Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

TATALAKSANA NYERI

Oleh:
Neng Angie Rivera (2014730073)

Pembimbing:

dr. Agus Jaya, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Definisi nyeri menurut The International Association for the Study of Pain
ialah sebagai berikut, nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang
tidak menyenangkan yang disertai oleh kerusakan jaringan secara potensial dan
aktual.1

Nyeri adalah perasaan tidak menyenangkan yang disampaikan ke otak


terkait dengan adanya kerusakan jaringan baik potensial maupun aktual. Bersifat
subyektif & emosional.1

B. Klasifikasi

Nyeri Akut disebabkan oleh stimulasi berbahaya karena cedera, proses


penyakit, atau fungsi otot atau organ yang tidak normal. Itu hampir selalu
nosiseptif. Nyeri nosiseptif berfungsi untuk mendeteksi, melokalisasi, dan
membatasi kerusakan jaringan. Empat proses fisiologis terlibat: transduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi. Jenis nyeri ini biasanya dikaitkan dengan
respons stres neuroendokrin sistemik yang sebanding dengan intensitas nyeri.
Bentuk yang paling umum dari nyeri akut termasuk nyeri pasca-trauma, pasca
operasi, dan kebidanan serta nyeri yang berhubungan dengan penyakit medis akut,
seperti infark miokard, pankreatitis, dan batu ginjal. Sebagian besar bentuk nyeri
akut dapat sembuh sendiri atau sembuh dengan pengobatan dalam beberapa hari
atau minggu. Ketika rasa sakit gagal untuk diselesaikan karena penyembuhan
yang tidak normal atau perawatan yang tidak memadai, itu menjadi kronis. Dua
jenis nyeri akut (nosiseptif) somatik dan visceral dibedakan berdasarkan asal dan
gambaran.2
- Nyeri somatik
Nyeri somatik dapat diklasifikasikan menjadi superfisial dan dalam.
Nyeri somatik superfisial disebabkan oleh input nosiseptif dari kulit,
jaringan subkutan, dan selaput lendir. Ini secara khas terlokalisir
dengan baik dan digambarkan sebagai sensasi tajam, menusuk,
berdenyut, atau terbakar.
Nyeri somatik yang dalam timbul dari otot, tendon, sendi, atau tulang.
Berbeda dengan nyeri somatik superfisial, biasanya memiliki kualitas
yang tumpul, pegal-pegal dan kurang terlokalisasi dengan baik. Fitur
tambahan adalah bahwa intensitas dan durasi stimulus mempengaruhi
tingkat lokalisasi. Sebagai contoh, rasa sakit setelah trauma ringan pada
sendi siku terlokalisir pada siku, tetapi trauma yang parah atau
berkelanjutan sering menyebabkan rasa sakit di seluruh lengan.
- Nyeri viseral
Nyeri akut visceral disebabkan oleh proses penyakit atau fungsi
abnormal yang melibatkan organ internal atau pelapisnya (misalnya,
pleura parietal, perikardium, atau peritoneum). Empat subtipe
dijelaskan: (1) nyeri visceral terlokalisasi benar, (2) nyeri parietal
terlokalisasi, (3) nyeri viseral yang dirujuk, dan (4) nyeri parietal yang
dirujuk. Nyeri visceral yang benar adalah tumpul, difus, dan biasanya
di garis tengah. sering dikaitkan dengan aktivitas simpatis atau
parasimpatis abnormal yang menyebabkan mual, muntah, berkeringat,
dan perubahan tekanan darah dan detak jantung. Nyeri parietal
biasanya tajam dan sering digambarkan sebagai sensasi penikaman
yang terlokalisasi pada area di sekitar organ atau disebut situs jauh.
Fenomena nyeri visceral atau parietal yang dirujuk ke daerah kulit hasil
dari pola perkembangan embriologis dan migrasi jaringan, dan
konvergensi input aferen visceral dan somatik ke dalam sistem saraf
pusat. Dengan demikian, rasa sakit yang terkait dengan proses penyakit
yang melibatkan peritoneum atau pleura diafragma sentral sering
disebut dengan leher dan bahu, sedangkan rasa sakit dari proses
penyakit yang mempengaruhi permukaan parietal diafragma perifer
dirujuk ke dada atau dinding perut bagian atas.

