Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Indonesia sendiri ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan negara yang khusus berlaku bagi
warga negara Indonesia. Aturan perkawinan yang dimaksud adalah dalam
bentuk undang-undang yaitu UU No. 1 Tahun 1974 dan peraturan
pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. UU ini
merupakan hukum materiil dari perkawinan, sedangkan hukum formalnya
ditetapkan dalam UU No.7 Tahun 1989. Sedangkan aturan pelengkapnya yang
akan menjadi pedoman bagi hakim di lembaga peradilan agama adalah
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah ditetapkan dan disebarluaskan
melalui Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Tetapi, tidak hanya hukum positif yang mengatur tentang perkawinan.
Hukum Islam juga mengatur tentang perkawinan. Jelas dalam Al-Quran dan
Hadits juga telah diatur hukum tentang perkawinan. Namun umat Islam masih
banyak yang belum memahami tentang hukum yang telah dijelaskan dalam Al-
Quran dan Hadits tersebut. Serta pokok-pokok apa saja yang harus ada dalam
melangsungkan perkawinan.
Nah, dengan adanya makalah ini, kami akan mengkaji hukum Islam yang
berkaitan dengan hikmah perkawinan. Serta menguraikan dan membandingkan
ketentuan perundangan dengan hukum Islam terkait perkawinan yang saat ini
berlaku di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja pokok pikiran yang terkandung dalam teks perkawinan tersebut?
2. Bagiamana ketentuan perundangan yang berlaku?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teks Yang Di Kaji (TERLAMPIR)

B. Terjemahan Teks
PASAL TENTANG
HIKMAH PERNIKAHAN
Islam menganjurkan dan menggalakkan pernikahan dengan cara seperti
itu karena banyak sekali dampak positif yang sangat bermanfaat. Baik bagi
pelakunya sendiri maupun umat, bahkan manusia secara keseluruhan. Beberapa
hikmah dari pernikahan yang diserukan Islam adalah sebagai berikut:
1. Naluri seks termasuk naluri yang paling kuat dan keras, serta selalu
mendesak manusia untuk mencari obyek penyalurannya. Ketika tidak
dapat dipenuhi, banyak manusia yang terus dirundung kesedihan dan
kegelisahan, lalu menjerumuskannya kepada jalan yang sangat buruk.
Pernikahan merupakan kondisi alamiah yang paling baik dan aspek
biologis yang sangat tepat untuk menyalurkan dan memenuhi kebutuhan
naluri seks. Dengan cara ini, kegelisahan akan terendam, gejolak jiwa
akan menjadi tenang, pandangan terjaga dari obyek-obyek yang haram,
dan perasaan lebih nyaman untuk meraih apa yang dihalalkan oleh Allah.
Ini kondisi yang disinggung di dalam ayat Al-Quran.
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu ister-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteran kepadanya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. QS. Ar-Ruum : 21

Abu Hurairah r.a menyatakan bahwa Nabi Saw bersabda:


“Sesungguhnya wanita datang (ibarat) dalam rupa setan, juga pergi
(ibarat) dalam rupa setan. Karena itu, jika seorang diantara kalian
(tertarik karena) melihat wanita, hendaklah menggauli isterinya karena
hal itu akan menghilangkan gejolak perasaan yang ada dalam hatinya”.
(HR. Muslim. Abu Dawud, dan Tirmidzi)

2. Nikah merupakan sarana paling baik untuk melahirkan anak dan


memperbanyak keturunan, serta melanjutkan estafet kehidupan dengan
menjaga keturunan, Rasulullah SAW bersabda:
“Menikahlah dengan wanita yang besar rasa sayangnya dan subur
peranakannya. Sesungguhnya Aku membanggakan jumlah kalian
dihadapan para Nabi pada hari kiamat kelak.”(HR.Ahmad)

