interpretif. Fenomenologi
deskriptif berfokus pada penyelidikan fenomena, kemudian pengalaman yang seperti
apakah yang terlihat dalam fenomena (fenomena deskriptif) dan bagaimana pengalaman
mereka menafsirkan pengalaman tersebut atau disebut fenomenologi interpretif.
Kehidupan seseorang adalah berharga dan menarik, karena kesadaran seseorang tentang
kehidupan tersebut. Dalam sebuah penelitian fenomenologi sumber data utama adalah
data percakapan yang mendalam, dengan peneliti dan informan sebagai partisipan.
Peneliti membantu partisipan untuk menggambarkan pengalaman hidup tanpa memimpin
diskusi. Selanjutnya dalam percakapanyang mendalam peneliti berusaha memahami
kehidupan informan untuk mendapatkan kemudahan untuk memaknai pengalaman hidup
mereka (Polit, Beck, & Hungler,2001).
Untuk memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya maka data divalidasi
dengan beberapa kriteria yaitu credibility, transferbility, dependability, dan
confirmability (Lincoln & Guba, 1985).
(1) kreabilitas, merupakan kriterian untuk memenuhi nilai kebenaran dari data
dan informasi yang dikumpulkan,
(2) transferabilitas, digunakan untuk memenuhi kriteria bahwa hasil penelitian
yang dilakukan dalam konteks tertentu dapat di transfer ke subjek lain yang memiliki
tipologi yang sama. Dengan kata lain, apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada
situasi yang lain,

(3) dependabilitas, digunakan untuk menilai kualitas dari proses yang ditempuh
oleh peneliti,

(4) komfirmabilitas, yang dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian


dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan
agar hasil dapat lebih objektif. Konfirmabilitas merupakan kriteria untuk menilai kualitas
hasil penelitian.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan respon psiko-
sosial yang maladaptif yang disebabkan oleh gangguan bio-psiko-sosial, dengan
menggunakan diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa melalui proses keperawatan untuk
meningkatkan, mencegah,mempertahankan dan memulihkan masalah kesehatan jiwa
individu, keluarga dan masyarakat
B. Saran

Dengan adanya makalah ini, semoga bisa menambah manfaat pengetahuan kita untuk
lebih peduli dalam Keperawatan jiwa .

12

Anda mungkin juga menyukai