PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia sendiri ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan negara yang khusus berlaku bagi
warga negara Indonesia. Aturan perkawinan yang dimaksud adalah dalam
bentuk undang-undang yaitu UU No. 1 Tahun 1974 dan peraturan
pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. UU ini
merupakan hukum materiil dari perkawinan, sedangkan hukum formalnya
ditetapkan dalam UU No.7 Tahun 1989. Sedangkan aturan pelengkapnya yang
akan menjadi pedoman bagi hakim di lembaga peradilan agama adalah
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah ditetapkan dan disebarluaskan
melalui Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Tetapi, tidak hanya hukum positif yang mengatur tentang perkawinan.
Hukum Islam juga mengatur tentang perkawinan. Jelas dalam Al-Quran dan
Hadits juga telah diatur hukum tentang perkawinan. Namun umat Islam masih
banyak yang belum memahami tentang hukum yang telah dijelaskan dalam Al-
Quran dan Hadits tersebut. Serta pokok-pokok apa saja yang harus ada dalam
melangsungkan perkawinan.
Nah, dengan adanya makalah ini, kami akan mengkaji hukum Islam yang
berkaitan dengan hikmah perkawinan. Serta menguraikan dan membandingkan
ketentuan perundangan dengan hukum Islam terkait perkawinan yang saat ini
berlaku di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja pokok pikiran yang terkandung dalam teks perkawinan tersebut?
2. Bagiamana ketentuan perundangan yang berlaku?
BAB II
PEMBAHASAN
B. Terjemahan Teks
PASAL TENTANG
HIKMAH PERNIKAHAN
Islam menganjurkan dan menggalakkan pernikahan dengan cara seperti
itu karena banyak sekali dampak positif yang sangat bermanfaat. Baik bagi
pelakunya sendiri maupun umat, bahkan manusia secara keseluruhan. Beberapa
hikmah dari pernikahan yang diserukan Islam adalah sebagai berikut:
1. Naluri seks termasuk naluri yang paling kuat dan keras, serta selalu
mendesak manusia untuk mencari obyek penyalurannya. Ketika tidak
dapat dipenuhi, banyak manusia yang terus dirundung kesedihan dan
kegelisahan, lalu menjerumuskannya kepada jalan yang sangat buruk.
Pernikahan merupakan kondisi alamiah yang paling baik dan aspek
biologis yang sangat tepat untuk menyalurkan dan memenuhi kebutuhan
naluri seks. Dengan cara ini, kegelisahan akan terendam, gejolak jiwa
akan menjadi tenang, pandangan terjaga dari obyek-obyek yang haram,
dan perasaan lebih nyaman untuk meraih apa yang dihalalkan oleh Allah.
Ini kondisi yang disinggung di dalam ayat Al-Quran.
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu ister-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteran kepadanya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. QS. Ar-Ruum : 21
Nikah Haram
Hukum menikah menjadi haram bagi orang yang tidak bisa
memenuhi hak istri, baik hubungan seks maupun nafkah, karena tidak
mampu sedangkan hasrat melakukannya cukup besar
Al-Qurthubi menjelaskan, “Ketika seorang lelaki tahu dirinya tidak
sanggup memberi nafkah atau mahar kepada wanita yang akan
diperistrinya atau hak-hak istri lainnya yang menjadi kewaiban suami,
maka dia tidak boleh menikahi wanita itu kecuai setalah menrangkan
keadaannya. Atau, dia dapat memastikan dirinya sanggup memenuhi hak-
hak istrinya. Begitu juga jika meiliki cacat yang membuatnya tidak
mampu melakukan hubungan seks, maka dia juga harus menerangkan
keadaannya agar wanita itu tidak tertipu olehnya. Selain itu, tidak boleh
berbohong dengan mengaku berasal dari keturunan terhormat, punya
banyak harta dan karya besar untuk menipu wanita.”
