Anda di halaman 1dari 16

Makalah “Obesitas Pada Remaja”

Dosen Pengampu : Yuliaji Siswanto, S.KM., M.Kes(Epid)

Disusun Oleh:
1. Bunga Farchaty : 020118A012
2. Tri Widyaningsih : 020118A067
3. Nurul Ulfa Rizki : 020118A041
4. Marietha Nahomi : 020118A028
5. Afiatul Khoiriyah : 020118A002

Prodi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Ngudi Waluyo

2019
Materi RCA (Root Cause Analysis)

Root Cause Analysis (RCA) adalah salah satu tool continuous improvement dan
metode problem solving yang bertujuan untuk mengidentifikasi akar dari masalah tertentu
yang muncul pada sistem atau proses.
Root Cause Analysis (RCA) adalah sebuah pendekatan terstruktur untuk mengidentifikasi
berbagai faktor diantaranya alam, situasi dan kondisi, magnitude, lokasi, manusia, waktu
terjadinya masalah dari kejadian-kejadian di masa lalu untuk mengidentifikasi penyebab
masalah yang bisa diperbaiki untuk mencegah masalah yang sama terjadi kembali. RCA juga
berguna untuk mengidentifikasi pelajaran yang dapat dipetik untuk mencegah kerugian
kembali terjadi dalam proses.
RCA dapat diarahkan kepada banyak tujuan yang spesifik. Para praktisi continuous
improvement merumuskan lima pendekatan dasar yang dapat dilakukan dengan RCA.
Mereka adalah:

A. RCA Satefy-Based:
Merupakan usaha identifikasi permasalahan yang berkaitan dengan keselamatan. Rca
dilakukan dengan analisa kecelakaan yang pernah terjadi dan penyebab-penyebabnya,
untuk meningkatkan kesehatan dan keselamatan pekerja.
B. RCA Production-Based
Berasal dari konsep quality control untuk manufaktur, RCA produksi fokus kepada
analisa penyebab cacat dan masalah yang terjadi pada proses produksi mencakup
mesin, operator, dan peralatan.
C. RCA Process-Based
Pada dasarnya merupakan perluasan dari konsep RCA production-based, namun
dengan ruang lingkup yang lebih luas, termasuk analisa penyebab masalah yang
terjadi pada business process.
D. RCA Failure-Based
Berasal dari praktek failure analysis yang dilakukan pada proses engineering dan
maintenance, bertujuan untuk mengetahui akar masalah yang menjadi penyebab
masalah pada kedua proses tersebut.
E. RCA Systems-Based
Pendekatan gabungan yang merangkul pendekatan-pendekatan RCA yang lain,
dengan konsep-konsep yang diadaptasi dari berbagai sudut pandang, seperti change
management, risk management dan systems analysis.

Walaupun RCA memiliki banyak variasi pendekatan, namun pada dasarnya prinsipnya
tetap sama, yaitu menelaah sedalam-dalamnya hingga ditemukan akar dari suatu masalah
yang terjadi. RCA dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai tools, seperti analisa 5
Whys, Fishbone (Ishikawa) diagram, diagram sebab-akibat, Pareto chart, dan sebagainya.
Langkah-langkah Melakukan Root Cause Analysis

RCA dapat dijalankan dalam 5 langkah berikut:

A. Langkah 1 – Definisikan Masalah


a) Masalah apa yang sedang terjadi pada saat ini?
b) Jelasklan simptom yang spesifik, yang menandakan adanya masalah tersebut!

B. Langkah 2 – Kumpulkan Data


a) Apakah anda memiliki bukti yang menyatakan bahwa masalah memang benar ada?
b) Sudah berapa lama masalah tersebut ada?
c) Impact apa yang dirasakan dengan adanya masalah tersebut?
Dalam tahap ini, harus dilakukan analisa mendalam sebelum anda melangkah
untuk melihat faktor-faktor yang berperan dalam timbulnya masalah. Untuk membuat
Root Cause Analysis yang anda jalankan efektif, kumpulkanlah perwakilan-
perwakilan dari setiap departemen yang terlibat (mulai dari staf ahli hingga staf garda
depan), yang memahami situasinya. Orang-orang yang memang familiar dengan
masalah tersebutlah yang mampu membantu anda mendapat pemahaman akan situasi
saat ini.
Untuk mempermudah, pada tahap ini anda bisa menggunakan metode CATWOE.
Tool ini akan memberikan kemampuan untuk melihat sebuah situasi dari berbagai
perspektif: yaitu Customer (pelanggan), Actor (karyawan yang terlibat),
Transformation Process (proses yang mengalami masalah), World View (gambaran
besar, dan area mana yang mengalami impact paling besar), Owner (process owner),
dan Environmental Constraint (hambatan dan keterbatasan yang akan mempengaruhi
keberhasilan solusi yang akan dijalankan).

