Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN SENSORI PERSEPSI : HALUSINASI

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


A. Pengertian
Halusinasi adalah terjadinya penglihatan, suara, sentuhan, ba
maupun rasa tanpa stimulus eksternal terhadap organ-organ indra.
Fontaine, (2009)
Menurut Cook dan Fontaine (1987) perubahan persepsi sensori:
halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien
mengalami perubahan persepsi sensori, seperti merasakan sensasi palsu
berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan.
Klien merasakan stimulasi yang sebetulnya tidak ada. Selain itu,
perubahan persepsi sensori: halusinasi bisa juga diartikan sebagai
persepsi sensori tentang suatu objek, gambaran, dan pikiran yang sering
terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar meliputi semua sistem
penginderaan (pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, atau
pengecapan).
Individu menginterpretasikan stresor yang tidak ada stimulus dari
lingkungan (Depkes RI, 2000).
Suatu bentuk persepsi atau penggalan indera dimana tidak terdapat
stimulasi terhadap respektor-respektornya, halusinasi merupakan
persepsi sendiri yang salah, halusinasi bermacam-macam meliputi
pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan
(Towsend, 2009).
Kesalahan sensori persepsi dari satu atau lebih indra pendengaran,
penglihatan, taktil, atau penciuman yang ada stimulus eksterna (Antai
Otong, 1995).
Halusinasi merupakan perubahan dalam jumlah dan pola stimulus
yang diterima disertai penurunan berlebih atau distori atau kerusakan
respon beberapa stimulus, NANDA-I(2009.)
B. Teori yang Menjelaskan Halusinasi
1. Teori Biokimia
Terjadi sebagai respon metabolisme terhadap stres yang
mengakibatkan terlepasnya zat halusinogenik neurotik (buffofenon
dan dimethytransaferase).
2. Teori Psikoanalisis
Merupakan respon pertahanan ego untuk melawan rangsangan dari
luar yang mengancam dan ditekan untuk muncul dalam alam sadar.

C. Jenis – jenis Halusinasi


Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif
Halusinasi Dengar  Bicara atau  Mendengar suara-
tertawa sendiri. suara atau
(Klien mendengar
 Marah-marah kegaduhan.
suara/bunyi yang tidak
tanpa sebab.  Mendengar suara
ada hubungannya
 Mendekatkan yang mengajak
dengan stimulus yang
telinga ke arah bercakap-cakap.
nyata/lingkungan).
tertentu.  Mendengar suara
 Menutup telinga. menyuruh
melakukan sesuatu
yang berbahaya.

Halusinasi Penglihatan  Menunjuk-nunjuk Melihat bayangan,


ke arah tertentu. sinar, bentuk
(Klien melihat gambaran
 Ketakutan pada geometris, kartun,
yang jelas/samar
situasi yang tidak melihat hantu, atau
terhadap adanya monster.
jelas.
stimulus yang nyata dari
lingkungan dan orang
lain tidak melihatnya).
Halusinasi Penciuman  Mengendus- Membauai bau-bauan
endus seperti seperti bau darah,
sedang membaui urin, feses, dan
(Klien mencium bau bau-bauan terkadang bau-bau
yang muncul dari sumber tertentu. tersebut
tertentu tanpa stimulus  Menutup hidung. menyenangkan bagi
yang nyata). klien.

Halusinasi  Sering meludah. Merasakan rasa


Pengecapan  Muntah. seperti darah, urin,
atau feses.
(Klien merasakan
sesuatu yang tidak
nyata, biasanya
merasakan rasa yang
tidak enak).
Halusinasi Perabaan  Menggaruk-  Mengatakan ada
garuk permukaan serangga di
(Klien merasakan
kulit. permukaan kulit.
sesuatu pada kulitnya
 Merasa seperti
tanpa ada stimulus yang
tersengat listrik.
nyata)
Halusinasi Kinestetik  Memegang Mengatakan
kakinya yang badannya melayang
(Klien merasa badannya di udara.
dianggapnya
bergerak dalam suatu bergerak sendiri.
ruangan/anggota
badannya bergerak)
Halusinasi Viseral  Memegang Mengatakan perutnya
badannya yang menjadi mengecil
(Perasaan tertentu setelah minum
dianggap
timbul dalam tubuhnya)
berubah bentuk softdrink.
dan tidak normal
seperti biasanya.

Sumber : Stuart dan Sundeen (1998)


D. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang mempengaruhi jenis
dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk
mengatasi stress. Diperoleh dari klien atau keluarga. Faktor predisposisi
meliputi:
1. Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan
interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stress dan
kecemasan.
2. Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa
disingkarkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian di lingkungan
yang membesarkannya.
3. Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika
seseorang mengalami stres yang berlebihan, maka di dalam tubuhnya
akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik
neurokimia seperti buffofenon dan dimethytransferase (DMP).
4. Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran
ganda bertentangan yang sering diterima oleh seseorang akan
mengakibatkan stres dan kecemasan yang tinggi dan berakhir pada
gangguan orientasi realitas.
5. Faktor Genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi hasil
studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan
yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

E. Faktor Presipitasi
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan,
ancaman/tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya
rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam
kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan
juga suasana sepi/isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya
halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan
kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.

F. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut, tidak
aman, gelisah dan bingung, berperilaku yang merusak diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, serta tidak dapat
membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Rawlins dan Heacock
(1993) mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas
hakikat keberadaan individu sebagai makhluk yang dibangun atas unsur-
unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari 5
dimensi yaitu:
1. Dimensi fisik
Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi ransangan
eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat
ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti: kelelahan yang luar
biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi
alkohol dan kesulitan tidur dalam waktu lama.
2. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan karena masalah yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi terjadi. Isi dari halusinasi
dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan, sehingga klien tidak
sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga berbuat sesuatu
terhadap ketakutannya.
3. Dimensi intelektual
Individu yang mengalami halusinasi akan memperlihatkan adanya
penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha
dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, tetapi pada saat
tertentu menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh
perhatian klien dan tidak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
4. Dimensi sosial
Dimensi sosial menunjukkan individu cenderung untuk mandiri.
Individu asik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat
untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri, dan
harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi
dijadikan sistem kontrol, sehingga jika perintah halusinasi berupa
ancaman, maka hal tersebut dapat mengancam dirinya atau orang
lain. Dengan demikian intervensi keperawatan pada klien yang
mengalami halusianasi adalah dengan mengupayakan suatu proses
interaksi yang menimbulkan penngalaman interpersonal yang
memuaskan, serta mengusahakan agar klien tidak menyendiri.
5. Dimensi spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi
dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Klien
yang mengalami halusiansi cenderung menyendiri dan cenderung
tidak sadar dengan keberadaanya serta halusinasi menjadi sistem
kontrol dalam individu tersebut.

G. Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang.
Individu dapat mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan
sumber koping dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal
untuk menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya,
dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang
menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.

H. Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk
upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi diri.

I. Tahapan Halusinasi
1. Tahap I ( non-psikotik )
Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada
klien, tingkat orientasi sedang. Secara umum pada tahap ini halusinasi
merupakan hal yang menyenangkan bagi klien. Karakteristik :
a. Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan
b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan
kecemasan
c. Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam control
kesadaran
Perilaku yang muncul :
a. Tersenyum atau tertawa sendiri
b. Menggerakkan bibir tanpa suara
c. Pergerakan mata yang cepat
d. Respon verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi
2. Tahap II ( non-psikotik )
Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami
tingkat kecemasan yang berat. Secara umum, halusinasi yang ada
dapat menyebabkan antipasti.
Karakteristik :
a. Pengalaman sensori menakutkan atau merasakan dilecehkan
oleh pengalaman tersebut
b. Mulai merasa kehilangan kontrol
c. Menarik diri dari orang lain
Perilaku yang muncul :
a. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan
darah.
b. Perhatian terhadap lingkungan menurun
c. Konsentrasi terhadap pengalaman sensori menurun
d. Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinasi
dan realita
3. Tahap III ( psikotik )
Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat
kecemasan berat, dan halusinasi tidak dapat ditolak lagi. Karekteristik
:
a. Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya
b. Isi halusinasi menjadi atraktif
c. Klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori berakhir
Perilaku yang muncul :
a. Klien menuruti perintah halusinasi
b. Sulit berhubungan dengan orang lain
c. Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat
d. Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata
e. Klien tampak tremor dan berkeringat
4. Tahap IV ( psikotik )
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat
panic
Perilaku yang muncul :
a. Resiko tinggi menciderai
b. Agitasi atau kataton
c. Tidak mampu merespon rangsangan yang ada
Timbulnya perubahan persepsi sensori halusinasi biasanya diawali
dengan seseorang yang menarik diri dari lingkungan karena orang
tersebut menilai dirinya rendah. Bila klien mengalami halusinasi dengar
dan lihat atau salah satunya yang menyuruh pada kejelekan maka akan
berisiko terhadap perilaku

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN


Masalah Keperawatan
a. Perubahan sensori perceptual, halusinasi
Data Fokus Pengkajian
a. Data Subjektif
1) klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan dengan
stimulus nyata
2) klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata
3) klien mengatakan mencuium bau tanpa stimulus
4) klien merasa ada sesuatu pada kulitnya
5) klien takut pada suara/bunyi/gambar yang dilihat dan didengar
6) klien ingin memukul/melempar barang – barang
b. Data Objektif
1) klien berbicara dan tertawa sendiri
2) klien bersikap seperti mendengar / melihat sesuatu
3) klien berhenti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan
sesuatu
4) diorientasi
3. Diagnosa Keperawatan
Perubahan sensori persepsi : halusinasi
Diagnosa : Gangguan Sensori Persepsi Halusinasi
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi

Pasien mampu Setelah....x SP 1


: pertemuan, pasien
dapat menyebutkan : - Bantu pasien mengenal halusinasi
- mengenali (isi, waktu terjadinya frekuensi, situasi
halusinasi yang - isi, waktum pencetus, perasaan saat terjadi
dialaminya frekuensi, situasi, halusinasi)
pencetus, perasaan
- mengontrol - latih mengontrol halusinasi dengan
halusinasinya - mampu cara menghardik
memperagakan cara
- mengikuti dalam mengontrol Tahapan tindakannya meliputi :
program halusinasi
pengobatan - jelaskan cara menghardik halusinasi

- peragakan cara menghardik

- minta pasien memperagakan ulang

- pantau penerapan cara ini, beri


penguatan perilaku pasien

- masukan dalam jadwal kegiatan


pasien

Setelah....x SP 2
pertemuan, pasien
mampu : - Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1)

- menyebutkan - Latih berbicara / bercakap dengan


kegiatan yang sudah orang lain saat halusinasi
dilakukan - Masukkan dalam jadwal kegiatan
pasien
- memperagakan cara
bercakap – cakap
dengan orang lain

Setelah.....x SP 3
pertemuan pasien
mampu : - Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1 dan
2)
- menyebutkan
kegiatan yang sudah - Latih kegiatan agar halusinasi tidak
dilakukan dan muncul

- membuat jadwal Tahapannya :


kegiatan sehari – hari - Jelaskan pentingnya aktivitas yang
dan mampu teratur untuk mengatasi halusinasi
mempergerakannya
- Diskusikan aktivitas yang biasa
dilakukan oleh pasien

- Latih pasien melakukan aktivitas

- Susun jadwal sehari – hari sesuai


dengan aktivitas yang telah dilatih (dari
bangun pagi sampai tidur malam)

Setelah.....x SP 4
pertemuan pasien
mampu : - Tanyakan program pengobatan

- menyebutkan - Jelaskan pentingnya penggunaan obat


kegiatan yang sudah pada gangguan jiwa
dilakukan - Jelaskan akibat bila tidak digunakan
- menyebutkan sesuai program
manfaat dari program - Jelaskan bila putus obat
pengobatan
- Jelaskan cara mendapatkan obat /
berobat

- Jelaskan pengobatan (5B)


- Latih pasien minum obat

- Masukkan dalam jadwal harian


pasien.

Keluarga Setelah....x SP 1
mampu : pertemuan keluarga
Merawat mampu - identifikasi masalah keluarga dalam
pasien di menjelaskan tentang merawat pasien
rumah dan halusinasi - jelaskan tentang halusinasi
menjadi
sistem - pengertian halusinasi
pendukung
- jenis halusinasi yang dialami pasien
yang efektif
untuk pasien - tanda dan gejala halusinasi

- cara merawat pasien halusinasi (cara


berkomunikasi, pemberian obat dan
pemberian aktivitas kepada pasien)

- sumber – sumber pelayanan kesehatang


yang bisa dijangkau

- bermain peran cara merawat

- rencana tidak lanjut keluarga, jadwal


keluarga untuk merawat pasien

Setelah....x SP 2
pertemuan keluarga
mampu : - evaluasi kemampuan keluarga (SP 1)

- menyelesaikan - latih keluarga merawat pasien


kegiatan yang sudah - RTL keluarga / jadwal keluarga untuk
dilakukan merawat pasien
- memperagakan
cara merawat pasien
Setelah....x SP 3
pertemuan keluarga
mampu : - evaluasi kemampuan keluarga (SP 2)

- menyebutkan - Latih keluarga merawat pasien


kegiatan yang sudah - RTL keluarga / jadwal keluarga untuk
dilakukan merawat pasien
- memperagakan
cara merawat pasien
serta mampu
membuat RTL

Setelah....x SP 4
pertemuan keluarga
mampu : - evaluasi kemampuan keluarga

- menyebutkan - evaluasi kemampuan pasien


kegiatan yang sudah - RTL keluarga
dilakukan
III. DAFTAR PUSTAKA
 Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor
 Fitria, Nita. 2009. Aplikasi Dasar dan Aplikasi penulisan Laporan
Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP
dan SP). Jakarta: Salemba Medika.
 Keliat, B,A. 1998. Askep Pada Kliean Gangguan Orientasi Realitas.
Jakarta.
 Maramis, F, W. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga
University Press.
 Nanda (2009) Nursing Diagnoses : Definision & Classification 2009-2011.
NANDA International
 Stuart & Sundeen. 1998. Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai