Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. GANGGUAN SOMATISASI
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik
(sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) dimana tidak dapat ditemukan penjelasan
medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik ini cukup serius untuk menyebabkan
penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien
untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan
somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu
penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform tidak
disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.6,7
Gangguan somatisasi ditandai oleh banyak gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan
secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laoratorium. Gangguan ini biasanya
dimulai sebelum usia 30 tahun, dapat berlanjut hingga tahunan, dan dikenali menurut DSM-
IV-TR sebagai “kombinasi gejala nyeri, gastrointestinal, seksual, serta pseudoneurologis”.
Gangguan somatisasi berbeda dengan gangguan somatoform lainnya karena banyak keluhan
dan banyaknya sistem organ yang terlibat (contohnya gastrointestinal dan neurologis).1
Ciri utama gangguan somatoform adalah adanya keluhan – keluhan gejala fisik yang
berulang – ulang disertai dengan permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudh berkali –
kali terbukti tidak ditemukan kelainan yang menjadi dasar keluhannya. Penderita juga
menyangkal dan menolak untuk membahas kemungkinan kaitan antara keluhan fisik dengan
problem atau konflik dalam kehidupan yang dialaminya, bahkan meskipun didapatkan gejala
– gejala anxietas dan depresi. Gejala dan keluhan somatik menyebabkan penderitaan
emosional/gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau
pekerjaan.1
Gangguan somatisasi telah dikenal sejak zaman Mesir kuno. Nama awal untuk gangguan
somatisasi adalah hysteria, suatu keadaan yang secara tidak tepat diperkirakan hanya
mengenai wanita. (Kata “hysteria” didapatkan dari kata bahasa Yunani untuk
rahim, hysteria). Pada abad ke-17 Thomas Syndenham menemukan bahwa faktor psikologis,
yang dinamakannya penderitaan yang mendahukui (antecendent sorrow), adalah terlibat
dalam patogenesis gejala. Di tahun 1859 Paul Briquetseorang dokter Perancis, mengamati
banyaknya gejala dan sistem organ yang terlibat dan perjalanan penyakit yang biasanya
kronis. Karena pengamatan klinis yang tajam tersebut, gangguan ini dinamakan sindroma
Briquet selama periode waktu tertentu, walaupun istilah “gangguan somatisasi” menjadi
standar di Amerika Serikat saat diperkenalkan DSM edisi ketiga (DSM-III) di tahun 1980.6
1. EPIDEMIOLOGI
Somatisasi adalah gangguan yang kerap ditemukan. Prevalensi seumur hidup
gangguan somatisasi dalam populasi umum lebih banyak ditemukan pada wanita
daripada pria, yaitu diperkirakan sebanyak 0,2 sampai 2 persen pada wanita, dan <0,2
persen pada pria, dengan perbandingan 5:1.Prevalensi somatisasi subklinis mencapai 100
kali lebih besar.2
Di antara pasien yang datang ke tempat praktek dokter umum dan dokter keluarga,
sebanyak 5 sampai 10 persen pasien memenuhi criteria diagnostik untuk gangguan
somatisasi. Gangguan berhubungan terbalik dengan posisi sosial, terjadi paling sering
pada pasien dengan pendidikan rendah dan miskin. Gangguan somatisasi didefinisikan
sebagai dimulai sebelum usia 30 tahun; tetapi seringkali mulai selama usia belasan tahun.
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa gangguan somatisasi seringkali bersama-
sama dengan gangguan mental lainnya. Kira-kira duapertiga dari semua pasien dengan
gangguan somatisasi memliki gejala psikiatrik yang dapat diidentifikasi, dam sebanyak
separuh pasien dengan gangguan somatsasi memiliki gangguan mental lainnya. Sifat
kepribadian atau gangguan kepribadian yang seringkali meyertai adalah yang ditandai
oleh cirri penghindaran, paranoid, mengalahkan diri sendiri, dan obsesif-kompulsif. Dua
gangguan yang tidak lebih sering ditemukan pada pasien dengan gangguan somatisasi