C. Langkah 3 – Identifikasi Penyebab yang Mungkin


a) Jabarkan urutan kejadian yang mengarah kepada masalah!
b) Pada kondisi seperti apa masalah tersebut terjadi?
c) Adakah masalah-masalah lain yang muncul seiring/mengikuti kemunculan masalah
utama?
Dalam tahap ini, lakukan identifikasi sebanyak mungkin penyebab masalah yang
bisa anda dan tim pikirkan. Dalam banyak kasus, orang akan mengidentifikasi satu
atau dua faktor kausal, lalu berhenti. Padahal satu atau dua itu belum cukup untuk
menemukan akar masalah yang sebenarnya. RCA dilakukan bukan hanya untuk
menghilangkan satu dua masalah di permukaan. RCA akan membantu menggali lebih
dalam dan menghilangkan akar dari keseluruhan masalah. Selain itu simak beberapa
tips untuk melakukan RCA berikut ini.
D. Langkah 4 – Identifikasi Akar Masalah (Root Causes)
a) Mengapa faktor kausal tersebut ada?
b) Alasan apa yang benar-benar menjadi dasar kemunculan masalah?

E. Langkah 5 – Ajukan dan Implementasikan Solusi


a) Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah masalah muncul kembali?
b) Bagaimana solusi yang telah dirumuskan dapat dijalankan?
c) Siapa yang akan bertanggungjawab dalam implementasi solusi?
d) Adakah resiko yang harus ditanggung ketika solusi diimplementasikan?

Contoh RCA (Root Cause Analysis) di Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran

A. Langkah 1 – Definisikan Masalah


Kasus yang pernah terjadi di instalasi farmasi RSUD Ungaran adalah terjadinya
kesalahan pemberian obat di apotek rawat jalan dikarenakan penulisan resep yang
terbalik nama pasiennya. Pasien berasal dari poliklinik penyakit dalam yang merupakan
pasien “langganan” atau sudah sering berobat ke RS. Pasien bernama Wati dan Yuni.
Pasien Wati membawa resep dengan nama Yuni sedangkan pasien Yuni membawa resep
dengan nama Wati. Namun pasien tidak mengecek nama yang tercantum dalam resep dan
langsung menuju apotek rawat jalan.

B. Langkah 2 – Kumpulkan Data


Pada saat pasien menyerahkan resep pada petugas penerima resep, kemudian di
cek sediaan, kekuatan dan jenis sediaan, dikerjakan etiket dan pengemasan sesuai dengan
yang diperintahkan dalam resep. Setelah obat siap diserahkan kepada pasien, petugas
penyerahan resep memanggil pasien yang bernama Wati. Petugas memberikan konseling
mengenai sediaan yang diterima pasien. Namun kemudian pasien sedikit curiga dengan
penjelasan yang diberikan petugas kepada beliau. Menurut pasien bahwa obat yang
diberikan tidak sesuai dengan kondisi penyakit yang diderita pasien.
Petugas kemudian segera meriscek resep pasien Wati kemudian berkonsultasi
dengan bagian poli rawat jalan. Dari hasil cek dan riscek ternyata dokter salah
menuliskan resep pada pasien Wati. Jenis obat yang diresepkan untuk pasien Wati
tertukar dengan jenis obat yang tertulis pada pasien Yuni. Jadi pasien Wati sesungguhnya
membawa resep obatnya sendiri sesuai dengan penyakitnya, namun dalam resep yang
dibawanya tertulis nama Yuni, sedangkan Yuni memang benar membawa resep obatnya
sendiri sesuai dengan penyakitnya, namun dalam resep yang dibawanya bertuliskan Wati.
Jadi pada saat di panngil nama Wati saat penyerahan obat tentu saja pasien Wati yang
datang namun tidak sesuai obatnya dengan kondisi penyakitnya.
C. Langkah 3 – Identifikasi Penyebab yang Mungkin
Kesalahan pada penulisan nama pasien pada resep yang dibawa pasien. Hal ini
dimungkinkan dokter penulis resep kurang berkonsentrasi pada saat pelayanan pasien
atau nama pasien yang berdekatan pada saat pemeriksaan sehingga rekam medisnya
terbalik pengamatannya. Kejadian ini banyak terjadi pada saat peak hour sehingga
memungkinkan petugas kurang berkonsentrasi dalam melayani pasien.

