Anda di halaman 1dari 50

PENDAPAT DAN UJI KEPATUTAN HUKUM

(LEGAL OPINION AND REVIEW OR TOETSING OF LEGAL CONVENIENCE)

Legal opinion dalam conteks ini lebih ditekankan pada pertimbangan hakim, ratio dece dendi
disamping legal opinion dari para ahli hukum atau legal experts. Secara legal praxis,
pertimbangan hakim adalah mustika keadilan. Putusan pengadilan itu dapat dikatakan adil
atau berkeadilan substantif bergantung pada pertimbangan hakim yang mengadili.

Contoh Pertimbangan Hakim Cepi Iskandar Yang Meloloskan Senov

1
2
3
4

MANGKIR DARI PANGGIILAN SIIDANG

No Tanggal Status Alasan


1 11 Tersangka Menjalani perwatan di RS Siloan karena gula darah
September naik
5

2017
2 18 Tersangka Menjalanai operasi pemasangan ring jantung di RS
September Preimer Jatinegara
2017
3 30 Oktober Saksi Kunjungan ke Daerah Pemilihan (Dapil) selama masa
2017 reses
4 6 Saksi Meminta KPK melampirkan izin tertulis dari Presiden
Nopemberf
2017
5 13 Saksi Meminta KPK melampirkan surat izin Presiden
Nopember sebelum melakukan pemanggilan
2017
6 15 Tersangka Tidak jelas
Nopember
2017
6

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 UUD 1945 Pasca Amandemen Jo Pasal 5 ayat (1) UU No 48
Tahun 2009, Jo Pasal 184 huruf (c) KUHAP, hakim mempunyai kebebasan, kemerdekaan,
independensi berpendapat dalam memeriksa, mengadilan suatu perkara.

Masyarakat umum juga mempunyai kebebasan, kemerdekaan untuk menyampaikan


pendapatnya pendapatnya di tempat umum atau di media sosial baik lisan maupun tertulis
(Vide Pasal 28 I UUD 1945 Pasca Amandemen).

Di dalam Kampus juga mempunyai kebebasan mimbar untuk berpendapat bdrdasarkan


pengembangan ilmu pengetahuan termasuk berpendapat dalam bidang hukum dan politik.

Pengertian kata ‘layak atau patut’ dapat diukur dari tingkat profesionlitas (professionality)
dan tingkah laku (attitude behavior or behavioural attitude) seseorang.

Profesionalitas seseorang dapat dilihat dari tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang.
Secara socio-legal,pendidikan tergolong faktor internal. Faktor internal adalah faktor
kemampuan yang berada dalam diri manusia atau dalam diri anak itu sendiri:

Misalnya :

a.Tingkat pendidikan yang dimiliki;

b.Perangi, perwatakan;

c. fisik orang atau fisik anak itu sendiri; dan

d. moral

sedangkan tingkah laku seseorang dapat dilihat dari cara bersikap, bertingkah laku, cara
berbusana, bertuturkata, beropini, bergaul, bersahabat, berlalulintas dan sebagainya.

Pendidikan profesi dapat ditempuh melalui pendidikan formal dan informal.

Tingkah laku seseorang dapat dilihat dari segi moral, etika, kesopanan, kepribadian
(personality) dan aqidah akhlak yang dimiliki seseorang. Aqidah Rosululloh, Muhammad
Saw berada dalam Al-Qur’an.

Contoh Perilaku yang Tidak Layak


7
8
9

SISWA BERPACARAN DI SUATU TEMPAT DI SURABAYA

SISWI SMA NEGERI DI SURABAYA TAHUN 2011

ETIKA BERTLALULINTAS

345 KENDARAAN BERMOTOR YANG


BERKENALPOT BRONG YANG DISITA POLISI
PADA SAAT PENYAMBUTAN FESTA TAHUN BARU 2014
10
11
12

Remaja Diadili Karena Ngebut di Jalan Raya

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur memberikan vonnis kepada Rsyid
Amrullah 5 bulan pidana kurungan dengan masa percobaan 6 bulan dan denda Rp
12 juta. Vonnis itu dijatuhkan karena Rasyid menabrak mobil Daihatsu Luxio dengan
mobil BMW X5 di Tol Jagorawi Km 350 Bogor ketika habis merayakan tahun baru
2013. Akibat tabrakan itu dua orang meninggal dunia yaitu Harun
13

ETIKA BERTINGKAH LAKU

Remaja Yang Terlibat Perkelaian (Tawuran) di Tempat Umum

Dalam berhukum, nilai tertinggi adalah pemahaman asas, teori, norma, undang-undang dan
peraturan perundang-undangan.

Asas Kepatutan tetah ditegaskan dalam Pasal 1339 KUH Perdata bahwa “Suatu perjanjian
tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi
juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang”

Artinya persetujuan itu tidak hanya didasarkan pada isi perjanjian saja, tetapi juga harus
didasarkan pada sifat perjanjian, asas kebiasaan dan ketentuan undang-undang yang berlaku

Pasal 1338 KUH Perdata juga menegaskan : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanian tidak
14

dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang
oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik”.

Perjanjian dalam Pasal 1338 KUH Perdata dikatakan sebagai Facta Sun Servanda Artinya
perjanjian itu sebagai fakta hukum dan undang-undang yang mengikat bagi mereka yang
pembuatnya.

Perjanjian itu dikatakan layak sah dan mengikat apabila memenuhi unsur-unsur:

1.sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2.kecakapan untuk membuat suatu perikatan (dilakukan orang dewasa, sehat rokhani dan
jasmani)

3.suatu hal tertentu (ada obyek yang jelas)

4.suatu sebab yang halal (lawful act dan saling menerima)

Ketentuan ini telah diatur secara tegas dalam Pasal 1320 KUH Perdata

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

1.sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2.kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

3.suatu hal tertentu

4.suatu sebab yang halal

Selain asas kepatutan, juga perlu dipahami asas-asas hukum yang lain seperti:

-Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam
setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Dalam hukum pidana asas ini
juga disebut sebagai asas legalitas yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1. Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang;

2. Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi;

3. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan;

4.Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat lex certa);

5. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan undang-undang;

6. Tidak pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang;


15

7. Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang


(D.Schaffmeister, N Keijzer, Editor Penerjemahan . J.ESahetapy, Hukum Pidana, Liberty,
Yogyakarta, p 7)

Hukum pidana mengacu pada kebenaran hukum materiil. Asas legalitas tidaklah cukup
untuk membuktikan apakah benar seseorang itu telah melakukan tindak pidana, perlu
dibuktikan dengan unsur niat. Mens rea adalah niat untuk melakukan tindak pidana. Untuk
membuktikan unsur niat harus didahului dengan adanya actus rius (peristiwa pidana)
misalnya ditemukan mayat, perempuan hamil tanpa suami, luka karena penganiayaan,
penipuan, penggelapan dan sebagainya. Namun tidak semua tindak pidana harus dibuktikan
dengan unsur niat. Tindak pidana korporasi tidak perlu dibuktikan dengan unsur niat karena
dalam tindak pidana ini terdapat asas vicarious liability. Asas vicarious liability adalah asas
kelalaian atau kekurang hati-hatian pejabat atau pimpinan dalam melaksanakan tugasnya
sehingga dapat menimbulkan kerugian di pihak lain atau kerugian negara. Kelalaian,
kekurang hati-hatian pejabat atau pimpinan dalam melaksanakan tugas juga termasuk
kesalahan dalam hukum pidana. Kesalahan dalam tindak pidana koporasi adalah alat bukti
untuk menjatuhkan sanksi pidana. Asas ini dikenal dengan Geen straft zonder schuld, artinya
tiada pidana tanpa adanya kesalahan

Sebelum membuktikan kebenaran materiil, harus terlebih dahulu dibuktikan kebenaran


hukum formil. Kebenaran hukum formil harus memiliki subyek hukum yang jelas. Artinya
perbuatan pidana itu harus dilakukan oleh seseorang, orang banyak, atau badan hukum. Sifat
perbuatan hukum pidana juga harus kongkrit. Orang atau badan hukum yang didakwa
melakukan tindak pidana harus memenui unsur-unsur pasal yang didakwakan. Setelah unsur
subyek dan unsur-unsur pasal terpenuhi, sanksi pidananya harus diberikan secara bijak dan
tegas.

-Asas tertib kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan


kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif,akomudatif dan selektif

-Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
tentang penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Asas tertib kepentingan umum, asas keterbukaan, asas akuntabilitas, asas lex superiori
derogat lege inferiori, dan asas lex posteriori derogat lege priori adalah bagian dari asas
16

hukum adminstrasi yang lazim diterapkan dalam birokrasi pemerintahan. Pilar birokrasi
pemerintahan dapat dilihat melalui 4 (empat) unsur, yaitu:

1. Pelayanan

2. Transparansi

3. Ketertiban dan keamanan

4. Kesejahteraan

-Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan nilai keseimbangan


antara hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pemerintahan.

-Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlihan yang


berdasarkan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

-Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir kegiatan penyelenggaraan pemerintahan harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Asas akuntabilitas berasal dari kata ‘accountability’.