dibandingkan dengan populasi umum adalah gangguan bipolar dan penyalahgunaan zat.
2. ETIOLOGI
Faktor etiologi dari gangguan somatisasi masih belum diketahui. Tidak terdapat
penyebab tunggal dari gangguan somatisasi, sebagaimana sebagian besar kasus psikiatri
lainnya, gangguan ini merupakan hasil akhir dari interaksi faktor genetik dengan berbagai
peristiwa di kehidupan individu. Teori terkini mengenai etiologi gangguan somatisasi
dibagi 3, yaitu psikososial, organic, dan genetik.3
a. Faktor Psikososial
Gejala somatik merupakan bentuk pertahanan psikologi terhadap instabilitas
mental. Pada somatisasi, serangan terhadap mental seseorang menghasilkan
kecemasan yang memobilisasi pertahanan somatik, di mana terdapat perubahan dari
“sakit psikologis” menjadi “sakit fisik”.4 Gejala somatik yang timbul merupakan
komunikasi sosial seseorang untuk menghindari kewajiban (cnt : melakukan pekerjaan
yang tidak disukai), mengekspresikan emosi (cnt: kemarahan terhadap saudara), atau
untuk simbolisasi perasaan atau kepercayaan (cnt : nyeri perut).1
Pengalaman “sakit” merupakan faktor penting dari somatisasi. Anak yang
menjumpai orang tua atau saudara yang sakit (terutama penyakit kronis atau berat)
dapat mengalami gangguan somatoform ketika dewasa. Etnik, pendidikan, dan gender
juga merupakan faktor sosial yang relevan terhadap somatisasi. Terdapat korelasi
tinggi antara somatisasi dan etnik, kelas sosial rendah dengan tingkat edukasi minimal,
dan jenis kelamin wanita.Selain itu, jenis kepribadian juga diduga mempengaruhi
gangguan somatisasi. Pasien gangguan somatisasi yang memiliki ciri kepribadian
kelompok B (dependen, histrionic, agresif-sensitif) tampak sejumlah 2 kali lipat dari
pasien dengan anxietas atau depresi. 3
Pandangan perilaku pada gangguan somatisasi menekankan bahwa pengakaran
parnteral, contoh parental, dan etika moral mungkin mengajarkan anak-anak untuk
lebih bersomatisasi dibandingkan anak lain. Di samping itu, beberapa pasien dengan
gangguan somatisasi berasal dari rumah yang tidak stabil dan telah mengalami
penyiksaan fisik. Faktor sosial, cultural, dan etnik mungkin juga terlibat di dalam
perkembangan gejala gangguan somatisasi.
b. Faktor Organik
Beberapa penelitian menunjukkan dasar neuropsikologi pada gangguan somatisasi.
Beberapa studi mengaitkan antara gangguan somatisasi dengan patologi otak, seperti
epilepsy dan multiple sclerosis, namun asosiasi ini ditemukan hanya pada 3%
pasien.6 Diduga juga bahwa disfungsi atensi dan kognitif yang berhubungan dengan
inhibisi stimulasi aferen terdapat pada pasien (terutama pada lobus frontalis dan
hemisphere yang tidak dominan), menghasilkan persepsi yang tidak tepat dan
kesalahan penilaian input somatosensoris .1 Ditemukan hubungan antara somatisasi
dan peningkatan level kortisol 24 jam (rangsangan psikologis),sebagaimana juga
ditemukan terdapat asosiasi antara tekanan darah sistolik dengan somatisasi. 3
Beberapa penelitian mengarah pada dasar neuropsikologis untuk gangguan
somatisasi. Penelitian tersebut mengajukan bahwa pasien memiliki gangguan perhatian
dan kognitif karakteristik yang dapat menyebabkan persepsi dan penilaian yang salah
terhadap masukan (input) somatosensorik. Gangguan yang dilaporkan adalah
distraktibilitas yang berlebihan, ketidakmampuan untuk membiasakan terhadap
stimulus yang berulang, pengelompokan konstruksi kognitif atas dasar impresionistik,
asosiasi parsial, dan sirkumstansial.. Sejumlah penelitian yang terbatas
mengenai pencitraan otak telah melaporkan penurunan metabolisme di lobus frontalis
dan hemisfer nondominan.
Satu bidang riset neuroilmiah dasar yang sangat relevan dengan gangguan
somatisasi dan gangguan somatiform lainnya menunjukkan pengaruh sitokin
(cytokines). Sitokin adalah molekukl pembawa pesan (messanger molecules) yang
digunakan oleh sistem kekebalan untuk berkomunikasi dalam dirinya sendiri dan
berkomunikasi dengan sistem saraf, termasuk otak. Contoh sitokin adalah interleukin,
faktor nekrosis tumor, dan interferon. Beberapa percobaan awal menyatakan bahwa
