Anda di halaman 1dari 31

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA KASUS BESAR

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2020


UNIVERSITAS HALU OLEO

PTERIGIUM GRADE IV

Oleh:
Rahmawan Adhy Putra
K1A1 13 128

Pembimbing:
dr. Melvin Manuel Philips, Sp. M

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Rahmawan Adhy Putra

NIM : K1A1 13 128

Judul Referat : Pterygium grade IV

Telah menyelesaikan laporan kasus dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian

Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Februari 2020

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Melvin Manuel Philips, Sp.M


BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Tn. L.M
Umur : 63 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Poasia
Suku : Muna
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Tanggal Berobat : 10 Februari 2020
No. Register : 80635

B. ANAMNESIS
Keluhan utama : Selaput putih pada mata kiri
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke RS dengan keluhan adanya selaput putih pada mata
kiri yang timbul sejak ±5 tahun yang lalu. Awalnya terlihat kecil pada bola mata
putih, lama kelamaan semakin membesar hingga ke bola mata hitam. Sejak 2
tahun yang lalu pasien mulai mengeluhkan gangguan penglihatan pada mata
kanan. Keluhan lain, mata merah (+), berair (-), kotoran berlebih (-), kadang
dirasakan gatal pada mata kiri. Riwayat terpapar sinar matahari, debu, dan asap
(+) saat keluar rumah dan bekerja. Pasien tidak menggunakan pelindung mata.
 Riwayat trauma pada mata tidak ada
 Riwayat penyakit mata : keluhan yang sama juga pada mata kanan namun
telah dioperasi
 Riwayat penggunaan kaca mata disangkal
 Riwayat penyakit terdahulu: Hipertensi, Stroke, dan Diabetes Melitus
disangkal
 Riwayat keluarga : Tidak ada
 Riwayat pengobatan sebelumnya: pasien berobat di dokter spesialis mata
dan diberikan obat tetes mata

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status present
Kesadaran kompos mentis, sakit ringan, status gizi kesan baik.
2. Tanda Vital :
a. Tekanan darah : 100/70 mmHg
b. Nadi : 80 x/menit
c. Pernapasan :18x/menit
d. Suhu : 36,7oC
3. Status Generalisata :
a. Kepala : Normocephal, deformitas (-)
b. Mata : Sklera hiperemis (+/+)
c. Hidung : Perdarahan (-/-), Sekret (-/-)
d. Telinga : Otorea (-/-)
e. Mulut : Bibir pucat (-), Stomatitis (-)
f. Leher : KGB membesar (-)
g. Toraks : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
h. Abdomen : Cembung-ikut gerak napas, pemeriksaan lain
tidak dilakukan
i. Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
j. Ekstremitas superior: Edema (-/-), akral teraba hangat
k. Ekstremitas Inferior : Edema (-/-), akral teraba hangat

4
4. Status ophtalmologis
A. Inspeksi
Pemeriksaan OD OS

Palpebra Ptosis (-) Edema (-) Hiperemis (-) Ptosis (-) Edema (-), Hiperemis (-)

Sekret Sekret (-) Sekret (-)


App. Lakrimalis Lakrimasi (-), Madarosis (-) Lakrimasi (-)
Silia Sikatrik(-) Madarosis(-) Sikatrik(-)
Konjungtiva Edema (-), Hiperemis (-) Edema (-), Hiperemis (+)jaringan
fibrovaskular dari limbus
mencapai pupil
Mekanisme Bergerak ke segala arah Bergerak ke segala arah
muscular bola
mata

J
Kornea Jernih ernih
.
Bilik mata depan Kesan normal Kesan normal
Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)
Pupil Bulat, Sentral, Diameter 2,5 mm, Bulat, Sentral, Diameter 2,5 mm,
RC(+) RC(+)
Lensa Jernih Jernih
B. Palpasi
Pemeriksaan OD OS

Tensi Okuler N N
Nyeri Tekan Kesan (-) Kesan (-)
Massa Tumor Kesan (-) Kesan (-)
Glandula Periaurikuler Pembesaran (-) Pembesaran (-)
C. Tonometri : Tidak dilakukan pemeriksaan