Bandingkan istilah di bawah ini:

Accountability = pertanggungjawaban publik

Risponsibility = pertanggunjawaban pribadi

Liability = pertanggung jawaban hukum

Strict liability = tanggung gugat

Vicarious liability= pertanggungjawaban pimpinan terhadap bawahannya (Vide


Pasal 1367 KUH Perdata)

Suit ownership citizen= tanggung gugat negara

Credibality =pertanggungjawaban moral

Trusty = kepercayaan pribadi

EMPAT PILAR BIROKRASI

1.Pelayanan
17

2.Transparansi

3.Ketertiban/Keamanan

4.Kesejahteraan

-Asas efektivitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan yang
dilaksanakan harus berhasil mencapai tujuan yang diinginkan masyarakat

-Asas efisiensi adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan yang
dilaksanakan harus tepat sesuai dengan rencana dan tujuan.

-Asas kearifan lokal adalah asas yang menegaskan bahwa di dalam penetapan kebijakan
harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat
18

-Asas keberagaman adalah asas penyelenggaraan pemerintanahan yang tidak


boleh mendiskriminasikan kepentingan kelompok masyarakat tertentu
-Asas partisipatif adalah asas penyelenggaraan pemerintahan yang mengikutsertakan
kelembagaan dan unsur masyarakat

Lex superiori derogat lege inferiori=undang-undang yang lebih tinggi, mengalahkan


undang-undang yang berada di bawahnya.

Lex posteriori derogat lege preori= aturan yang berlaku belakangan, mengalakan aturan
yang berlaku sebelumnya

In kracht van gewijs de =memperoleh kekuatan hukum tetap

Onstlaag van recht vervolging=bebas dari segala tuntutan hukum

Neit Ontvan kelijk vor klaard=Gugatan tidak dapat diterima karena occur liber

Summon ius summa injuria = hukum yang mutlak adalah ketidakadilan terbesar

KEPATUTAN HUKUM DAN UNDANG-UNDANG

a.Kepatutan Hukum

Hukum adalah seperangkat norma (norma agama, moral, kesopanan, kesusilaan, adat,
dan norma hukum) yang hidup dalam masyarakat (the living law in society) bersifat memaksa
dan mengatur, dikeluarkan oleh badan tertentu, diberikan sanksi bagi yang melanggarnya).
Ilmu hukum adalah ilmu humaniora. Hukum harus hidup secara harmonis. Hukum nasional,
hukum internasional dan hukum modern harus menjaga kearifan lokal. Hukum juga
19

harus bisa menjaga keseimbangan kepentingan, yautu kepentingan individu, kepentingan


masyarakat dan kepentingan negara. Keseimbangan kepentingan yang harus dijaga adalah :

Keseimbangan Kepentingan dalam Hukum Pidana

1.Keseimbangan kepentingan antara kepastian hukum dengan keadilan;

2.Keseimbangan kepentingan antara subyek dan obyek;

3.Keseimbangan kepentingan antara kepentingan umum dengan kepentingan individu

4.Keseimbangan kepentingan antara kepentingan lahiriyah dan batiniah

5.Keseimbangan kepentingan nasional dan kepentingan global

Paradigma Hukum

Berparadigma hukum tidak boleh bersifat miopik

Paradigma berhukum di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat), yaitu:

1.Legal positivism

2.Legal post positivism

3.Legal criticalvism or legal constructivim

4.Legal pluralism.

Konsep Hukum.

Konsep hukum dapat dikelompokkan menjadi 5 yaitu:

1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku secara
universal misalnya Kitab Suci dalam agama dan edologi negara;
2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional;
3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim secara inconcreto, dan tersistematisasi
sebagai judge makes law;
4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variable sosial
yang emperik;
5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak
dalam interaksi antar mereka.1
Setiono mengkongkretkan konsept hukum tersebut dikelompokkan menjadi lima, yaitu:

1. Hukum yang bersifat universal;


2. Hukum positif;
1
Setiono, Ibid hal 20
20

3. Hukum putusan hakim;


4. Hukum sosial yang terlembagakan, dan
5. Hukum yang ada pada benak manusia….
Konsep hukum pertama, kedua dan ketiga disebut penelitian hukum normatif yang
doktrinal dan metodenya disebut sebagai metode doktrinal tipe penelitiannya kualitatif.
Paradigma hukum yang digunakan adalah Legal Positivism atau aliran hukum positivistic.
Immanuel Kant Filsuf Jerman aliran positivism, mengatakan : Tegakkan hukum dan keadilan
meskipun langit mau runtuh (Fiat Justtia Ruat Caelum).
Konsep hukum keempat dan kelima adalah kosep hukum nomologik. Paradigma yang
digunakan adalah Legal Postpositivism. Hukum ini dikonsep bukan sebagai rules, tetapi
sebagai regularitas yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau dalam alam pengalaman.
Penelitian ini tergolong penelitian empiris, penelitian kuantitatif atau penelitian non-
doktrinal2.
Dalam penegakan hukum pidana harus ditekankan pada kebenaran hukum materiil.
Kebenaran hukum pidana materiil tidak hanya didasarkan pada kebenaran formil tetapi juga
harus didasarkan pada fakta hukum sosiologis dan filosofis.Hakim harus mempertimbangkan
kebenaran fakta hukum yuridis, sosiologis, filosofis, memverifikasi kebenaran formil dan
materiil, mempertimbangkan kesesuaian alat bukti dan barang bukti, mempertimbangkan
kebenaran sintesa, antitesa, kesesuaian keterangan saksi, kebenaran unsur mensrea dan
kesalahan terdakwa dan moralitas hakim yang memeriksa dan memutus perkara itu. Nurani
hukum hakim, kecerdasan filosofis dan moralitas hakim yang unggul adalah sentral
keadilan.Soliditas Aparat Penegak Hukum dalam Integrated Criminal Justice System
(Penyidik, Jaksa Penuntut Umum, Hakim dan Aparat Pelaksana Putusan di Lembaga
Pemasyarakatan (LP) harus teruji).
Bertalian dengan mentalitas aparat penegak hukum ini B.M Taverne mengatakan:
Geef me goede rechter, goede rechter commissarissen, goede offieren van justitieen,
goede politie ambternaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het
goede beruken= Berikan aku hakim, Jaksa, polisi dan avokat yang baik, maka aku
akan berantas kejahatan meskipun tanpa secarik undang-undangpun.
Selanjutnya Horone de Balzac mengatakan:
hukum di dunia itu sudah seperti laba-laba, menangkapi serangga-serangga kecil dan
membiarkan yang besar-besar lolos ( Les lois sont des toiles d’araignees a tavers
lesquelles les grosses mouches et ou restent les petites)
WAJAH HUKUM INDONESIA
Berdasarkan RPJPN (Tahun 2005-2025) mewujudkan wajah hukum Indonesia Yang
Demokratis Berlandaskan Hukum, yang pada intinya dapat ditegaskan, bahwa :

2
Setiono, Ibid hal 22
21

1. Pembangunan hukum nasional yang menyangkut materi hukum (legal substances),


struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture) harus tetap
memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi;

2. Pembaruan produk hukum sebagai pengganti peraturan perundang-undangan warisan


kolonial, harus mencerminkan nilai-nilai sosial dan kepentingan masyarakat Indonesia
dan masyarakat Internasional;

3. Pembangunan struktur hukum diarahkan untuk memantapkan dan mengefektifkan


berbagai organisasi dan lembaga hukum, profesionalitas yang difasilitasi sarana dan
prasarana yang memadai;

4. Penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM) dilaksanakan secara tegas, lugas,
profesional, dan tidak diskriminatif. Peningkatan kualitas dan profesionalisme hakim
di semua lingkungan peradilan harus dilaksanakan;

5. Memiliki kesadaran hukum masyarakat yang tinggi. Pemberian akses informasi


kepada masyarakat harus ditingkatkan;

6. Penanggulangan penyalagunaan kewenangan aparatur negara dicapai dengan


penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik pada semua tingkat, harus tetap
ditingkatkan3

KEPATUTAN UNDANG-UNDANG
Undang-undang dapat dikatakan valid apabila undang-undang itu didukung masyarakat
luas dan memiliki aturan pelaksanaan (juklak dan juknis) yang jelas.

3
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional ( RPJPN ) Tahun 2005-2025, Sinar Grafika, Jakarta, 2007,
h 99
22

KUALITAS UNDANG – UNDANG DAN PERUNDANG-UNDANGAN


1.Overlapping (Tumpang tindih Kewenangan) such as:
a.Penangan korupsi : PN, Tipikor, KPK, Administrasi Birokrasi, Pengadilan Pajak,
Pengadilan Militer, MK
b. Bidang Kelautan:
Penyidik Angkaatan Laaut, Bakamla, Pabeanan, Kementerian Kelautan, Menteri
Koordinasi Maritim, belum ada Pengadilan Kelautan
2.Kualitas Undang-Undang-Perundang-Undangan tidak jelas ‘lex certa’
Undang-Undang Ormas:UU No 8 Tahun 1985, UU No 17 Tahun 2013, UU No 2 Tahun
2017
3.Asumsi masyarakat yang tidak jelas:
Hukum kalah dengan politik, politik kalah dengan keuasaan, kekuasaan kalah dengan uang.
Ketuhanan Yang Maha Esa diubah menjadi Keuangan Yang Maha Kuasa

Istilah aparat penegak hukum diplesetkan:


Penyidik =Penyelesaian perkara nyiapin dana imbalan khusus
Jaksa = Jangan angkuh (pelit) kalau suka aman (menang)
Hakim = Hubungi Aku Kalau Ingin Menang
Advokat =Apa daya vakansi operasional kami amat tipis.
23

STRUKTUR BADAN PERADILAN DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN UU DASAR 1945

UU DASAR 1945

MA ( MAHKAMAH AGUNG) MK

P MIL P MIL
UTA TEMPUR

PT PTA PT TUN MAHMILGUNG PT MIL

PN PA PTUN MAHMIL MAHMILTI PENG MIL

Keterangan :

Bermula dari ketentuan Pasal 10 UU Pokok –Pokok Kehakiman , kamar peradilan di


Indonesia dibedakan menjadi 4 (empat), yaitu:Pengadilaan Negeri, Pengadilan Agama,
Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Militer (Vide Pasal 10 UU No 14 Tahun
1970).

