Anda di halaman 1dari 57

CASE REPORT SESSION

*KepaniteraanKlinik Senior/ G1A217111/ November 2019

**Pembimbing/ dr.Evi Supriadi Sp.JP (K) FIHA

ST Elevation Myocard Infarct (STEMI) Anterior Ekstensif Late Onset


KILLIP IV+ Syok Hipovolemik

Oleh :

Marisa Hana’ Mardhiyah

G1A217111

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN JANTUNG RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2019
LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT SESSION (CRS)

ST Elevation Myocard Infarct (STEMI) Anterior Ekstensif Late Onset


KILLIP IV+ Syok Hipovolemik

Oleh:

Marisa Hana’ Mardhiyah

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN JANTUNG

RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2019

Jambi, November 2019

Pembimbing

dr.Evi Supriadi, Sp.JP(K) FIHA


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas Case Report Session (CRS) pada
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Jantung di RSUD Raden Mattaher
Jambi yang berjudul “ST Elevation Myocard Infarct (STEMI) Anterior
Ekstensif Late Onset KILLIP IV+ Syok Hipovolemik”.
Case Report Session (CRS) ini bertujuan agar penulis dapat memahami
lebih dalam teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik
Senior Bagian Ilmu Jantung di RSUD Raden Mattaher Jambi, dan melihat
penerapannya secara langsung di lapangan. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan banyak terimakasih kepada dr. Evi Supriadi,Sp.JP(K) FIHA sebagai
pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis.

Penulis menyadari bahwa penulisan Case Report Session (CRS) ini masih
banyak kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun dari semua pihak yang membacanya. Semoga tugas ini
dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Jambi, November 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang


utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian
yang tinggi.1 Sindrom Koroner Akut merupakan istilah operasional yang mengacu
pada kondisi iskemia miokard akut dan atau infark yang disebabkan oleh
berkurangnya aliran darah koroner secara mendadak. Hal ini disebabkan oleh
adanya ketidakseimbangan tiba-tiba antara kebutuhan dan suplai oksigen ke
miokard, yang biasanya merupakan akibat dari berkurangnya aliran darah koroner
yang membawa oksigen ke otot jantung karena penyempitan atau obstruksi arteri
yang disebabkan oleh plak aterosklerosis.2
The American Heart Association (AHA) memperkirakan bahwa >780.000
orang di Amerika menderita Sindrom Koroner Akut (SKA) setiap tahunnya,
dengan karakteristik penderita tersering pada median usia 68 tahun dan lebih
banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasio 3:2. Di Indonesia,
menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan
bahwa penyakit jantung masih merupakan salah satu penyebab kematian terbesar.
Sindrom Koroner Akut merupakan salah satu jenis penyakit jantung terbanyak
yang dijumpai di Indonesia, yaitu sekitar 110.183 kasus.3
STEMI merupakan spektrum yang paling berat dalam SKA, pada STEMI
terjadi infark miokard yang merupakan nekrosis ireversibel pada otot jantung
yang disebabkan iskemik berkepanjangan. Iskemik sendiri merupakan akibat dari
ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhannya karena oklusi total dari
arteri koroner. Infark miokard akut tipe STEMI sering menyebabkan kematian
mendadak, sehingga merupakan suatu kegawatdaruratan yang membutuhkan
tindakan medis secepatnya.4
Karakteristik utama infark miokard dengan ST-elevasi adalah angina tipikal
akut dan perubahan EKG dengan gambaran elevasi segmen ST yang persisten di
dua sadapan yang bersebelahan. Pencegahan keterlambatan sangat penting dalam
penanganan STEMI karena waktu paling berharga dalam infark miokard akut
adalah di fase sangat awal, dimana pasien mengalami nyeri hebat dan
kemungkinan mengalami henti jantung.1
Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian paling sering pada pasien-
pasien yang dirawat dengan infark miokard. Sekitar 80% kasus syok kardiogenik
yang berkaitan dengan infark miokard akut. Hal ini sering terjadi pada kejadian
infark miokard di dinding anterior yang ekstensif. 80% Syok kardiogenik yang
terjadi akibat infark miokard disebabkan oleh kegagalan ventrikel kiri. Syok
utamanya ditegakkan berdasarkan temuan klinis yang didukung oleh pemeriksaan
hemodinamik. Bukti klinis adanya penurunan curah jantung yang disertai dengan
hipoperfusi sistemik meskipun tekanan pengisiannya cukup mesti ditemukan
untuk mendiagnosa syok kardiogenik. Tindakan revaskularisasi dini terbukti
mampu menurunkan kejadian syok kardiogenik pada kasus infark miokard akut.2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. K
Umur : 68 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Alamat : Sersan legman RT 11 Legok
Masuk RS : 14 November 2019 pukul: 19:00 WIB

2.2 ANAMNESIS (Alloanamnesis)


Keluhan utama:
Sesak nafas yang memberat sejak ± 1 hari SMRS.
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang memberat sejak 1
hari SMRS. pasien mengeluh sesak nafas hingga pasien sulit berbicara.
sesak muncul saat pasien melakukan aktivitas yang lebih ringan dari
aktivitas sehari-hari. Pasien merasa sesak sedikit berkurang saat pasien
beristirahat dengan posisi setengah duduk.
Sejak 2 hari SMRS pasien mengeluh nyeri dada kiri yang
dirasakan terus menerus, seperti ditekan dan menjalar ke punggung kiri.
Nyeri dada disertai sesak nafas. Sesak nafas dirasakan saat beraktifitas
maupun istirahat, terus-menerus. Keluhan juga disertai keringat dingin
dan nyeri ulu hati seperti tertusuk-tusuk. Keluhan disertai mual (+),
muntah (+) 5x/hari berisi makanan ½ gelas, batuk (+) berdahak putih,
pilek (-), BAK menjadi jarang, warna urin kuning keruh, nyeri saat BAK
(-), rasa mengejan saat BAK (-) dan BAB tidak ada kelainan.
keluhan sesak nafas sudah dirasakan sejak 2 bulan SMRS. Sesak
yang dirasakan saat pasien melakukan aktivitas ringan seperti berjalan ke
kamar mandi, memasang baju. Sesak dirasakan sering muncul pada malam
hari, sehingga pasien harus selalu menggunakan bantal yang tinggi pada
saat tidur. Saat keluhan sesak muncul pasien tidak berobat, namun dengan
beristirahat keluhan dirasa berkurang. Pasien juga mengaku mudah lelah
dan badan serasa lemas. Keluhan nyeri dada, kaki bengkak, dan demam
disangkal.

Riwayat penyakit dahulu:


- Riwayat sakit jantung (-)
- Hipertensi (+) Sejak 10 tahun yang lalu, tidak rutin kontrol dan minum
obat hipertensi.
- Diabetes Melitus (-)
- Riwayat Stroke (-)
- Riwayat kolesterol tinggi (-)
- Riwayat hipertiroid (-)
- riwayat operasi (+) operasi prostat 10 tahun yang lalu

Riwayat penyakit keluarga:


- Riwayat sakit jantung (-)
- Hipertensi (+) yaitu ayah, ibu, dan saudara pasien
- Diabetes Melitus (-)
- Riwayat Stroke (-)
- Riwayat Asma (-)

Riwayat Sosial Ekonomi :


- Pasien tinggal dengan keluarganya. Sehari-hari pasien bekerja sebagai
petani. Pasien merokok (+) sejak ± 30 tahun yang lalu hingga
sekarang. ± 1 bungkus rokok/hari.
- Indeks brinkman :
- 12/hari x 30th = 360  perokok sedang
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
Tanda vital
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Apatis
Tekanan darah : 70/40 mmHg
Nadi : 133 x/i
RR : 30 x/i, thorakoabdominal
Suhu : 36,5ºC
Spo2 : 98%

Status Generalisata
Kulit
Warna : Sawo matang
Turgor : Melambat
Ikterus : (-)
Jar. Parut : (-)
Edema : (-)
Diaphoresis : (+) keringat dingin
Kelenjar
Pembesaran Kel. Submandibula : (-)
Submental : (-)
Kepala
Bentuk kepala : Normocephali
Ekspresi muka : Tampak sakitberat
Simetris muka : Simetris
Mata
Exophthalmus/endopthalmus : (-/-)
Edema palpebra : (-/-), mata cekung (+/+)
Conjungtiva anemis : (-/-)
Sklera Ikterik : (-/-)
Pupil : Isokor (+/+)
Lensa : keruh
Reflek cahaya : (+/+)
Gerakan bola mata : dalam batas normal
Hidung
Bentuk : Normal
Septum : Deviasi (-)
Sekret : (-)
Mulut
Bibir : sianosis (-)
Gusi : berdarah (-)
Leher
Kelenjar getah bening : pembesaran (-)
Kelenjar tiroid : pembesaran (-)
Tekanan vena jugularis : (5-2) cm H2O
Thorax
Bentuk : simetris
 Paru-paru
 Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, jejas (-)
 Palpasi : Fremitus taktil normal, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
 Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler, wheezing (+/+), ronkhi (+/+) basah
 Jantung
 Inspeksi: ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi: ictus cordis teraba 2 jari di ICS VI linea axillaris anterior
sinistra
 Perkusi batas jantung :
 Batas Atas : ICS II linea parasternal sinistra
 Batas Kanan : ICS VI parasternal dextra
 Batas Kiri : ICS VI dari linea axillaris anterior sinistra
 Auskultasi: BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (+) S3
Abdomen
 Inspeksi : cekung, sikatrik (-), massa (-), bekas operasi (-)
 Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-), nyeri lepas (-), hepar dan
lien tidak teraba. Nyeri tekan supra pubis (-), nyeri ketok CVA (-)
 Perkusi : Timpani (+) 4 kuadran abdomen
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas atas
Gerakan : ROM dalam batas normal
Akral : dingin, CRT > 2 detik, edema (-)
Extremitas bawah
Gerakan : ROM dalam batas normal
Akral : dingin, CRT > 2 detik, edema (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Darah Rutin (14-11-2019) RSUD Raden Mattaher
WBC : 8,42 109/L (4-10)
RBC : 5,26 1012/L (3,50- 5,50)
HGB : 14,5 g/dl (11,0-16,0)
HCT : 47,8 % (35-50)
PLT : 225 109/L (100-300)
MCV : 90,8 fL (88-99)
MCH : 27,1 pg (26-32)
MCHC : 303 g/dl (320-360)
GDS : 105 mg/dl
Kesan: Normal

