Anda di halaman 1dari 17

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pengkajian Keperawatan
Dalam bab ini akan dibahas mengenai persamaan dan perbedaan antara
konsep dasar secara teori dengan asuhan keperawatan gerontik pada Tn.”S”
dengan gangguan sistem muskuloskeletal : gout arthritis di panti sosial lanjut
usia harapan kita kota palembang.
Pengkajian adalah dasar utama langkah dari suatu proses keperawatan
yang terdiri dari tiga tahap pengumpulan data, pengorganisasian serta
kemampuan menganalisa dan merumuskan diagnosa. Pengkajian yang penulis
lakukan dalam asuhan keperawatan pada Tn.”S” dengan gangguan sistem
muskuloskeletal : gout arthritis di panti sosial lanjut usia harapan kita kota
palembang meliputi biodata, riwayat kesehatan, kebutuhan dasar, pemeriksaan
fisik dan data penunjang. Pada saat melakukan pengkajian penulis
menggunakan instrumen pengkajian sebagai pedoman yaitu pengkajian
menurut (NANDA 2017). Pada proses pengkajian Tn.”S” didapatkan data
dengan teknik wawancara dan observasi langsung dengan Tn.”S”. Teknik
tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Padila (2014) yang mengatakan
bahwa pengkajian merupakan suatu tahapan dimana perawat mengambil
semua data secara terus menerus terhadap klien yang dibinanya. Sumber
informasi untuk pengumpulan data dapat menggunakan metode wawancara
dan observasi kepada klien. Dari proses pengkajian pada Tn.”S” didapatkan
data yaitu bahwasanya Tn.”S” kadar uric acid nya meningkat sudah hampir 1
tahun ini, Tn.”S” sering mengalami nyeri pada sendi jari – jari kaki dan tangan
nya. Tn.”S” mengatakan karena nyeri tersebut ia sulit untuk melakukan
aktivitas seperti biasanya, dan Tn.”S” juga mengatakan sulit tidur pada saat
nyeri timbul dan sulit untuk tidur kembali. Saat ini Tn.”S” tidak menggunakan
obat apapun dikarenakan keterbatasan ekonomi semenjak masuk di panti.

1
2

B. Diagnosa Keperawatan
Setelah semua data dianalisa dan dikelompokkan masalah – masalah
keperawatan yang muncul, maka penulis dapat merumuskan diagnosa
keperawatan. Menurut Betan, (2013) diagnosa keperawatan disusun
berdasarkan jenis diagnosis seperti diagnosis sehat (wellness), diagnosis
ancaman (resiko), dan diagnosis aktual (gangguan). Berdasarkan pengkajian
didapatkan 3 diagnosa keperawatan yaitu :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis
Diagnosa keperawatan ini diangkat berdasarkan pengkajian yang
dilakukan oleh penulis tentang nyeri akut yaitu Tn. “S” mengeluh sering
merasakan nyeri pada sendi jari-jari kaki dan tangan, Tn. “S” mengatakan
sudah menderita gout arthritis selama 1 tahun, Tn. “S” mengatakan kadar
uric acid nya pernah sampai 10mg/dL. Tn. “S” tampak meringis, TTV :
TD : 160/90 mmHg, RR: 22x/mnt, N : 84x/mnt, Temp : 36,8°C, Uric Acid:
8.8mg/dL.
Nyeri pada bagian sendi tubuh yang disebabkan oleh penimbunan zat
purin yang mengkristal dan mengakibatkan munculnya gejala yaitu rasa
sakit atau nyeri yang menusuk – nusuk pada sendi kaki, tangan, dan ruas –
ruas jari tangan. Nyeri yang terjadi pada Tn. “S” adalah karena kadar uric
acid yang meningkat sehingga terjadi penimbunan serta pengendapan dan
menyebabkan pengkristalan urat. Pengkristalan tersebut memicu
terjadinya mekanisme peradangan yang menimbulkan eritma panas dan
respon inflamasi lokal.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan
otot
Pada pengkajian ini ditemukan diagnosa keperawatan yaitu gangguan
mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, dimana data
subjektif yang didapatkan oleh penulis yaitu klien mengatakan kaki dan
tangan nya lemah, sulit digerakkan , dan tidak dapat melakukan aktivitas
terlalu berat. Data objektif yang ditemukan yaitu klien tampak sulit
melakukan aktivitas, klien tampak berjalan perlahan – lahan, serta sulit
melakukan aktivitas dan klien tampak lelah. Secara teoritis gangguan
mobilisasi fisik (imobilisasi) didefinisikan oleh North American Nursing
3

Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu keadaan ketika individu


mengalami atau resiko mengalami keterbatasan gerak fisik (Tarwoto &
Wartona, 2010). Perubahan dalam tingkat mobilitas fisik dapat
mengakibatkan instruksi pembatasan gerak dalam bentuk tirah baring,
pembatasan gerak fisik selama penggunaan alat bentuk eksternal
(misalnya: gips atau traksi rangka), pembatasan gerakan volunter, atau
kehilangan fungsi motorik, gangguan mobilitas fisik yang terjadi pada
Tn.”S” dikarenakan terjadinya erosi tulang rawan, proliferasi, dan
pembentukan panus, yang menyebabkan terbentuk tofus & tukak pada
sendi, dan mengakibatkan kekakuan pada sendi serta pergerakan sendi
menjadi terbatas.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik
Pada pengkajian ini juga diangkat diagnosa keperawatan gangguan pola
tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik. Hal ini didasarkan pada
data subjektif yang didapatkan yaitu klien mengatakan kebutuhan istirahat
& tidur nya tidak tercukupi, saat tidur sering terjaga tengah malam karena
nyeri dan sulit untuk tidur kembali, serta tidur hanya 4 jam. Secara teoritis
gangguan pola tidur adalah ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan
tidur baik kualitas maupun kuantitas. Jenis gangguan pola tidur ada 3
macam yaitu gangguan pola tidur inisial atau tidak dapat memulai tidur,
gangguan pola tidur intermitten atau tidak bisa mempertahankan tidur atau
sering terjaga dan gangguan pola tidur terminal atau bangun secara dini
dan tidak dapat tidur kembali (Potter, 2013). Insomnia merupakan
gangguan tidur yang paling sering ditemukan. Setiap tahun diperkirakan
sekitar 20-50 % orang dewasa melaporkan adanya gangguan tidur dan
sekitar 17 % mengalami gangguan tidur serius. Berdasarkan survei yang
ada, prevalensi insomnia yang terjadi di Amerika mencapai 60-70 kasus
orang dewasa. Di Indonesia, prevalensi insomnia sekitar 10 %, yang
berarti 28 juta orang dari total 238 juta penduduk Indonesia menderita
insomnia (Amir, 2010). Insomnia yang terjadi pada Tn. “S” dikarenakan
adanya penimbunan & pengendapan kristal urat di sinovial & tulang
rawan, mengakibatkan pengaktifan sistem kompelen dan pengeluaran
4

radikal bebas toksik serta leukoproytein B, lalu merusak serabut perifer,


maka timbulnya nyeri pada malam hari yang menyebabkan klien
mengalami gangguan pola tidur.

C. Intervensi Keperawatan
Rencana tindakan keperawatan merupakan tindakan agar tercapainya
tujuan yang diinginkan dalam memenuhi kebutuhan klien. Pada prinsipnya
penulis tidak menemukan hambatan yang berarti dalam melakukan tindakan
keperawatan. Hal ini disebabkan faktor – faktor yang mendukung antara lain
adalah hubungan kerja sama yang baik antara penulis dengan klien dalam
mengatasi masalah yang sedang klien hadapi bersama – sama.
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis
Diagnosa keperawatan ini diangkat berdasarkan pengkajian yang
dilakukan oleh penulis tentang diagnosa nyeri akut yaitu Tn. “S” mengeluh
sering merasakan nyeri pada sendi jari-jari kaki dan tangan, Tn. “S”
mengatakan sudah menderita gout arthritis sejak 1 tahun yang lalu, klien
mengatakan kadar uric acid nya pernah sampai 10 mg/dL. Tn. “S” tampak
meringis memegang sendi jari-jari kaki dan tangan, TD : 160/90 mmHg,
RR:22x/mnt, N : 84x/mnt, Temp : 36,8°C, Urice Acid : 8.8 mg/dL. Dalam
proses keperawatan ini penulis menetapkan tujuan jangka panjang
diharapkan perubahan kadar uric acid dengan nilai normal. Intervensi
diatas dapat dilakukan oleh penulis dalam memberikan tindakan
keperawatan pada Tn. “S yaitu melakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
dan faktor presipitasi, monitor tanda-tanda vital, mengobservasi reaksi
nonverbal dari ketidaknyamanan, mengajarkan strategi komunikasi
terapeutik untuk mengungkapkan pengalaman nyeri dan penerimaan klien
terhadap respon nyeri, mengurangi faktor predisposisi nyeri, mengajarkan
tentang teknik non farmakologi, mengontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri, serta memberikan informasi tentang nyeri termasuk
penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan hilang, antisipasi terhadap
ketidaknyamanan dari nyeri.
5