5
D. Visus : VOD (6/60F) VOS (4/60 F)
E. Penyinaran Obliq
Pemeriksaan OD OS
Konjungtiva Edema (-), Hiperemis (-) hiperemis (+) jaringan
fibrovaskular dari limbus
mencapai pupil
Kornea Jernih Jernih
Bilik mata depan Normal Selaput (+)
Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)
Pupil Bulat, Sentral, Diameter Bulat, Sentral, Diameter
2,5 mm, RC(+) 2,5 mm, RC(+)
Lensa Jernih Jernih
F. Campus Visual : Tidak dilakukan pemeriksaan
G. Colour Sense : Test Ishihara (tidak dilakukan pemeriksaan)
H. Funduskopi : Tidak dilakukan pemeriksaan
I. Slit Lamp : SLODS: Palpebra spasm(-/-),silia sekret(-/-) ,
konjungtiva hiperemis (+/-), Kornea jernih
(+/+),BMD (normal/normal) iris coklat kripte
(+/+), pupil bulat isokor (2,5 mm/2,5mm), RC
(+/+), lensa jernih (+/+)
J. Laboratorium : Tidak dilakukan pemeriksaan

D. RESUME
Pasien datang ke RS dengan keluhan adanya selaput putih pada mata
kiri yang timbul sejak 5 tahun. Awalnya terlihat kecil, lama kelamaan semakin
membesar. Sejak 3 tahun yang lalu mengalami gangguan penglihatan pada mata
kiri. Keluhan lain, mata merah (+), berair (-), kotoran berlebih (-), kadang terasa
gatal (+). Riwayat terpapar sinar matahari, debu, dan asap (+) saat keluar rumah
dan bekerja serta tidak menggunakan pelindung mata.
Riwayat penyakit mata: Pasien memiliki keluhan yang sama pada mata
kanan namun telah dioperasi. Riwayat penggunaan kaca mata disangkal.

6
Riwayat penyakit terdahulu: Hipertensi, stroke, dan diabetes melitus disangkal.
Riwayat keluarga: dengan keluhan yang sama tidak ada. Riwayat pengobatan
sebelumnya: pasien berobat di dokter spesialis mata diberikan obat tetes mata
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum: kesadaran kompos
mentis, sakit ringan, status gizi kesan baik. Pada pemeriksaan opthalmologis di
dapatkan VOD 6/6F dan VOS 4/60F. Pada OS didapatkan konjungtiva palpebra
dan bulbi hiperemis, dan kornea, iris, pupil, lensa dalam batas normal. OS
didapatkan jaringan fibrovaskular yang sudah mencapai pupil.
E. DIAGNOSIS PRE OPERASI
OS Pterigium grade 4
F. PENATALAKSANAAN
1. Rencana operasi eksisi Pterigium

G. PROGNOSIS

Ad vitam : Bonam
Ad fungsionam : dubia ad Bonam
Ad sanationam : dubia ad Bonam

J. CONTOH GAMBAR KLINIS

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendahuluan

Kata pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron, yang berarti

sayap. Pterigium adalah pertumbuhan fibrovaskuler nonmaligna konjungtiva

yang biasanya mencapai kornea berbentuk segitiga; terdiri dari degenerasi

fibroelastis dengan proliferasi fibrotik yang dominan. Faktor risikonya antara

lain: genetik, pajanan sinar matahari, pajanan sinar UV, dan usia dewasa.1

Pterigium relative sering terjadi pada masyarakat dan biasanya

perjalanan penyakitnya lambat dengan perubahan penampilan pada mata dan

sedikit gangguan penglihatan. Pterigium pada fase awal biasanya tidak

bergejala, dan kebanyakan dokter spesialis mata biasanya menganggapnya

sebagai masalah yang tidak signifikan sampai lesi mencapai pada sumbu

visual.2

Secara geografis, pterigium paling banyak ditemukan di negara beriklim

tropis. Karena Indonesia beriklim tropis, penduduknya memiliki risiko tinggi

mengalami pterigium. Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan paparan sinar