D. Langkah 4 – Identifikasi Akar Masalah (Root Causes)


Kejadian ini banyak terjadi pada saat peak hour sehingga memungkinkandokter
kurang konsentrasi dalam melayani pasien. Karena petugas apotek segera meriscek resep
pasien pada petugas poli dan dokter penulis resep, sehingga pada saat pemberian ke
pasien, kesalahan bisa langsing diatasi.

E. Langkah 5 – Ajukan dan Implementasikan Solusi

A. Rumusan Masalah
a. Bagaimana epidemiologi penyakit tidak menular obesitas?

b. Bagaiamana distribusi, frekuensi, dan determinana dari penyakit tidak menular


obesitas?
c. Apakah determinan penyakit tidak menular obesitas yang diperkuat oleh jurnal?

d. Bagaimana upaya pencegahan yang dilakukan pada saat ini?

B. Manfaat
a. Untuk mengetahui epidemiologi penyakit tidak menular obesitas .

b. Untuk mengetahui bagaimana distribusi, frekuensi, dan determinan dari penyakit


tidak menular obesitas.

c. Untuk mengetahui determinan penyakit tidak menular obesitas yang diperkuat


oleh jurnal..
d. Untuk mengetahui upaya pencegahan yang harus dilakukan saat ini terhadap
penyakit tidak menular obesitas.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Tidak Menular Obesitas


a. Definisi Obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai kandungan lemak berlebih pada jaringan
adiposa. Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan
akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa sehingga
dapat mengganggu kesehatan (Sugondo, 2009). Obesitas terjadi jika dalam suatu
periode waktu, lebih banyak kilokalori yang masuk melalui makanan daripada
yang digunakan untuk menunjang kebutuhan energi tubuh, dengan kelebihan
energi tersebut disimpan sebagai trigliserida di jaringan lemak (Sherwood, 2012).

b. Epidemiologi Obesitas
Prevalensi obesitas populasi dewasa di seluruh dunia pada tahun 2005
mencapai 400 juta jiwa (WHO, 2011). Prevalensi penduduk laki-laki dewasa
obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7%, lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%)
dan tahun 2010 (7,8%). Pada tahun 2013, prevalensi obesitas perempuan dewasa
(>18 tahun) 32,9%, naik 18,1% dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5 % dari tahun
2010 (15,5%) (Riskesdas, 2013).
Prevalensi nasional obesitas tipe pear shaped (usia >15 tahun) di Indonesia
sebesar 19,1% (8,8% overweight dan 10,3% obesitas) dan prevalensi obesitas tipe
apple shaped sebesar 26,6%, lebih tinggi dari prevalensi pada tahun 2007
(18,8%). Kelompok dengan karakteristik obesitas tipe apple shaped tertinggi di
Indonesia berada dalam rentang umur 40-54 tahun sebanyak 27,4% (Riskesdas,
2013).
Menurut penelitian yang dilakukan Moehji (2003) tiga jenis pekerjaan
yang memiliki prevalensi obesitas tertinggi yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS),
yang menempati urutan pertama karakteristik penderita obesitas dengan
prevalensi sebesar 27,3%, ABRI 26,4% dan wiraswasta sebesar 26,5%. Menurut
Arambepola (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa obesitas abdominal
33% lebih banyak pada laki-laki yang memiliki pekerjaan sedentarian
(profesional, manager, tata usaha) dan hanya 6% pada mereka yang memiliki
pekerjaan aktif yang tinggi (petani, nelayan, tukang kayu).