Banyak keturunan dapat memberi berbagai maslahat dan manfaat baik


untuk umum maupun pribadi, sehingga tidak sedikit bangsa yang
berusaha keras untuk meningkatkan jumlah masyarakatnya dengan
memberi berbagai bentuk imbalan bagi yang memiliki banyak keturunan
dan anak.
Ahnaf bin Qais menemui Muawiyah, sementara Yazid berada di
depannya dan Muawiyah mengamati putranya itu dengan penuh rasa
bangga. Muawiyah berkata kepada Ahnaf, “Hai Abu Bahr, apa
pendapatmu tentanga anak?”
Ahnaf menjawab “Hai Amirul Mukminin, mereka adalah tulang
punggung buah hati dan penyejuk hati kita, dengan merekalah kita
menang melawan musuh. Merekalah penerus yang menggantikan
kedudukan kita bagi segenap orang-orang yang kita tinggalkan. Karena
itu, jadilah tanah yang subur dan langit yang teduh bagi mereka. Jika
mereka minta sesuatu padamu, maka kabulkanlah. Jika mereka memohon
keridhaanmu, maka ridhailah. Jangan sungkan memberi agar mereka
tidak lekas bosan berada di dekat, membenci hidupmu dan mendoakan
kematianmu.”
Muawiyah berkata, “Hai Abu Bahr, sungguh tepat kata-katamu
itu.”

3. Naluri ke bapak-an dan ke ibuan semakin berkembang dan sempurna


seiring dengan keberadaan anak. Demikian juga perasaan hangat, kasih
sayang. dan cinta. Semua itu merupakan keistimewaan-keistimewaan
yang jika tidak dimiliki oleh seorang manusia maka sisi kemanusiaannya
tidak akan sempurna.

4. Rasa bertanggung jawab atas pernikahan dan pendidikan anak


mendorong semnagat hidup dan kerja keras untuk meningkatkan bakat
dan potensi diri, sehingga menjadi giat bekerja untuk menanggung beban
dan menunaikan segala kewajibannya. Dengan cara inilah berbagai
bentuki aktifitas dan investasi semakin semarak sehingga sangat efektif
dalam meningkatkan taraf kesejahteraan ekonomi dan produktifitas, serta
mendorong eksploitasi sekian banyak karunia Allah SWT berupa sumber
daya alam yang sangat bermanfaat bagi manusia.

5. Pembagian wilayah kerja yang membuat segala urusan di dalam atau di


luar rumah sama-sama menjadi rapi dan disertai dengan pembagian
tanggung jawab yang jelas antara suami dan istri atas tugas masing-
0masing. Istri bertanggung jawab mengurus rumah, mendidik anak, dan
menyiapkan lingkungan yang kondusif bagi suami agar dapat beristirahat
dan menghilangkan rasa lelah serta memperbaharui semangatnya.
Sedangkan suami giat mencari mata pencaharian, mendapatkan harta dan
nafkah untuk mencukupi segala kebutuhan rumah. Dengan pembagian
yang adil inilah, setiap pihak menjalankan tugas-tugasnya secara normal
sesuai dengan cara yang diridhai oleh Allah dan terhormat dalam
pandangan manusia, serta membuahkan sekian banyak hasil yang penuh
berkah.
6. Dampak-dampak positif pernikahan berupa terjadinya hubungan erat
antara beberapa keluarga, terajutnya cinta kasih dan menguatnya
berbagai bentuk hubungan sosial antara mereka sangat diberkahi,
didukung dan digalakkan oleh Islam. Sebab, masyarakat yang harmonis
adalah masyarakat yang kuat dan bahagia.