matahari tinggi, risiko timbulnya pterigium 44 kali lebih tinggi dibandingkan

daerah non-tropis dengan prevalensi untuk orang dewasa > 40 tahun adalah

16,8 %; laki-laki 16,1 % dan perempuan 17,6 %. Hasil survei morbiditas oleh

Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1993-1996 angka

kejadian pterigium sebesar 13,9 % dan menempati urutan kedua penyakit mata

di Indonesia.3

8
Pterigium masih menjadi permasalahan yang sulit karena tingginya

frekuensi pterigium rekuren. Recurrence rate pascaoperasi pterigium di

Indonesia adalah 35–52 %. Dari hasil penelitian di RS Cipto Mangunkusumo

didapatkan bahwa recurrence rate pada pasien berusia kurang dari 40 tahun

adalah 65 % dan pada pasien berusia lebih dari 40 tahun adalah 12,5 %. Selain

itu, pterigium menimbulkan masalah kosmetik dan berpotensi mengganggu

penglihatan bahkan berpotensi menjadi penyebab kebutaan pada stadium

lanjut. Penegakan diagnosis dini pterigium diperlukan agar gangguan

penglihatan tidak semakin memburuk dan dapat dilakukan pencegahan

terhadap komplikasi.3

B. Anatomi

Konjungtiva adalah membran mukosa transparan yang terletak pada

permukaan posterior palpebra dan anterior bola mata, terminasi pada limbus

korneosklera. Nama konjungtiva (conjoin: bergabung) diberikan kepada

membran mukosa ini karena fakta bahwa ia menghubungkan bola mata dengan

kelopak mata. Membentang dari pinggir kelopak mata ke limbus, dan

membungkus ruang kompleks yang disebut sakus konjungtiva yang terbuka di

depan fissura palpebra.4

Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian:4

1. Konjungtiva palpebra. Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak mata

dan melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni

konjungtiva marginal, tarsal, orbital. Konjungtiva marginal membentang

dari tepi kelopak mata sekitar 2 mm pada bagian belakang kelopak sampai

9
ke alur dangkal, yakni sulkus subtarsalis. Bagian ini sebenarnya zona

transisi antara kulit dan konjungtiva lebih tepatnya. Konjungtiva tarsal

tipis, transparan dan banyak mengandung vaskular. Bagian ini melekat

kuat pada seluruh tarsal kelopak mata atas. Pada kelopak mata bawah,

hanya melekat pada setengah bagian tarsal. Konjungtiva orbital terletak

longgar antara tarsal dan forniks.4

2. Konjungtiva bulbaris. Melekat longgar pada sclera dan melekat lebih erat

pada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel

kornea. Bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episcleral

dan kapsul Tenon. Terdapat sebuah dataran tinggi 3-mm dari konjungtiva

bulbaris sekitar kornea disebut konjungtiva limbal.4

3. Konjungtiva forniks. Ini adalah culde-sac yang melingkar terus menerus

yang terputus hanya pada sisi medial oleh caruncle dan plica semilunaris.

Konjungtiva forniks merupakan peralihan konjungtiva bulbar dengan

konjungtiva palpebra. Bagian ini dibagi menjadi forniks superior, inferior,

medial dan lateral.4

Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar yakni kelenjar sekresi musin dan

kelenjar lakrimalis aksesoris.4

1. Kelenjar sekresi musin. Terdiri dari sel goblet (kelenjar uniseluler yang

terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva tarsal)

dan kelenjar Manz (ditemukan dalam konjungtiva limbal). Kelenjar-

kelenjar ini mensekresi mucus yang penting untuk membasahi kornea dan

konjungtiva.

10
2. Kelenjar lakrimalis aksesoris. Terdiri dari: Kelenjar Krause (terdapat pada

jaringan ikat subconjunctival forniks, sekitar 42 buah di atas forniks dan

8 buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring (terdapat di sepanjang

batas atas tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus inferior).4

Konjungtiva divaskularisasi oleh arteri arkade perifer palpebra, arteri

arkade marginal palpebra dan arteri ciliaris anterior.4

1. Konjungtiva palpebralis dan forniks diperdarahi oleh cabang-cabang dari

arkade arteri perifer dan marginal palpebra.

2. Konjungtiva bulbar diperdarahi oleh dua pembuluh darah yaitu: arteri

konjungtiva posterior yang merupakan cabang dari arcade arteri palpebra,

dan arteri konjungtiva anterior yang merupakan cabang dari arteri ciliaris

anterior. Cabang terminal arteri konjungtiva posterior membentuk

anastomosis dengan arteri konjungtiva anterior dan membentuk plexus

pericorneal.

Vena konjungtiva bermuara ke dalam pleksus vena palpebra dan

beberapa mengelilingi kornea sampai vena ciliaris anterior. Sistem limfatik

konjungtiva tersusun dalam dua lapisan, yakni superficial dan profunda.