B. Penyebab Obesitas
Obesitas terjadi jika dalam suatu periode waktu, lebih banyak kilokalori
yang masuk melalui makanan daripada yang digunakan untuk menunjang
kebutuhan energi tubuh, dengan kelebihan energi tersebut disimpan sebagai
trigliserida di jaringan lemak (Sherwood, 2012). Menurut Fauci, et al., (2009),
obesitas dapat disebabkan oleh peningkatan masukan energi, penurunan
pengeluaran energi, atau kombinasi keduanya. Obesitas disebabkan oleh banyak
faktor, antara lain genetik, lingkungan, psikis, kesehatan, obat-obatan,
perkembangan dan aktivitas fisik (Sherwood, 2012).
a. Faktor Genetik
Obesitas cenderung diturunkan, sehingga diduga memiliki penyebab
genetik. Selain faktor genetik pada keluarga, gaya hidup dan kebiasaan
mengkonsumsi makanan tertentu dapat mendorong terjadinya obesitas. Penelitian
menunjukkan bahwa rerata faktor genetik memberikan pengaruh sebesar 33%
terhadap berat badan seseorang (Farida, 2009).

b. Faktor Lingkungan
Lingkungan, termasuk perilaku atau gaya hidup juga memegang peranan
yang cukup berarti terhadap kejadian obesitas (Farida, 2009).

c. Faktor Psikis
Banyak orang yang memberikan reaksi terhadap emosinya dengan makan.
Salah satu bentuk gangguan emosi adalah persepsi diri yang negatif (Farida,
2009). Ada dua pola makan abnormal yang dapat menjadi penyebab obesitas,
yaitu makan dalam jumlah sangat banyak dan makan di malam hari (Shils, 2006).

d. Faktor Kesehatan
Terdapat beberapa kelainan kongenital dan kelainan neuroendokrin yang
dapat menyebabkan obesitas, diantaranya adalah Down Syndrome, Cushing
Syndrome, kelainan hipotalamus, hipotiroid, dan polycystic ovary syndrome
(Shils, 2006).

e. Faktor Obat-Obatan
Obat-obatan merupakan sumber penyebab signifikan dari terjadinya
overweight dan obesitas. Obat-obat tersebut diantaranya adalah golongan steroid,
antidiabetik, antihistamin, antihipertensi, protease inhibitor (Shils, 2006).
Penggunaan obat antidiabetes (insulin, sulfonylurea, thiazolidinepines),
glukokortikoid, agen psikotropik, mood stabilizers (lithium), antidepresan
(tricyclics, monoamine oxidase inibitors, paroxetine, mirtazapine) dapat
menimbulkan penambahan berat badan. Selain itu, Insulin- secreting tumors juga
dapat menimbulkan keinginan makan berlebihan sehingga menimbulkan obesitas
(Fauci, et al., 2009).

f. Faktor Perkembangan
Penambahan ukuran, jumlah sel-sel lemak, atau keduanya, terutama yang
terjadi pada pada penderita di masa kanak-kanaknya dapat memiliki sel lemak
sampai lima kali lebih banyak dibandingkan orang yang berat badannya normal
(Farida, 2009).
g. Aktivitas Fisik
Kurangnya aktivitas fisik kemungkinan merupakan salah satu penyebab
utama dari meningkatnya angka kejadian obesitas pada masyarakat. Orang yang
tidak aktif memerlukan lebih sedikit kalori. Seseorang yang cenderung
mengonsumsi makanan kaya lemak dan tidak melakukan aktivitas fisik yang
seimbang akan mengalami obesitas (Farida, 2009).

C. Klasifikasi Obesitas
Klasifikasi obesitas dapat dibedakan berdasarkan distribusi jaringan lemak, yaitu:
a. Apple-Shapedd Body (distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian dada dan
pinggang).
b. Pear-Shapedd Body (distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian panggul dan
paha) (Sugondo, 2009).
Terdapat klasifikasi obesitas berdasarkan kriteria obesitas untuk kawasan Asia
Pasifik. Kriteria ini berdasarkan meta-analisis beberapa kelompok etnik yang berbeda,
dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang sama, menunjukkan etnis
Amerika berkulit hitam memiliki IMT lebih tinggi 4,5 kg/m2 dibandingkan dengan etnis
kaukasia. Sebaliknya, nilai IMT bangsa Cina, Ethiopia, Indonesia, dan Thailand masing-
masing adalah 1.9, 4.6, 3.2, dan 2.9 kg/m2 lebih rendah daripada etnis Kaukasia. Hal ini
memperlihatkan adanya nilai ambang batas IMT untuk obesitas yang spesifik untuk
populasi tertentu (Sugondo, 2009).