 Elektrolit (14-11-2019) RSUD Raden Mattaher


Natrium : 133,43 mmol/L (135-148)
Kalium : 4,36 mmol/L (3,5-5,3)
Chlorida : 95,72 mmol/L (98-110)
Calcium : 1,00 (1,19-1,23)
Kesan: hiponatremi, hipoklorida, hipokalemi (elektrolit imbalance)
 Faal Ginjal (14-11-2019) RSUD Raden Mattaher
Ureum : 58 mg/dl ( 15-39)
Kreatinin : 3,0 mg/dl (0,9-1,3)
Kesan: Azotemia

 Enzim Jantung (14-11-2019) RSUD Raden Mattaher


CKMB : 10.82 ng/L (0,00-3,74)
Troponin I : 4.03 ng/L (≤0,1)
Kesan: Peningkatan Biomarka enzim jantung

 EKG (14-11-2019) RSUD Raden Mattaher

• Irama : Sinus Takikardi


• Heart Rate : 135x/menit
• Regularitas : Reguler
• Axis : deviasi ke kiri
• P wave : 0,08 s
• PR interval : 0,16 s
• QRS complex : 0,08 s
• ST Segment : ST Elevasi di lead V2 - V4
• T wave : 0,08 s,T inversi lead I, II, III, avF, avL, avR, v1-v6
• Kesimpulan : Sinus takikardi, LAD, ST Elevasi miokard infark
Anterior ekstensif.

(15-11-2019 pukul 05.30) RSUD Raden Mattaher

• Irama : Sinus Takikardi


• Heart Rate : 110x/menit
• Regularitas : Reguler
• Axis : deviasi ke kiri
• P wave : 0,08 s
• PR interval : 0,16 s
• QRS complex : 0,08 s
• ST Segment : ST Elevasi di lead V2 - V6
• T wave : 0,08 s,T inversi lead I, II, III, avF, avL, avR, v1-v6
• Kesimpulan : Sinus takikardi, LAD, ST Elevasi miokard infark
Anterior ekstensif.
 Foto Thorax (14-11-2019)

• Identitas sesuai
• Penanda (+)
• Jenis foto: Orientasi kanan, Penetrasi cukup, Proyeksi
Anteroposterior, inspirasi cukup, Jarak clavicular ke proc. Spinosus
baik.
• Trakea ditengah, mediastinum normal, tidak ada soft tissue swelling,
densitas tulang baik, sela iga melebar (-).
• COR: CTR >50%, Apeks downward/grounded, aorta elongasi (-)
dilatasi mediastinum (-), sinus kardiophrenicus sulit dinilai, batas
jantung kiri lateral linea midclavicula sinistra, batas jantung kanan
linea parasternalis dekstra.
• Pulmo: Hilus sulit dinilai, corakan bronkovaskular kedua lapang paru
normal, sudut costofrenikus lancip, diafragma konveks
Kesan: kardiomegali kemungkinan pembesaran ventrikel kiri
2.4 DIAGNOSA KERJA
STEMI Anterior Ekstensif late onset KILLIP VI + Syok Hipovolemik

2.5 DIAGNOSIS BANDING


UAP
NSTEMI
Syok hipovolemik e.c GEA dehidrasi berat

2.6 PENATALAKSANAAN
Nonfarmakologi
 Tirah baring/bed rest total
 EDUKASI
Edukasi kepada keluarga tentang penyakit, faktor risiko,tatalaksana dan
kemungkinan resiko selama dirawat dirumah sakit dan kemungkinan
komplikasinya.
 Edukasi tentang efek samping pemberian obat.

Farmakologi
Di IGD Tanggal 14-11-2019
 O2 3-4 l/min (nasal canule )
 IVFD RL 500 cc/24 jam->Loading RL 200 cc-> Lanjutkan IVFD RL 20tpm
 PO Aspilet tab 160 mg
 PO Clopidogrel tab 300 mg
 PO Atorvastatin tab 1x 20 mg
 inj. lansoprazole 1 x 40 mg
 inj. arixtra 1 x 2,5 mg
 Nebu ventolin + flixotide
 Pasang Kateter
 Rawat ICCU rencana PCI
Di ICCU Tanggal 15-11-2019
 O2 3 l/min (canule nasal)
 IVFD RL loading 250 cc
 Inj. Epinefrin 0,05 mcg /menit
 Inj. Dobutamin 5 mcg/menit
 Inj. Lovenox 2x0,6 ml (hari 1)
 Inj. Furosemide 1x 40mg jika TD > 100mmHg
 Inj. Pethidin 25mg (0,5cc) SC
 Inj. NTG 5mg/jam
 PO Aspilet tab 1 x 80mg
 PO clopidogrel tab 1 x 75mg
 PO Atorvastatin 1x20 mg

2.7 PROGNOSIS
 Quo ad vitam : dubia ad bonam
 Quo ad functionam : dubia ad malam
 Quo ad sanationam : dubia ad malam

2.8 FOLLOW UP
15 November 2019
Waktu S O A P
05.00 Nyeri dada (+) GCS : 14 (E4M6V4) STEMI - loading RL
sesak nafas (+) TD: 80/50 mmHg Anterior 250cc
batuk (+) HR: 110 x/menit Ekstensif late - epinefrin 0,05mg
Mual (-) RR: 28x/menit onset KILLIP observasi tekanan
muntah (-) T: 36 ºC VI + Syok darah
SpO2: 98% Hipovolemik -dobutamin 5mcq
Mata : cekung - furosemide 1
Paru : vesikuler (+/+), amp jika
Ronki (+/+), TD>100mmhg
wheezing (+/+)
Inj. Lovenox 2 x
Ekstremitas : akral
0,6cc
dingin, CRT >2 detik
EKG : stemi anterior
ekstensif
05.30 TD: 90/60 mmHg Setelah loading
HR: 100x/menit
RR: 28x/menit
T: 36 ºC
SpO2: 98%
06.30 TD: 60/40 mmHg - epinefrin 0,05mg
HR: 100x/menit observasi tekanan
RR: 28x/menit darah
T: 36 ºC - -dobutamin 5mcq
SpO2: 98%
07.00 TD: 130/70 mmHg - stop dobutamin
HR: 100x/menit - inj. Furosemide 1
RR: 27x/menit amp
T: 36 ºC
SpO2: 98%
08.00 Nyeri dada (+) GCS : 13 (E3M6V4) STEMI - O2 5 liter/menit
Sesak nafas (+) TD: 84/60 mmHg Anterior - dobutamin 5 mcg
Mual (-) HR: 109 x/menit Ekstensif late - epinefrin 0,1 mcg
muntah (-) RR: 30x/menit onset KILLIP - inj. Pethidin
T: 36,4ºC VI + Syok 25mg(0,5cc) SC
SpO2: 96% Hipovolemik - inj. NTG
5mg/jam
Mata : cekung
Paru : vesikuler (+/+),
Ronki (+/+),
wheezing (+/+)
Ekstremitas : akral
dingin, CRT >2 detik