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan


otot
Diagnosa ini ditegakkan karena pada pengkajian penulis menemukan data
adanya keluhan yang ditandai klien tidak mampu beraktivitas dengan baik.
Klien mengatakan sulit menggerakkan kaki dan tangannya. Dalam proses
keperawatan ini penulis menetapkan tujuan jangka panjang agar klien
mampu melakukan aktivitas sehari – hari dengan baik dan tanpa bantuan
orang lain. Klien mampu menggerak – gerakkan setiap jari – jari kaki dan
tangan nya perlahan – lahan.
Intervensi diatas dapat dilakukan oleh penulis dalam memberikan tindakan
keperawatan pada Tn.”S” dengan mengakjarkan teknik range of motion
(ROM). Tujuan penulis mengajarkan dan melatih range of motion (ROM)
pada Tn. “S” adalah untuk meningkatkan atau mempertahankan
fleksibilitas dan kekuatan otot, serta mencegah kekakuan pada sendi.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik
Diagnosa ini ditegakkan karena pada pengkajian penulis menemukan data
adanya keluhan yaitu klien mengatakan kebutuhan istirahat & tidur nya
tidak tercukupi, klien mengatakan saat tidur sering terjaga tengah malam
karena nyeri dan sulit untuk tidur kembali, serta klien juga mengatakan
tidur hanya 4 jam. Klien tampak lesu dan lelah, mata klien tampak cekung,
hasil observasi tanda – tanda vital:
TD: 160/90 mmHg, RR: 22x/mnt, N: 84x/mnt, Temp : 36,8°C.
Intervensi yang dapat dilakukan oleh penulis dalam memberikan tindakan
keperawatan pada klien yaitu menentukan pola tidur/aktivitas klien serta
siklus tidur yang teratur, menganjurkan klien untuk monitoring pola tidur,
dan membantu untuk menghilangkan situasi stres sebelum tidur. Mengatur
pola tidur yang sehat dapat memberikan efek yang baik terhadap
kesehatan, yaitu efek fisiologis terhadapa sistem syaraf yang di perkirakan
dapat memulihkan kepekaan normal dan keseimbangan di antara susunan
saraf, serta berefek terhadap struktur tubuh dengan memulihkan kesegaran
dan fungsi organ tubuh.
6

D. Implementasi Keperawatan
Dalam tahapan ini penulis melakukan tindakan keperawatan berdasarkan
rencana tindakan yang telah dibuat. Pada tahap pelaksanaan tindakan
keperawatan yang merupakan tindakan yang nyata terhadap klien dalam
rangka mencapai tujuan yang diinginkan. Dari keseluruhan rencana tindakan
dapat diaplikasikan kedalam tindakan keperawatan yang nyata. Semua
tindakan dari diagnosa dilakukan sesuai yang sudah direncanakan. Secara
teoritis tindakan keperawatan dipilih untuk membantu klien dalam mencapai
hasil. Harapannya bahwa klien dapat melakukan apa yang sudah dipilih
masalah, dan tujuannya.
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis
Pada diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis,
penulis melakukan implementasi sebagai berikut, yaitu:
a) Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan faktor presipitasi.
b) Monitoring tanda-tanda vital
c) Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
d) Menggunakan strategi komunikasi terapeutik untuk
mengungkapkan pengalaman nyeri dan penerimaan klien terhadap
respon nyeri
e) Mengurangi faktor predisposisi nyeri
f) Mengajarkan tentang teknik non farmakologi
g) Mengkontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
h) Memerikan informasi tentang nyeri termasuk penyebab nyeri,
berapa lama nyeri akan hilang, antisipasi terhadap ketidaknyamanan
dari nyeri
i) Berkolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik
Dimana yang penulis lakukan tentang tindakan keperawatan untuk
mengatasi nyeri akut adalah dengan melakukan kompres hangat saat nyeri
muncul serta memberikan penyuluhan kesehatan tentang cara melakukan
kompres hangat untuk mengurangi nyeri yang timbul akibat gout arthritis.
Ada beberapa hasil penelitian terkait untuk mengurangi nyeri dengan
menggunakan kompres hangat.
Berdasarkan penelitian Wurangian (2014) hasil analisis dengan
menggunakan Wilcoxon Signed Ranks Test diperoleh bahwa terdapat
perbedaan nyeri pada pasien gout arthritis sebelum diberikan kompres
7