Tabel Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT dan Lingkar Perut
Menurut Kriteria Asia Pasifik
Risiko Ko-Morbiditas
Lingkar Perut
Klasifikasi IMT (kg/m2)
< 90 cm (laki-laki) ≥ 90 cm (laki-laki)
<80cm (perempuan) ≥80 cm (perempuan)
Rendah (risiko meningkat
< 18,5 sedang
Berat badan kurang pada masalah klinis lain)
18,5 – 22,9 sedang meningkat
Kisaran Normal
≥ 23,0
Berat Badan Lebih
23,0 – 24,9 meningkat moderat
Berisiko
25,0 – 29,9 moderat berat
Obes I
≥ 30,0 berat sangat berat
Obes II

Sumber: WHO WPR/ IASO/ IOTF dalam The Asia Pacific Perspective:
Redefening Obesity and its Treatment dalam Sudoyo, 2009.
Manifestasi klinis obesitas secara umum, antara lain :

a. Wajah bulat dengan pipi tembem dan dagu rangkap


b. Leher relatif pendek
c. Dada membusung dengan payudara membesar
d. Perut membuncit (pendulous abdomen) dan striae abdomen
e. Pada anak laki-laki : Burried penis, gynaecomastia
f. Pubertas dinigenu valgum (tungkai berbentuk X) dengan kedua pangkal
paha bagian dalam saling menempel dan bergesekan yang dapat
menyebabkan laserasi kulit (Sugondo, 2009).

a. Obesitas Tipe Apple Shaped

Obesitas tipe apple shaped atau yang lebih dikenal sebagai “android
obesity” merupakan obesitas dengan distribusi jaringan lemak lebih banyak
dibagian atas (upper body obesity) yaitu pinggang dan rongga perut, sehingga
tubuh cenderung menyerupai buah apel. Obesitas tubuh bagian atas merupakan
dominasi penimbunan lemak tubuh di trunkal. Terdapat beberapa kompartemen
jaringan lemak pada trunkal, yaitu trunkal subkutaneus yang merupakan
kompartemen paling umum, intraperitoneal (abdominal), dan retroperitoneal.
Obesitas tubuh bagian atas lebih banyak didapatkan pada pria, oleh karena itu tipe
obesitas ini disebut sebagai android obesity. Tipe obesitas ini berhubungan lebih
kuat dengan diabetes, hipertensi, dan penyakit kardiovaskuler daripada obesitas
tubuh bagian bawah (Sugianti, 2009).

b. Obesitas Tipe Pear Shaped

Pada obesitas tipe ini, distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian
panggul dan paha, sehingga tubuh menyerupai buah pir (Boivin, 2007). Obesitas
tubuh bagian bawah merupakan suatu keadaan tingginya akumulasi lemak tubuh
pada regio gluteofemoral. Tipe obesitas ini lebih banyak terjadi pada wanita
sehingga sering disebut “gynoid obesity” (David, 2004). Resiko terhadap penyakit
pada tipe ini umumnya kecil. Pada obesitas tipe apple shaped, lemak banyak di
simpan pada bagian pinggang dan rongga perut. Resiko kesehatan pada tipe ini
lebih tinggi dibandingkan dengan tipe menyerupai buah pear karena sel-sel lemak
di sekitar perut lebih siap melepaskan lemaknya ke dalam pembuluh darah
dibandingkan dengan sel-sel lemak ditempat lain atau perifer (Adam, 2009).
Gambar 4. Obesitas Apple Shapedd dan Obesitas Pear Shapedd (Diakses dari:
http://img.medscape.com/fullsize/migrated/editorial/clinupdates/2001/608/cu02.fig09.gif)

D. Jurnal Penguat Determinan Penyakit Tidak Menular

Karakteristik subjek

Berdasarkan Tabel 1, nilai p pada variabel umur, jenis kelamin, dan asal
sekolah adalah sama yaitu 1,000. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga variabel tersebut
bersifat homogen karena pada penelitian ini dilakukan matching

Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian (n=144)

Status obesitas
Obesitas Non-
Karakteristik (Kasus) obesitas P
(Kontrol)
n % n %
Pekerjaan ayah
PNS 12 16, 9 12,5
7
TNI/POLRI 1 1,4 1 1,4
Pegawai swasta 27 37, 35 48,6
5 0,36
Pedagang/wirausaha 21 29, 22 30,6 8
2
Buruh/Serabutan 1 1,4 2 2,8
Pensiunan 7 9,7 1 1,4
Tidak bekerja 3 4,2 2 2,8
Pekerjaan Ibu
PNS 14 19, 14 19,4
4
TNI/POLRI 1 1,4 0 0
Pegawai swasta 15 20, 7 9,7 0,2
8 90
Pedagang/wirausaha 12 16, 17 23,6
7
Pensiunan 1 1,4 0 0
Tidak bekerja 29 40, 34 47,2
3
Pendidikan terakhir ayah
Tidak sekolah/ tidak 1 1,4 0 0,0
tamat SD
Tamat SLTP/ sederajat 1 1,4 3 4,2
Tamat SLTA/sederajat 19 26, 19 26,8 0,57
4 0
Tamat PT 51 70, 50 69,4
8
Pendidikan Terakhir Ibu
Tidak sekolah/ tidak 0 0,0 2 2,8
tamat SD
Tamat SLTP/ sederajat 2 2,8 2 2,8 0,5
20
Tamat SLTA/sederajat 19 26, 21 29,2
4
Tamat PT 51 70, 47 65,3
8

pada ketiga variabel tersebut sehingga jumlah subjek penelitian antara kelompok obesitas
dan non-obesitas sama. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan umur, jenis
kelamin, peer group, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, pendidikan terakhir ayah, dan
pendidikan terakhir ibu antara kelompok obesitas dengan kelompok non-obesitas (p>0,05).
Tabel 1 juga menunjukkan bahwa persentase subjek penelitian menurut umur antara
kelompok obesitas dan non-obesitas sebanding yaitu 56,9% pada umur 16 tahun dan
43,1% pada umur 17 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar
subjek penelitian yang mengalami obesitas berusia 16 tahun. Rerata IMT/U pada subjek
penelitian kelompok obesitas sebesar 32,33 kg/ m2 (SD±3,486) sedangkan kelompok non-
obesitas 20,15 kg/m2 (SD±2,65). Nilai IMT/U pada subjek kelompok obesitas berkisar
antara 26,69-45,37 kg/m2 sedangkan pada kelompok non-obesitas berkisar antara 15,02-
25,64 kg/m2.
E. Upaya Pencegahan

a. Merubah gaya hidup

Diawali dengan merubah kebiasaan makan. Mengendalikan kebiasaan ngemil


dan makan bukan karena lapar tetapi karena ingin menikmati makanan dan
meningkatkan aktifitas fisik pada kegiatan sehari-hari. Meluangkan waktu
berolahraga secara teratur sehingga pengeluaran kalori akan meningkat dan
jaringan lemak akan dioksidasi (Sugondo, 2008).

b. Terapi Diet

Mengatur asupan makanan agar tidak mengkonsumsi makanan dengan


jumlah kalori yang berlebih, dapat dilakukan dengan diet yang terprogram secara
benar. Diet rendah kalori dapat dilakukan dengan mengurangi nasi dan makanan
berlemak, serta mengkonsumsi makanan yang cukup memberikan rasa kenyang
tetapi tidak menggemukkan karena jumlah kalori sedikit, misalnya dengan menu
yang mengandung serat tinggi seperti sayur dan buah yang tidak terlalu manis
(Sugondo, 2008).

c. Aktivitas Fisik

Peningkatan aktifitas fisik merupakan komponen penting dari program


penurunan berat badan, walaupun aktifitas fisik tidak menyebabkan penurunan
berat badan lebih banyak dalam jangka waktu enam bulan. Untuk penderita
obesitas, terapi harus dimulai secara perlahan, dan intensitas sebaiknya
ditingkatkan secara bertahap. Penderita obesitas dapat memulai aktifitas fisik
dengan berjalan selama 30 menit dengan jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat
ditingkatkan intensitasnya selama 45 menit dengan jangka waktu 3 kali seminggu
dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45 menit dengan jangka waktu 5 kali
seminggu (Sugondo, 2008).