09.00 Penurunan GCS : 11(E2M6V3) STEMI - O2 5 liter/menit


kesadaran TD: 60/30 mmHg Anterior - dobutamin 5 mcg
HR: 100x/menit Ekstensif late - epinefrin 0,1 mcg
RR: 35x/menit onset KILLIP - inj. Pethidin
T: 36,4ºC VI + Syok 25mg(0,5cc) SC
SpO2: 90% Hipovolemi - inj. NTG
5mg/jam
10.10 Apneu GCS : 3 (E1M1V1) Cardiac arrest RJP 5 siklus +
TD: 37/20 mmHg ec syok bagging>> respon (-)
RJP 5 siklus +
HR: 80x/menit cardiogenik bagging+ epinefrin
RR: 40x/menit 1amp>> respon (-)
T: 36 ºC
SpO2: 80%
EKG : gambaran
PEA
10.30 Apneu GCS : 3 (E1M1V1) Cardiac arrest
TD: tidak terukur ec syok
HR: tidak teraba cardiogenik
RR : apneu
Mata : pupil
midriasis
EKG : asystole
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI)
3.1.1 Definisi
STEMI adalah salah satu spektrum klinis dari sindrom koroner akut
dimana terjadi gangguan aliran darah koroner secara total ke miokard akibat
akibat ruptur plak athrematous yang ditandai dengan gejala iskemia miokard
dan berkaitan dengan elevasi segmen ST yang menetap pada pemeriksaan
EKG dan pelepasan biomarker karena adanya nekrosis di miokardium.5
3.1.2 Epidemiologi
Sekitar 1,5 juta kasus infark miokard terjadi setiap tahun di Amerika
Serikat. Tingkat insiden tahunan adalah sekitar 600 kasus per 100.000 orang.
Kebanyakan pasien yang menderita infark miokard akut lebih tua dari 60
tahun. Orang tua juga cenderung memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas
yang lebih tinggi akibat infark tersebut. Usia (≥75 tahun) adalah prediktor
terkuat dari 90-hari kematian pada pasien dengan STEMI yang menjalani
terapi intervensi koroner perkutan (IKP). Pada pasien STEMI didapatkan
mortalitas 30 hari sebesar 13% dengan medikamentosa dibandingkan dengan
6%-7% bila menggunakan terapi fibrinolisis, dan sekitar 3%-5% pada pasien
dengan IKP dalam 2 jam onset nyeri.6
3.1.3 Etiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Aterosklerosis adalah suatu proses kronis yang progresif dan
tiba-tiba muncul dengan karakteristik berupa penumpukan lemak, elemen
fibrosa, dan molekul inflamasi pada dinding arteri koroner. Aterosklerosis
merupakan proses etiopatogenesis utama penyebab PJK dan progresifitasnya
berhubungan dengan faktor lingkungan dan genetik dimana faktor tersebut
akhirnya akan berubah menjadi faktor risiko dari PJK.7
3.1.4 Faktor Resiko
Berdasarkan studi Framingham, faktor risiko STEMI dapat dibagi menjadi
dua, yaitu faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi.7,8
3.1.4.1 Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :
1. Usia
Perubahan pada arteri koroner berkaitan erat dengan pertambahan usia.
Perubahan utama yang terjadi oleh penuaan adalah penebalan tunika intima
disertai tunika media yang mengalami fibrosis. Ketebalan dari tunika intima yang
diamati secara bertahap meningkat ketika dekade keempat dan kemudian menipis
secara bertahap. Umur berperan penting dalam terjadinya penyakit jantung
koroner karena dapat mempengaruhi faktor risiko lain, seperti tekanan darah
tinggi, obesitas, dan kadar lemak. Gangguan dalam profil lemak, seperti nilai total
kolesterol dan Low Density Lipoprotein (LDL) meningkat disertai nilai High
Density Lipoprotein (HDL) yang rendah, juga berhubungan dengan pertambahan
umur.1
2. Jenis kelamin
Pria mempunyai risiko lebih besar dari perempuan dan mendapat serangan
lebih awal dalam kehidupannya dibandingkan wanita. Itu dikarenakan
kebanyakan faktor risikonya tidak mau diubah oleh pria, seperti merokok,
alkohol, dan kadar HDL yang lebih rendah dari wanita dan sebelum menopause,
estrogen memberikan perlindungan kepada wanita dari penyakit jantung koroner.1

3.1.4.2 Faktor risiko yang dapat dimodifikasi :


1. Merokok
Rokok mengandung zat kimia, seperti nikotin, karbon monoksida, ammonia,
formaldehida, tar, dan lain-lain. Bahan aktif utamanya adalah nikotin (efek akut)
dan tars (efek kronis). Efek nikotin pada system kardiovaskuler adalah efek
simpatomimetik, seperti menyebabkan takikardi, kontraksi ventrikuler di luar
sistol, meningkatkan noradrenalin dalam plasma, tekanan darah, cardiac output,
dan konsumsi oksigen sehingga menyebabkan penyempitan aterosklerotik,
penempelan platelet, dan menurunkan HDL. LDL menjadi lebih mudah memasuki
dinding arteri yang berperan dalam patogenesis PJK.1
2. Dislipidemia.
Salah satu komponen lemak tubuh adalah kolesterol. Kolesterol terdiri dari 2
bentuk utama, yaitu HDL yang berperan dalam membawa kadar lemak yang
tinggi dalam jaringan ke hati untuk dimetabolisme dan dikeluarkan dari tubuh dan
LDL yang berperan membawa kolesterol ke jaringan, termasuk arteri koroner.
Nilai LDL yang tinggi dan HDL yang rendah berperan dalam peningkatan risiko
penyakit jantung, terutama PJK.1
3. Hipertensi
Hipertensi meningkatkan kerja jantung dan menyebabkan dinding jantung
menjadi tebal dan kaku yang menyebabkan jantung tidak berkerja dengan baik.
Ketika tekanan darah tinggi ini bergabung dengan faktor risiko yang lain, akan
meningkatkan risiko penyakit jantung. Patofisiologi dari hipertensi menyebabkan
PJK melalui 2 cara. Pertama, hipertensi menyebabkan kerusakan pada endotel
yang akan menyebabkan senyawa vasodilator tidak dapat keluar dan membuat
penumpukan okigen reaktif serta penumpukan faktor-faktor inflamasi yang
mendukung perkembangan dari aterosklerosis, trombosis, dan penyumbatan
pembuluh darah. Kedua, hipertensi menyebabkan peningkatan afterload yang
menyebabkan hipertrofi dari ventrikel kiri. Itu menyebabkan meningkatnya
kebutuhan oksigen miokardium dan menurunnya aliran darah koroner.
4. Diabetes melitus
Kadar gula darah yang tinggi akan menyebabkan peningkatan pembentukan
plak ateromatous pada arteri2. Hiperglikemi pada orang diabetes menyebabkan
banyak perubahan pada biomolekuler tubuh, yaitu peningkatan reduksi
nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+) menjadi NADH yang belum terbukti
sebagai stresor oksidatif seluler, peningkatan produksi uridine diphosphate (UDP)
N-acetyl glucosamine yang diperkirakan mengubah fungsi enzimatik seluler, dan
pembentukan advanced glycation end product (AGE) yang secara langsung
menganggu fungsi sel endotel dan mempercepat aterosklerosis, serta peningkatan
reactive oxygen species (ROS) yang menganggu produksi nitrit oksida endotel
dan menipiskan plak aterosklerosis sehingga mudah ruptur.

3.1.5 Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat
pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti
merokok,hipertensi dan akumulasi lipid. Merokok, hipertensi, kadar LDL, serta
tingginya kadar gula darah pada penderita diabetes melitus akan mengakibatkan
kerusakan pada endotel pembuluh darah. Lapisan endotel yang rusak menjadi
terganggu dan jaringan ikat pada pembuluh darah mengalami thrombogenik
sehingga terjadi primary hemostasis. Primary hemostasis merupakan tahap awal
pertahanan terhadap pendarahan.8
Proses ini bermula hanya dalam beberapa saat setelah pembuluh rusak dan
dicegah oleh adanya sirkulasi platelet. Platelet akan menempel pada kolagen
subendotel pembuluh darah dan beragregasi untuk membentuk “Platelet plug”.
Kerusakan lapisan endotel pembuluh darah ini juga akan mengaktifkan cell
molecule adhesion seperti sitokin, TNF-α, growth factor, dan kemokin. Limfosit T
dan monosit akan teraktivasi dan masuk ke permukaan endotel lalu berpindah ke
subendotel sebagai respon inflamasi. Monosit berproliferasi menjadi makrofag
dan mengikat LDL teroksidasi sehingga makrofag membentuk sel busa. Akibat
kerusakan endotel menyebabkan respon protektif dan terbentuk lesi fibrous, plak
aterosklerotik yang dipicu oleh inflamasi. Respon tersebut mengaktifkan factor Va
dan VIIIa yang akan membentuk klot pada pembuluh darah. Teraktivasinya kedua
faktor tersebut dapat dipicu karena tidak terbentuknya protein C oleh liver
sehingga thrombin mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin sehingga terbentuk
klot .8
Aterosklerosis berkontribusi dalam pembentukan trombus. Hal ini
disebabkan teraktivasinya faktor VII dan X yang mengakibatkan terpaparnya
sirkulasi darah oleh zat-zat trombogenik yang akan menyebakan rupturnya plak
dan hilangnya respon protektif seperti antitrombin dan vasodilator pada pembuluh
darah. Penyebab gangguan plak ini disebabkan faktor kimiawi yang tidak stabil
pada lesi aterosklerosis dan faktor stres fisik penderita. Disebakan adanya
perkembangan klot pada pembuluh darah dan tidak terstimulusnya produksi NO
dan prostasiklin pada lapisan endotel sebagai vasodilator sehingga terjadi
disfungsi endotel. Dengan adanya ruptur plak dan disfungsi endotel,
teraktivasinya kaskade koagulasi oleh pajanan faktor jaringan dan terjadi agregasi
platelet yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga terjadi
trombosis koroner.8
STEMI terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi trombus pada plak. Kematian sel-sel miokard yang disebakan infark
miokard dapat mengakibatkan kekurangan oksigen. Sel-sel miokard mulai mati
setelah sekitar 20 menit mengalami kekurangan oksigen . Akibat trombus
tersebut, kebutuhan ATP pembuluh darah untuk berkontraksi berkurang, hal ini
disebabkan kurangnya suplai oksigen sehingga pembentukan ATP berkurang.
Keadaan ini berdampak pada metabolisme mitokondria sehingga terjadi
perubahan proses pembentukan ATP menjadi anaerob glikolisis. Berkurangnya
ATP menghambat proses, Na+ K+-ATPase, peningkatan Na+ dan Cl- intraselular,
menyebakan sel menjadi bengkak dan mati.8

3.1.6 Diagnosis STEMI


1. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemi miokard berupa nyeri dada typical (angina
typical) atau atypical (angina equivalen). Keluhan angina typical berupa rasa
tertekan atau berat daerah retrosternal, menjalar kelrngan kiri, leher, rahang, area
intraskapular, bahu atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung
intermitten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina typical
sering disertai keluhan penyerta seperti mual,muntah,nyeri abdominal, dan
sinkop.1
Nyeri dada tipikal (Angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA.
Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu
membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan pertanda
awal dalam pengelolaan pasien IMA.8
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :
1. Lokasi Nyeri : Substernal, retrosternal, dan perikordial
2. Sifat Nyeri : Rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
3. Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang
bawah, gigi, punggung/iterskapula, perut, dan dapat juga ke lengan
kanan.
4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat
5. Factor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin dan
sesudah makan.
6. Gejala yang menyertai mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin,
cemas dan lemas.