Nyeri kronis berlanjut di luar perjalanan penyakit akut yang biasa atau setelah
waktu yang wajar untuk penyembuhan terjadi, biasanya 1 hingga 6 bulan. Nyeri
kronis dapat berupa nosiseptif, neuropatik, atau campuran, dan mekanisme
psikologis atau faktor lingkungan, atau keduanya, sering memainkan peran utama.
Pasien dengan nyeri kronis sering mengalami respons stres neuroendokrin yang
dilemahkan atau tidak ada dan memiliki gangguan tidur dan afektif (mood) yang
menonjol. Nyeri neuropatik klasik paroksismal dan lancinating, memiliki kualitas
terbakar, dan dikaitkan dengan hiperpathia. Ketika juga dikaitkan dengan
hilangnya input sensorik (misalnya, amputasi) ke dalam sistem saraf pusat, itu
disebut nyeri deafferentasi. Ketika sistem simpatik memainkan peran utama,
sering disebut nyeri simpatik.

Bentuk paling umum dari nyeri kronis termasuk yang berhubungan dengan
gangguan muskuloskeletal, gangguan visceral kronis, lesi saraf tepi, akar saraf,
atau ganglia akar dorsal (termasuk neuropati diabetik, kausalgia, nyeri tungkai,
dan neuralgia postherpetik), lesi sentral sistem saraf (stroke, cedera tulang
belakang, dan multiple sclerosis), dan nyeri kanker. Nyeri pada sebagian besar
gangguan muskuloskeletal (mis., Artritis reumatoid dan osteoartritis) terutama
nosiseptif, sedangkan nyeri yang berhubungan dengan kelainan saraf perifer atau
sentral terutama neuropatik. Rasa sakit yang terkait dengan beberapa gangguan,
misalnya, kanker dan nyeri punggung kronis (terutama setelah operasi), sering
tercampur.2
C. Mekanisme nyeri
1. Transduksi: Stimulus naksious yang kemudian ditransformasikan menjadi
impuls saraf, berupa suatu aktifitas listrik pada ujung - ujung saraf
sensorik.1

2. Transmisi: Perambatan dari impuls tersebut pada sistem saraf sensorik. 1


a. Saraf sensoris perifer yang melanjutkan rangsang ke terminal di medulla
spinalis disebut sebagai neuron aferen primer.
b. Jaringan saraf yang naik dari medulla spinalis ke batang otak dan
thalamus disebut neuron penerima kedua.
c. Neuron yang menghubungkan dari thalamus ke korteks serebri disebut
neuron penerima ketiga.
3. Modulasi: Proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan impuls
nyeri yang masuk di kornu posterior medula spinalis. Modulasi nyeri dapat
timbul di nosiseptor perifer, medulla spinalis atau supraspinalis. 1
4. Persepsi: Adanya interaksi antara transduksi, transmisi, dan modulasi yang
kemudian membentuk suatu pengalaman emosional yang subjektif. 1

5. Penilaian Nyeri
Ada beberapa cara untuk membantu mengetahui akibat nyeri menggunakan
skala assesment nyeri unidimensional (tunggal) atau multidimensi.3

1. Skala Analog Visual (SAV, VAS = Visual Analog Scale) adalah cara yang
paling banyak digunakan untuk menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan
secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami seorang pasien.
Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 m, dengan atau tanda pada
tiap sentimeter. Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau
pernyataan deskriptif.

Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkan ujung yang lain
mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala dapat dibuat vertikal
atau horizontal. VAS juga dapat diadaptasi menjadi skala hilangnya/reda rasa
nyeri. Digunakan pada pasien anak >8 tahun dan dewasa. Manfaat utama VAS
adalah penggunaanya sangat mudah dan sederhana. Namun, untuk periode
pasca bedah, VAS tidak banyak bermanfaat karena VAS memerlukan
koordinasi visual dan motorik serta kemampuan konsentrasi.