sitokin dapat membantu penyebabkan suatu gejala nonspesifik dari penyakit,
khususnya infeksi, seperti hipersomnia, anoreskia, kelelahan, dan depresi. Walaupun
data belum mendukung hipotesis, regulasi abnormal sistem sitokin mungkin
menyebabkan beberapa gejala yang ditemukan pada gangguan somatoform.
c. Faktor Genetik
Terdapat pola keturunan yaitu sebesar 10-20% insidens terjadi pada saudara
perempuan derajat pertama dari penderita gangguan somatisasi. 2 Ditemukan bahwa
saudara lelaki pasien gangguan somatisai memiliki peningkatan prevalensi
alkoholisme dan kepribadian antisosial.7 Beberapa penelitian pada populasi kembar
menemukan bukti komponen genetik, namun lainnya menghasilkan kesimpulan
sebaliknya. Mai (2004) menyimpulkan bahwa terdapat peran faktor genetik dalam
gangguan somatisasi, namun efeknya terbatas.3
Data genetika menunjukkan bahwa, sekurang-kurangnya pada beberapa keluarga,
transmisi gangguan somatisasi memiliki suatu komponen genetika. Data menyatakan
bahwa gangguan somatisasi cenderung berjalan di dalam keluarga, terjadi pada 10
sampai 20 persen sanak saudara wanita dengan gangguan somatisasi. Di dalam
keluarga tersebut, sanak saudara laki-laki derajat pertama adalah rentan terhadap
penyalahgunaan zat dan gangguan kepribaian antisosial. Suatu penelitian juga
melaporkan angka kesesuaian pada 29 persen kembar monozigotik dan 10 persen
kembar dizigotik, jadi menyatakan suatu efek genetika.
3. DIAGNOSIS dan GEJALA KLINIS
Untuk diagnosis gangguan somatisasi, DSM-IV-TR mengharuskan permulaan gejala
terjadi sebelum usia pasien 30 tahun, dan berlangsung selama beberapa tahun. Selama
perjalanan gangguan, pasien harus memiliki keluhan sedikitnya empat gejala nyeri, dua
gejala gastrointestinal, satu gejala seksual, dan satu gejala pseudoneurologis, yang
seluruhnya tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan fisik atau laboratorium. Kriteria
DSM-IV mengenai gangguan somatisasi terdapat pada halaman berikutnya.
Pasien dengan gangguan somatisasi umumnya telah mengunjungi banyak praktik
dokter, mlakukan banyak tes imaging dan laboratorium, yang seluruhnya tidak
memberikan hasil yang bermakna mengenai penyakit yang ia rasakan. Sebagai contoh,
seorang pasien mungkin memiliki keluhan abdominal kronis (nyeri perut, diare) yang
telah dievaluasi secara tuntas namun tidak ditemukan penyebabnya. Hal ini biasanya
didahului dengan riwayat gejala lain yang tidak dapat dijelaskan, seperti anorgasmia,
tinnitus telinga, dan nyeri kronis pada bahu, leher, punggung, dan kaki.5
Manifestasi klinis gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang
berulang disertai permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti
hasilnya negatif dan juga telah dijelaskan dokternya bahwa tidak ada kelainan yang
mendasari keluhannya.6,7
Beberapa orang biasanya mengeluhkan masalah dalam bernafas atau menelan, atau
ada yang “menekan di dalam tenggorokan”. Masalah-masalah seperti ini dapat
merefleksikan aktivitas yang berlebihan dari cabang simpatis sistem saraf otonomik, yang
dapat dihubungkan dengan kecemasan. Kadang kala, sejumlah simptom muncul dalam
bentuk yang lebih tidak biasa, seperti “kelumpuhan” pada tangan atau kaki yang tidak
konsisten dengan kerja sistem saraf. Dalam kasus-kasus lain, juga dapat ditemukan
manifestasi dimana seseorang berfokus pada keyakinan bahwa mereka menderita
penyakit yang serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang dapat ditemukan.6,9
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian (histrionik),
terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk dokternya untuk
menerima bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa perlu adanya
pemeriksaan fisik yang lebih lanjut.6,8
Dalam kasus-kasus lain, orang berfokus pada keyakinan bahwa mereka menderita
penyakit serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang dapat ditemukan.6
Gambaran keluhan gejala somatoform:
Neuropsikiatri:
 “Kedua bagian dari otak saya tidak dapat berfungsi dengan baik”;
 “Saya tidak dapat menyebutkan benda di sekitar rumah ketika ditanya”