Gambar 3.1 Karakteristik nyeri dada pada infark miokard akut9

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada SKA umumnya normal. Sebagian besar pasien
cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat disertai
keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak
keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Tanda komplikasi berupa takipnea-
badikardia ronki basah halus di paru, pada disfungsi ventricular terdapat S4
dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan
murmur midsitolik atau late sistolik apical yang bersifat sementara karena
disfungsi apparatus katup mitral. Pericardial friction rub karena perikarditis,
kekuatan nadi tidak seimbang, dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi
aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang
perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA Bila tidak
ada komplikasi hampir tidak ditemukan kelainan yang berarti.8

3. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin dilakukan pada
semua pasien yang memiliki keluhan nyeridada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R,
serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan
EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu,
sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang
mempunyai EKG awal nondiagnostik.1,6
Rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di
ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan
angina timbul kembali. Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan
keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal,nondiagnostik,LBBB (Left
Bundle Branch Block) baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang
persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST
dengan atau tanpa inversi gelombang T.1,6
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2
sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk
diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan
adalah 0,1 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang
berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai
pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di
V3-V6). 1
Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama
dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut
adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang
diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum
hasil pemeriksaan penanda jantung tersedia. Persangkaan adanya infark
miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien dengan LBBB
baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm
pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm
di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan
konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah
untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada
sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas sangat rendah.10

Gambar 3.2 Evolusi Gelombang EKG pada STEMI10

Tabel 3.2 Nilai Ambang Diagnostik Elevasi Segmen ST1


Tabel 3.3 Lokasi Infark Miokard berdasarkan EKG10
Lokasi Infark Lokasi Elevasi Arteri Kororner
Miokard Akut Segmen ST
Anterior V3,V4 Arteri koroner kiri cabang LAD-
diagonal
Anteroseptal V1,V2,V3,V4 Arteri koroner kiri cabang LAD-
diagonal, cabang LAD-septal
Anterior ekstensif I,aVL,V2-V6 Arteri koroner kiri – proksimal LAD
Anterolateral I,aVL,V3,V4,V5,V Arteri koroner kiri cabang LAD-
6 diagonal dan/cabang sirkumfleks
Inferior II,III,aVF Arteri koroner kanan (paling sering)
cabang desenden posterior dan/
cabang arteri koroner kiri sirkumfleks
Lateral I,aVL,V5,V6 Arteri koroner kiri cabang LAD-
diagonal dan/cabang sirkumfleks
Septum V1,V2 Arteri koroner kiri cabang LAD-septal
Posterior V7,V8,V9 Arteri koroner kanan/sirkumfleks
Ventrikel Kanan V3R-V4R Arteri koroner kanan bagian proksimal

2. Marka jantung
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atautroponin I/T merupakan marka
nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark
miokard. Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka
jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat
dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/non koroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab
kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal
jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan
nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis,
luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi
pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T
dan troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya
nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini,
troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.1
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau
troponinI/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan
SKA,pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika
awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan
hendaknyadiulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB
yangmeningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot
skeletal(menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang
singkat(48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih
terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun
infark periprosedural.1
Pemeriksaan troponin I/T adalah biomarker paling sensitif dan
spesifik sehingga menjadi standar baku emas dalam diagnosis
NSTEMI/STEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan
terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam setelah onset. Peningkatan kadar
troponin biasanya menetap dalam 2 hingga 3 hari, namun bisa tetap
meningkat hingga 2 minggu bila terjadi nekrosis luas. Kadar troponin bisa
saja belum meningkat dalam 6 jam setelah onset gejala, sehingga jika
didapatkan hasil negatif pada pemeriksaan pertama, perlu dilakukan
pemeriksaan ulang dalam 8 hingga 12 jam setelah onset gejala.
Jika pemeriksaan troponin tidak dapat dilakukan, maka dapat
digunakan penilaian Musscle and Brain fraction of Creatinin Kinase (CK-
MB) yang akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai
puncaknya saat 12 jam, dan menetap hingga 2 hari.1
Pemeriksaan penanda jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium
sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung
(point of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau
semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of
care testing sebagai alat diagnostik rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu
pemeriksaan di laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika
penanda jantung secara point of care testing menunjukkan hasil negatif
maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral.1

Gambar 3.3 Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung1

3. Pemeriksaan Noninvasif
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat
memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna
untuk menentukan diagnosis banding seperti stenosis aorta, kardiomiopati
hipertrofik, atau diseksi. Multislice Cardiac CT (MSCT) dapat digunakan
untuk menyingkirkan PJK sebagai penyebab nyeri pada pasien dengan
kemungkinan PJK rendah hingga menengah dan jika pemeriksaan troponin
dan EKG tidak meyakinkan.1
4. Pemeriksaan Invasif (Angiografi Koroner)
Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan
tingkat keparahan Penyakit Jantung Koroner, sehingga sebaiknya segera
dilakukan untuk tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan
diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik akut,
misalnya pada arteri sirkumfleksa, sangat penting pada pasien yang sedang
mengalami gejala atau peningkatan troponin namun tidak ditemukan
perubahan EKG diagnostik.1
Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan mereka dengan
stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk kejadian
kardiovaskular yang serius, angiografi koroner disertai perekaman EKG
dengan abnormalitas gerakan dinding regional seringkali memungkinkan
identifikasi lesi yang menjadi penyebab. Penemuan angiografi yang khas
antara lain eksentrisitas, batas yang ireguler, ulserasi, penampakkan yang
kabur, dan filling defect yang mengesankan adanya trombus intrakoroner.1
5. Pemeriksaan Laboratorium
Selain pemeriksaan marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang
gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit,
koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid.1
6. Pemeriksaan Foto Polos Dada
Tujuan dilakukan pemeriksaan ini adalah untuk membuat diagnose
banding, identifikasi komplikasi, dan penyakit penyerta.1

3.1.7 Tatalaksana
3.1.7.1 Tindakan Umum dan Langkah Awal
Terapi awal pada pasien dengan diagnosa kerja kemungkinan SKA atau SKA
atas keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG
dan atau marka jantung. Tujuan utama tatalaksana STEMI adalah mendiagnosis
secara cepat, menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan
strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti
platelet, memberi obat penunjang. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin,
Oksigen, Nitrat, Aspirin, Clopidogrel (disingkat MONACO), yang tidak harus
semua atau bersamaan. Terdapat beberapa pedoman dalam tatalaksana IMA
dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2013 dan ESC tahun 2012, tetapi
perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan
kemampuan ahli yang ada.5

Pasien dengan STEMI harus segera dibawa ke pelayanan kesehatan dalam


1,5–2 jam setelah terjadinya gejala untuk mendapatkan medikamentosa sedini
mungkin. Pasien dengan STEMI harus dilakukan terapi reperfusi dalam 12 jam
awal. Terapi fibrinolitik diindikasikan sebagai terapi reperfusi awal yang
dilakukan pada 30 menit awal dari kedatangan di Rumah Sakit. Berdasarkan
ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients with ST-Elevation
Myocardial Infarction (2013), tatalaksana pasien STEMI dijabarkan sebagai
berikut :5,8

1. Pemberian Oksigen
Suplementasi oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
arteri < 94%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan
oksigen selama 6 jam pertama.
2. Aspirin
Aspirin kunyah harus diberikan pada pasien yang belum pernah mendapatkan
aspirin pada kasus STEMI. Dosis awal yang diberikan 160 mg sampai 320
mg. Selanjutnya aspirin diberikan secara oral dengan dosis 75-100 mg.
Aspirin dapat menurunkan reoklusi koroner dan berulangnya kejadian iskemik
setelah terapi fibrinolitik.
3. Nitrogliserin
Pasien dengan nyeri iskemik di dada harus diberikan nitrogliserin sublingual
0,4 mg setiap 5 menit dengan dosis maksimal 3 dosis. Setelah melakukan
penilaian seharusnya dievaluasi akan kebutuhan nitrogliserin intravena. Obat
ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil yaitu
tekanan darah sistolik <90mmHg atau <30mmHg lebih rendah dari
pemeriksaan tekanan darah awal, bradikardi < 50x/menit atau takikardi >
100x/ menit tanpa adanya gagal jantung dna adanya infark ventrikel kanan.
Dalam keadaan tidak ada NTG dapat diberikan isosorbit dinitrat (ISDN).
4. Analgesik
Pemberian morfin dilakukan bila pemberian nitrogliserin sublingual atau
semprot tidak respon. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 15-
30 menit.
5. Beta Bloker
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta
IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa digunakan adalah
metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis.
6. Klopidogrel
Pemberian Klopidogrel 300-600 mg sedini mungkin dan dilanjutkan dengan
dosis rumatan sebesar 75 mg per hari. Obat-obat seperti penghambat reseptor
beta dan ACE inhibitor harus segera diberikan kecuali terdapat kontraindikasi
dan pasien harus dalam keadaan hemodinamik stabil. Statin dilaporkan
memberikan hasil yang baik.