Sistem ini dari sisi lateral bermuara ke limfonodus preaurikuler dan sisi

medial bermuara ke limfonodus submandibular. Limbus kornea pada

konjungtiva dipersarafi oleh cabang-cabang dari nervus siliaris panjang yang

mempersarafi kornea. Sisa konjungtiva dipersarafi oleh cabang dari lakrimal,

infratrochlear, supratrochlear, supraorbital dan nervus frontal.4

11
Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu epitel,

lapisan adenoid, dan lapisan fibrosa.4

1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-masing

daerah dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva marginal

memiliki 5 lapis epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal memiliki

2 lapis epitel: lapisan superficial terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan

dalam terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris memiliki

3 lapis epitel: lapisan superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan tengah

terdiri dari sel polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari sel kubus. Limbal

konjungtiva memiliki lagi lapisan yang banyak (5 - 6 lapis) epitel berlapis

gepeng.4

2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari

retikulum jaringan ikat halus dengan jerat di mana terdapat limfosit.

Lapisan ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak

di temukan ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal

kehidupan. Hal ini menjelaskan bahwa peradangan konjungtiva pada

bayi tidak menghasilkan reaksi folikuler.4

3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis.

Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah konjungtiva

tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh

dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu dengan mendasari kapsul

Tenon di daerah konjungtiva bulbar.4

12
C. Definisi

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva

yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada

celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke

kornea berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah

kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, akan berwarna

merah, dan dapat mengenai kedua mata.5

D. Epidemiologi

Tingkat prevalensi pterygium di seluruh dunia sangat bervariasi, mulai

dari 1% di Jepang hingga 29% di Kepulauan Samoa dan 23% pada kulit hitam

Barbados. Umumnya, tingkat prevalensi di daerah tropis dan zona ekuator

antara 300 lintang utara dan selatan lebih tinggi dari pada di daerah beriklim

sedang, dan beberapa penelitian telah dilakukan menunjukkan risiko radiasi

UV-B dari pterigium. Peran kerusakan limbal yang dimediasi UV telah banyak

ditinjau, dan Coroneo et al. telah mengusulkan bahwa kornea yang fokus

terhadap sinar matahari terutama pada limbus memainkan peran penting.

Dalam penelitian ini, beberapa temuan demografi (laki-laki, kelas sosial

ekonomi rendah, dan orang yang tinggal di daerah pedesaan), beberapa kondisi

mata (blepharitis dan khalazion), bersama dengan beberapa kondisi sistemik

(kecemasan dan defisiensi G6PD), secara signifikan lebih umum di antara

pasien pterigium; skizofrenia dan merokok kurang umum.6

13
Pterigium bisa terjadi pada laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan

wanita. Kejadian berulang lebih sering pada umur muda daripada umur tua.

Jarang sekali orang menderita pterigium umurnya di bawah 20 tahun.7

Menurut Riskesdas 2013, prevalensi pterygium nasional adalah sebesar

8,3% dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Bali (25,2%), diikuti Maluku

(18,0%) dan Nusa Tenggara Barat (17,0%). Provinsi DKI Jakarta mempunyai

prevalensi pterygium terendah yaitu 3,7 persen, diikuti oleh Banten 3,9 persen.

Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada laki-laki cenderung sedikit

lebih tinggi dibanding prevalensi pada perempuan. Prevalensi pterygium yang

paling tinggi (16,8%) ditemukan pada kelompok responden yang tidak

sekolah. Petani/nelayan/buruh mempunyai prevalensi pterygium tertinggi

(15,8%) dibanding kelompok pekerja lainnya. Tingginya prevalensi pterygium

pada kelompok pekerjaan tersebut mungkin berkaitan dengan tingginya

paparan matahari yang mengandung sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet

merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kejadian pterygium.8

E. Faktor Risiko

Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni

radiasi UV matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor

herediter.9

1. Radiasi Ultraviolet

Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan

kacamata dan topi mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar

14
ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel

dan proliferasi sel.9

2. Faktor Genetik

Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga

dengan pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan.9

3. Faktor lain

Pada lingkungan luar ruangan, reflektifitas cahaya tinggi, termasuk

dari pasir, angin, debu, air menyebabkan kerusakan sel induk limbal oleh

sinar ultraviolet dan aktivasi metalloproteinase matriks dan memicu

terjadinya pterygium.9

F. Etiologi dan Patogenesis

Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu,cahaya sinar

matahari, dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan

diduga merupakan suatu neoplasma, radang dan degenerasi.5

Di antara beberapa faktor risiko yang dilaporkan, paparan sinar UV

mungkin merupakan faktor risiko yang paling diterima untuk terjadinya

pterigium. Radiasi UV dapat menyebabkan mutasi pada gen seperti gen

penekan tumor p53, menghasilkan epitel pterigium yang abnormal. Studi

terbaru menunjukkan bahwa virus human papilloma juga dapat terlibat dalam

patogenesis pterigium. Temuan ini menunjukkan bahwa pterigium bukan

hanya lesi degeneratif, tetapi bisa merupakan hasil dari proliferasi sel yang

tidak terkontrol. Matriks metalloproteinases (MMPs) dan inhibitor jaringan

MMPs (TIMPs) di tepi pterigium yang maju mungkin bertanggung jawab atas

15
peradangan, remodeling jaringan, penghancuran lapisan Bowman dan invasi

pterigium ke dalam kornea. Ada juga peneliti yang berspekulasi bahwa

pterigium dapat mewakili daerah yang mengalami defisiensi sel induk limbal

yang terlokalisasi, dengan hasil invasi kornea yang berdekatan oleh

konjungtiva.10

Mekanisme patologi pterigium belum diketahui; telah terdapat banyak

teori patogenesis, antara lain teori pajanan terhadap sinar ultraviolet (UV), teori

growth factor-sitokin pro-inflamasi, dan teori stem cell. Teori pajanan sinar UV

mengungkapkan pajanan terutama terhadap sinar UV-B menyebabkan

perubahan sel di dekat limbus, proliferasi jaringan akibat pembentukan enzim

metalloproteinase, dan terjadi peningkatan signifikan produksi interleukin,

yaitu IL-I, IL-6, IL-8, dan TNFα. Beberapa teori menyatakan bahwa radiasi

sinar UV menyebabkan mutasi supresor gen tumor P53, sehingga terjadi

proliferasi abnormal epitel limbus.1

Teori growth factor dan pembentukan sitokin pro-inflamasi

mengungkapkan bahwa pada pterigium terjadi inflamasi kronik yang

merangsang keluarnya berbagai growth factor dan sitokin, seperti FGF

(Fibroblast Growth Factor), PDGF(Platelet derived Growth Factor), TGF-β

(Transforming Growth Factor-β), dan TNF-α (Tumor Necrosis Factor-α) serta

VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) yang akan mengakibatkan

proliferasi sel, remodeling matriks ektra-sel dan angiogenesis. 1

Teori stem cell menyatakan bahwa pajanan faktor lingkungan (sinar

ultraviolet, angin, debu) merusak sel basal limbus dan merangsang keluarnya

16
sitokin pro-inflamasi, sehingga merangsang sumsum tulang untuk

mengeluarkan stem cell yang juga akan memproduksi sitokin dan berbagai

growth factors. Sitokin dan berbagai growth factor akan mempengaruhi sel di

limbus, sehingga terjadi perubahan sel fibroblas endotel dan epitel yang

akhirnya akan menimbulkan pterigium. Penumpukan lemak bisa karena iritasi

ataupun karena air mata yang kurang baik. 1

G. Manifestasi Klinis

Pterigium hanya menghasilkan gejala ketika bagian kepala pterigium

mencapai kornea dan sumbu visual. Daya tarik yang bekerja pada kornea dapat

menyebabkan astigmatisme kornea yang parah. Pterigium yang terus yang

menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan

mengganggu motilitas okular. Pasien kemudian akan mengalami penglihatan

ganda abduksi.10

Pterigium dapat tidak memberikan keluhan atau akan memberikan

keluhan mata iritatif, merah, dan mungkin menimbulkan astigmat yang akan

memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pterigium dapat disertai dengan

keratitis pungtata dan dellen (penipisan kornea akibat kering), dan garis besi

(iron line dari Stoker) yang terletak di ujung pterigium.5

Secara anatomi pterigium memiliki tiga bagian, yaitu: 7

1. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada

kornea yang kebanyakan terdiri atas fibrobla menginvasi dan

menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (Stocker’s

17
line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga merupakan

area kornea yang kering.

2. Bagian whitish. Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan

vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.

3. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak),

lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan

area paling ujung.7

Gambar 1. Pterigium1

H. Diagnosis

Pterygium adalah kondisi tanpa gejala pada 12tahap awal, kecuali untuk

intoleransi kosmetik. Gangguan penglihatan terjadi ketika merambah area

pupil atau karena astigmatisme kornea yang disebabkan oleh fibrosis pada

tahap regresif. Kadang-kadang diplopia dapat terjadi karena keterbatasan

gerakan mata.12

Tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan pada pasien pterigium antara

lain, membran berbentuk transparan, tembus cahaya dengan puncak

memanjang ke kornea berwarna putih hingga merah muda, tergantung

vaskularisasi. Pertumbuhan pembuluh darah ke arah kepala pterigium yang

18
berasal dari garis Stocker pterigium, garis besi pada kornea di tepi terdepan

pterigium, kelainan mata silindris teratur atau tidak teratur, perubahan

degeneratif seperti perubahan kistik.13

Diagnosis pterigium ditegakkan secara klinis, sering bersifat

asimptomatik. Jika ditemukan gejala, yang dijumpai antara lain mata kering,

berair, gatal, mata merah hingga penglihatan terganggu.1

Pada slitlamp, pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskuler di

permukaan konjungtiva; paling sering di konjungtiva nasal dan berekstensi ke

kornea nasal, dapat pula ditemukan di daerah temporal.1

Secara histopatologis, pterigium ditandai dengan adanya kombinasi

degenerasi kolagen elastotik bersama dengan proliferasi fibrovaskular.

Berbagai gambaran histopatologis telah dilaporkan dalam pterygia termasuk

perubahan epitel, degenerasi elastoid, proliferasi fibrovaskular, infiltrasi

leukosit, fibrosis, angiogenesis, dan kerusakan matriks ekstraseluler.14

Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan derajat

atau klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi menjadi

beberapa kelompok yaitu:

1. Berdasarkan perjalanan penyakit

a. Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di

kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)

b. Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi. Tidak ada cap

tetapi deposisi besi (Stocker’s line) kadang-kadang terlihat. Akhirnya

menjadi bentuk membran tetapi tidak pernah hilang14

19
2. Berdasarkan luas pterigium

a. Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea

b. Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm

melewati kornea

c. Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir

pupil mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar

3-4 mm)

d. Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil

sehingga mengganggu penglihatan7

`Gambar 2. Derajat Pterigium7

I. Diagnosis Banding

1. Pinguekula

Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang

ditemukan pada orang tua, terutama yang matanya sering mendapat

20
rangsangan sinar matahari, debu,angin, dan panas. Letak bercak ini pada

celah kelopak mata, terutama bagian nasal. Pinguekula merupakan

degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva. Pembuluh darah tidak

masuk ke dalam pinguekula akan tetapi bila meradang atau terjadi iritasi,

maka sekitar bercak degenarasi ini akan telihat pembuluh darah yang

melebar. Pada umumnya tidak diperlukan terapi tetapi bila terlihat adanya

tanda radang (penguekulitis) dapat diberikan obat anti radang.5

Gambar 3 . Pingueculum15

2. Pseudopterigium

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea

yang cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus

kornea, dimana konjungtiva tertarik dan menutupi kornea.

Pseudopterigium ini terletak pada daerah konjungtiva yang terdekat

dengan proses kornea sebelumnya. Perbedaan dengan pterigium adalah

selain letaknya, pseudopterigium dapat ditemukan dimana saja bukan

hanya pada fissura palpebra seperti halnya pada Pterigium. Pada

pseudopterigium juga dapat diselipkan sonde di bawahnya sedangkan pada

21
Pterigium tidak. Pada pseudopterigium melalui anamnesa selalu

didapatkan riwayat adanya kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus

kornea.5

Gambar 4. Pseudopterigium

Tabel 1. Perbedaan Pterigium dan Pseudopterigium12

Pterigium Pseudopterigium

Etiologi Proses degenerative Proses Inflamasi

Usia Biasanya terjadi pada Dapat terjadi pada

lansia berbagai usia

Lokasi Selalu pada celah Dapat terjadi dimana saja

kelopak

Stages Bisa progresif, regresif Selalu statis

ataupun statis

Tes Probe Probe tidak dapat diselip Probe dapat diselipkan

dibawah selaput

22
J. Penatalaksanaan

1. Terapi Non Medikamentosa

Pengobatan pterigium adalah dengan konservatif atau dilakukan

pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya

astigmatisme ireguler atau pterigium yang telah menutupi media

penglihatan. Lindungi mata dari sinar matahri, debu, dan udara kering

dengan kacamata pelindung. Radiasi UV diyakini merupakan faktor

risiko penting, sehingga dokter harus merekomendasikan pasien dengan

pterigium stadium dini untuk menggunakan kacamata pelindung yang

tepat.5

2. Terapi Medikamentosa

a. Topikal

1) Mytomicin C

Mytomicin C (MMC) merupakan antibiotik-antineoplastik

yang alami dan merupakan turunan dari Streptomyces caespitosus

zat ini dapat menghambat replikasi DNA, mitosis dan sintesis

protein. MMC menghambat pertumbuhan vaskuler. Mitomycin

dapat digunakan dengan 2 cara, yaitu intraoperatif dan

postoperative. Penggunaan postoperative yaitu dengan tetes mata.