2. Verbal Rating Scale (VRS), skala ini menggunakan angka 0 sampai 10 untuk
menggambarkan tingkat nyeri. Dua ujung juga digunakan pada skala ini, sama
seperti pada VAS atau skala reda nyeri. Skala numerik verbal ini lebih
bermanfaat pada periode pascabedah, karena secara alami verbal/kata-kata tidak
terlalu mengandalkan koordinasi visual dan motorik. Skala verbal
menggunakan kata-kata dan bukan garis atau angka untuk menggambarkan
tingkat nyeri. Skala yang digunakan dapat berupa tidak ada nyeri, sedang,
parah. Hilang/redanya nyeri dapat dinyatakan sebagai sama sekali tidak hilang,
sedikit berkurang, cukup berkurang, baik/nyeri hilang sama sekali. Karena
skala ini membatasi pilihan kata pasien, skala ini tidak dapat membedakan
berbagai tipe nyeri.

3. Numerical Rating Scale dianggap sederhana dan mudah dimengerti, sensitif


terhadap dosis, jenis kelamin, dan perbedaan etnis. Lebih baik daripada VAS
terutama untuk menilai nyeri akut. Namun, kekurangannya adalah keterbatasan
pilihan kata untuk menggambarkan rasa nyeri, tidak memungkinkan untuk
membedakan tingkat nyeri dengan lebih teliti dan dianggap terdapat jarak yang
sama antar kata yang menggambarkan efek analgesik.

4. Wong Baker Pain Rating Scale

Digunakan pada pasien dewasa dan anak > 3 tahun yang tidak dapat
menggambarkan nyerinya dengan angka.

5. McGill Pain Questionnaire (MPQ)


6. Tatalaksana Nyeri

Gambar 1. Diagram based on the the 3-step WHO Analgesic Ladder


1. Nyeri ringan (1 – 3/ 10):4
Non – narkotik – “around the clock”
a) Acetaminophen 650 mg per 4 jam, atau
b) Aspirin 650 mg per 4 jam, atau
c) Ibuprofen 400 mg per 4 jam, atau
d) NSAIDS lainnya
e) ± adjuvants

* Terapi adjuvant - obat yang dapat membantu meningkatkan efek analgesik


non-opioid dan opioid

 NSAIDs (non‐steroidal anti‐inflammatories) dapat digunakan sebagai


co‐analgesics dan berguna sebagai penghilang reaksi inflamasi
 Tricyclic anti‐depressants, Nortriptyline, Desipramine, dan
Amitriptyline merupakan pilihan, walaupun Amitriptyline dapat
menyebabkan kebingungan pada orang tua. Penelitian telah
mengkonfirmasi keefektifan dari penatalaksanaan terhadap neuropati
diabetikum dan nyeri neuropatik dari sumber lain.
 Anticonvulsant medications, Gabapentin, Pregabalin, dan
Carbamazepine dapat meringankan nyeri seperti tertembak, seperti
tersetrum atau disfungsi nerfus perifer.

2. Nyeri sedang (4 – 6/ 10): 4


Tambahkan opioids untuk nyeri sedang “around the clock”
a. Acetaminophen 325 mg + codein 30 mg per 4 jam
b. Acetaminophen 325 mg + codein 60 mg per 4 jam
c. Acetaminophen 325 mg/ 500 mg + oxycodone 5 mg per 4 jam
d. ± adjuvants
Catatan: pertimbangkan opioids yang lebih kuat jika nyeri tak terkontrol
dengan kombinasi dosis total per harinya 400 mg/ hari dari codein dengan
atau 80 mg/ hari dari oxycodone.