3.1.7.2 Terapi Reperfusi


Semua pasien STEMI seharusnya menjalani evaluasi untuk terapi
reperfusi. Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi
kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia
ventrikular yang maligna. Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah
door to needle atau medical contact to balloon time untuk IKP dapat dicapai
dalam 90 menit. Reperfusi, dengan fibrinolisis atau IKP primer, diindikasikan
dalam waktu kurang dari 12 jam sejak onset nyeri dada untuk semua pasien
infark miokard yang juga memenuhi salah satu kriteria berikut :1
 ST elevasi > 0,1mV pada >2 ujung sensor EKG di dada yang berturutan,
 ST elevasi >0,2mV pada >2 ujung sensor di tungkai berurutan,
 Left bundle branch block baru.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada
tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung
pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian
(baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih
dari 2 jam. Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah
fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat
dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP. 5
Gambar3.4 Alur Diagnosis dan Tatalaksana STEMI1

3.1.7.3 Terapi Fibrinolitik


Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat-
tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang
disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak
awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak
bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis
pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala)
dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon
lebih dari 90 menit. Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.5
Langkah-langkah pemberian fibrinolitik pada pasien STEMI :1

Gambar 3.5 Langkah-langkah pemberian fibrinolitik STEMI1

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan terapi


fibrinolitik, hal ini dikarenakan terdapat beberapa kontraindikasi pada
penggunaannya. Berikut adalah kontraindikasi penggunaan fibrinolitik.

Tabel 3.4 Kontraindikasi terapi fibrinoltik1

1
Gambar 3.6 Ceklis fibrinolisis pra rumah sakit 11
Pengobatan fibrinolisis lebih awal (door-drug <30menit) dapat membatasi
luasnya infark, memperbaiki fungsi ventrikel, dan mengurangi angka kematian.
Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih
disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin
(streptokinase). Aspirin oral atau intravena harus diberikan. Clopidogrel
diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin. Jenis obat fibrinolitik
sebagai terapi reperfusi adalah:1,11

 Streptokinase
◦ Dosis awal 1,5 juta U/100ml Dextrose 5% atau larutan saline 0,9%
dalam waktu 30-60 menit.
◦ Koterapi Heparin i.v selama 24-48 jam

 Alteptase
◦ Dosis awal bolus 15 mg intravena 0,75 mg/kg selama 30 menit,
kemudian 0,5mg / kg selama 60 menit, dosis total tidak lebih dari
100mg
◦ Koterapi Heparin i.v selama 24-48 jam
Selama dilakukan fibrinolisis, penderita harus dimonitor secara ketat. Tanda
vital dan EKG dievaluasi setiap 5-10 menit untuk mendeteksi resiko fibrinolisis
yaitu; perdarahan, alergi, hipotensi, aritmia reperfusi.keberhasilan fibrinolisis
dilakukan 60-90menit dimulai dari saat obat fibrinolisis dimasukkan. Tanda
keberhasilan fibrinolitik adalah ; resolusi komplit dari nyeri dada, ST elevasi
menurun > 50%, adanya aritmia reperfusi. Bila fibrinolisis tidak berhasil maka
seceoatnya dilakukan rescue PCI. 11
Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan terapi
antikoagulan selama minimum 48 jam dan lebih baik selama rawat inap, hingga
maksimum 8 hari. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat
diberikan terapi antikoagulan selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari
pemberian. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi Low Molecular Weight
Heparin (LMWH) atau fondaparinuks dengan regimen dosis sama dengan
pasienyang mendapat terapi fibrinolisis.1

Jenis-jenis obat antikoagulan antara lain:

 Warfarin
o Dosis awal yang dapat diberikan yaitu 10 mg dan 5 mg pada hari
kedua dengan pengaturan dosis pada hari ketiga sekitar 3-7,5 mg.
o Pemberian obat ini secara oral.
o Kontraindikasi pemberian pada penyakit-penyakit dengan
kecenderungan perdarahan, tukak saluran cernaa, defisisensi vitamin
K, serta penyakit hati dan ginjal yang berat.
 Heparin
o Dosis awal yang diberikan yaitu 60 U/kgBB (maksimal 4000 U)
secara bolus. Kemudian pemberian lanjutan melalui infuse dengan
dosis 12 U/kgBB.
o Pemberian heparin dikontraindikasikan pada pasien yang sedang
mengalami perdarahan misalnya pasien hemophilia, endokarditis
bacterial subakut, perdarahan intracranial, hipertensi berat, dan syok.

 Enoxaparin (Lovenox)
o Dosis yang diberikan 1 mg/kg setiap 12 jam subkutan, ditambah
dengan pemberian aspirin 100-325 setiap harinya selama minimal 2
hari.
Kontraindikasi pemberian obat ini adalah kecenderungan hemoragia
dan pernah menderita trombositopenia selama pengobatan.

3.1.8 Komplikasi1
1. Gangguan Hemodinamik
- Gagal Jantung
- Hipotensi
- Kongesti Paru
- Keadaan curah jantung rendah
- Syok Kardiogenik
- Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
- Aritmia supraventricular
- Aritmia ventrukular
- Sinus bradikardi dan Blok jantung
2. Komplikasi kardiak
- Regurgitasi katup mitral
- Rupture jantung
- Rupture septum ventrikel
- Infark ventrikel kanan
- Perikarditis
- Aneurisma ventrikel kiri
- Trombus ventrikel kiri

3.1.9 Prognosis

Prognosis infark miokard berhubungan dengan lokasi infark dan luas


perubahan EKG. Infark inferior memilki mortalitas 30 hari sebesar 4,5 % dan
mortalitas 12 bulan sebesar 6,7 %. Determinan utama prognosis setelah infark
miokard adalah usia, tekanan darah sistolik, denyut jantung, lokasi infark, dan kelas
Killip.1

Tabel 3.5 Mortalitas 30 hari berdasarkan kelas Killip


3.2 Syok
3.2.1 Definisi
Kumpulan gejala akibat perfusi selular tidak mencukupi dan pasokan
oksigen tidak cukup memenuhi kebutuhan metabolik yang dapat disebabkan oleh
beberapa hal dengan gambaran klinis yang bervariasi.12
3.2.2 Klasifikasi
1. Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akibat berkurangnya
volume plasma di intravaskuler. Penyebab utama syok hipovolemik adalah
pendarahan. Penyebab dari syok hipovolemik yaitu hemoragik eksternal :
trauma, perdarahan gastrointestinal. hemoragik internal : hematoma,
hematotoraks. Kehilangan plasma : luka bakar, Kehilangan cairan
dan elektrolit. Eksternal : muntah, diare, sehingga dehidrasi berat, dan internal
: asites, obstruksi usus.12
2. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik merupakan sindrom klinis akibat penuruna curah
jantung yang menyebabkan hipoksia jaringan dan volume intravaskular yang
adekuat. Syok kardiogenik dapat terjadi akibat beberapa mekanisme yang
menurunkan curah jantung:12,13
a. Disfungsi miokardium karena komplikasi infark miokardium
b. Pengisian diastolik ventrikel yang tidak kuat, antara lain takiaritmia,
tamponade jantung, tension neumothoraks, emboli paru dan infark
ventrikel
c. Curah jantung yang tidak adekuat, antara lain bradiaritmia, regurgitasi
mitral, atau ruptur septum interventrikel.
3. Syok Obstruktif
Syok obtruktif disebabkan ketidakmampuan pasien dalam menghasilkan
curah jantung yang cukup, walaupun volume intravaskuler dan kontraktilitas
miokardium normal. Keadaan ini dikarenakan aliran darah keluar dari
ventrikel terobstruksi secara mekanik. Penyebab utamanya adalah tamponade
pericardium.12

1
4. Syok Distributif
Syok distributif disebabkan oleh maldistribusi volume sirkulasi darah
pada tubuh. Total cairan tubuh tidak berkurang, tapi volume intravaskular
relatif tidak seimbang dengan kapasitas vaskular. Ada tiga jenis syok
distributif yaitu syok anafilaktik, syok sepsis, dan syok neurogenik. 12

3.3 Syok Kardiogenik


3.3.1 Definisi
Syok kardiogenik merupakan suatu keadaan penurunan curah jantung
dan perfusi sistemik pada kondisi volume intravaskular yang adekuat,
sehingga menyebabkan hipoksia jaringan. Gambaran yang esensial dari syok
kardiogenik adalah adanya hipoperfusi sistemik yang menyebabkan hipoksia
jaringan dengan bukti volume intravaskular yang adekuat.12
Tanda dan gejala syok:
 Peningkatan tahanan vascular perifer: kulit pucat dan dingin, oliguria
 Tonus saraf adrenergic meningkat menyebabkan takikardi untuk
meningkatkan curah jantung, keringat banyak, cemas, mual dan muntah
 Hipoperfusi organ vital berupa iskemia miokardium ditandai dengan nyeri
dada dan atau sesak napas, insufisiensi serebral ditandai dengan penurunan
kesadaran
Syok kardiogenik adalah syok yang penyebabnya gangguan kinerja jantung.
Kinerja jantung ditentukan oleh:
1. Kemampuan sel miokard untuk memompa dengan cara memanjang pada fase
pengisian (diastolic) dan memendek pada fase pengosongan (sistolik)
2. Volume darah dan tekanan yang dialami ventrikel pada fase akhir pengisian
(preload) dan
3. Tahanan yang harus dilawan ventrikel untuk pengosongan (afterload)
4. Frekuensi kontraksi; menentukan jumlah darah yang dapat dipompa dalam
semenit (curah jantung)
Tanda utama dari syok kardiogenik adalah hipoperfusi, tekanan darah
sistolik kurang dari 90mmHg, atau tekanan arteri rata-rata (mean arterial
pressure=MAP) turun lebih dari 30 mmHg, produksi urin kurang dari
0,5ml/kgBB/jam, nadi lebih dari 100x/menit, kongesti organ bias jelas atau
tidak jelas, tampak low output syndrome dan syok.
Pada gagal jantung kanan tampak curah jantung yang rendah, JVP
meningkat, hepatomegaly, hipotensi sampai syok.