d. Terapi Perilaku

Untuk mencapai penurunan berat badan dan mempertahankannya, diperlukan


suatu strategi untuk mengatasi hambatan yang muncul pada saat terapi diet dan
aktifitas fisik. Strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap
kebiasaan makan dan aktifitas fisik, manajemen stress, stimulus control,
pemecahan masalah, contigency management, cognitive restructuring dan
dukungan sosial (Sugondo, 2008).
e. Farmakoterapi

Farmakoterapi merupakan salah satu komponen penting dalam program


manajemen berat badan. Sirbutramine dan orlistat merupakan obat-obatan
penurun berat badan yang telah disetujui untuk penggunaan jangka panjang.
Sirbutramine ditambah diet rendah kalori dan aktifitas fisik efektif menurunkan
berat badan dan mempertahankannya. Orlistat menghambat absorpsi lemak
sebanyak 30 persen. Dengan pemberian orlistat, dibutuhkan penggantian vitamin
larut lemak karena terjadi malabsorpsi parsial (Sugondo, 2008).

f. Pembedahan

Tindakan pembedahan merupakan pilihan terakhir untuk mengatasi


obesitas. Pembedahan dilakukan hanya kepada penderita obesitas dengan IMT
≥40 atau ≥35 kg/m2 dengan kondisi komorbid. Bedah gastrointestinal (restriksi
gastrik/ banding vertical gastric) atau bypass gastric (Roux-en Y) adalah suatu
intervensi penurunan berat badan dengan resiko operasi yang rendah (Sugondo,
2008).

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Remaja yang memiliki asupan energi, lemak, dan karbohidrat berlebih,
frekuensi konsumsi fast food, aktivitas fisik tidak aktif, memiliki ibu dan ayah dengan
status obesitas, serta tidak sarapan, berisiko lebih terhadap terjadinya obesitas. Remaja
rentan akan risiko obesitas sebaiknya diberi edukasi dengan media yaitu untuk
memperbaiki asupan makanan khususnya asupan energi dengan memperhatikan
keseimbangan asupan zat gizi protein, lemak dan karbohidrat.

DAFTAR PUSTAKA

Adam, J.M.F. 2009. Dislipidemia. Dalam: Sudoyono, W.A., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., & Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 1926 - 1932.

Aini AN. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian


gizi lebih pada remaja di perkotaan. Unnes Journal of Public Health 2012;1(2).
Drewnowski A, Popkin BM. The nutrition transition: new trends in the global diet. Nutr
Rev. 1997; 55: 31-43.
Farida, El Baz, et al. 2009. Impact of Obesity and Body Fat Distribution on Pulmonary
Function og Egyptian Children. Egyptian Journal of Bronchology. 2009: 3 (1) 49-
58.

Fauci,A. S., et al., 2009. Obesity. Dalam : Harisson’s Manual Of Medicine 17th Edition .
USA : The McGraw-Hill Companies: 939.

Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan.

Relly J, Ness A, Sherriff A. Epidemiological and physiological approaches to


understanding the etiology of pediatric obesity: finding the needle in the haystack.
Pediatric Research. 2007; 61: 646-52.

Rosen, S. Shapouri, S. 2008. Obesity in the midst of unyielding food insecurity in


developing countries. Amberwaves USDA ERS. Dalam Istiqamah, et al. Hubungan
Pola Hidup Sedentarian Dengan Kejadian Obesitas Sentral Pada Pegawai
Pemerintahan Di Kantor Bupati Kabupaten Jeneponto. Hal. 1-3

Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta : EGC. h. 708-
710.

Shils, Maurice E. 2006. Modern Nutrition in Health and Disease, 10th Edition.
New York: Lippicontt Williams & Wilkins.

Soegondo, S. 2009. Obesitas. Dalam AW Sudoyo, B Setiyohadi, I Alwi, M Simadibrata,


S Setiati: Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 4. Jilid 3. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
1924.

Sugianti, E., et al. 2009. Faktor Risiko terhadap Obesitas Sentral pada Orang Dewasa Di
DKI Jakarta. Indonesian Journal of Clinical Nutrition.

Anda mungkin juga menyukai