Kardiopulmonal:

 “Jantung saya terasa berdebar debar…. Saya kira saya akan mati”

Gastrointestinal:

 “Saya pernah dirawat karena sakit maag dan kandung empedu dan belum ada
dokter yang dapat menyembuhkannya”

Genitourinaria:

 “Saya mengalami kesulitan dalam mengontrol BAK, sudah dilakukan pemeriksaan


namun tidak di temukan apa-apa”

Musculoskeletal:

 “Saya telah belajar untuk hidup dalam kelemahan dan kelelahan sepanjang waktu”

Sensoris:

 “Pandangan saya kabur seperti berkabut, tetapi dokter mengatakan kacamata tidak
akan membantu”
Sesuai dengan pedoman diagnostik PPDGJ III gangguan somatisasi dapat
dikategorikan sebagai berikut :

F45.0 Gangguan Somatisasi

Diagnostik pasti memerlukan semua hal berikut :

a. Adanya banyak keluhan – keluhan fisik yang bermacam – macam yang tidak
dapat di jelaskan atas dasar adanya kelainan fisik yang sudah berlangsung
sedikitnya 2 tahun
b. Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak
ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan – keluhannya.
c. Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga yang berkaitan
dengan sifat keluhan – keluhannya dan dampak dari perilakunya.10

Kriteria Diagnostik DSM IV-TR : GANGGUAN SOMATISASI

A. Riwayat banyak keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama suatu
periode beberapa tahun dan menyebabkan pencarian terapi atau hendaya fungsi sosial, pekerjaan,
atau area fungsi penting lain yang signifikan.a
B. Masing-masing kriteria berikut ini harus dipenuhi, dengan setiap gejala terjadi pada waktu
kapanpun selama perjalanan gangguan :
(1) empat gejala nyeri : riwayat nyeri yang berkaitan dengan sedikitnya empat tempat atau
fungsi yag berbeda (cnt : kepala, abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada, rectum, selama
menstruasi, selama hubungan sekdual, atau selama berkemih)
(2) dua gejala gastrointestinal : riwayat sedikitnya dua gejala gastrointestinal selain nyeri (cnt:
mual, kembung, muntah selain selama hamil, diare, atau intoleransi terhadap beberapa makanan
yang berbeda)
(3) satu gejala seksual : riwayat sedikitnya satu gejala seksual atau reproduksi selain nyeri(cnt:
ketidakpedulian terhadap seks, disfungsiereksi atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur,
perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang hamil)
(4) satu gejala pseudoneurologis : riwayat sedikitnya satu gejala atau deficit yang mengesankan
keadaan neurologis tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau
keseimbangan, paralisis, atau kelemahan lokal, kesulitan menela, atau benjolan di tenggorok,
afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi raba atau nyeri, penglihatan ganda, buta, tuli,
kejang, gejala disosiatif seperti amnesia, atau hilang kesadaran selain pingsan)
C. Baik (1) atau (2) :
(1) Setelah penelitian yang sesuai, setiap gejala Kriteria B tidak dapat dijelaskan secara utuh
dengan keadaan medis umum yang diketahui atau efek langsung suatu zat (cnt : penyalahgunaan
obat, pengobatan)
(2) Jika terdapat keadaan medis umum, keluhan fisik, atau hendaya sosial atau pekerjaan yang
diakibatkan jauh melebihi yang diperkirakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratorium
D. Gejala dihasilkan tanpa disengaja atau dibuat-buat seperti pada gangguan buatan
atau malingering
2.5 DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding somatisasi antara lain adalah gangguan somatoform lain,yaitu reaksi konversi,
hipokondriasis, dan nyeri dismorfik. Gangguan somatoform sendiri juga harus dibedakan
dengan gangguan psikiatri lain, seperti facticious disorders dan malingering, sebagaimana
ditunjukkan oleh tabel berikut.4