hangat dengan sesudah diberikan kompres hangat. Nilai p yang diperoleh


melalui uji Wilcoxon Signed Ranks Test adalah (p = 0,000) dimana p < α
(0,05), maka Ho ditolak dan dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh
yang signifikan pemberian kompres hangat terhadap penurunan skala nyeri
pada pasien gout arthritis. Hal ini didukung pula oleh penelitian yang
serupa seperti yang dilakukan oleh Sani (2013) dari 40 responden yang
dibagi dalam dua kelompok intervensi, kelompok yang pertama dilakukan
pemberian intervensi kompres hangat sedangkan kelompok kedua
dilakukan intervensi kompres dingin menghasilkan kesimpulan bahwa
rata-rata penurunan skala nyeri pada kompres hangat adalah 1,60 dan rata-
rata penurunan skala nyeri pada kompres dingin adalah 1,05. Hal ini
berarti kompres hangat lebih efektif untuk menurunkan nyeri pada
penderita gout arthritis.
Menurut teori yang dikemukakan oleh Perry (2015), tindakan non
farmakologis untuk penderita gout arthritis diantaranya adalah kompres,
baik itu kompres hangat dan kompres dingin. Kompres hangat dan
kompres dingin adalah salah satu terapi modalitas fisik dalam bentuk
stimulasi kutaneus. Kompres hangat dan kompres dingin dapat
meringankan rasa nyeri dan radang ketika terjadi serangan asam urat yang
berulang-ulang. Efek pemberian terapi panas terhadap tubuh antara lain
meningkatkan aliran darah ke bagian tubuh yang mengalami cedera,
meningkatkan pengiriman leukosit dan antibiotik ke daerah luka,
meningkatkan relaksasi otot dan mengurangi nyeri akibat spasme atau
kekakuan, meningkatkan aliran darah dan meningkatkan pergerakan zat
sisa dan nutrisi. Menurut Riyadi (2012), kompres hangat adalah tindakan
yang dilakukan untuk melancarkan sirkulasi darah juga untuk
menghilangkan rasa sakit. Pemberian kompres dilakukan pada radang
persendian.
Menurut Zahroh (2018) hasil uji Wilcoxon sign rank test
didapatkan nilai 0,000 (0,000 < 0,05) maka Ho ditolak yang artinya ada
pengaruh kompres hangat terhadap penurunan nyeri pada penderita gout
arthritis. Hal tersebut senada dengan penelitian Rezky (2013) dan Rizka
8

(2014) yang menyatakan kompres hangat dapat menurunkan nyeri


penderita gout arhtritis.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka penulis berpendapat
kompres hangat dapat meredakan nyeri dengan mengurangi spasme otot,
merangsang nyeri, menyebabkan vasodalatasi dan peningkatan aliran
darah. Pembuluh darah akan melebar sehingga memperbaiki peredaran
darah dalam jaringan tersebut. Manfaatnya dapat memfokuskan perhatian
pada sesuatu selain nyeri, atau dapat tindakan pengalihan sese-orang tidak
terfokus pada nyeri lagi, dan dapat relak-sasi. Pemberian kompres hangat
dapat membuat pembuluh -pembuluh darah akan melebar sehingga
memperbaiki peredaran darah di dalam jaringan tersebut. Dengan cara ini
penyaluran zat asam dan bahan makanan ke sel-sel diperbesar dan
pembuangan dari zat-zat yang dibuang akan diperbaiki. Aktivitas sel
meningkat akan mengurangi rasa nyeri dan akan menunjang proses
penyembuhan.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan
otot
Pada diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan
kekuatan otot, penulis melakukan implementasi sebagai berikut, yaitu:
a) Monitoring tanda – tanda vital
b) Mereview ulang klien tentang latihan fisik ambulasi
c) Mengkaji ulang kemampuan mobilisasi klien
d) Mendampingi klien selama proses mobilisasi
Untuk meningkatkan mobilitas fisik klien terhadap aktivitas sehari –
hari yang dapat dilakukan oleh klien, penulis melakukan intervensi
keperawatan yaitu latihan ROM (range of motion). Dari hasil penelitian
Hastini (2016) menunjukkan bahwa ada pengaruh dari latihan ROM
terhadap mobilitas fisik lansia yang mengalami gout arthritis. Latihan
ROM dapat mengurangi kekakuan sendi, dan meningkatkan kekuatan otot.
Latihan ROM dapat meningkatkan perasaan senang, dan juga dapat
mengurangi nyeri.
Hasil penelitian Ulliya (2017) menunjukkan terdapat nilai yang
bermakna dengan nilai = 0,001 (p<0,05), yang artinya ada peningkatan
terhadap kekuatan otot setelah dilakukan latihan ROM terhadap lansia
9