3.3.2 Insidensi
Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian paling sering pada
pasien-pasien yang dirawat dengan infark miokard. Tindakan revaskularisasi
dini terbukti mampu menurunkan kejadian syok kardiogenik pada kasus infark
miokard akut. Jenis infark miokard akut yang paling sering menyebabkan
syok kardiogenik adalah STEMI. Sekitar 80% kasus syok kardiogenik yang
berkaitan dengan infark miokard akut. 80% Syok kardiogenik yang terjadi
akibat infark miokard disebabkan oleh kegagalan ventrikel kiri. Sedangkan
yang lainnya adalah mitral regurgitasi akut, rupture septum ventrikular, gagal
ventrikel kanan, serta tamponade jantung.13
Insidensi syok kardiogenik lebih tinggi pada pria daripada wanita
(3:2). Perbedaan ini disebabkan karena semakin meningkatnya kejadian
penyakit jantung koroner pada pria. Namun demikian persentase kejadian
syok kardiogenik yang mengikuti infark miokard lebih banyak pada wanita
dibanding pria. Umur rata-rata pasien dewasa yang mengalami syok
kardiogenik adalah 65-66 tahun. Ras yang paling tinggi persentasenya untuk
kejadian syok kardiogenik adalah ras hispanik (74%) sedangkan ras afrika
amerika 65%, kulit putih 56%, sedangkan Asia dan selebihnya 41%.12,13
3.3.3 Patofisiologi Syok Kardiogenik

Gambar 3.7 Patofisiologi Syok Kardiogenik11

Syok kardiogenik merupakan akibat dari gangguan dari keseluruhan system


sirkulasi baik yang besifat temporer maupun permanen. Kegagalan ventrikel kiri atau
ventrikel kanan (akibat disfungsi miokardium) memompakan darah dalam jumlah
yang adekuat merupakan penyebab primer syok kardiogenik pada infark miokard
akut (gambar 7). Akibatnya adalah hipotensi, hipoperfusi jaringan, serta kongesti
paru atau kongesti vena sistemik. Kegagalan ventrikel kiri merupakan bentuk yang
paling sering dari syok kardiogenik, namun bagian lain dari sistem sirkulasi juga ikut
bertanggung jawab terhadap gagalnya mekanisme kompensasi. Kebanyakan
abnormalitas ini sifatnya reversibel sehingga bagi pasien-pasien yang selamat, fungsi
jantung mungkin masih dapat dipertahankan. Hipotensi sistemik, merupakan tanda
yang terjadi pada hampir semua syok kardiogenik. 11,14

Hipotensi terjadi akibat menurunnya volume sekuncup/stroke volume serta


menurunnya indeks kardiak. Turunnya tekanan darah dapat dikompensasi oleh
peningkatan resistensi perifer yang diperantarai oleh pelepasan vasopresor endogen
seperti norepinefrin dan angiotensin II. Namun demikian gabungan dari rendahnya
curah jantung dan meningkatnya tahanan perifer dapat menyebabkan berkurangnya
perfusi jaringan. Sehubungan dengan itu, berkurangnya perfusi pada arteri koroner
dapat menyebabkan suatu lingkaran setan iskemik, perburukan disfungsi
miokardium, dan disertai dengan progresivitas hipoperfusi organ serta kematian.
Hipotensi dan peningkatan tahanan perifer yang disertai dengan peningkatan PCWP
terjadi jika disfungsi ventrikel kiri merupakan kelainan jantung primernya.
Meningkatnya tekanan pengisian ventrikel kanan terjadi jika syok akibat kegagalan
pada ventrikel kanan, misalnya pada gagal infark luas ventrikel kanan. Namun pada
kenyataannya sebuah penelitian SHOCK trial menunjukkan pada beberapa pasien
post MI, syok malahan disertai oleh vasodilatasi. Hal ini mungkin terjadi sebagai
akibat adanya respon inflamasi sistemik seperti yang terjadi pada sepsis. Respon
inflamasi akut pada infark miokard berkaitan dengan peningkatan konsentrasi
sitokin. Aktivasi sitokin menyebabkan induksi nitrit oksida (NO) sintase dan
meningkatkan kadar NO sehingga menyebabkan vasodilatasi yang tidak tepat dan
berkurangnya perfusi koroner dan sistemik. Sekuens ini mirip dengan yang terjadi
pada syok septik yang juga ditandai dengan adanya vasodilatasi sistemik.14

3.3.4 Diagnosis
A. Anamnesis

Kebanyakan pasien yang datang dengan keluhan angina pectoris tidak stabil.
Bahkan nyeri bisa saja tidak dirasakan pada pasien-pasien diabetes dan usia tua.
Gejala-gejala autonomik lain bisa juga muncul seperti mual, muntah, serta
berkeringat. Riwayat penyakit jantung sebelumnya, riwayat penggunaan kokain,
riwayat infark miokard sebelumnya, atau riwayat pembedahan jantung sebelumnya
perlu ditanyakan. Faktor resiko penyakit jantung perlu dinilai pada pasien yang
disangkakan mengalami iskemik miokardial. Evaluasinya antara lain mencakup
riwayat hiperlipidemia, hipertrofi ventrikel kiri, hipertensi, riwayat merokok, serta
riwayat keluarga yang mengalami penyakit jantung koroner premature. Gejala-gejala
lain yang berkaitan antara lain : diaphoresis, sesak nafas saat beraktifitas, sesak nafas
saat beristrahat. Presinkop, sinkop, palpitasi, ansietas generalisata serta depresi. Selai
itu keluhan dapat berupa gangguan kesadaran mulai dari kondisi ringan hingga berat,
penurunan diuresis, dapat disertai keringat dingin dan nadi lemah. 7

B. Pemeriksaan fisik

Karakteristik pasien-pasien syok kardiogenik antara lain : 7

 Kulit berwarna keabu-abuan atau bisa juga sianosis. Suhu kulit dingin dan bisa
muncul gambaran mottled skin pada ekstremitas.
 Nadi cepat dan halus/lemah serta dapat juga disertai dengan irama yang tidak
teratur jika terdapat aritmia
 Distensi vena jugularis dan ronkhi basah di paru biasanya ada namun tidak harus
selalu.
 Edema perifer juga biasanya bisa dijumpai. Suara jantung terdengar agak jauh,
bunyi jantung III dan IV bisa terdengar
 Tekanan nadi lemah dan pasien biasanya dalam keadaan takikardia.
 Tampak pada pasien tanda-tanda hipoperfusi misalnya perubahan status mental
dan penurunan jumlah urine.
 Murmur sistolik biasanya terdengar pada pasien dengan regurgitasi mitral,
murmur biasanya terdengar di awal sistol Dijumpainya thrill parasternal
menandakan adanya defek septum ventrikel.

Kriteria diagnosis
1. Memenuhi kriteria anamnesis
2. CO < 3,2 L/menit
3. SVR meningkat pada fase awal, normal atau menurun pada kondisi lanjut
4. Preload cukup atau meningkat
5. TAPSE < 1,5 berdasarkan pemeriksaan echocardiografi
C. Tatalaksana
Fase Akut di UGD atau ICCU
a. Bedrest total
b. Lakukan resusitasi jantung jika terjadi cardiac arrest
c. Sedasi dengan midazolam, propofol atau morfin
d. Oksigen support (NRM atau CPAP, intubasi jika terjadi gagal napas)
e. Pemasangan IVFD
f. Jika terjadi gangguan irama seperti taki/bradiaritmia atasi segera dengan pemberian
preparat anti-arimia atau pemasangan pacu jantung, over drive atau kardioversi
g. Monitoring invasive atau non invasif untuk mengetahui status preload, SVR dan
curah jantung (CO).
h. Jika preload rendah maka diberikan fluid challenge 1-4 cc/kgBB/10 menit hingga
dipastikan preload cukup.
i. Jika CO rendah dengan SVR tinggi namun MAP masih <70 mmHg maka
diberikan preparat inotropiknon vasodilator (dobutamin) atau inodilator (milrinon).
Pemasangan IABP harus direkomendasikan pada pasien syok dengan sindrom
koroner akut.
j. Jika CO tinggi dengan SVR rendah maka diberikan preparat vasopressor seperti
noradrenalin atau adrenalin atau dopamine.
k. Dopamin dosis rendah dapat diberikan pada kondisi oliguria.
l. Pada syok kardiogenik yang refrakter pertimbangka pemasangan IABP, ECMO
atau LVAD sebagai bridging terapi definitif.
Gambar 3.8 Algoritma Syok11

1. Penanganan Suportif (Resusitasi dan Ventilasi)

Manajemen awal berupa resusitasi cairan bila dijumpai hipovolemia dan


hipotensi. Pemasangan jalur vena, serta pulse oksimeter perlu dilakukan. Oksigenasi
dan proteksi jalan nafas merupakan hal yang penting di awal penanganan khususnya
pada kondisi hipoksemia (SpO2 <90% atau PaO2 <60 mmHg), oksigen dapat
diberikan mulai dari 40-60% selanjutnya dapat dititrasi sampai SpO2 > 90%. Jika
diperlukan, intubasi jalan nafas dan ventilasi mekanik dapat dilakukan. Selain itu
monitoring tekanan darah juga harus dilakukan. 15

Hipovolemia dapat terjadi pada kasus syok kardiogenik misalnya dengan


riwayat penggunaan diuretik atau jika ada muntah. Pemberian challenge volume
intravaskular yakni saline isotonik sebanyak sekurangnya 250 mL dalam 10 menit
diberikan jika tidak ada bukti bendungan paru pada pemeriksaan fisik maupun
rontgen torak serta pasien tidak dalam keadaan distres pernafasan. Pemberian cairan
dalam jumlah banyak diindikasikan dalam kasus ini sepanjang tidak dijumpai
peningkatan tekanan vena jugularis/sentral. Pasien yang datang dengan overload
cairan dan edema paru kardiogenik tanpa adanya hipotensi dapat diterapi dengan
diuretik, morfin, suplemen oksigen serta vasodilator.15