PN = Pengadilan Negeri (UU Nomor 48 Tahun 2009 Sebagai Perubahan UU Nomor 4


Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman)

PT= Pengadilan Tinggi (Pengadilan Tingkat Banding )

PA= Pengadilan Agama (UU Nomor 3 Tahun 2006, Sebagai Perubahan UU Nomor 7
Tahun 1989, diubah lagi dengan UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama)

PTA= Pengadilan Tinggi Agama (Pengadilan Tingkat Bandung )


24

PTUN= Pengadilan Tata Usaha Negara (UU Nomor 9 Tahun 2004, Sebagai Perubahan
UU Nomor 5 Tahun 1986, diubah lagi dengan UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara)

PT TUN= Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (Pengadilan Tingkat Banding

MAHMIL= Mahkamah Militer (UU Nomor 27 Tahun 1999, tentang Peradilan Militer Jo
UU Nomor 31 Tahun 1997)

MAHMILTI= Mahkamah Tinggi Militer (Militer yang berpangkat Perwira Menengah di atas
Kapten)

MAHMILGUNG= Mahkamah Agung Militer (Pengadilan Militer Tingkat Banding )

PENGMIL=Pengadilan Militer (Mliter yang berpangkat di bawah Kapten Ps 40 UU


Nomor 27/ 1999)

PT MIL= Pengadilan Tinggi Militer (Pengadilan Militer Tingkat Banding , Militer yang
berpangkat Mayor ke atas)

P MIL UTAMA = Pengadilan Militer Utama , Militer yang berpangkat Perwira Tinggi, Ps 42
UU Nomor 27 / 1999)

P MIL TEMPUR = Pengadilan Militer Khusus Pertempuran (Ps 45 UU N0 27 / 1999)

MK = Mahkamah Konstitusi (UU Nomor: 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU


Nomor 24 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi)

MA = Mahkamah Agung (UU Nomor 3 Tahun 2009 Sebagai Perubahan UU Nomor 14


Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung )

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) (Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009)


25

BADAN KEKUASAN KEHAKIMAN DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN UUD 1945

KEKUASAAN KEHAKIMAN
Pasal 24 UU Dasar 1945 dan Undang-Undang N0 48 Tahun 2009

Kewenangannya Kewenangannya
1. Mengadili pada tingkat kasasi 1. Menguji undang-undang (Judicial review)
terhadap putusan yg diberikan terhadap Undang-Undang Dasar
kepada tingkat terakhir oleh 2 Memutus sengketa kewenangan lembaga
pengadilan di semua lingkungan negara yang kewenangannya diberikan oleh
peradilan yang berada di bawah Undang-Undang Dasar
Mahkamah Agung 3.Memutus pembubaran Partai Politik
2.Menguji peraturan perundang- 4 Memutus perselisihan tentang hasil pemilu
undangan di bawah undang-undang 5. Wajib memberikan putusan atas terdapat DPR
terhadap undang-undang bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden
3.Melakukan pengawasan tertinggi diduga telah melakukan pelanggaran hukum
atas perbuatan pengadilan dalam berupa penghianatan terhadap negara,
lingkungan peradilan yang berada di korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
bawahnya atau perbuatan tercela, dan /atau tidak lagi
memenuhi syarat sbg Presiden dan/atau
wakil Presiden.

KEWENANGAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 PASCA AMANDEMEN-


UNDANG-UNDANG MAHKAMAH AGUNG (UUNO 3 TAHUN 2009)- UNDANG-
UNDANG MAHKAMAH KONSTITUSI (UUNO 8 TAHUN 2011 JO UU NO 24 TAHUN
2003)
26

LEMBAGA PENGADILAN KHUSUS

MAHKAMAH AGUNG
Undang-Undang N0 3 Tahun 2009

Ling Perad Umum Ling Perad Ling Perad Ling Perad


UU No 48 Tahun Agama UUNo Militer UUNo Tata Usaha
2009 50 Tahun 31 Tahun Negara UU No
2009 1997 51 Tahun 2009

UU No Mahkamah Syariah UU No Pengad Pajak


11/2012 ttg 18 Tahun 2001 Jo UU No 21 UUN0 14
Sistem Perad Tahun 2008 ttg Perbbankan Tahun 2002
Syariah
Pidana Anak

Peng Niaga
UUN0 11 Prp
Tahun 1998

Peng HAM
UUN0 26
Tahun 2000

Peng Tipikor UUN0


46 Tahun 2009

Peng Hub Industrial UUN0 2 Tahun 2004


Jo UU No 3 Tahun 2004 ttg Perindustrian

Peng Perikanan UUN0


31/ 2004 Jo UU No
45/2009 Tahun 2009
27

INSTITUSI PERADILAN KORUPSI

Kewenangan Peraadilan Korupsi Terjadi Tumpang Tindih ( Over lapping)

Perkara korupsi di Indonesia dapat diadili melalui peradilan:

1.Pengadilan Negeri

2.Pengadilan Tipikor

3.Pengadilan Militer

4.Pengadilan Mahkamah Konstitusi

KEPATUTAN HUKUM

Hukum harus bermanfaat bagi kepentingan orang banyak (the greatest goodness is the
greatest numbers).Hukum harus bisa menjaga keseimbangan kepentingan dan hukum
harus bekerja secara harmonis. Secara realitas, sistem hukum yang berlaku di Indonesia
tidak match dengan struktur sosial. Secara konseptual, hukum yang berlaku di Indonesia
masih bersifat Euro- centris.

Secara legal substance, penegakan hukum di Indonesia masih berkiblat pada


ketentuan-ketentuan hukum Euro-centris yang roh dan isinya sudah tidak sesuai dengan
perkembangan zaman, serta tidak mencerminkan nilai keadilan substantif di era globalisasi
saat ini. Apabila dikaji dari asas hukum formil dan materiil yang terkandung dalam Kitab
Undang-Undang yang dikodifikasi pada masa Pemerintahan Kolonial, seperti: Herziene
Indonesische Reglement (H.I.R) atau Reglement Indonesia yang di- Baharui (R.I.B,diubah
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, terdiri dari 286 pasal.); Wetboek van Straftrecht atau Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUH Pidana yang terdiri dari 569 pasal, sudah dihapus 27 pasal);
Rechtsreglement voor De Buitengewesten (R.Bg yang terdiri dari 923 pasal, sudah dihapus
47 pasal) atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata; Burgerlijk Wetboek (B.W) atau
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdiri dari 1993 pasal, sudah dihapus 28 pasal; dan
Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang terdiri dari 754 pasal
28

ditambah Undang-Undang Kepailitan terdiri dari 279 pasal ), terlihat masih menganut aliran
hukum atau doktrin hukum yang berasaskan Euro sentries. Secara legal praxis, telah banyak
memunculkan putusan kontroversial yang mencederai nilai keadilan substantif di Indonesia.
Asas ultra petita sebagai derivatif Pasal 178 H.I.R, hanya merujuk pada ketentuan hukum
doktrinal, meskipun secara sosiologis di dalam persidangan hakim melihat fakta hukum yang
mengandung nilai kebenaran dan keadilan substantif, hakim harus mengesampingkan nilai
kebenaran dan keadilan tersebut karena dalam pettitum gugatan atau surat dakwaan Jaksa
penuntut umum tidak disebutkan. Realitasnya, menyimpangi asas ultra petita, bukan
merupakan perbuatan melawan hukum, karena di dalam persidangan hakim memiliki
kemerdekan konstitusional yang dijamin oleh undang-undang dan ketentuan hukum yang
berlaku. Asas ultra petita ini juga sering disimpangi dalam proses peradilan Mahkamah
Konstitusi.

Contoh asas ultra petita yang disimpangi Mahkamah Konstitusi adalah:

1. Kasus Pilgub Jawa Timur

Pasangan Calon Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa-Timur tahun 2009, Kaji (Khofifah
Indarparawansah- Mujiono) menggugat Pasangan Calon Karsa (Sukarwo-Syaifullah Yusuf)
ke Mahkamah Konstitusi. Penggugat memohon dalam pettitum gugatannya agar Pilgub di
daerah Madiun diulang, tetapi dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi memerintahkan
agar Pilgub Jatim diulang di daerah Madura.4

2. Mahkamah Konstitusi Menghapus Pasal Perbuatan Tidak Menyenangkan dalam KUH


Pidana.