yang mengalami hambatan mobilitas fisik dan kekakuan sendi. Penelitian


ini pun senada dengan penelitian yang dilakukan Taufandas (2018) dari
hasil Mann-Whitney Test terhadap peningkatan mobilitas fisik sendi lansia
diperoleh nilai p value sebesar 0.000 dan nilai Z -4,21. Nilai p value<0,05,
maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh terhadap peningkatan
mobilitas fisik pada lansia yang mengalami gout athritis.
Menurut Ambardini (2013) manfaat latihan fisik adalah mobilitas
sendi dan memperkuat otot yang menyokong dan melindungi sendi, yang
kaku, serta dapat mengurangi pembengkakan. Secara umum latihan ROM
dapat digunakan sebagai terapi non farmakologis dalam meningkatkan
mobilitas fisik pada lansia yang mengalami gout arthritis, pergerakan pada
persendian menyebabkan peningkatan aliran darah dan suplai nutrisi ke
dalam jaringan tulang rawan pada persendian tetap terjaga dengan baik
dan tidak menekan syaraf disekitarnya.
Latihan ROM adalah latihan yang menggerakkan persendian
seoptimal dan seluas mungkin sesuai kemampuan seseorang yang tidak
menimbulkan rasa nyeri pada sendi yang digerakkan. Adanya pergerakan
pada persendian akan menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah ke
dalam kapsula sendi (Astrand, et al., 2013 ; Junquera, 1998). Ketika sendi
digerakkan, permukaan kartilago antara kedua tulang akan saling
bergesekan. Kartilago banyak mengandung proteoglikans yang menempel
pada asam hialuronat yang bersifat hidrophilik, sehingga kartilago banyak
mengandung air sebanyak 70-75%. Adanya penekanan pada kartilago
akan mendesak air keluar dari matrik kartilago ke cairan sinovial. Bila
tekanan berhenti maka air yang keluar ke cairan sinovial akan ditarik
kembali dengan membawa nutrisi dari cairan sinovial.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka penulis berpendapat latihan
ROM merupakan salah satu bentuk distraksi atau pengalihan dari kondisi
ketidaknyamanan lansia. Latihan ROM juga harus disertai dengan
pemberian obat-obatan untuk beberapa lansia dengan masalah kesehatan
tertentu. Lingkungan dan riwayat penyakit dahulu juga merupakan
10

beberapa faktor yang memengaruhi keefektifan dari pemberian latihan


ROM.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik
Pada diagnosa gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyaman
fisik penulis melakukan implementasi sebagai berikut, yaitu:
a) Mengkaji pola tidur klien
b) Menjelaskan pada klien tentang kebutuhan tidur yang teratur
c) Mengintruksikan klien untuk beristirahat lebih awal
d) Membantu klien menghilangkan situasi stress sebelum tidur
dengan cara berdo’a
Gangguan tidur yang sering terjadi pada lansia adalah insomnia.
Insomnia menyebabkan kebutuhan tidur dan istirahat tidak terpenuhi
secara baik maka akan mempengaruhi kesehatan. Sedangkan tidur
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang terjadi secara alami
dan memiliki fungsi fisiologis dan psikologis untuk proses perbaikan
tubuh. Jika seseorang tidak mendapat tidur yang baik maka akan
menimbulkan kerusakan pada fungsi otot dan otak karena ke tidak
adekuatan nya kebutuhan tidur. Keluhan yang dialami oleh lansia dalam
pola tidurnya yaitu apabila lansia sudah terbangun ditengah malam sulit
untuk memulai tidur kembali (Stanley, 2016).
Selain itu, implementasi yang dilakukan untuk mencegah insomnia
adalah menginstruksikan klien untuk tidur lebih awal sehingga waktu yang
dibuuhkan untuk tidur menjadi cukup dan sesuai dengan kebutuhan, serta
membantu klien menghilangkan situasi stress sebelum tidur dengan cara
berdo’a. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dimana hasil yang
didapatkan pola tidur sehat dimana p = 0,003 atau p < 0,05 sehingga H1
diterima yang artinya terdapat pengaruh yang baik setelah diberikan pola
tidur sehat pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji Kab.
Gowa, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi Putu
Arysta (2013) dan Nurkuncoro (2015). Penelitian yang serupa juga
dilakukan oleh Fadillah pada tahun 2014 pembacaan do’a atau murottal
Al-Qur’an dapat berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan istirahat
tidur. Kurangnya jam tidur yang yang dipengaruhi oleh beberapa faktor
11