2. Manajemen Hemodinamik

Inotropik dan vasopresor harus digunakan dengan dosis sekecil mungkin


yang memberi efek terapeutik. Pemberian inotropik merupakan hal yang penting
dalam penatalaksanaan syok kardiogenik. Namun pemberian inotropik menyebabkan
peningkatan konsumsi ATP miokardium sehingga perbaikan hemodinamik yang
membaik dalam sesaat harus dibayar dengan peningkatan kebutuhan oksigen jantung
dimana pada saat yang sama jantung sendiri sudah mengalami kegagalan ditambah
lagi. ketersediaan oksigen sudah terbatas. Namun demikian inotropik dan vasopresor
saat ini tetap dibutuhkan untuk mempertahankan perfusi koroner dan sistemik sambil
menunggu pemasangan IABP (Intra-aortic balloon pump) atau sampai syok berhasil
ditangani. 15

Dopamine, norepinefrin dan epinefrin merupakan vaskonstriktor yang dapat


digunakan untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat dan membantu
memperbaiki tekanan perfusi pada hipotensi yang mengancam jiwa. Target tekanan
arteri rata-rata (MAP) yakni 60-65 mmHg. Pada Pasien dengan status perfusi
jaringan tidak adekuat dan volume intravaskular yang adekuat, inisiasi permberian
obat inotropik dan atau vasopresor dapat mulai diberikan. Yang termasuk obat
vasopresor adalah dopamin, norepinefrin, epinefrin dan levosimen dan Dosis reguler
dopamine adalah 5-10 mcg/kg/min namun dapat ditingkatkan hingga 20 mcg/kg/min.
Dosis norepinefrin adalah 8-12 mcg/min dapat ditingkatkan dan dalam keadaan
sepsis dapat ditingkatkan hingga 3,3 mcg/kg/min. 15

Obat-obat inotropik antara lain : dobutamin dan fosfodiesterasi inhibitor


(PDIs). Dosis dobutamin adalah 2,5-10 mcg/kg/min. Dalam keadaan hipotensi ringan
(TDS > 70-100 mmHg tanpa klinis syok), Dobutamin dapat digunakan, namun
dalam kondisi hipotensi berat dengan klinis syok yang nyata, pilihan yang terbaik
adalah dopamin (TDS 70-100 mmHg dengan klinis syok) dan norepinefrin (TD < 70
mmHg).15

3. Terapi Farmakologi lain

Pemberian terapi antitrombotik yakni aspirin dan heparin harus diberikan


sebagaimana yang telah direkomendasikan pada infark miokard. Clopidogrel dapat
ditunda setelah tindakan angiografi emergensi sebab, bisa saja setelah dilakukan
angiografi, pasien selanjutnya diputuskan akan segera menjalani bedah pintas
jantung / CABG (coronary artery bypass grafting). Pemberian inotropik negatif dan
vasodilator (termasuk nitrogliserin) harus dihindari. Oksigenasi arteri dan pH darah
harus dipertahankan dalam batas normal untuk meminimalisasi iskemia. Pemberian
insulin dapat meningkatkan angka keselamatan pada pasien kritis yang mengalami
hiperglikemia. Pemberian ventilasi mekanik perlu dipertimbangkan baik melalui
sungkup ataupun pipa endotrakeal untuk menurunkan preload dan afterload serta
mengurangi kerja pernafasan.15

4. Terapi Mekanikal : IABP (Intra-aortic balloon pump)

IABP dapat memperbaiki perfusi koroner dan perifer melalui deflasi balon
pada saat sistole dan inflasi balon saat diastol sehingga afterload menjadi sangat
berkurang dan aliran ke koroner menjadi semakin baik. Namun tidak semua pasien
dapat memberikan respon hemodinamik terhadap pemasangan IABP, hal ini
selanjutnya menjadi salah satu faktor prognostik. IABP semestinya dilakukan
secepatnya bahkan jika ada operator yang terlatih dan prosedur memungkinkan untuk
dilakukan secepatnya, maka IABP dapat dilakukan sebelum pasien dikirim untuk
tidakan revaskularisasi.16

5. Reperfusi

Reperfusi koroner dapat dilakukan dengan fibrinolisis, PCI (percutaneous


coronary intervention), atai CABG (coronary artery grafting baypass). Semakin cepat
reperfusi dilakukan, maka hasil yang didapat semakin baik. ACC/AHA
merekomendasikan dalam guideline agar revaskularisasi dilakukan pada pasien syok
kardiogenik dengan usia trombolitik kurang efektif dibanding PCI namun dapat
diindikasikan jika transport pasien menuju sarana PCI tidak memungkinkan ataupun
membutuhkan waktu yang lama dan jika onset infark miokard dan syok kardiogenik
terjadi dalam rentang waktu kurang dari atau sama dengan 3 jam. Waktu yang
terbaik untuk PCI dini adalah 0-6 jam sejak onset. CABG diindikasikan pada pasien
dengan oklusi pada arteri left main atau sembatan terjadi pada 3 pembuluh darah.
Stenting dan pemberian obat golongan glikoprotein IIb/IIIa inhibitor memperlihatkan
peningkatan akan keberhasilan pada beberapa studi.13,16

Gambar 3.9 Algoritma rencana revaskularisasi pada syok kardiogenik


BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien laki-laki usia 68 tahun dirawat dengan diagnosa STEMI anterior


ekstensif late onset dengan KILLIP IV dengan syok hipovolemik.
Teori Kasus
 iskemi miokard, dimana terdapat  Nyeri dada tipikal (sensasi
nyeri tipikal (angina tipikal). terhimpit beban berat, menjalar ke
Keluhan angina typical berupa rasa lengan kiri, > 20 menit, tidak
tertekan beban berat, menjalar hilang dengan istirahat
kelengan kiri, leher, rahang, area  Disertai sesak nafas, keringat
intraskapular, bahu atau dingin dan akral dingin, CRT >2
epigastrium.1 detik
 Keluhan ini dapat berlangsung  Keluhan muncul 2 hari SMRS
intermitten/beberapa menit atau  Keluhan mual, muntah (+) batuk
persisten (>20 menit). Keluhan (+), muntah darah (-), demam (-),
angina typical sering disertai trauma (-)
keluhan penyerta seperti  BAK sedikit, kuning keruh,
mual,muntah,nyeri abdominal, dan riwayat pengobatan (-)
1
sinkop.  Pasien memiliki riwayat hipertensi
 Onset 48 jam > late onset sejak 10 tahun yang lalu
 Faktor resiko SKA :  riwayat merokok (+)
Usia, jenis kelamin, hipertensi,
dislipidemia, DM, Merokok1
 Berdasarkan teori, pasien ini  Tekanan darah: 70/40 mmHg
mengalami syok kardiogenik. Syok  nadi: 133x/menit, regular
kardiogenik adalah gangguan yang  RR: 30 x/menit
disebabkan oleh penurunan curah  Suhu: 36,5 ˚C
jantung sistemik pada keadaan  SpO2: 98 %
volume intravaskuler yang cukup  Turgor kulit : melambat
dan dapat menyebabkan hipoksia  mata cekung (+)
jaringan. Syok kardiogenik dapat

1
disebabkan akibat dari kerusakan  suara paru wheezing dan rhonki di
otot jantung seperti infark miokard, basal paru kedua hemithoraks
kontusio jantung. Hal ini akibat  batas jantung kiri di ICS VI linea
tidak adekuatnya aliran darah axilaris anterior sinistra, dan batas
coroner, atau dapat berkembang jantung kanan di ICS VI linea
karena zat yang dilepas dari parasternalis dekstra
jaringan yang iskemik yang  akral dingin dan CRT >2 detik
mengganggu fungsi jantung13  pembesaran jantung pada foto
 Berdasarkan klasifikasi mortalitas thoraks
pada pasien SKA dengan gagal
jantung, edema paru dan syok
dikategorikan KILLIP IV : 58%1
 Pasien mengalami dehidrasi yang
menyebabkan syok hipovolemik
yang terjadi karena kekurangan
volume sirkulasi disebabkan oleh
kehilangan cairan tubuh.12
 Pada pasien ini muntah dapat  Pemeriksaan elektrolit :
terjadi karena nyeri atipikal. Hiponatremi, hipokalemi, hipokalsemi
Muntah menyebabkan kehilangan (elektrolit imbalance)
air dan elektrolit sehingga pada  Pemeriksaan ureum kreatinin :
dehidrasi berat akan terjadi UR/KR : 58/3,0
hipovolemik. 12,13 Terdapat peningkatan kadar ureum
 Penurunan volume intravaskular dan kreatinin.
akibat hipovolemi serta penurunan Berdasarkan klasifikasi RIFLE pasien
preload karena gagal jantung ini termasuk stage injury (Peningkatan
menyebabkan penurunan kreatinin 2x, Urin output <
mendadak fungsi ginjal (AKI). 17 0,5ml/kgbb dalam 12 jam )
 Berdasarkan teori, pasien ini  elektrokardiografi didapatkan
terdapat infark di segmen anterior gambaran sinus Rhythm, takikardi,
yang ekstensif yang mana pada LAD, serta ST elevation di V2-V4
segmen ini diperdarahi oleh arteri dan T inversi di lead I, II, III,
koroner kiri yang merupakan arteri aVF,aVL, aVR dan V1. Dan sehari
yang memperdarahi segmen setelahnya terdapat ST elevasi di
anterior dan lateral jantung. Hal ini lead V2-V6 dan T inversi di semua
merupakan salah satu spektrum lead
klinis dari sindrom koroner akut
dimana terjadi gangguan aliran
darah koroner secara total ke
miokard akibat ruptur plak
athrematous yang ditandai dengan
gejala iskemia miokard dan
berkaitan dengan elevasi segmen
ST yang menetap pada
pemeriksaan EKG.1
 Sesuai dengan teori, terjadi  Pada pemeriksaan biormarker
peningkatan biomarker jantung. jantung, nilai CK-MB 10,82
Peningkatan marker jantung dua Ng/ml dan
kali diatas nilai batas normal  Troponin I yaitu 4.03 Ng/ml
menunjukkan adanya nekrosis
miokard. CK-MB meningkat
setelah 4-6 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak
dalam 12 jam dan kembali normal
dalam 2 hari. Troponin I meningkat
setelah 3-4 jam dan menetap
sampai 2 hari peningkatan ringan
kadar troponin biasanya
menghilang 2-3 hari namun bila
terjadi nekrosis luas peningkatan
ini menetap hingga 2 minggu.1