3. Nyeri berat (7 – 10/ 10): 4


Dimulai dengan opioid oral yang kuat – “around the clock”
a. Morphine 5 – 10 mg per 4 jam titrasi rasa sakit
b. Dilaudid 1 – 4 mg per 4 jam titrasi rasa sakit
c. Fentanyl 25 µg/ jam + morphine sulphate 5 mg per 2 jam untuk
menghilngkan rasa sakit
d. ± adjuvants

Gambar 2. Who three step ladder of WHO.

Non – Opioid:5
1. Parasetamol (asetaminofen):
a. Terapi awal untuk nyeri ringan sampai sedang dan sebagai adjunct
pada kasus nyeri yang lebih berat. penggunaannya harus dibatasi
maksimal 4g/24 jam (setara dengan 8 tablet @500mg)
b. Memiliki khasiat analgetik dan antipiretik yang baik
c. Menghambat pembentukan prostaglandin secara sentral, namun tidak
di jaringan, sehingga tidak berefek sebagai anti-inflamasi
d. Tidak memiliki efek antiplatelet
e. Efek samping ringan dan jarang, relatif tidak menyebabkan gangguan
lambung
f. Pada dosis besar (6-12 g) dapat menyebabkan kerusakan hati
g. Pada dosis terapinya, merupakan pilihan yang aman bagi banyak
kondisi kesehatan, temasuk untuk anak-anak dan ibu hamil/menyusui.

2. Asetosal (asam asetilsalisilat, aspirin):


a. Memiliki aktivitas analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi
b. Memiliki efek antiplatelet sehingga dapat mencegah pembekuan darah.
Sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan gangguan pembekuan
darah (misalnya hemofili), sirosis hati, trombositopenia, atau pada
pasca operasi.
c. Bersifat asam, dapat menyebabkan iritasi mukosa lambung.
d. Sebaiknya jangan diminum ketika lambung kosong. Tidak
direkomendasikan bagi pasien yang memiliki riwayat gangguan
lambung.
e. Dapat menyebabkan Reye’s syndrome (suatu gangguan serius pada
sistem hepatik dan susunan saraf pusat), sebaiknya tidak digunakan
pada anak-anak di bawah 12 tahun.
f. 20% pasien asma memiliki sensitivitas/alergi terhadap aspirin.
g. Sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan riwayat alergi (rinitis,
urtikaria, asma, anafilaksis, dll).
h. Aspirin sebaiknya tidak digunakan pada wanita hamil karena dapat
memperpanjang waktu kelahiran dan meningkatkan resiko pendarahan
pasca kelahiran (post-partum)

3. NSAID
a. Efektif dalam menangani nyeri terutama yang melibatkan inflamasi.
b. Efek samping: Diare, perdarahan gastrointestinal, Dispepsia, peptic
ulcer, Disfungsi dan gagal ginjal, Penghambatan agregasi platelet dan
peningkatan waktu pendarahan, Gangguan fungsi hati, jaundice,
Menghambat perbaikan tulang rawan pada osteoartirtis.