Moch Sholeh (Kuasa hukum Alimin Sukanto Wijaya, Pelapor perbuatan tidak
menyenangkan ke Penyidik atas perbuatan yang tidak menyenangkan yang dilakukan
Hariono Wijaya pemilik Hotel Meritus Surabaya sebagai Terlapor5) mengajukan gugatan
judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap pasal perbuatan tidak menyenangkan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 335 ayat(1) KUH Pidana6 yang dinilai bertentangan
dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan

4
Jawa Pos, Pilgub Jatim Diulang di Madura, 28 Juni 2009, hal 7, kol 2
5
Alimin Sukanto Wijaya melaporkan perbuatan Hariono Wijaya Pemilik Hotel Meritus Surabaya karena
Terlapor telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan yang merugikan Pelapor. Penyidik dalam kasus ini
malah menahan Pelapor. Oleh karena itu, Moch Sholeh sebagai kuasa hukum Pelapor mengajukan gugatan
Judicial Review terhadap Pasal 335 KUHP ke Mahkamah Konstitusi
6
Pasal 335 ayat(1) KUHP, ditegaskan:”Diancam pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling
banyak tiga ratus rupiah: Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak
melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain maupun perlakuan yang
tidak menyenangkan baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”
29

Penggugat sebagian dengan amar putusan mengubah frase Pasal 335 ayat (1) KUH Pidana
menjadi: ”Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak
melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan atau dengan memakai
ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”7.(Putusan MK
menghilangkan prase ‘maupun perlakuan yang tidak menyenangkan baik terhadap
orang itu sendiri maupun orang lain’,cetak tebal dari penulis)

Putusan Mahkamah Konstitusi ini, tidak sekadar melanggar asas ultra petita tetapi
juga melanggar asas check and balances, karena mengubah frase dalam pasal undang-undang
adalah menjadi kewenangan Presiden dan DPR RI (Vide Ketentuan Pasal 5 angka(1) Undang-
Undang Dasar 1945 Dalam Satu Naskah Pasca Amandemen tahun 20028, Jo Pasal 20 angka
(1,2, 3, dan 4), UUD 19459, Jo Pasal 22A UUD 194510), bukan kewenangan MK. Meskipun
hakim Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan mengadili sengketa konstitusi, juga
mempunyai kewenangan, kemerdekaan, kebebasan konstitusional yang dijamin oleh undang-
undang dan ketentuan hukum yang berlaku, tetapi dalam pelaksanaanya tidak boleh
melanggar konstitusi dan asas-asas hukum yang berlaku di Indonesia.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sendiri sebagai pengganti


H.I.R yang pernah diklaim sebagai karya agung bangsa Indonesia, berfungsi sebagai
pedoman induk penegakan hukum acara pidana di di Indonesia, juga masih
mengalamami kelemahan mendasar, yaitu: dalam hal aparat penegak hukum melakukan
perbuatan malpraktik dalam penyidikan, penuntutan, penjatuhan pidana, dan pelaksanaan
pidana, misalnya: Kasus Sengkon dan Karta di Bekasi, Jawa-Barat tahun 197411, Kasus
pembunuhan yang dilakukan oleh Terpidana mati, Very Idam Henyansah alias Riyan di

7
Jawa Pos, MK Menghapus Perbuatan Tidak Menyenangkan Pasal 335 ayat(1) KUHP, 20 Januari 2014, hal 3,
kol 1
8
Pasal 5 angka (1) UUD 1945, ditegaskan: “Presiden berhak mengajukan rancangan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat”
9
Pasal 20 angka (1) UUD 1945, ditegaskan:”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang”; Pasal 20 angka(2), ditegaskan:”Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”; Pasal 20 angka (3), ditegaskan: “ Jika
rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh
diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”; Pasal 20 angka (4), ditegaskan:”
Presiden mengesahkan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang”.
10
Pasal 22A UUD 1945, ditegaskan: “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang
diatur dengan undang-undang”
11
Jawa Pos, 21 Juli 2007, hal 3, kol 1, Sengkon dan Karta dituduh merampok dan membunuh suami-istri
(Sulaiman-Siti Haya) di Desa Bojongsari, Bekasi Jawa-Barat tahun 1974. Pengadilan memvonis 7 tahun penjara
untuk Sengkon dan 12 tahun penjara untuk Karta, tetapi belakangan terkuak pembunuh aslinya ketika bersama-
sama berada di Penjara.
30

Jombang, Jawa-Timur tahun 200412. KUHAP tidak mampu menyeret atau memproses
secara hukum terhadap aparat penegak hukum tersebut untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Selama ini, KUHAP dalam melaksanakan fungsinya, hanya berorientasi pada
kepentingan pelaku, bukan berorientasi pada kepentingan korban.

Secara hukum materiil, Wetboek van Straftrecht (Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana) dikonsep di Negeri Belanda Tahun 1881, yang hingga sekarang masih berfungsi
sebagai pedoman induk penegakan hukum pidana di Indonesia, tidak bisa menjaga 6 (enam)
keseimbangan kepentingan, yaitu:(i). Keseimbangan monodualistik antara kepentingan
umum/masyarakat dan kepentingan individu/perorangan;(ii). Keseimbangan
perlindungan, yatu: perlindungan/kepentingan pelaku tindak pidana (ide individualisasi
pidana) dan perlindungan/kepentingan korban tindak pidana;(iii). Keseimbangan antara
unsur (fakta obyektif/perbuatan lahiriyah) dan subyektif orang/batiniah (sikap batin):ide-
daad-dader strafrecht;(iv). Keseimbangan antara kreteria formil dan materiil;(v).
Keseimbangan kepastian hukum, kelenturan/elastisitas/fleksibilitas dan keadilan; dan (vi).
Keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/internasional/universal13.

Pada hakikatnya, penegakan hukum pidana ditekankan pada kebenaran hukum


materiil. Kebenaran hukum pidana materiil dapat diformulasikan dalam delict materiel yang
perumusannya ditekankan pada akibat hukum. Perumusan delict materiil dalam KUH
Pidana sudah tidak dapat mencerminkan nilai keadilan subtantif. Hukum sering ketinggalan
dengan peristiwa (het recht hinkt achter de feit enaam), perbuatan pidana berjalan dengan
sangat cepat bagaikan deret ukur, sedangkan perumusan delict materiil berjalan dengan
sangat lamban bagaikan deret hitung. Actus reus dalam hukum pidana sudah terjadi secara
global mempunyai perspektif nilai yang luas baik dalam bidang ekonomi, politik, religi,
sosial budaya maupun teknologi dan limu pengetahuan yang berdimensi cyber formed.
Subyek hukum dalam hukum bisnis dapat dilakukan oleh Perusahaan, Lembaga, Institusi,
Organisasi atau Badan Hukum lain yang berbentuk Corperate Crime, sementara KUH Pidana
tidak mengenal subyek hukum Corperate Crime. Dalam hal menguji kebenaran dan
keabsahan alat bukti, fakta hukum tidak selalu harus berada dalam persidangan sebagaimana

12
Jawa Pos, 8 Oktober 2007, hal 2, kol 3. Memberitakan: Membunuh 9 korban dari beberapa daerah secara
berentet. Kemudian ditemukan seorang korban X, yang dibunuh secara misterius di Kebon Tebu wilayah
Jombang tahun 2004. Penyidik menangkap Terdakwa LH dan MD. Pengadilan Negeri Jombang menjatuhkan
pidana penjara 12 tahun untuk LH dan MD masih dalam proses persidangan. Belakangan Riyan mengakui
bahwa yang melakukan pembunuhan terhadap korban misterius tersebut adalah Riyan sendiri.
13
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, PT Adetya
Bakti, Cet 1, Bandung, 2005, h 12
31

yang diatur dalam Pasal 185 angka (1) KUHAP14, karena dalam pemeriksaan saksi melalui
persidangan teleconference bisa terjadi persidangan dilaksanakan di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, sementara saksi yang diperiksa berada di Jerman. Kasus ini pernah terjadi
ketika mantan Presiden J.B Habibie diperiksa sebagai saksi dalam perkara korupsi Buloggate
I dengan Terdakwa Akbar Tanjung Cs. Dalam persidangan teleconfence, persidangan
dilaksanakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Saksi (J.B. Habibie) berada di Jerman.
Keterangan saksi tersebut dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah.

Rechtsreglement voor De Buitngewesten (R.Bg) sebagai Hukum Acara Perdata di


Indonesia penyempurnaan dengan keadilan substantif. Secara legal praxis, penegakan
hukum perdata lebih ditekankan pada kebenaran hukum formil daripada kebenaran hukum
materiil. Para Pembisnis dalam melakukan transaksi bisnisnya tidak lagi terikat dengan
menggunakan cara-cara transaksi konvensional, tetapi sudah dapat menggunakan media
elektronik.

Transaksi elektronik di satu sisi memang menguntungkan, tetapi di pihak yang lain,
menimbulkan penyelewengan dan masalah hukum, khususnya mengenai sahnya suatu
perjanjian dengan menggunakan media elektronik. Menurut ketentuan Pasal 1313 KUH
Perdata : Perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih. Subekti berpendapat, perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan suatu hal. Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, ditegaskan
syarat sahnya perjanjian : sepakat saling mengikat diri, kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian dan suatu sebab yang halal.

Keabsahan Transaksi Elektronik dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 1320


KUH Perdata15, sebenarnya tidak menjadi permasalahan jika dihubungkan dengan media
yang digunakan dalam transaksi yang lain, karena ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata
tidak mensyaratkan bentuk dan jenis media yang digunakan dalam bertransaksi. Asas
kebebasan berkontrak yang dianut KUH Perdata, dimana para pihak dapat bebas
menentukan dan membuat suatu perikatan atau perjanjian dalam bertransaksi yang

14
Pasal 185 angka(1) KUHAP, menegaskan: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan
di sidang pengadilan”
15
Pasal 1320 KUH Perdata, menegaskan:”Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat:
(1).sepakat mereka yang mengikatkan diirinya; (2). kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; (3).suatu hal
tertentu; dan (4).suatu sebab yang halal”
32

dilakukan berdasarkan itikat baik (Vide Pasal 1338 KUH Perdata16). Jadi apapun bentuk
dan media dari kesepakatan tersebut, tetap berlaku dan mengikat para pihak karena
perikatan tersebut merupakan undang-undang bagi yang membuatnya.