Pasien didiagnosa dengan STEMI anterior ekstensif late onset + KILLIP IV +


syok hipovolemik. Hal ini menujukkan bahwa di dapatkan dari anamnesa pasien
mengeluhkan angina pectoris tidak stabil, pemeriksaan fisik terdapat syok
kardiogenik dan pembesaran jantung, pemeriksaan elektrokokardiografi gambaran
infark di anterior ekstensif di dukung dengan pemeriksaan biomarker jantung berupa
CK-MB dan Troponin I yang meninggi dua kali lipat dari nilai normal. Pasien ini
sudah mengalami KILLIP IV yaitu dengan syok kardiogenik.
Jadi dikarenakan pasien ini datang dengan STEMI anterior ekstensif late onset
yakni > 12 jam dan disertai kondisi syok kardiogenik maka harus dilakukan strategi
invasif sesuai dengan skema IMA- EST, untuk alur dan langkah-langkahnya dapat
dilihat pada skema dibawah ini.
Pasien juga mendapatkan terapi berupa O2 nasal kanul 4 L/menit, IVFD RL
500 cc/24 jam dengan fluid challenge test 200 cc, bila membaik berikan infus RL 20
tts/menit, lansoprazole 40 mg, Inj. Arixtra 1 x 1, nebu ventolin, Aspilet 160 mg,
Clopidogrel 320 mg (antplatelet), Atorvastatin 1x20 mg.
Terapi yang diberikan pada Tn.K telah sesuai dengan alur penatalaksanaan
STEMI dimana diberikan tatalaksana awal seperti pemberian MONACO.

ISDN tidak diberikan karena nitrat tidak boleh diberikan kepada pasien
dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal,
bradikardi berat <50 x/menit, takikardi tanpa gejala gagal jantung atau infark
ventrikel kanan. Pemberian antiplatelet harus diberikan kepada semua pasien tanpa
kontraindikasi. Penghambat reseptop ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera
mungkin dan di pertahankan selama 12 bulan kecuali seperti risiko perdarahan
berlebih. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama OAINS (penghambat COX-
2 selektif dan NSAID non selektif).
Pemberian statin tanpa melihat awal kolesterol LDL dan tanpa
mempertimbangkan modifikasi diet penghambat hidroksimetilglutari-koenim A
reduktase (statin) harus diberikan kepada semua penderita SKA, termasuk pasien
yang telah mendapatkan terapi revaskularisasi jika tidak terdapat kontraindikasi.
Pasien ini mendapatkan arixtra (fondaxfarinus) yang merupakan antikoagulan low
molecular weight heparin (LMWH). Obat ini bekerja dengan cara berdifusi ke dalam
bekuan darah dan mengaktifkan plasminogen yang digunakan untuk menghancurkan
gumpalan-gumpalan pada kondisi seperti trombosis vena, emboli paru, trombosis
retina, juga infark miokard.

Pasien mengalami syok hipovolemik dan syok cardiogenik sehingga terapi


yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan volume intravaskular, meningkatkan
tekanan darah dan memperbaiki kontraktilitas jantung. Loading cairan untuk
meningkatkan volume intravaskuler dan diberikan RL sebagai cairan isotonis serta
diberikan vasopresor agar target tekanan darah tercapai. Dobutamin merupakan
inotropik dan vasoaktif yang baik dengan dosis 2-20mcg/kgbb/menit.
BAB IV
KESIMPULAN

Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan


manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia
miokardium. SKA terdiri atas angina pektoris tidak stabil, infark miokard akut (IMA)
yang disertai elevasi segmen ST, dan IMA tanpa elevasi segmen ST. Ketiga penyakit
tersebut mempunyai mekanisme patofisiologi yang sama, yaitu disebabkan oleh
terlepasnya plak yang merangsang terjadinya agregasi trombosit dan trombosis,
sehingga pada akhirnya akan menimbulkan stenosis berat atau oklusi pada arteri
koroner dengan atau tanpa emboli. Sedangkan letak perbedaan antara angina tak
stabil, infark Non-elevasi ST dan dengan elevasi ST adalah dari jenis trombus yang
menyertainya. Angina tak stabil dengan trombus mural, Non-elevasi ST dengan
thrombus inkomplit/nonklusif, sedangkan pada elevasi ST adalah trobus
komplet/oklusif.1,5

Diagnosis sindrom koroner akut didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,


serta pemeriksaan penunjang berupa elektrokardiogram dan biomarker jantung.
Penatalaksanaan pasien dengan sindrom koroner akut dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu penatalaksanaan STEMI dan NSTEACS (UAP & NSTEMI). Pada
pasien STEMI, PCI primer merupakan terapi reperfusi yang lebih dianjurkan
dibanding fibrinolisis sepanjang keterlambatan dari onset gejala 90-120 menit. Selain
itu, terdapat juga terapi awal seperti pemberian oksigen, NTG, beta blocker, morfin,
dan ASA, serta terapi sekunder berupa terapi platelet, beta blocker, terapi penurun
kadar lipid, ACE inhibitor, antagonis aldosteron, dan suplemen diet. Angiografi
koroner direkomendasikan pada semua pasien setelah terapi fibrinolitik dan pada
pasien yang tidak mendapat terapi reperfusi. Sedangkan pada pasien NSTEACS,
terdapat empat kategori terapi, yaitu antiiskemik, antikoagulan, antiplatelet dan
revaskularisasi coroner.1,5

1
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana


Sindrom Koroner Akut Edisi Keempat. Indonesia. 2018.
2. Amsterdam EA, Wenger NK, Brindis RG, Casey DE, Ganiats TG, Holmes DR, et
al. 2014 AHA/ACC Guideline for the Management of Patients With Non-ST-
Elevation Acute Coronary Syndromes. AHA/ACC. Des 2014; 130: 344-426.
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar. Indonesia: Kementerian Kesehatan RI. 2013.
4. European Society of Cardiology. ESC Guidelines for the management of acute
myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation. EHJ.
2018; 39. p. 119-177.
5. O’Gara PT, KushnerFG, Ascheim DD, Casey DE, Chung MK, Lemos JA, et al.
2013 ACCF/AHA Guideline for the Managementof ST-Elevation Myocardial
Infarction.Journal of American College of Cardiology. ACCF/AHA. Jan
2013;127. 64 p.
6. ST Elevation Myocardial Infarction In Braunwald’s Heart Disease Volume II
Eleventh Edition. Benjamin M, et al. Editor: Zipes DW, et al. Canada : Elsevier.
2015.
7. ST-Segment Elevation Myocardial Infartion in Hurst’S The Heart Volume II 14th
Edition. Manesh R, et al, Editor : Fuster V, et al. New York :MacGraw Hill
Education. 2017.
8. Sindrom Koroner Akut dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI.
Alwi Idrus, Editor: Setiati siti, et al. Jakarta : InternaPublishing. 2014.
9. Moser Martin, Frey Markus dan Bode Christoph. ST-Elevasi Myocardial
Infraction. In Netter’s cardiology 2th ed. Marschall S Runge. USA 115-132;
2004.
10. Dharma S. Pedoman Praktis Sistematika Interpretasi EKG. Jakarta:EGC; 2009.
11. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Buku Ajar Kursus
Bantuan Hidup Jantung Lanjut (ACLS). Jakarta : PERKI ; 2018:1- 50.
12. Kegawatdaruratan medik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI.
Alwi Idrus, Editor: Setiati siti, et al. Jakarta : InternaPublishing. 2014.
13. Hochman JS, Menon Venu. Clinical manifestations and diagnosis of cardiogenic
shock in acute myocardial infarction. UpToDate. Wolters Kluwer Health. Juni
2013Available from www.uptodate.com
14. Antman EM, ST-Elevation Myocard Infarc Management. In Libby P et al.
Braunwald's Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine, 8th ed.
Saunders. Philadelphia ; 2008
15. Ren X, Lenneman A. Cardiogenic Shock. Medscape Reference. May
2013.Available from www.emedicine.medscape.com
16. Reynolds HR, Hochman JS. Cardiogenic shock: current concepts and improving
outcomes. Circulation. Feb 5 2008;117(5):686-97
17. Myjak BL. Serum and Urinary Biomarkers of Acute Kidney Injury. Blood Purif
2010;29:357-365. DOI:10.1159/000309421

Seth A.K, Sharma P, Mohta M, Tyagi A. Shock-A short Review. Indian J.Anaesht.
2003. 47 (5). : 345-359. Available from :
http://medind.nic.in/iad/t03/i5/iadt03i5p345.pdf

Anda mungkin juga menyukai