Tabel 1. pilihan oral analgesic nonopioid

4. Opioid5
1. Morfin
a. Paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid dan kerja
analgesinya cukup panjang (long acting). Terhadap sistem saraf pusat
mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi
yaitu analgesi, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar.
Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual – muntah,
hiperaktif refleks spinal, konvulsi dan sekresi hormone antidiuretik
(ADH).
b. Tolerasi morfin ditandai oleh peningkatan dosis pada penggunaan obat
secara berulang untuk mendapatkan efek klinis yang sama seperti
sebelumnya. Toleransi ini dapat kembali normal setelah pasien puasa
morfin 1 – 2 minggu.
c. Adiksi morfin adalah ketergantungan fisik & psikis yang ditandai oleh
sindroma menarik diri (withdrawal syndrome) yang terdiri dari
ketakutan, kegelisahan, lakrimasi, rinororea, berkeringat, mual –
muntah, diare, menguap terus – menerus, bulu roma berdiri, midriasis,
hipertensi, takikardi, kejang perut dan nyeri otot.
d. Efek samping antara lain, mual – muntah, pruritus namun dapat segera
dihilangkan dengan nalokson, tanpa menghilangkan efek
analgesinya.Jarang dijumpai alergi morfin.
e. Dapat diberikan secara subkutan, intramuscular, intravena, epidural at
intratekal. Absorbs dosis paruh ± 30 menit setelah suntikan subkutan
dan 8 menit setelah intramuscular.
f. Penggunaan dalam anastesi & analgesi, untuk digunakan sebagai obat
utama anastesi harus ditambah benzodiazepine atau fenotiasin atau
analgesi inhalasi volatile dosis rendah. Dosis anjuran untuk
menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang ialaha 0,1 – 0,2 mg/
kgBB. Subkutan, intramuscular dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk
nyeri hebat dewasa 1 – 2 mg intravena & dapat diulang sesuai yang
diperlukan. Untuk mengurangi nyeri dewasa pasca bedah atau nyeri
persalinan digunakan dosis 2 – 4 mg epidural atau 0,05 – 0,2 mg
intratekal dan dapat diulang antara 6 – 12 jam.

2. Fentanil
a. Merupakan zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan
morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang
mendekati sama, namun fentinil dengan kekuatan 100x morfin. Lebih
larut dalam lemak dibandingkan petidin & menembus sawar jaringan
dengan mudah.
b. Efek depresi napasnya lebih lama dibandingkan efek analgesinya.
Dosis 1 – 3 µg/kgBB analgesinya kira – kira hanya berlangsung 30
menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia pembedahan &
tidak untuk pasca bedah.
c. Dosis besar 50 – 150 µg/kgBB digunakan untuk induksi anestesi &
pemeliharaan anestessi dengan kombinasi bensodiasepin & anestetik
inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Efek tak disukai ialah
kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan
pelumpuh otot.

Tabel 2. Pilihan oral opioid

5. Anti – Depresan
1. Mekanisme obat antidepresi adalah menghambat “reuptake aminergic
neurotransmitter” dan menghambat penghancuran oleh ensim
“monoamine oxidase”, sehingga terjadi peningkatan jumlah
“aminergic neurotransmitter” pada celah sinaps neuron tersebut yang
dapat meningkatkan aktivitas reseptor serotonin.
2. Efek samping obat antidepresi dapat berupa: sedasi (rasa mengantuk,
kewaspadaan berkurang, konerja psikomtor menurun, kemampuan
kognitif menurun, dll), efek antikolinergik (mulut kering, retensi urin,
penglihatan kabur, konstipasi, sinus takikardi, dll), efek anti adrenergic
alfa (perubahan EKG, hipotensi), efek neurotoksis (tremor halus,
gelisah, agitasi, insomnia)
3. Amytriptiline mempunyai efek besar antikolinergik dan sedasi, yang
sediaan 25 mg, dosis anjuran 75 – 150 mg.

Table 3. pilihan obat antidepresan

6. Anti – Konvulsan
1. Mekanisme kerja obat antikompulsif adalah sebagai “serotonin
reuptake blockers” (menghambat “reuptake” neurotransmitter
serotonin), sehingga hipersensitivitas tersebut berkurang.
2. Efek sampingnya sama seperti obat antidepresan trisiklik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi
Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: 2018. Hal 74-80.
2. Vroman BM, Rosenquist RW. Chronic pain management. Dalam: butterworth
JF, Mackey DC, Wasnick JD. Clinical anesthesiology. 6th ed. New York:
McGraw-Hill; 2018. Hal 1771-885
3. Yudiyanta, Khoirunnisa N, Novitasari RW. Assessment Nyeri. Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta; 2015. p. 214-34
4. WHO Pain Ladder with Pain Management Guidelines. South West Regional
Wound Care Toolkit; 2011.
5. World Health Organization. WHO’s Pain Relief Ladder. 2009.
www.who.int/cancer/palliative/painladder/en/

Anda mungkin juga menyukai