7. Sebuah laporan perserikatan bangsa-bangsa yang dipublikasikan oleh


harian As-Sya’b pada hari sabtu, 12 juni 1959, menyebutkan bahwa oran-
orang yang menikah hidup dengan rata-rata usia yang lebih lama dari
laki-laki dan perempuan yang tidak menikah, baik janda, cerai, maupun
membujang.
Dalam laporan tersebut dinyatakan, “ saat ini diseluruh dunia, mulai
banyak orang yang menikah pada usia dini. Usia orang-orang yang
menikah cenderung lebih panjang.”
Laporan PBB ini dibuat berdasrkan sejumlah riset dan survey yang
dilakukan diberbagai Negara di dunia sepanjang tahun 1958.
Laporan tersebut menyimpulkan,”dapat dipastikan bahwa rata-rata angka
kematian orang yang menikah, baik laki-laki maupun perempuan, lebih
rendah daripada rata-rata angka kematian orang yang tidak menikah. Hal
ini berlaku semua umur”
Lebih jauh lagi, dalam laporan tersebut dinyatakan, “kaena itu dapat
disimpulkan bahwa pernikahan sangat berguna bagi kesehatan, baik laki-
laki maupun perempuan. Selain itu, bahaya kehamilan dan melahirkan
telah jauh berkurang sehingga tidak lagi menjadi ancaman serius bagi
kehidupan para ibu”
Laporan tersebut menambahkan, “rata-rata usia pernikahan diseluruh
dunia saat ini adalah 24 tahun bagi wanita dan 27 tahun bagi pria. Angka
ini merupakan rata-rata usia terendah jika dibandingkan dengan beberapa
tahun lalu.”
C. Pokok Pikiran Teks
Pernikahan yang diserukan oleh Islam memiliki banyak sekali dampak positif
yang bermanfaat bagi pelakunya sendiri maupun umat, bahkan manusia secara
keseluruhan. Berikut beberapa hikmah pernikahan tersebut:
1. Tersalurnya kebutuhan naluri seks manusia secara benar dan terhormat
dengan menikah. Dengan cara ini, gejolak jiwa menjadi tenang, pandangan
terjaga dari obyek-obyek yang haram dan perasaan lebih nyaman untuk
meraih apa yang dihalalkan oleh Allah.
2. Sarana paling baik untuk melahirkan anak dan memperbanyak keturunan,
serta melanjutkan estafet kehidupan dengan menjaga keturunan.
3. Mengembangkan dan menyempurnakan naluri kebapak-an dan keibuan
seiring keberadaan anak. Serta perasaan hangat, kasih sayang dan cinta
yang merupakan keistimewaan-keistimewaan yang jika tidak dimiliki oleh
manusia maka sisi kemanusiaannya tidak akan sempurna.
4. Pernikahan dan pendidikan anak membentuk rasa tanggung jawab pada
diri orang tua yang mendorong semangat hidup dan kerja keras untuk
meningkatkan bakat dan potensi diri, serta menunaikan segala
kewajibannya.
5. Pembagian tanggung jawab dan wilayah kerja antara suami dan istri atas
tugas masing-masing. Dengan pembagian yang adil, setiap pihak
menjalankan tugasnya secara normal dan terhormat dalam pandangan
manusia, serta membuahkan hasil yang penuh berkah.
6. Terajutnya hubungan erat berupa cinta kasih dan menguatnya berbagai
bentuk hubungan sosial antara beberapa keluarga yang diberkahi,
didukung, dan digalakkan oleh islam.
7. Menurut laporan PBB yang dipublikasikan oleh harian As-Sya’b orang-
orang yang menikah hidup dengan rata-rata usia yang lebih lama orang
yang tidak menikah, baik janda, cerai, maupun membujang.
PASAL TENTANG
HUKUM MENIKAH
Nikah Wajib
Hukum menikah menjadi wajib bagi orang yang mampu dan
mempunyai hasrat yang kuat untuk melakukannya disertai rasa takut
terjerumus kepada perbuatan zina. Alasannya menjaga kehormatan dan
kesucia diri dari perbuatan harama adalah wajib. Dalam hal ini tidak dapat
dilakukan kecuali melalui nikah
Al-Qurthubi berkata, “orang yang mampu dan mengkhwatirkan
diri dan agamanya menjadi rusak karena membujang, sehingga tidak
mungkin mengatasinya kecuali dengan menikah, tidak ada perbedaan
pendapat sekalipun untuk menyatakan bahwa dia wajib menikah.”
Akan tetapi, jika hasrat menikahnya besar namun tidak sanggup
memberi nafkah kepada istri, maka hendaklah menjalankan arahan Allah
SWT, dalam firman-Nya, “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin
hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukkan
dirinya dengan karunia-Nya”(QS. An-Nur(24):33)
Selain memperbanyak puasa, karena dalam sebuah hadis ibn mas’ud ra
dinyatakan bahwa Rasullah SAW bersabda:
“Hai segenap kaulah muda, siapa diantara kalian yang mampu
bersenggama, maka menikahlah karena dengan menikah pandangan akan
lebih terjaga dan kemaluan akan lebih terpelihara. Sedangkan bagi yang
tidak mampu, maka berpuasalah karena puasa dapat menahan nafsu
syahwatmu”(HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-
Nasa’, Ibnu Majah)