Permasalahan yang akan timbul dari suatu transaksi apabila salah satu pihak ingkar
janji (wanprestasi). Penyelesaian permasalahan yang terjadi tersebut, selalu berkait dengan
apa yang menjadi barang bukti dalam bertransaksi, terlebih apabila transaksi yang
menggunakan sarana elektronik. Hal ini karena menggunakan dokumen atau data elektronik
sebagai akibat transaksi melalui media elektronik, belum diatur secara khusus dalam hukum
acara yang berlaku, baik dalam Hukum Acara Perdata maupun dalam Hukum Acara Pidana.

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008, tentang Informasi dan


Transaksi Elektronik (UU ITE), Mahkamah Agung menyadari adanya perkembangan
teknologi informatika dalam menyikapi penggunaan microfilm atau microfiche untuk
menyimpan suatu dokumen. Mahkamah Agung dengan suratnya tanggal 14 Januari 1988
yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman menyatakan bahwa microfilm atau microfiche
dapat dipergunakan sebagai alat bukti surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1)
huruf c, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dengan catatan bahwa baik
microfilm maupun microfiche itu, yang sebelumnya dijamin otentiknya, dapat ditelusuri
kembali dari registrasi dan berita acaranya.

Demikian pula dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1997,


tanggal 24 Mei 1997, tentang Dokumen Perusahaan atau selamjutnya disebut UU Dokumen
Perusahaan yang dalam Pasal 15 ayat (1) ditegaskan bahwa : Dokumen Perusahaan yang
telah dimuat dalam microfilm atau media lainnya dan atau hasil cetaknya merupakan alat
bukti yang sah.

Selanjutnya, apabila memperhatikan ketentuan Pasal 1 angka 2, mengenai pengertian


dokumen dan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) UU Dokumen
Perusahaan Jo Pasal 1320 KUH Perdata, transaksi melalui media elektronik adalah sah
menurut hukum.

16
Pasal 1338 KUH Perdata, menegaskan: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan – alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan etikad baik”
33

Secara konvensional, setiap orang melakukan perjanjian selalu berhadapan antara


yang satu dengan yang lain. Mereka saling mengenal dan saling membubuhkan tanda tangan
pada draf perjanjian dengan tinta di atas kertas. Sedangkan dalam transaksi elektronik,
prinsip-prisip perjanjian dilakukan secara virtual, mereka tidak saling mengenal secara
personal, tidak pernah bertatap muka, bahkan tidak membubuhkan tanda tangan secara
manual.

Dalam kondisi riil, transaksi elektronik tidak dapat dihindari, bahkan tidak terasa
masyarakat terbiasa melakukan transaksi tersebut, misalnya : melakukan pembayaran melalui
mesin pembayaran (Automatic Teller Machine/ATM, atau Anjungan Tunai Mandiri).
Sebenarnya tanpa disadari bahwa transakasi dengan mennggunakan credit berpotensi
merugikan orang lain. Segala transaksi elektronik yang telah dilakukan, tidak dapat
dikembalikan, meskipun ada unsur perjanjian yang tidak terpenuhi atau salah input di mesin
ATM dan pembobolan credit card sehingga justru pihak lain yang menerima keuntungan.

Asas yurisdiksi ekstrateritorial dan alat bukti elektronik, sudah seperti alat bukti lain
yang diatur dalam KUHAP (Pasal 184) atau H.I.R/R. Bg. (Pasal 45, 164). Jika dikaitkan
dengan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang ITE17, tanda tangan elektronik diakui memiliki
kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional yang menggunakan tinta
basah dan bermaterai .

Catatan rekening bank (yang berbasis elektronik) dan pembicaraan (penyadapan)


telepon sudah menjadi alat bukti di pengadilan. Hal ini sebagaimana terurai dalam Pasal 31
angka (1) Undang-Undang ITE yang selengkapnya ditegaskan :

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau
penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer
dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain

Selanjutnya dalam Pasal 31 ayat (2) ditambahkan :

17
Pasal 11 angka (1) UU ITE, ditegaskan: “Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat
hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:(a). data pembuatan Tanda Tangan Elektronik
terkait hanya kepada Penanda Tangan; (b). data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada proses
penandatanganan elektronik, hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan; (c). segala perubahan terhadap Tanda
Tangan Elektronik yang terjadi, setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; (d). segala perubahan terhadap
Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut, setelah waktu penandatanganan
dapat diketahui; (e). terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya, dan (f).
terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap
Informasi Elektronik terkait”.
34

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas
transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat publik dari, ke
dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain, baik yang
tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan,
penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
sedang ditransmisikan.
Kemudian di dalam Pasal 47 Undang-Undang ITE ditegaskan :

Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 angka (1) atau
angka (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/ atau denda
paling banyak Rp 800. 000. 000, 00 (delapan ratus juta rupiah)

Alat bukti dalam perkara perdata dapat dilihat secara tegas dalam Pasal 164 H.I.R/
R.Bg dan Pasal 1866 KUH Perdata, bahwa alat bukti adalah : tulisan, saksi-saksi,
persangkaan, pengakuan dan sumpah. Sedangkan dalam ranah hukum pidana alat bukti
adalah (a) keterangan saksi ; (b) keterangan ahli ; (c) surat ; (d) petunjuk ; dan (e)
keterangan terdakwa (Vide Pasal 184 ayat (1) KUHAP) ; Selanjutnya Pasal 184 ayat (2)
KUHAP, ditegaskan : ”Hal yang secara umum sudah jelas, tidak perlu dibuktikan”. Meskipun
H.I.R, R.bg dan KUHAP tidak mengatur masalah alat bukti elektronik, namun di berbagai
undang-undang yang telah mengatur dokumen elektronik menjadi alat bukti yang sah,
termasuk alat bukti surat, microfim dan media lainnya (CDROM atau WORM)

Menurut ketentuan Pasal 1 angka (4) Undang-Undang ITE, ditegaskan : Dokumen


Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirim, diterima atau
disimpan dalam bentuk analog, digital, elektomagnik, optikal atau sejenisnya yang dapat
dilihat, ditayangkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahami.

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 angka (1), Undang-Undang ITE, ditegaskan : print


out yang dihasilkan dari media elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah di
persidangan. Selanjutnya dalam Pasal 5 angka (2) Undang-Undang ITE tersebut,
selengkapnya ditegaskan : Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetaknya sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tersebut, merupakan perluasan
dari alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Kemudian Pasal 5 angka (3) Undang-Undang ITE, menegaskan : Informasi Elektronik
35

dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ITE.

Ketentuan Pasal 5 angka (1) Undang-Undang ITE, memberikan batasan terhadap


dokumen tertentu, terhadap berbagai dokumen hukum yang menurut ketentuan undang-
undang harus dibuat dan dituangkan dalam akta notariil oleh Pejabat yang berwenang. Akta
tersebut berdasarkan sifat dan bentuknya harus dibuat dengan bentuk tertulis berdasarkan
formalitas/tata cara dan bentuk yang telah ditentukan oleh peraturan perundangan. Akta
sebagaimana dimaksud, seperti : sertifikat hak atas tanah, akta jual beli, akta ikatan jual beli,
akta perkawinan, akta pendirian berbagai lembaga baik untuk bisnis maupun kepentingan
sosial. Meskipun datanya juga disimpan dalam Komputer, dan dapat dicetak/di-print out
dalam bentuk hard copy, namun kalau digunakan sebagai alat bukti di pengadilan menjadi
tidak sah. Dokumen yang harus diajukan di Pengadilan sebagai alat bukti tetap harus dapat
menunjukkan dokumen aslinya. Meskipun print out dari berbagai dokumen hukum dibuat
oleh Pejabat yang sama, diperoleh dari Komputer yang sama dan datanya sama, tetap tidak
dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah di Pengadilan. Kekuatan pembuktian dari print out
dokumen hukum tersebut, hanya merupakan petunjuk.

Uraian tersebut dikuatkan dengan ketentuan Pasal 5 angka (4) huruf (a dan b)
Undang-Undang ITE yang menegaskan :

Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana


dimaksud pada angka (1) tidak berlaku untuk :
a. surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis ; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta
notariil atau akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta.(Jo Pasal 1868 KUH Perdata18).
Burgerlijk Wetboek yang berfungsi sebagai wet-umbrella dalam penegakan hukum
perdata di Indonesia juga perlu disempurnakan, disesuaikan dengan kebutuhan dan nilai
keadilan di Indonesia. Kitab Kodifikasi Undang-Undang warisan Pemerintah Kolonial
tersebut bahasanya masih konvensional tidak sesuai lagi dengan kaidah bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Nilai dan asas-asas hukum yang terkandung di dalam BW itu sudah
ketinggalan dengan perkebangan zaman. Oleh karena itu, perlu diadakan pembenahan dan

18
Pasal 1868 KUH Perdata, ditegaskan: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang, di dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu
ditempat dimana akte dibuatnya”
36

penyempurnaan Kodifikasi Kitab Undang-Undang itu, sesuai dengan kebutuhan nasional dan
global saat ini.

Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), merupakan lex


specialis derograt lex generalis dari Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), juga mengalami
perkembangan.