seperti lingkungan, sering terbangun tengah malam, penyakit fisik dan


kelelahan. Dimana didapatkan p Value = 0,000 atau p <0,05 yang artinya
pembacaan do’a atau murrottal Al-Qur’an berpengaruh terhadap
pemenuhan kebutuhan istirahat tidur lansia Nabi Muhammad SAW
sebagai tuntunan umat muslim di seluruh dunia telah mengajarkan
berbagai kebaikan sebagai petunjuk bagi umat manusia yang mau
mengamalkan. Tak hanya dalam masalah agama, Islam melalui nabi
terakhir juga mengajarkan bagaimana hidup sehat ala Rasulullah SAW.
Hingga masalah tidurpun, Nabi Muhammad sebenarnya sudah memberi
contoh, bagaimana cara tidur, dan pola tidur yang baik bagi kesehatan.
Masa tidur yang penting adalah tidur pada waktu malam hari (Reefani Nor
Kholish, 2014).
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka penulis berpendapat tidur
tak hanya sekedar rutinitas bagi manusia, melainkan juga merupakan
kebutuhan bagi tubuh dan pikiran. Secara umum pada lansia yang
mengalami penurunan waktu tidur yaitu sekitar 6-7 jam sehari. Selain
kuantitas, kualitas tidur juga perlu diperhatikan. Sebagian besar lansia
berisiko tinggi mengalami gangguan tidur akibat beberapa faktor. Selama
penuaan, terjadi perubahan fisik dan mental yang diikuti dengan
perubahan pola tidur yang khas yang membedakan dari orang yang lebih
muda. Perubahan-perubahan itu mencakup kelatenan tidur, terbangun pada
dini hari, dan peningkatan jumlah tidur siang. Kurang tidur
berkepanjangan dan sering terjadi dapat mengganggu kesehatan fisik
maupun psikis. Kebutuhan tidur setiap orang berbeda-beda, lanjut usia
membutuhkan waktu tidur 6-7 jam per hari. Walaupun mereka
menghabiskan lebih banyak waktu di tempat tidur, tetapi lanjut usia sering
mengeluh terbangun pada malam hari, memiliki waktu tidur kurang total,
mengambil lebih lama tidur, dan mengambil tidur siang lebih banyak. Pada
lanjut usia menunjukkan berkurangnya jumlah tidur secara progresif yang
naik dan turun.

E. Evaluasi Keperawatan
12

Menurut Carpenito (2013), evaluasi merupakan tahap akhir dari proses


keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana
antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada
tahap perencanaan.
Pada diagnosa nyeri akut klien mengeluhkan nyeri pada sendi – sendi jari,
kaki, dan tangan nya, skala nyeri 5. TTV :TD : 160/90 mmHg, RR: 22x/mnt,
N : 84x/mnt, Temp : 36,8°C, Uric Acid: 8.8mg/dL Tercapai atau tidaknya dari
rencana keperawatan, implementasi keperawatan dari diagnosa nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera biologis dapat dilaksanakan semua karena
klien sangat kooperatif dan mempunyai keinginan untuk cepat sembuh setelah
intervensi keperawatan dilaksanakan nyeri yang dirasakan oleh klien dapat
lebih terkontrol dan berkurang. Hasil pengkajian Tn.”S” di Panti Lanjut Usia
Harapan Kita Palembang masalah teratasi setelah melakukan implementasi
selama 2 hari sesuai dengan intervensi secara teoritis, bahwa melakukan
kompres hangat dan kompres dingin pada penderita gout arthritis dapat
mengontrol serta mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan pada saat kadar
urid acid nya meningkat.
Evaluasi pada tanggal 20 April dilakukan evaluasi semua implementasi
yang telah dilakukan pada tanggal 19 April sampai tanggal 20 April 2019
untuk mengetahui perkembangan Tn.”S” dalam menyikapi masalah kesehatan
terutama yang dialami Tn.”S” dengan cara menanyakan kembali yang telah
diajarkan supaya dilakukan kembali dengan baik. Dari hasil evaluasi semua
yang diajarkan pada tanggal 20 April 2019 di data subjektif : Tn. “S”
mengatakan sendi pada jari – jari kaki dan tangan nya, Tn. “S” mengatakan
sudah menderita gout arthritis selama 1 tahun, Tn. “S” mengatakan kadar uric
acid nya pernah sampai 10mg/dL. Hasil pemeriksaan TTV: T: 160/90mmHg,
RR: 22x/mnt, N : 84x/mnt, T: 36,8°C, Uric Acid: 8.8mg/dL, P:ketika
melakukan aktivitas terlalu berat, Q: seperti ditusuk - tusuk jarum, R: disekitar
sendi jari-jari kaki dan tangan, S: 5 (nyeri sedang), T: selama 5 – 10 menit.
Tn.“S” mempraktekkan bagaimana cara melakukan kompres hangat dan
kompres dingin sesuai dengan yang sudah peneliti ajarkan dengan baik.
Sedangkan, didapat data objektif : Tn.”S” tampak lebih tenang dan rileks,
13

kontak mata (+), TTV: TD : 140/90 mmHg, RR : 18 x/m, N : 81x/m, T :