Nikah Mustahab (sunnah)


Orang yang mempunyai hasrat menikah dan mampu, tapi masih
dapat menjaga diri dari terjerumus kepada perbuatan yang diharamkan
Allah SWT, maka hukum menikah baginya adalah mustahab(sunnah).
Tapi tetap lebih baik menikah dengan alasan hendak konsentrasi
beribadah, karena cara hidup rahbaniyah sama sekali bukan ajaran islam.
Thabrani meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash r.a bahwa
Rasulullah SAW bersabd,
“Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kita dengan cara
rahbaniyah ajaran agama yang lurus (hanafiyah) dan mudah”
Baihaqi meriwayatkan dari Abu Umamah r.a bahwa Nabi SAW
bersabda:
“Menikahlah, karena sesungguhnya, aku membanggakan banyaknya
jumlah kalian kepada ummat-ummat lain. Janganlah mengikuti cara
rahbaniyah orang-orang nasrani”
Umar r.a berkata kepada Abu Zawa’id, “hanya dua alasan yang
menghalangimu menikah: tidak mampu atau suka bemaksiat

Nikah Haram
Hukum menikah menjadi haram bagi orang yang tidak bisa
memenuhi hak istri, baik hubungan seks maupun nafkah, karena tidak
mampu sedangkan hasrat melakukannya cukup besar
Al-Qurthubi menjelaskan, “Ketika seorang lelaki tahu dirinya tidak
sanggup memberi nafkah atau mahar kepada wanita yang akan
diperistrinya atau hak-hak istri lainnya yang menjadi kewaiban suami,
maka dia tidak boleh menikahi wanita itu kecuai setalah menrangkan
keadaannya. Atau, dia dapat memastikan dirinya sanggup memenuhi hak-
hak istrinya. Begitu juga jika meiliki cacat yang membuatnya tidak
mampu melakukan hubungan seks, maka dia juga harus menerangkan
keadaannya agar wanita itu tidak tertipu olehnya. Selain itu, tidak boleh
berbohong dengan mengaku berasal dari keturunan terhormat, punya
banyak harta dan karya besar untuk menipu wanita.”
Sebaliknya, ketika wanita tahu dirinya tidak sanggup memenuhi
hak-hak suami, atau punya cacat yang membuatnya tidak mampu
melakukan hubungan seks, seperti gila,kusta,sopak (penykit kulit), atau
penyakit kelamin, maka dia tidak boleh menipu calon suaminya,
melainkan wajib menerangkan keadaannya itu apa adanya. Sama seperti
kewajiban penjual untuk menerangkan kondisi barang jualannya. Ketika
suami atau isteri menemukan cacat pada pasangannya, maka boleh
mengembalikannya. Jika cacat itu terdapat pada istri, maka suami berhak
mengembalikannya dan mengambil kembali seluruh mas kawin yang telah
diberikannya.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi SAW menikahi
wanita dari Bani Bayadhah. Tapi ketika beliu mendapati pada pusar wanita
terdapat sopak (penyakit kulit), maka beliau mengembalikannya seraya
berkata kepad keluarganya, “kalian telah menipuku”
Ada dua pendapat yang berbeda dari Malik tentang wanita yang
dinikahi pria impotensi, jika telah bersatu lalu diceraikan karena alasan
impotensi yang diderita suaminya. Dalam satu kesempatan Malik berkata,
“wanita itu berhak mendapatkan seluruh mas kawin yang diterimanya.”,
dalam kesempatan lain Malik berkata, “wanita itu hanya berhak mendapat
setengah mas kawin yang diterimanya.”
Perbedaan pendapat Malik ini terjadi karena ada perbedaan pada
dua masalah, yakni bagaimana mas kawin dimiliki?apakah cukup
diserahkannya mempelai wanita kepada suaminya mau dengan melakukan
hubungan badan?Dua pendapat itulah jawabannya.