Sejalan dengan perkembangan hukum ekonomi itu, Adi Sulistiyono, mengatakan:

Berbicara masalah hukum ekonomi pada hakikatnya berbicara masalah :


- Hukum Dagang;
- Hukum Ekonomi;
- Hukum dan Ekonomi;
- Hukum Ekonomi Pembangunan;
- Hukum Ekonomi dan Teknologi dan
- Hukum Bisnis.19

Selanjutnya Adi Sulistiyono menambahkan bahwa:

Hukum ekonomi dalam arti luas adalah suatu sistem hukum yang dijadikan pondasi,
pemandu dan pengawal sistem ekonomi suatu negara, untuk mengatur perilaku dan aktivitas
di bidang ekonomi, dan penyelesaian sengketanya yang substansi hukumnya mengacu pada
sistem ekonomi yang terdapat dalam konstitusi, dalam rangka mendorong pertumbuhan
ekonomi, menciptakan kepastian berinvestasi atau berbisnis, dan memberdayakan pelaku
bisnis serta mengembangkan kemandirian ekonomi bangsa20
Sifat hukum ekonomi yang luas itu, sejalan dengan pendapat Hari Purwadi, bahwa:

Law by no means globalizes through transnational and international law only. For
example, law may be transplanted in state to state collaboration, and transnational networks
of indigenous group to another: mobility of people, mobility of law21

Berdasarkan pernyataan dari Hari Purwadi tersebut, dapat dipahami bahwa dalam
globalisasi, yang mengglobal tidak sekadar hukumnya yang menglobal secara lintas negara
(regional) dan internasional melalui pencangkokan hukum antara negara yang satu dengan
negara yang lain, dan terjadinya jaringan lintas negara yang berasal dari kumunitas penduduk
asli dengan negara-negara lain, sehingga terjadi mobilitas penduduk dan mobilitas hukum
(global people global knowledge).

19
Adi Sulistiyono, Kuliah Hukum dan Ekonomi Program Doktor Ilmu Hukum UNS tanggal 12 Desember 2012
20
Adi Sulistiyono, Ibid
21
Hari Purwadi, Kuliah Hukum dan Globalisasi, tanggal 5 Oktober 2012 di UNS Surakarta
37

Globalisasi hukum dan penduduk ini, selaras dengan pendapat Jamal Wiwoho,
bahwa:

Globalization is fact that the world’s people and nations are more interdependency than ever
before and becoming more so. The measure of the interdependency are global flows of such
things as trade, investment and capital and related degradation of the ecosystem or with all
life depend22

Berdasarkan pernyataan Jamal Wiwoho ini dapat dikatakan bahwa globalisasi


adalah fakta yang semula penduduk dan bangsa-bangsa di dunia tidak pernah saling banyak
berinteraksi, kemudian menjadi berubah saling banyak berinteraksi. Tindakan interaksi
global dari penduduk dunia itu, berubah menjadi hubungan perdagangan, saling berinvestasi
dan berinteraksi untuk mencari jalan keluar akibat merosotnya kebutuhan hidup di antara
penduduk dunia.

Proses hukum dan globalisasi dalam bidang ekonomi tersebut, perlu disoroti melalui 3
(tiga) aspek, yaitu: Sistem Ekonomi, Peranan Hukum dan Pengaruh Globalisasi. Dengan
demikian pilar hukum dagang di Era Globalisasi ini sudah berada di ranah hukum ekonomi,
seperti: (1). Hukum investasi; (2). Hukum Penanaman Modal Asing; (3). Hukum Perbankan
baik Konvensional maupun Syariah; (4).Hukum Kontrak dalam bidang bisnis di tingkat
nasional, regional dan internasional; (5).Hukum Niaga; (6).Hukum Perindustrian; (7).Hukum
Perseroan Terbatas (PT), BUMN, Commanditaire Vennootschap (CV) ,Hukum Koprasi,
Hukum Yayasan dan sebagainya.

Kelima Kitab Undang-Undang Kodifikasi Hukum Kolonial (Wetboek van Straftrecht,


Herziene Indonesische Reglement, Rechtsreglement voor De Buitngewesten, Burgelijk
Wetboek dan Wetboek van Koophandel) tersebut, perlu disesuaikan dengan struktur sosial
yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu, perlu diadakan rules breaking dan rules making
berskala nasional

22
Jamal Wiwoho, Kuliah Hukum dan Globalisasi, tanggal 20 Oktober 2012 di PDIH UNS Surakarta
38

MID SEMESTER PENDAPAT DAN UJI KEPATUTAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

Hari : Kamis Nama :

Tanggal : 23 Nopember 2017 NIM :

Waktu : 90 Menit Kelas :

Dosen Pengampu: Dr. Bunadi Hidayat, Drs.,S.H.,M.H Sifat : Opened Books System

Soal:

1.Berikan diskripsi yuridis yang jelas tentang legal opinion yang berlaku di Indonesia

2.Jelaskan wajah hukum nasional yang diekspresikan dalam RPJPN.

3.Jelaskan hubungan legal positivistics dan legal sociological yang diterapkan di Indonesia

4.Jelaskan validitas legal substance, legal structure dan legal culture di Indonesia

5.Berikan diskripsi kepatutan civil law system dan common law system dikaitkan dengan
struktur sosial di Indonesia

Good Luck

Proses Kepatutan Pembuatan Undang-Undang

A.Teori

1.Socio controle –Ide, aspirasi harus berasal dari masyarakat, hukum itu ditemukan
dan dibuat untuk kepentingan manusia.Hukum harus bermanfaat untuk
kepentingan orang banyak (The greatest goodness is the greatest numbers)

Konsep Hukum

Badan/ Lembaga Konsep Produk Hukum Tujuan

MPR, DPR, a. prinsip-prisip Pancasila,Undang- Kesejahteraan


umum untuk Undang Dasar 1945, masyarakat dan
Presiden menejemen urusan Undang-Undang, keadilan substantif
publik Perpu, PP, Peraturan
perundang-
undangan

Nomos, tradisi,
b.kesepakatan norma adat,
Komunitas konvensi,
39

masyarakat masyarakat international


convention, congres,
Komunitas Regional c. asas nasional aktif tractaat, traktat,
dan Internasional dan pasif transactie,
d.prinsip dasar transaction.
dalam
menjalankan
fungsi
pemerintahan :
konstitusi,
demokrasi dan
hukum

2.Socio engeering-Proses pembuatan hukum harus mengedepankan asas


demokratisasi di atas kepentingan pribadi dan golongan, Dei vox populi (Suara
Tuhan itu suara rakyat) (Vide Pasal 37 ayat (4) UU Dasar 1945). Hukum harus
berpranata, harus dibuat oleh lembaga yang berwenang, harus dibuat oleh orang
yang memiliki keahlian, profesionalitas yang tinggi dalam bidang ilmu hukum, dan
memiliki integritas moral yang tinggi di kalangan masyarakat luas.

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang N0 : 10 Tahun 2004, tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ditegaskan : Pembentukan peraturan
perundangan harus didasarkan pada asas :

“tujuan, kelembagaan, kesesuaian antara jenis dan materi perundangan, dapat


dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan”

Materi muatan peraturan perundangan harus didasarkan pada asas :

pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, Bhinika Tunggal Ika,


keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian
hukum, dan keselarasan (Pasal 6 UU N0 10 Tahun 2004)

Pembuaatan undang-undang dapat dimulai dengan pembuatan prolegnas (Program legislasi


nasional), pembentukan Bamus (Badan Perumus Undang-Undang) dsbnya.

Wajah pembangunan hukum nasional diharapkan dapat memiliki nilai dan prinsip-
prinsip sebagai berikut :

1. Pembangunan hukum harus bersumber pada nilai-nilai Pancasila dan Undang Dasar Tahun
1945 ; memiliki struktur dan aparat penegak hukum yang baik ; tersedianya sarana dan
prasarana yang memadai ; dapat mengangkat dan menumbuhkan rasa kesadaran yang
40

tinggi di hati masyarakat ; dapat menciptakan keadilan yang substantif dan demokratisasi
yang sehat ; memperhatikan sifat kemajemukan dan tatanan hukum yang berlaku ;
mengarah pada kepentingan globalisasi ; berupaya memperoleh kepastian hukum dan
perlindungan hak asasi manusia (HAM) ; menjamin pelayanan hukum yang berpihak
pada keadilan, kebenaran dan ketertiban ; dapat menciptakan kehidupan bangsa yang
sejahtera, aman dan tertib ;

2. Pembaruan hukum harus mampu menggantikan perundang-undangan warisan kolonial.


Oleh karena itu, materi hukum harus mencerminkan nilai-nilai sosial dan kepentingan
masyarakat Indonesia. Meskipun undang-undang itu tidak identik dengan hukum, materi
undang-undang tidak boleh bertentangan dengan nilai hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.

B. Politik Hukum-membentuk masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, menuju negara yang welfare state, masyarakat yang
mahdani, masyarakat yang baldatun, thayyibatun, wa rabbun ghafur.

Hukum harus dapat dipahami dengan mudah oleh semua orang, tidak sulit
dilaksanakan dalam sistem hukum dan memiliki tujuan yang sesuai dengan realitas yang
ada. Pernyataan ini selaras dengan pendapat Werner Menski yang menyatakan bahwa:

Understanding ‘law’ as a systematic, planned, well-developed body of rules made for a


particular purpose seems sensible, but does not match reality. We may agree that it would be
good of law was a straightforward, ‘easy to –comprehend’ and ‘simple to apply’, system of
rules23

Berdasarkan pernyataan Werner Menski tersebut, dapat dipahami bahwa


pemahaman hukum sebagai suatu aturan yang tersusun secara sistematis, terencana,
dikembangkan dengan baik, dibuat untuk maksud tertentu terlihat masuk akal, tetapi aturan
hukum itu tidak cocok dengan realitas yang ada. Aturan itu dapat diterima sebagai hukum
yang baik apabila aturan itu berjalan lurus, mudah dipahami, dan tidak sulit diterapkan dalam
suatu sistem hukum.