36,6°C, Uric Acid : 8.8 mg/dL, P:- Q: - R: disekitar sendi jari-jari kaki dan
tangan, S: 2 (nyeri ringan), T: selama 2 – 5 menit. Hasil assesment : Masalah
keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis teratasi
sehinggga intervensi dihentikan.
Pada diagnosa gangguan mobilitas fisik, saat dilakukan evaluasi pada hari
terakhir pengkajian didapatkan perubahan hasil yaitu klien mampu
melakukan aktivitas sehari – hari tanpa bantuan orang lain, seperti makan,
minum, mandi, menyapu, serta berjalan di sekitar panti. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa masalah pada gangguan mobilitas fisik teratasi hal ini
dikarenakan klien sudah mampu untuk melakukan aktivitas sehari – hari tanpa
bantuan orang lain. Hasil pengkajian pada Tn.”S” masalah teratasi setelah
melakukan implementasi selama 2 hari sesuai dengan intervensi secara
teoritis, bahwa untuk melatih kekuatan otot klien dengan cara melakukan
latihan fisik dan latihan ROM. Dari latihan tersebut klien mampu melakukan
aktivitas tanpa bantuan orang lain, serta klien dapat berlatih secara mandiri
tentang apa yang sudah diajarkan oleh perawat tentang latihan – latihan
kekuatan otot untuk mengurangi kekakuan sendi yang terjadi akibat gout
arthritis.
Pada diagnosa gangguan pola tidur saat dilakukan evaluasi pada hari
kedua pengkajian didapatkan perubahan hasil, dengan didapatkan data
subjektif klien mengatakan kebutuhan istirahat dan tidur nya sudah terpenuhi
serta klien mengatakan tidak ada gangguan pada saat klien sedang tidur,
terutama gangguan seperti terjaga pada malam hari, didapatkan pula data
objektif yaitu klien tampak tenang, mata tidak terlihat cekung dan lelah,
keadaan umum baik. Dapat disimpulkan bahwa masalah pada gangguan pola
tidur teratasi.
F. Discharge Planning

Nama Klien : Tn.”S” Alamat : Tanjung Batu, Kabupaten


Jenis kelamin : Laki – Laki Ogan Ilir
Diagnosa keperawatan :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis
14

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot


3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik
Discharge Planning :
a. Pengertian dari penyakit Arthritis gout;
b. Penjelasan tentang penyebab penyakit;
c. Memanifestasi klinik yang dapat ditanggulangi/diketahui oleh
keluarga;
d. Penjelasan tentang penatalaksanaan yang dapat keluarga
lakukan, yaitu penatalaksaan medik farmakologi dan non farmakologi.
Penatalaksanaan medik farmakologi harus dengan resep dokter dan
tidak dapat di pergunakan secara bebas atau mandiri tanpa anjuran yang
diberikan oleh dokter. Sedangkan, penatalaksanaan non farmakologi
dapat dilakukan oleh keluarga, contoh nya;
1) Diet rendah purin
(a) Makanan yang dibatasi:
Sumber protein:
(1) Nabati: tempe, tahu, oncom maksimal 50 gr/hari, dan kacang –
kacangan (kacang ijo, kacang tanah, kacang kedelai) maksimal 25
mg/hari.
(2) Hewani: daging, ayam, ikan tongkol, tenggiri, bawal, bandeng,
kerang, udang, dibatasi maksimal 50 gr/hari.
 Sayuran yang mengandung protein tinggi: bayam, buncis, daun
melinjo dan buah melinjo, labu siam, kapri, kacang polong, kembang
kol, kacang panjang, asparagus, dan jamur, maksimal 50 gr/hari.
 Makanan yang berlemak dan menggunakan santan kental,
makanan yang digoreng.
 Minumam yang mengandung alkohol dan soda: kopi dan teh
yang terlalu kental.
(b) Makanan yang dihindari yang mengandung tinggi purin:
 Kadar purin antara 150 – 180 mg/100 mg bahan makanan: hati,
ginjal, jantung, limpa, otak ham, sosis, babat, usus, paru, sarden, kaldu
daging, bebek, burung, angsa, dan ragi.
 Minyak kelapa, santan kental, mayonaise.
 Emping melinjo
 Minuman keras: arak, ciu, bir, brendi

2) Tirah baring
15

Merupakan suatu keharusan dan di teruskan sampai 24 jam setelah


serangan menghilang. Bagi penderita gout arthritis yang mengalami
nyeri akut pada sendi; misalnya, dalam hal sakit pada sendi,
pembebasan ruas sendi - sendi yang berkaitan dengan rasa nyeri tersebut
akan mengurangi tekanan antar-cakram pada sendi dan tulang, dan
mampu memberi kelegaan bagi saraf. Jangka waktu yang
didreskripsikan untuk tirah baring beragam dan pandangan terhadapnya
tak menentu. Karena pada penderita gout arthritis dapat kambuh bila
terlalu cepat bergerak.