Nikah Makruh
Nikah menjadi makruh bagi orang yang tidak akan sanggup memnuhi hak
istri baik hubungan seks maupun nafkah, tapi tidak membahayakan
wanita, seperti bila sang wanita kaya dan tidak memiliki dorongan nafsu
yang kuat untuk melakukan hubungan seks. Sedangkan jika dengan
kondisi itu dia tidak dapat menjalankan beberapa amal ibadah, atau
menghambatnya mencari ilmu, maka tingkat makruhnya semakin tinggi.
Nikah Mubah
Hukum menikah menjadi mubah jika semua dorongan dan halangan
menikah diatas tidak ada.

Larangan Tabattul, Bagi Orang yang mampu Menikah


Ibnu Abbas r.a berkata, “seorang laki-laki datang kepada
Rasulullah SAW dan mengadukan kondisinya yang terus membujang. Ia
berkata, “Bolehkah aku dikebiri?” Rsulullah SAW berkata, “Bukan dari
golongan kami, orang yang mengebiri dan dikebiri.” (HR. Thabrani)
Sa’ad bin Abi Waqash r.a menuturkan, “Rasulullah SAW menolak
permohonan Utsman bin Mazh’un untuk menjalani cara hidup tabattul.
Seandainya beliau mengizinkan, niscaya kami sudah dikebiri” (HR.
Bukhari) Maksudnya, seandainya Rasulullah SAW mengizinkan tabattul,
tentu kami menjalaninya sampai tahap dikebiri.
At-Thabrani menjelaskan, “Tabattul yang dikehendaki Utsman bin
Mazh’un adalah mengharamkan dirinya berhubungan dengan wanita dan
memakai parfum sert segala bentuk kesenangan. Karena itulah Allah SWT
menurunkan firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu,
dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.”(QS. Al-Maidah(5):87)