Penggunaan mytomicin memiliki resiko yaitu keratopati

kronik dan keratokonjungtivitis toksik, juga mengakibatkan

nekrosis sclera aseptic, sklerokeratitis infeksiosa dan glaucoma

sekunder.16

23
2) Bevacizumab

Bevacizumab merupakan rekombinan imunoglobin manusia

yang menghambat VEGF-A yang merupakan stimulator utama

untuk terjadinya angiogenesis. Penggunaannya dapat diberikan

secara topical atau injeksi subkonjungtiva intraoperatif.16

Penggunaan topical 2,5 mg/ml 2 tetes per hari terlihat terjadi

penurunan neovaskularisasi dari kornea hingga sebesar 38,04%.16

3) Loteprednol etabonate

Loteprednol etabonate merupakan kotikosteroid topical.

Penggunaannya untuk mengatasi proses inflamasi baik pada

pathogenesis maupun pada penanganan operatif dari pterigium.

Obat ini memiliki efek yang dapat dengan mudah menembus

membrane sel, zatnya dengan cepat diubah ke metabolit inaktif

sehingga mencegah efek samping yang merugikan dari

kortikosteroid topical pada mata seperti peningkatan tekanan

intraokuler dan katarak .16

4) Air mata buatan / Artificial tears

Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu

dapat diberi steroid. Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air

mata buatan dalam bentuk salep. Pemberian vasokonstriktor perlu

control dalam 2 minggu dan pengobatan dihentikan jika sudah ada

perbaikan.16

24
5) Kemoterapi

Penggunaan kemoterapi bertujuan untuk mengurangi tingkat

kejadian berulang dari pterigium. Agen kemoterapi pertama yang

digunakan adalah thiotepa.16

6) Iradiasi beta

Penggunaan iradiasi beta biasanya sebagai dosis tunggal dan

digunakan segera setelah operasi hingga 24 jam pasca operasi

pterigium. Penggunaan terapi ini sudah tidak digunakan karena

terdapat komplikasi seperti peradangan pada konjungtiva, sclera

melting, katarak dan uveitis. 16

3. Terapi Operatif

Eksisi bedah adalah satu-satunya penanganan yang memuaskan,

yang dapat diindikasikan untuk: (1) perkembangan progresif, (2)

astigmatisme yang menyebabkan penurunan penglihatan, (3) dekat ke aksis

visual, (4) kosmetik, (5) rekurensi dan kekhawatiran tentang keganansan.10

Kekambuhan pterigium setelah eksisi bedah merupakan masalah

utama (30-50%). Hal itu dapat dikurangi dengan langkah berikut :12

a. Transplantasi pterigium di forniks bawah (operasi McReynold) dan

Iradiasi beta pasca operasi yang sudah tidak dilakukan sekarang.

b. Eksisi bedah dengan membrane amnion graft dan penggunaan obat

antimitotik pasca operasi seperti mitomycin-C atau thiotepa.

c. Eksisi bedah dengan conjungtival graft yang diambil dari mata yang

sama atau mata lainnya saat ini adalah teknik yang diminati.

25
d. Pada pterigium rekalsitran rekuren, eksisi bedah harus digabungkan

dengan keratektomi lamelar dan keratoplasty lamellar

Teknik bedah eksisi pterigium :12

a. Setelah anestesi topikal, mata dibersihkan, ditutup dan dibuka

menggunakan spekulum mata.

b. Bagian kepala dari pterigium diangkat dan dipisahkan dari kornea

dengan sangat teliti

c. Bagian utama pterigium kemudian dipisahkan dari sclera di bawahnya

dan konjungtiva secara superfisial.

d. Jaringan pterigium kemudian dipotong dan diperhatikan agar tidak

merusak otot rektus medial

e. Hemostasis dicapai dan jaringan episcleral yang terlihat dikauterisasi.

f. Langkah selanjutnya tergantung pada teknik yang diadopsi sebagai

berikut:

1) Simple excision, konjungtiva dijahit kembali untuk menutupi

sklera

2) Bare Sclera, beberapa bagian konjungtiva dipotong dan ujung-

ujungnya dijahit ke jaringan episkleral, meninggalkan beberapa

bagian telanjang dari sklera dekat limbus

3) Conjungtival graft, dapat digunakan untuk menutupi bare sclera

Prosedur ini lebih efektif dalam mengurangi kekambuhan.