Selanjutnya Werner Menski, menambahkan:

23
Werner Menski, Comperative Law In A Global Context, The Legal System of Asia and Africa, Second Edition,
Cambridge University Press, 2006, p 181
41

a plurality-conscious approach must necessarily be inclusive. Judgment on these matters


concerns morality, religion and community as much as law, and it will be necessary to
respect a diverse range of opinions24

Werner Menski menambahkan bahwa pluralism hukum merupakan


pendekatan secara sukarela (pendekatan secara wajar tanpa tekanan), dilakukan secara
menyeluruh, harus disesuaikan dengan kebutuhan. Hasil dari pendekatan hukum itu berisikan
masalah moralitas, agama dan sebanyak mungkin menyangkut masalah hubungan
kemasyarakatan. Perlunya hukum pluralisme itu dibuat untuk menghormati (menampung)
berbagai opini yang terbentang luas dalam masyarakat. Untuk membantu pemahaman proses
terbentuknya hukum pluralisme dapat dilihat pemikiran Werner Menski tentang Hukum
Pluralisme pada bagan 1 di bawah ini.

Pemikiran Menski tentang Hukum Pluralisme

Religion/Ethics/Morality

Legal
pluralism

State/Positivis Society/ Socio-Legal


m

Merujuk pada Bagan 1 di atas, Werner Menski menyampaikan pemikiran


tentang hukum pluralisme sebagai berikut:

Legal pluralism fills the central space in this triangle because it signifies all those scenarios
and conflict situations in which neither of the three major law making sources rules the roost
absolutely. The centre of this triangle would appear to indicate ‘perfect’ justice as the result
of an equilibrium between the various competing forces25

24
Werner Menski, Ibid p 183
25
Werner Menski, Ibid p 186
42

Pemikiran hukum pluralisme memenuhi ruangan tengah segi tiga sebagaimana


yang terlihat dalam Bagan 1 di atas, merupakan ajaran hukum pluralisme yang memberi
makna pada semua rencana hukum dan berbagai konflik hukum karena ketiga sumber
hukum yang lebih besar (agama-negara dan masyarakat) tidak mengatur secara tegas. Di
tengah segi tiga itu akan melahirkan hukum pluralisme yang sempurna, memberi keadilan
substantif, menghasilkan keseimbangan antara berbagai kekuatan yang saling berpengaruh.

Kehadiran hukum pluralisme tidak dapat dilepaskan dari pendekatan moral,


agama dan budaya hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu, hukum pluralism harus bisa
menghormati dan menerima berbagai opini yang berkembang dalam masyarakat.

Bertalian dengan legal pluralism tersebut, Warwick Tie, mengatakan:

The primary goal of mapping diversity of legal pluralism is simply to attempt to categorize
the considerable diversity that exists within the legal pluralist paradigm26.

Berdasarkan pernyataan Warwick Tie tersebut, dapat dipahami bahwa tujuan


utama dari pemetaan perbedaan pendapat dalam hukum pluralism adalah upaya
mengkategorisasikan perbedaan paradigma hukum yang dimiliki pluralist (orang yang
berbeda pendapat dalam hukum pluralism) dengan perbedaan pendapat yang berada dalam
masyarakat yang dapat dipertimbangkan sebagai hukum pluralism.

Jadi konsep hukum pluralisme adalah konsep hukum yang bersifat opened and
ended, konsep hukum yang memiliki kekuatan moral, kekuatan negara dan kekuatan
masyarakat. Ketiganya harus saling bersinergi, saling dapat menjaga keseimbangan
kepentingan hak dan kewajiban untuk memperoleh keadilan subtantif khususnya dalam
penegakan hukum pidana anak. Oleh karena Indonesia adalah negara kepulauan yang oleh
Afdoll Bastian disebut sebagai An Archipelago Island by its motto Unity in Diversity, oleh
Empu Tantular dikatakan sebagai negara yang berbhinneka-tunggal-ika, memiliki masyarakat
yang pluralisistik, maka konsep hukum pluralisme itu harus dapat dipersepsi oleh semua
bangsa Indonesia

26
Warwick Tie, Legal Pluralism Toward a multicultural Conception of Law, Dartmouth Publishing Company
Limited, England, 1999, p 59
43

SKEMA SUSUNAN KEKUASAAN DI DALAM NEGARA REPUBLIK INDONESIA

JIWA DAN PANDANGAN


HIDUP BANGSA
PANCASILA

PEMBUKAAN UUD 1945

UNDANG-UNDANG
DASAR

MPR

MA BPK DPR PRESIDEN DPA

Jakarta 9 Juni 1966


PIMPINAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT GOTONG-ROYONG
Ketua,
H.A. Sjaichu
Mencermati Skema Kekuasaan Di Dalam Negara Republik Indonesia di atas,
terlihat jelas bahwa Pancasila menduduki tingkat tertinggi dalam penegakan tertib hukum di
Indonesia. Secara normatif, Pancasila merupakan ground norm dalam penegakan hukum di
Indonesia. Pancasila adalah sumber dari segala tertib hukum di Indonesia dan Pancasila
adalah pandangan hidup bangsa Indonesia (way of Indonesian life).

Bertalian dengan tertib hukum di atas, Hans Kelsen, mengatakan:

The system of norms we call a legal order is a system of dynamic kind. Legal norms are not
valid because they themselves or the basic norm have a content the binding force of which is
self-evident. They are not valid because of their inherent appeal. Legal norms may have any
44

kind of content. There is no kind of human behavior that, because of its nature, could not be
made into a legal duty corresponding to a legal right. The validity of a legal norm can not be
questioned on the ground that its contents are incompatible with some moral or political
value. A norm is a valid legal norm by virtue of the fact that it has been created according to
a definite rule and by virtue there of only. The basic norm of a legal order is the postulated
ultimate rule according to which the norms of this order are established and annulled,
receive and lose their validity.27

Berdasarkan pernyataan Hans Kelsen tersebut, dapat dipahami bahwa sistem


norma disebut juga tertib hukum, merupakan perpaduan kebaikan hati atau kebaikan moral.
Tertib hukum atau sistem hukum itu menjadi tidak valid (tidak sah dan tidak didukung orang
banyak) karena tidak memiliki kekuatan moral yang solid dan bertentangan dengan keinginan
orang banyak, tertib hukum itu tidak mengikat pada kepentingan orang banyak tetapi hanya
mengikat pada kepentingan individu. Tertib hukum harus memberikan nilai moral yang baik.
Tertib hukum bersumber dari kelakuan manusia yang baik. Tertib hukum yang valid
ditentukan oleh tabiat manusia yang baik. Hak dan kewajiban ditentukan oleh tertib hukum
yang valid. Validitas norma hukum tidak dapat didasarkan pada ground norm (norma dasar)
yang bertentangan dengan nilai moral dan nilai kebijakan penguasa. Norma hukum yang
valid dimanifestasikan dengan fakta perbuatan yang baik yang telah diatur dengan kepastian
hukum yang valid yang dapat didasarkan pada perbuatan yang baik.

Sejalan dengan norma hukum tersebut, A Hamid Attamimi, mengatakan:

Berkaitan dengan hukum yang berlaku bagi bangsa dan negara Indonesia, Pancasila telah
dinyatakan kedudukannya oleh para Pendiri Negara Republik Indonesia sebagaimana
tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam penjelasan umum. Di sana ditegaskan
bahwa Pancasila adalah cita hukum (Rechtsidee) dan sebagai norma fundamental negara
(staats foundamental norm) yang menguasai hukum Dasar Negara baik hukum Dasar tertulis
maupun hukum Dasar tidak tertulis28.

Selanjutnya A Hamid Attamimi, mendiskripsikan Norma Fundamental Negara


(Staats Foundamental norm) tersebut seperti yang terlihat pada Bagan 3 di bawah ini:

27
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Printed in the United States of America, 1961, p 113
28
A. Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Menyelenggarakan
Pemerintahan Negara, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta 1990, h 308
45

Diskripsi Legal Order Negara Republik Indonesia

CITA HUKUM PANCASILA

NORMA
PEM
FUNDAMENTAL
NEGARA BUKAAN

UUD

1945

BATANG TUBUH
SISTEM HK UUD 1945
INDONESIA
TAP MPR

PERATURAN PELAKSANAAN
& SISTEM NORMA
PERATURAN OTONOMI HUKUM

HUKUM TIDAK TERTULIS

PERTIMBANGAN HAKIM-
PENEGAKAN
DISKRESI HAKIM
HUKUM
46

BEKERJANYA FUNGSI HUKUM

Fungsi hukum diperlukan untuk melaksanakan sistem peradilan. Hukum harus dapat
menjaga keseimbangan kepentingan antara kepentingan negara, masyarakat dan individu.Oleh karena
itu, hukum dan struktur sosial masyarakat tidak dapat dipisahkan. Yusriadi mensitasi pendapat
Talcott Parson dalam bukunya ‘ The Social System ‘, mengatakan bahwa :

Masyarakat tak ubahnya seperti tubuh manusia yang memiliki berbagai bagian yang saling
berhubungangan satu sama lain. Demikian juga masyarakat itu mempunyai berbagai kelembagaan
yang saling terkait dan bergantung satu sama lain, sehingga perubahan yang terjadi pada satu
lembaga akan berakibat pada perubahan di lembaga lain29

Berdasarkan uraian the social system tersebut, dapat dipahami bahwa dalam pembangunan
hukum nasional perlu memahami konsep hukum sebagai kontrol sosial (Social control), dan fungsi
hukum sebagai sarana perubahan (Social engineering)

Menurut Yusriadi :

fungsi hukum sebagai social control adalah suatu proses untuk mempengaruhi anggota-anggota
masyarakat agar bertingkahlaku atau bersikap tindak sesuai dengan harapan masyarakat…..,
sedangkan fungsi hukum sebagai social engineering merupakan sarana menggerakkan perubahan
sosial. Hukum kongkretnya perundang-undangan, merupakan pijakan negara untuk mewujudkan
kebijakannya 30

Yusriadi juga mensitasi pendapat Seidman, bahwa :

hukum sebagai sarana untuk menyalurkan kebijakan pemerintah sehingga tindakannya dapat
dilaksanakan31

Yusriadi mengkaitkan fungsi hukum tersebut dalam Seminar Hukum Nasional ke –IV dengan
rincian sebagai berikut :

1. pengatur, penertib dan pengaman kehidupan masyarakat ;

2. penegak keadilan dan pengayom masyarakat terutama yang mempunyai kedudukan sosial
ekonomi lemah ;

3. penggerak dan pendorong pembangunan dan perubahan menuju masyarakat yang dicita-citakan ;

4. pengarah masyarakat pada nilai-nilai yang mendukung usaha pembangunan ;

29
Yusriadi, Perubahan Konsep Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah Di Kalangan Warga Masyarakat Sekitar
Daerah Industri, Disertasi, Universitas Diponegoro, Semarang, 2003, h 18
30
Yusriadi, Ibid, h 153-155
31
Yusriadi, Loc Cit
47

5. faktor penjamin keseimbangan dan keserasian yang dinamis dalam masyarakat yang mengalami
perubahan cepat ;

6. faktor integrasi antara berbagai subsistem budaya bangsa 32

Selanjutnya, Yusriadi mensitasi pendapat Sunaryati Hartono, bahwa fungsi hukum dalam
pembangunan mempunyai 4 fungsi, yaitu :

1. Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan ;

2. Hukum sebagai sarana pembangunan ;

3. Hukum sebagai sarana penegak keadilan ;

4. Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat33

John Stuart Mill (Filsuf Inggris), mengatakan: Hukum harus dapat memberikan manfaat bagi
orang banyak (the greatest goodness is the greatest numbers)

Barda Nawawi Arief, mengatakan :

Materi Konsep KUHP (sistem hukum pidana materiil dan asas-asas), ingin disusun /diformulasikan
dengan berorientasi pada berbagai pokok pemikiran dan ide dasar yang antara lain mencakup :

- Keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum / masyarakat dan kepentingan individu /


perorangan;

- Keseimbangan antara perlindungan / kepentingan pelaku tindak pidana (ide individualisasi pidana)
dan korban tindak pidana ;

- Keseimbangan antara unsur (fakta obyektif (perbuatan /lahiriyah) dan subyektif / orang / batiniah
(sikap batin) : ide- daad –dader strafrecht;

- Keseimbangan antara kreteria formil dan materiel ;

- Keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan/ elastisitas / fleksibilitas dan keadilan;

- Keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global / internasional / uinversal34

Rubach Gustav mendifinisikan penegakan hukum harus mengacu pada 3 (tiga) pilar nilai
hukum, yaitu: (1) kepastian hukum ( the certainty of law); (2) keadilan substantif (substantial justice),
dan (3). Manfaat (utility)

BEKERJANYA SISTEM HUKUM

Menurut Laurence Friedman, hukum dapat bekerja melalui 3 (tiga) fungsi, yaitu:

1.Legal substance (Substansi hukum);

32
. Yusriadi, Ibid , h 159
33
. Yusriadi, Loc Cit
34
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, PT Adetya
Bakti, Cet 1, Bandung, 2005, h 12
48

2.Legal structure (Struktur hukum), dan

3.Legal culture (Budaya hukum)

ALASAN PENGAJUAN GUGATAN DAN PNUNTUTAN HUKUM

1.Dalam Hukum Perdata

Dasar pengajuan gugatan perdata dapat didasarkan pada 2 (dua) perbuatan, yaitu:
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atau perbuatan melawan hak (Onrechtmatige daad) dan
Perbuatan Ingkar Janji, tidak memenuhi kewajiban (Wanprestatie atau wanprestasi).Perbuatan
melawan hukum dapat didasarkan pada asas setiap perbuatan manusia atau badan hukum yang
dapat menimbulkan kerugian di pihak lain harus mengganti kerugian (Vide Pasal 1365 BW).
Perbuatan ini tidak didasarkan pada perjanjian tetapi didasarkan pada akibat perbuatan itu dapat
menimbulkan kerugian di pihak lain. Gugatan wanpestasi dapat didasarkan pada perjanjian atau
kesepakatan dari para pihak yang bersangkutan baik yang dibuat secara tertulis maupun yang
dilakukan secara lisan. Salah satu dasar hukum gugatan wanprestasi adalah Pasal 1234 BW (setiap
perikatan adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu).

2.Dalam Hukum Perkawinan

Dasar gugatan cerai dan penjatuhan talak dapat didasarkan pada perbuatan sebagai
berikut: Hak cerai dalam perkawinan adalah hak istri. Seorang istri dapat mengajukan gugatan cerai
terhadap suaminya ke Pengadilan jika terdapat alasan sebagai berikut:Telah melanggar ucapan
sighat ta’lik:

1.Meninggalkan istri 1 tahun berturut-turut.

2.Tidak memberikan nafkah wajib kepada istri selama tiga bulan

3.Menyakiti badan/jasmani istri

4.Membiarkan, tidak memperdulikan, menelantarkan istri selama 6 bulan

Pelanggaran ucapan sighat ta’lik terhadap istri tersebut dapat berakibat jatuhnya talak 1
dari suami.Gugatan istri juga bisa terjadi apabila suami telah melakukan perbuatan melawan hukum
misalnya dengan cara meninggalkan istri tanpa kejelasan yang benar lebih dari 1 tahun, terbukti
berselingkuh dengan wanita lain, melakukan perkawinan sirri dengan wanita lain dan melakukan
poligami tanpa izin istri.Perizinan berpoligami adalah penting karena perkawinan di Indonesia
menganut asas monogami (Vide Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 1Tahun 1974 Jo Pasal 27
49

BW).Gugatan istri juga dibenarkan apabila suami sudah bertahun-tahun meninggalkan istri tanpa
nafkah wajib lahir batin dan melakukan penganiayaan terhadap istri di luar batas kewajaran.

Penjatuhan talak terhadap istri dapat dilakukan apabila suami telah melakukan
pelanggaran sghat ta’lik terhadap istri, istri terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum
berselingkuh dengan laki-laki lain. Istri tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai istri, tidak ada
kecocokan dalam rumah tangga. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf a, b, dan c, (istri tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai istri, istri cacat badan atau berpenyakit yang tidak dapat
disembuhkan, tidak dapat melahirkan keturunan) Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 adalah
bukan alasan penjatuhan talak terhadap istri, tetapi sebagai alasan mendapatkan izin untuk
berpoligami.

3.Dalam Hukum Administrasi.

Dasar gugatan PTUN dapat ditentukan dengan syarat sebagai berikut:

1.Harus ada KTUN (Ketetapan Tata Usaha Negara) dari Pejabat yang bersangkutan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

2.Terjadi penyalagunaan kewenangan oleh pejabat yang bersangkutan

3.Melanggar asas-asas pemerintahan yang baik.(Pasal 53 UU No 51 Tahun 2009 tentang Perubahan


Kedua Atas UU No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara)

4.Dalam Penyelesaian Hubungan Perindustrian

Mendasarkan Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan


Hubungan Industrian, perselisihan hubungan industrial dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat)
perselisihan, yaitu:

1.Perselisihan Hak

2.Perselisihan Kepentingan

3.Perselishan Penuntutan Hubungan Kerja

4.Perselisihan Serikat Kerja

5.Gugatan Uji Materi Undang-Undang (Judicial Review)

Gugatan uji materi undang-undang (judicial review) dapat diajukan ke Mahkamah


Konstitusi, apabila materi undang-undang atau materi yang sederajat dengan undang-undang
pertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.Berdasarkan ketentuan
50

-Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta penjelasannya ditegaskan:” Yang dapat mengajukan


permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 ialah mereka
yang menganggap hak dan /atau kewenangan konstitusinya yang diberikan Undang-Undang
Dasar 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang”

-Berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan MK


Nomor 11/PUU-V/2007, kertugian hak dan/ atau kewenangan konstitusional sebagaimana
dimaksud Pasal 51 UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagai berikut:

a. adanya hak dan / atau kewenangan konstitusi Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar 1945.

b. hak dan / atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.

c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-
tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya
undan-undang yang dimohonkan pengujian.

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian


konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

6.Dalam Hukum Pidana

Perbuatan pidana dapat ditentukan melalui 2 (dua) rumusan, yaitu: Rumusan delik formil
dan delik materiil. Rumusan delik formil adalah delik yang perumusannya ditekankan pada
perbuatan apa yang dilarang. Sedangkan rumusan delik materiil adalah delik yang perumusannya
ditekankan pada akibat hukum yang dilakukan oleh Pelaku Tindak Pidana.

Anda mungkin juga menyukai