Mengutamakan Menikah daripada Haji


Jika seseorang lebih terdesak untuk melangsungkan pernikahan
yang khawatir terjerumus paa perbuatan zina karena tidak menikah maka
dia harus mengutamakan menikah daripada melaksanakan ibadan haji.
Tapi jika tidakmemilki kekhawatiran seperti itu, mka harus lebih
mengutamakan haji daripada menikah. Begitupula pada segala bentuk
fardhu kifayah seperti mencari ilmu dan jihad. Semuanya harus
diutamakan daripad menikah, ketika tidak dikhawatirkan akan terjerumus
pada zinah.
Masalah Enggan Menikah dan Penyebabnya
Berdasarkan pembahasan diatas, jelaslah bahwa nikah merupakan
kebutuhan mendesak yang tidak mungkin diabaikan. Tidak ada alasan
untuk tidak menikah, keculi tidak mampu atau suka maksiat, sebagaimana
yang telah dinyatakan oleh Amirul Mukminin Umar r.a. Gaya hdiup
rahbaniyah bukanlah ajaran islam dan enggan hidup berkeluarga akan
menghilangkan sekian banyak peluang meraih kebaikan dan
keistimewaan.
Semua itu sudah cukup mejadi alasanyang mendorong sebuah kaum
musliminagar berusaha menyiapkan sebuah perangkat dan sarana yang
menunjang terlaksananya pernikahan agar tercipta kebahagiaan yang
sama-sama dirasakan oleh laki-laki dan perempuan.
Tapi yang terjadi adalah sebaliknya, banyaknkeluarga yang menyimpang
dari islam dan keagungan ajaran-ajarannya. Mereka justru mempersulit
pernikahan dan meletakkan rintangan-rintangan dijalan-Nya. Alhasil,
sikap mempersuli ini melahirkan krisis yang membuat banyak kaum
wanita-laki-laki yang hars menderita karena membujang dan menahan
gejolak-gejolaknya, selain berakibat paa meningkatnya berbagai bentuk
hubungan liar dam tidak mengindahkan norma asusila.
Fenomena krisis pernikhan dipedesaan tidak mencolok jika dibandingkan
dengan masyarakat kota, karena gaya hdiup orang-orang desa masih jauh
dari hedonisme dan tuntutan-tuntutan hidup, tentunya setelah
mengecualikan beberapa keluarga kaya didesa, sementara gaya hidup di
kota syarat dengan bebagai tuntutan.
Penyebab paling dominan yang memicu krisi ini adalah standar mas kawin
yang terlalu tinggi dan banyaknya biaya yang harus dikeluarkan sehingga
menyesakkan dada suami dan membuatnya tidak berkutik. Ini satu sisi,
sedan sisi lain, cara pergaulan dan kebiasaan wanita keluar rumah dengan
penampilan cukup bebas menimbulkan keraguan pada tingkah lakunya,
sehingga membuat laki-laki semakin berhati-hati untuk memilih pasangan
hidupnya. Bahkan, sebagian orang ada yang memilih tidak meinkah
dengan alasan terlalu sulit mencari wanita yang layak pada pandangannya,
untuk mengemban kehidupan keluarga yang ideal.
Harus ada kesadaran untuk kembali pada ajaran-ajaran islam untuk
mendidik wanita dan menanamkan nilai-nilai kehoratan, kesucin, dan rasa
malu kepadanya. Juga harus mengikis tradisis mas kawin an biaya-biaya
perkawinan yang terlalu mahal.1

D. Pokok Pikira

Hikmah Az-Zawaj

Hukum Pernikahan
Adapun dalam kitab Fathul Qarib karangan Syekh Syamsuddin Abu
Abdillah hukum nikah :
1. Karenadorongannafsubirahi (seks) terlalukuat,
dantumbuhnyakesadarantentang “lemahnyapertahanan di
dalammenghindariperilakukeji (berzinamisalnya),
seandainnyatidaksegerakawin (khawatir)
terjerumuskejurangkemaksiatan, makasekalipunpersiapanbiayadan
lain –lain dalamperkawinanjauhdarisempurna (sekedarcukup),
makanikahhukumnyawajib.
2. Nikahbisa haram, karenawanita yang dinikahisedangmenajlaniiddah,
ihram haji ataumasihadahubungandarah (mahram)
3. Karenakeinginanpelampiasannafsubirahi yang kuatdanpikiran
(benakbenik) nyatidaktentram kalua tidaknikah, sekalipuntegar
(penuhpercayadiri) tidakmungkinterjerumusdalamperilakukeji (kalua
tidakkawin), makanikahhukumnya Sunnah.