Konjungtiva dari mata yang sama atau berlawanan dapat

digunakan sebagai cangkokan.

26
4) Limbal conjunctival autograft transplantation (LLAT) untuk

menutup defek setelah eksisi pterigium adalah teknik terbaru dan

paling efektif dalam penanganan pterigium.

Gambar 5. Teknik Bedah eksisi pterigium12

Gambar 6. Teknik Conjungtival autograft17

27
Gambar 7. Satu minggu setelah operasi graft17

K. Komplikasi

Komplikasi pterigium seperti degenerasi cystic dan infeksi sering

terjadi. Komplikasi yang jarang perubahan neoplastic menjadi epitelioma,

fibrosarcoma, atau melanoma maligna bisa saja terjadi.12

Komplikasi pterigium intraoperative yaitu pasca operasi meliputi

penipisan sklera atau kornea dari pembedahan, perdarahan intraoperatif,

kauterisasi berlebihan, kerusakan otot. Komplikasi awal pasca operatif yaitu

defek epitel menetap, pembentukan dellen (area penipisan kornea yang

berdekatan dengan pembengkakan limbus yang mencegah pembasahan normal

pada permukaan kornea), hematom dibawah graft, kehilangan graft, granuloma

pyogenic. Komplikasi lanjut pasca operatif yaitu rekurensi, nekrosis

korneoskleral, skleritis, endophthalmitis.17

28
L. Prognosis

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Pasien

dapat mentoleransi prosedur operasi dan hanya merasa tidak nyaman pada

hari-hari pertama setelah operasi. Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi

setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan Pterigium rekuren dapat dilakukan

eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva auto graft atau transplantasi

membran amnion.5

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Marcela M. 2019. Manajemen Pterigium. CKD Edisi Suplemen 1(46) : 1-3

2. Aminlari A, dkk. 2010. Management of Pterygium. Ophthalmic Pearls Cornea:

1-2

3. Pinem TAN. 2015. Laki-Laki 38 Tahun dengan Pterigium Temporalis Grade 3

OS. J Medula Unila 4 (2) : 1-6

4. Khurana AK. 2007. Comprehensive Ophthalmology Ed 4. New Delhi. New Age

International

5. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia; 2017.

6. Nemet, Y Arie, Vinker Shlomo et al. Epidemiology and Associated Morbidity of

Pterygium: A Large, Community-Based Case-Control Study. Seminars in

Ophthalmology, Informa Healthcare. 2014.

7. Lestari DJT, dkk. 2017. Pterigium Derajat IV pada Pasien Geriatri. Majority 7 (1):

1-6

8. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta : Balitbang.

2013

9. Hayilu A. 2017. Prevalence and associated factors of pterygium among adults

living in Gondar city, Northwest Ethiopia. Department of Optometry, College of

Medicine Health Science, University of Gondar.

10. Bahuva A, Rao KS. 2015. Current Concepts in Management of Pterigium. Delhi

Journal of Ophthalmology.

30
11. Lang GK, dan Gabriele EL. 2006. Pterygium in Ophthalmology A Pocket

Textbook Atlas Ed. 2. Thieme. New York

12. AOA. 2015. Pterygium. https://www.aao.org/topic-detail/pterygium-europe

diakses pada 7 Januari 2020

13. Safi, H. dkk. 2016. Correlations Between Histopathologic Changes and Clinical

Feature in Pterygia. Journal of Ophthalmic and Vision

14. Eva, PR. Whitcher, JP. 2018. Vaugan dan Asbury’s General Ophthalmology 19th

Edition. Mc Graw Hills : United State.

15. Todorovic D.dkk. 2016. Updates On The Treatment of Pterygium. Serbian Journal

of Experimental and Clinical Research.

16. Hall, Anthony Bennett. Understanding and Managing Pterygium. Community

Eye Health Journal. 2016.

17. Fisher JP. Pterigium. 2017. Medscape.com,https://emedicine.medscape.

com/article/1192527-overview. Akses: 9 Januari 2019

31

Anda mungkin juga menyukai