3) Kompres hangat
Kompres hangat adalah suatu metode dalam penggunaan suhu hangat
setempat yang dapat menimbulkan beberapa efek fisiologis. Efek
terapeutik pemberian kompres hangat :
- Mengurangi nyeri
- Meningkatkan aliran darah
- Mengurangi kejang otot
- Menurunkan kekakuan tulang sendi .

Penggunaan Kompres Hangat:


- Digunakan untuk cedera tiba-tiba atau yang baru terjadi/ akut.
Jika cedera baru terjadi (dalam waktu 48 jam terakhir) yang lalu
tidak timbul pembengkakan, maka dengan kompres hangat bisa
membantu meminimalkan rasa nyeri di sekitar cedera karena suhu
hangat mengurangi aliran darah di daerah cidera sehingga
memperlambat metabolisme sel dan yang paling penting adalah
dapat mengurangi rasa sakit.

Cara Menggunakan Kompres Hangat :


- Tempelkan ke bagian tubuh yang nyeri kantong karet/ botol yang
berisi air hangat atau handuk yang telah dicelupkan ke dalam air
hangat dengan temperatur 40-50 derajat Celcius atau bila sulit
mengukurnya, coba pada dahi terlebih dahulu, jangan sampai
16

terlalu panas atau sesuaikan panasnya dengan kenyamanan yang


akan dikompres.
- Peras kain yang digunakan untuk mengkompres, jangan terlalu
basah.
- Lama kompres sekitar 15-20 menit dan dapat diperpanjang.
- Sebaiknya diikuti dengan latihan pergerakan atau pemijatan.
- Dampak fisiologis dari kompres hangat adalah pelunakan
jaringan fibrosa, membuat otot tubuh lebih rileks, menurunkan
atau menghilangkan rasa nyeri, dan memperlancar aliran darah.

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Memberikan Kompres


Hangat :
- Jangan letakan kantong air hangat di bagian tubuh yang
telanjang, lapisi kantong dengan kain flanel atau handuk.
- Kantong air hangat yang diletakkan diatas bagian badan tertentu
hanya boleh terisi sepertiganya untuk menghindari berat yang
tidak diperlukan.
- Pada penggunaan kompres hangat yang berlangsung lama,
jangan lupa memeriksa kulit penderita.
- Kompres hangat tidak diberikan di kepala karena dapat
menyebabkan pembuluh darah di area tersebut mengalami dilatasi
dan menyebabkan sakit kepala.
- Kompres hangat tidak boleh diberikan di perut jika mengalami
radang/ infeksi usus buntu.

e. Klien dan keluarga dapat pergi ke Rumah Sakit/Puskesmas


terdekat apabila ada gejala yang memberatkan penyakitnya;
f. Keluarga harus mendorong/memberikan dukungan pada pasien
dalam menaati program pemulihan kesehatan;
g. Anjurkan pasien untuk diet rendah purin.
1) Diet rendah purin
(a) Makanan yang dibatasi:
Sumber protein:
(1) Nabati: tempe, tahu, oncom maksimal 50 gr/hari, dan kacang –
kacangan (kacang ijo, kacang tanah, kacang kedelai) maksimal 25
mg/hari.
(2) Hewani: daging, ayam, ikan tongkol, tenggiri, bawal, bandeng,
kerang, udang, dibatasi maksimal 50 gr/hari.
17

 Sayuran yang mengandung protein tinggi: bayam, buncis, daun


melinjo dan buah melinjo, labu siam, kapri, kacang polong, kembang
kol, kacang panjang, asparagus, dan jamur, maksimal 50 gr/hari.
 Makanan yang berlemak dan menggunakan santan kental,
makanan yang digoreng.
 Minumam yang mengandung alkohol dan soda: kopi dan teh
yang terlalu kental.
(b) Makanan yang dihindari yang mengandung tinggi purin:
 Kadar purin antara 150 – 180 mg/100 mg bahan makanan: hati,
ginjal, jantung, limpa, otak ham, sosis, babat, usus, paru, sarden, kaldu
daging, bebek, burung, angsa, dan ragi.
 Minyak kelapa, santan kental, mayonaise.
 Emping melinjo
 Minuman keras: arak, ciu, bir, brendi

Anda mungkin juga menyukai