1
Sayyid sabiq,Fiqih Sunnah, Hlm. 162-168
4. Wanita yangkawintidakjelas normal akanya,
atautidakcantilakhlakbudipekertinyaataujanda yang masih di monitor
(dalampengawasan) mantansuami yang cemburu,
makakawinhukumnyamakruh.2

5. Kitab Pembanding
FIQIH MUNAKAHAT
(PROF. DR. AMIR SYARIFUDDIN)
Hikmah Az-Zawaj
Ayat-ayat Al-Quran yang mengatur hal ihwal perkawinan itu ada sekitar
85 ayat diantara lebih dari 6000 ayat yang tersebar dalam sekitar 22 surat dari
114 surat dalam Al-Quran.
Tujuan dan Hikmah Perkawinan yang Terdapat Dalam Fiqh Munakahat
a. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan generasi
yang akan datang. Hal ini terlihat dari isyarat surat an-Nisa’ ayat 1:

َّ َ‫ق ِم ْنهَا َزوْ َجهَا َوب‬


‫ث ِم ْنهُ َما ِر َجااًل َكثِيرًا‬ َ َ‫س َوا ِح َد ٍة َو َخل‬ ٍ ‫يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذي َخلَقَ ُك ْم ِم ْن نَ ْف‬
‫َونِ َسا ًء ۚ َواتَّقُوا هَّللا َ الَّ ِذي تَ َسا َءلُونَ بِ ِه َواأْل َرْ َحا َم ۚ إِ َّن هَّللا َ َكانَ َعلَ ْي ُك ْم َرقِيبًا‬

Untuk maksud itu Allah menciptkan bagi manusia nafsu syahwat yang
dapat mendorongnya untuk mencari pasangan hidupnya untuk
menyalurkan nafsu syahwat tersebut.
b. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan
rasa kasih sayang. Hal ini terlihat dari firman Allah dalam surat Ar-Rum
ayat 21 yang telah dikutip di atas.

2
SyekhSyamsudin Abu Abdillah, FathulQaribHlm. 248
َ ِ‫ق لَ ُك ْم ِم ْن أَ ْنفُ ِس ُك ْم أَ ْز َواجًا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َم َو َّدةً َو َرحْ َمةً ۚ إِ َّن فِي ٰ َذل‬
‫ك‬ َ َ‫َو ِم ْن آيَاتِ ِه أَ ْن َخل‬
َ‫ت لِقَوْ ٍم يَتَفَ َّكرُون‬
ٍ ‫آَل يَا‬

Adapun diantara hikmah yang dapat ditemukan dalam perkawinan itu


adalah menghalangi mata dari melihat kepada hal-hal yang tidak diizinkan
syara’ dan menjaga kehormatan diri dari terjatuh pada kerusakan seksual.
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh Nabi dalam hadisnya
yang muttafaq alaih yang berasal dari Abdullah ibn Mas’ud, ucapan Nabi:
Wahai para pemuda siapa diantaramu telah mempunyai kemampuan
untuk kawin, maka kawinlah, karena perkawinan itu lebih menghalangi
penglihatan (dari maksiat)dan lebih menjaga kehormatan (dari kerusakan
seksual). Siapa yang belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa itu
baginya akan mengekang syahwat.