Sebaliknya, ketika wanita tahu dirinya tidak sanggup memenuhi
hak-hak suami, atau punya cacat yang membuatnya tidak mampu
melakukan hubungan seks, seperti gila,kusta,sopak (penykit kulit), atau
penyakit kelamin, maka dia tidak boleh menipu calon suaminya,
melainkan wajib menerangkan keadaannya itu apa adanya. Sama seperti
kewajiban penjual untuk menerangkan kondisi barang jualannya. Ketika
suami atau isteri menemukan cacat pada pasangannya, maka boleh
mengembalikannya. Jika cacat itu terdapat pada istri, maka suami berhak
mengembalikannya dan mengambil kembali seluruh mas kawin yang telah
diberikannya.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi SAW menikahi
wanita dari Bani Bayadhah. Tapi ketika beliu mendapati pada pusar wanita
terdapat sopak (penyakit kulit), maka beliau mengembalikannya seraya
berkata kepad keluarganya, “kalian telah menipuku”
Ada dua pendapat yang berbeda dari Malik tentang wanita yang
dinikahi pria impotensi, jika telah bersatu lalu diceraikan karena alasan
impotensi yang diderita suaminya. Dalam satu kesempatan Malik berkata,
“wanita itu berhak mendapatkan seluruh mas kawin yang diterimanya.”,
dalam kesempatan lain Malik berkata, “wanita itu hanya berhak mendapat
setengah mas kawin yang diterimanya.”
Perbedaan pendapat Malik ini terjadi karena ada perbedaan pada
dua masalah, yakni bagaimana mas kawin dimiliki?apakah cukup
diserahkannya mempelai wanita kepada suaminya mau dengan melakukan
hubungan badan?Dua pendapat itulah jawabannya.
Nikah Makruh
Nikah menjadi makruh bagi orang yang tidak akan sanggup memnuhi hak
istri baik hubungan seks maupun nafkah, tapi tidak membahayakan
wanita, seperti bila sang wanita kaya dan tidak memiliki dorongan nafsu
yang kuat untuk melakukan hubungan seks. Sedangkan jika dengan
kondisi itu dia tidak dapat menjalankan beberapa amal ibadah, atau
menghambatnya mencari ilmu, maka tingkat makruhnya semakin tinggi.
Nikah Mubah
Hukum menikah menjadi mubah jika semua dorongan dan halangan
menikah diatas tidak ada.
D. Pokok Pikira
Hikmah Az-Zawaj
Hukum Pernikahan
Adapun dalam kitab Fathul Qarib karangan Syekh Syamsuddin Abu
Abdillah hukum nikah :
1. Karenadorongannafsubirahi (seks) terlalukuat,
dantumbuhnyakesadarantentang “lemahnyapertahanan di
dalammenghindariperilakukeji (berzinamisalnya),
seandainnyatidaksegerakawin (khawatir)
terjerumuskejurangkemaksiatan, makasekalipunpersiapanbiayadan
lain –lain dalamperkawinanjauhdarisempurna (sekedarcukup),
makanikahhukumnyawajib.
2. Nikahbisa haram, karenawanita yang dinikahisedangmenajlaniiddah,
ihram haji ataumasihadahubungandarah (mahram)
3. Karenakeinginanpelampiasannafsubirahi yang kuatdanpikiran
(benakbenik) nyatidaktentram kalua tidaknikah, sekalipuntegar
(penuhpercayadiri) tidakmungkinterjerumusdalamperilakukeji (kalua
tidakkawin), makanikahhukumnya Sunnah.
1
Sayyid sabiq,Fiqih Sunnah, Hlm. 162-168
4. Wanita yangkawintidakjelas normal akanya,
atautidakcantilakhlakbudipekertinyaataujanda yang masih di monitor
(dalampengawasan) mantansuami yang cemburu,
makakawinhukumnyamakruh.2
5. Kitab Pembanding
FIQIH MUNAKAHAT
(PROF. DR. AMIR SYARIFUDDIN)
Hikmah Az-Zawaj
Ayat-ayat Al-Quran yang mengatur hal ihwal perkawinan itu ada sekitar
85 ayat diantara lebih dari 6000 ayat yang tersebar dalam sekitar 22 surat dari
114 surat dalam Al-Quran.
Tujuan dan Hikmah Perkawinan yang Terdapat Dalam Fiqh Munakahat
a. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan generasi
yang akan datang. Hal ini terlihat dari isyarat surat an-Nisa’ ayat 1:
Untuk maksud itu Allah menciptkan bagi manusia nafsu syahwat yang
dapat mendorongnya untuk mencari pasangan hidupnya untuk
menyalurkan nafsu syahwat tersebut.
b. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan
rasa kasih sayang. Hal ini terlihat dari firman Allah dalam surat Ar-Rum
ayat 21 yang telah dikutip di atas.