Hukum Az-Zawaj
Menurut Ulama’ Hanafiyah Hukum Menikah adalah, wajib
apabila orang tersebut telah pantas untuk menikah, berkeinginan untuk
menikah, ia takut akan terjerumus berbuat zina kalau ia tidak menikah.
Makruh bagi orang yang pada dasarnya mampu melakukan pernikahan
namun orang tersebut merasa akan berbuat curang dalam pernikahanya
itu.3
6. Ketentuan Perundangan Yang Berlaku
a. Hadist
ْ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اَلنِّكا َ ُح ِم ْن ُسنَّتِ ْي فَ َم ْن لَ ْم يَ ْع َمل‬ ْ َ‫ع َْن عَا ئِ َشةَ قَال‬
َ ِ‫ت قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬
‫ْس ِمنِّ ْي َوتَ َز َّوجُوْ ا فَإِنِّ ْي ُمكاَثِ ٌر بِ ُك ُم ْاالَ َم َم َو َم ْن َكانَ َذاطَوْ ٍل فَ ْليَ ْن ِكحْ َو َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد‬
َ ‫بِ ُسنَّتِ ْي فَلَي‬
)‫ (أخرجه ابن ماجه في كتاب النكاح‬. ‫صيَ ِام فَإ ِ َّن الصَّوْ َم لَهُ ِو َجا ٌء‬
ِّ ‫فَ َعلَ ْي ِه بِال‬
Artinya: “Dari ‘Aisyah, Dia berkata Rasulullah SAW bersabda: Nikah itu
sebagian dari sunahku, barang siapa yang tidak mau mengamalkan
sunahku, maka dia bukan termasuk golonganku. Dan menikahlah kalian
3
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006). Hlm 46
semua, sesungguhnya aku (senang) kalian memperbanyak umat, dan
barang siapa (diantara kalian) telah memiliki kemampuaan atau
persiapan (untuk menikah) maka menikahlah, dan barang siapa yang
belum mendapati dirinya (kemampuan atau kesiapan )  maka hendaklah
ia berpuasa, sesungguhnya puasa merupakan pemotong hawa nafsu
baginya.” (dikeluarkan dari HR. Ibnu Majah dalam Kitab Nikah)
ِ َّ‫ فَ ْليَت‬،‫ اِ َذا تَزَ َّو َج ْال َع ْب ُد فَقَ ِد ا ْستَ ْك َم َل نِصْ فَ ال ِّد ْي ِن‬:‫ قَا َل َرسُوْ ُل هللاِ ص‬،‫و فى رواية البيهقى‬
‫ق هللاَ فِى‬
.‫ف ْالبَاقِى‬
ِ ْ‫النِّص‬
Dan dalam riwayat Baihaqi disebutkan, Rasulullah SAW bersabda,
“Apabila seorang hamba telah menikah, berarti dia telah
menyempurnakan separo agamanya, maka hendaklah dia
bertaqwa kepada Allah pada separo sisanya”.

b. Fiqh
Fiqh munakahat sebagai Hukum Agama mendapat pengakuan
resmi dari UU Perkawinan dalam mengatur hal-hal yang berkenaan
dengan perkawinan bagi umat beragama Islam. Landasan hukum ini
terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang rumusannya:
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
Dengan melihat kepada lahiriah pasal tersebut diatas akan berarti
bahwa apa yang dinyatakan sah dalam fiqh munakahat adalah juga sah
menurut UU Perkawinan. Karena UU Perkawinan kepada fiqh munakahat
yang selama ini berlaku di Indonesia, yaitu menurut madzhab Syafi’iy.4

c. Hukum Positif
Sejarah yang menjadi peraturan perundang-undangan negara yang
mengatur perkawinan yang telah ditetapkan setelah Indonesia merdeka
adalah:
1. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya
Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21 November 1946 No.

4
Ibid. 28.
22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk diseluruh
daerah Luar Jawa dan Madura.
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
merupakan hukum materiil dari perkawinan, untuk seluruh agama.
3. Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. PP ini hanya
memuat pelaksanaan dari beberapa ketentuan yang terdapat dalam UU
No. 1 Tahun 1974.
4. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Memuat
aturan yang berkenaan dengan tata cara (hukum formiil) penyelesaian
sengketa perkawinan di Pengadilan Agama.
5. Kompilasi Hukum Islam / KHI (PMA No. 154 Tahun 1991 tentang
aturan Pelaksana Inpres No. 1 Tahun 1991).

Diantara beberapa hukum perundang-undangan tersebut di atas


fokus bahasan diarahkan kepada UU No. 1 Tahun 1974, karena
hukum materiil perkawinan keseluruhannya terdapat dalam UU ini.
Serta yang dijadikan pedoman oleh Hakim di Pengadilan Agama
yang harus diikuti dalam penyelesaian perkara perkawinan, yaitu
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang penyebarluasannya dilakukan
melalui Intruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam.5

5
Ibid. 20-21.

Anda mungkin juga menyukai