2
SyekhSyamsudin Abu Abdillah, FathulQaribHlm. 248
َ ِق لَ ُك ْم ِم ْن أَ ْنفُ ِس ُك ْم أَ ْز َواجًا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َم َو َّدةً َو َرحْ َمةً ۚ إِ َّن فِي ٰ َذل
ك َ ََو ِم ْن آيَاتِ ِه أَ ْن َخل
َت لِقَوْ ٍم يَتَفَ َّكرُون
ٍ آَل يَا
Hukum Az-Zawaj
Menurut Ulama’ Hanafiyah Hukum Menikah adalah, wajib
apabila orang tersebut telah pantas untuk menikah, berkeinginan untuk
menikah, ia takut akan terjerumus berbuat zina kalau ia tidak menikah.
Makruh bagi orang yang pada dasarnya mampu melakukan pernikahan
namun orang tersebut merasa akan berbuat curang dalam pernikahanya
itu.3
6. Ketentuan Perundangan Yang Berlaku
a. Hadist
ْصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اَلنِّكا َ ُح ِم ْن ُسنَّتِ ْي فَ َم ْن لَ ْم يَ ْع َمل ْ َع َْن عَا ئِ َشةَ قَال
َ ِت قَا َل َرسُوْ ُل هللا
ْس ِمنِّ ْي َوتَ َز َّوجُوْ ا فَإِنِّ ْي ُمكاَثِ ٌر بِ ُك ُم ْاالَ َم َم َو َم ْن َكانَ َذاطَوْ ٍل فَ ْليَ ْن ِكحْ َو َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد
َ بِ ُسنَّتِ ْي فَلَي
) (أخرجه ابن ماجه في كتاب النكاح. صيَ ِام فَإ ِ َّن الصَّوْ َم لَهُ ِو َجا ٌء
ِّ فَ َعلَ ْي ِه بِال
Artinya: “Dari ‘Aisyah, Dia berkata Rasulullah SAW bersabda: Nikah itu
sebagian dari sunahku, barang siapa yang tidak mau mengamalkan
sunahku, maka dia bukan termasuk golonganku. Dan menikahlah kalian
3
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006). Hlm 46
semua, sesungguhnya aku (senang) kalian memperbanyak umat, dan
barang siapa (diantara kalian) telah memiliki kemampuaan atau
persiapan (untuk menikah) maka menikahlah, dan barang siapa yang
belum mendapati dirinya (kemampuan atau kesiapan ) maka hendaklah
ia berpuasa, sesungguhnya puasa merupakan pemotong hawa nafsu
baginya.” (dikeluarkan dari HR. Ibnu Majah dalam Kitab Nikah)
ِ َّ فَ ْليَت، اِ َذا تَزَ َّو َج ْال َع ْب ُد فَقَ ِد ا ْستَ ْك َم َل نِصْ فَ ال ِّد ْي ِن: قَا َل َرسُوْ ُل هللاِ ص،و فى رواية البيهقى
ق هللاَ فِى
.ف ْالبَاقِى
ِ ْالنِّص
Dan dalam riwayat Baihaqi disebutkan, Rasulullah SAW bersabda,
“Apabila seorang hamba telah menikah, berarti dia telah
menyempurnakan separo agamanya, maka hendaklah dia
bertaqwa kepada Allah pada separo sisanya”.
b. Fiqh
Fiqh munakahat sebagai Hukum Agama mendapat pengakuan
resmi dari UU Perkawinan dalam mengatur hal-hal yang berkenaan
dengan perkawinan bagi umat beragama Islam. Landasan hukum ini
terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang rumusannya:
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
Dengan melihat kepada lahiriah pasal tersebut diatas akan berarti
bahwa apa yang dinyatakan sah dalam fiqh munakahat adalah juga sah
menurut UU Perkawinan. Karena UU Perkawinan kepada fiqh munakahat
yang selama ini berlaku di Indonesia, yaitu menurut madzhab Syafi’iy.4
c. Hukum Positif
Sejarah yang menjadi peraturan perundang-undangan negara yang
mengatur perkawinan yang telah ditetapkan setelah Indonesia merdeka
adalah:
1. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya
Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21 November 1946 No.
4
Ibid. 28.
22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk diseluruh
daerah Luar Jawa dan Madura.
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
merupakan hukum materiil dari perkawinan, untuk seluruh agama.
3. Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. PP ini hanya
memuat pelaksanaan dari beberapa ketentuan yang terdapat dalam UU
No. 1 Tahun 1974.
4. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Memuat
aturan yang berkenaan dengan tata cara (hukum formiil) penyelesaian
sengketa perkawinan di Pengadilan Agama.
5. Kompilasi Hukum Islam / KHI (PMA No. 154 Tahun 1991 tentang
aturan Pelaksana Inpres No. 1 Tahun 1991).
5
Ibid. 20-21.