Gambar 1. Diagnosis Banding Gangguan Somatoform

F45.1 Gangguan Somatoform Tak Terinci

Pedoman Diagnostik:

a) Ada banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat dijelaskan atas
dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya 2 tahun.

b) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari bebarapa dokter bahwa tidak ada
kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhannya.

c) Terdapat disabilitas dalam fungsinya dimasyarakat dan keluarga, yang berkaitan dengan
sifat keluha-keluhannya dan dampak dari prilakunya

F45.2 Gangguan Hipokondrik

Untuk diagnosis pasti, kedua hal ini harus ada:

a) Keyakinan yg menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yg serius yg


melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemerikasaan yg berulang-ulang tidak menunjang
adanya alasan fisik yg memadai, ataupun adanya peokupasi yg menetap kemungkinan deformitas
atau perubahan bentuk penampakan fisiknya ( tidak sampai waham);
b) Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari bebearap dokter bahwa tidak
ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yg melandasi keluhan.

F45.3 Disfungsi Otonomik Somatoform

Pedoman diagnostik

Diagnosis pasti, memerlukan semua hal berikut:

a) Adanya gejala-gejala bangkitan otonomik, seperti palpitasi, berkeringat, tremor, muka


panas/”flushing”, yg menetap dan mengganggu;

b) Gejala subjektif tambahan mengacu pada sistem atau orgab tertentu (gejala tidak khas);

c) Preokupasi dengan dan penderitaan (disterss) mengenai kemungkinan adanya gangguan


yang serius (sering tidak begitu khas) dari sistem atau organ tertentu, yg tidak terpengaruh oleh
hasil pemeriksaan berulang, maupun penjelasan dari para dokter;

d) Tidak terbukti adanya gangguan yg cukup berarti para struktur/fungsi dari sistem atau organ
yg dimaksud.

F45.4 Gangguan Nyeri Somatoform Menetap

Pedoman diagnostik

a) Keluhan utama adalah nyeri berat, menyiksa dan menetap, yang tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun adanya gangguan fisik.

b) Nyeri timbul dalam hbungan dengan adanya konflik emosional atau problem
psikososial yg cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam mempengaruhi terjadinya
gangguan tersebut.

c) Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan, baik personal maupun medis,
untuk yang bersangkutan.
F45.8 Gangguan Somatoform lainnya

Pedoman diagnostik

• Pada gangguan ini keluhan-keluhannya tidak melalui sistem saraf otonom, dan
terbatas secara spesifik pada bagian tubuh atau sistem tertentu. Ini sangat berbeda dengan
gangguan Somatisasi (F45.0) dan Gangguan Somatoform Tak Terinci (F45.1) yg menunjukkan
keluhan yg banyak dan berganti-ganti

• Tidak ada kaitan dengan adanya kerusakan jaringan.

• Gangguan berikut juga dimasukkan dalam kelompok ini:

a) “globus hystericus” (perasaan ada benjolan di kerongkongan yg menyebabkan disfagia)


dan bentuk disfagia lainnya.

b) Tortikolis psikogenik, dan gangguan gerakan spasmodik lainnya (kecuali sindrom


Tourette);

c) Pruritus psikogenik;

d) Dismenore psikogenik;

e) “teet grinding”

F45.8 Gangguan Somatoform YTT

2.6 PENATALAKSANAAN

Secara umum, penatalaksanaan pasien dengan gangguan somatisasi meliputi 2 hal,


yaitu Cognitive and Behavioral Therapy (CBT) dan Farmakoterapi.

Langkah pertama terapi adalah untuk memberi feedback diagnostik pada pasien. Penjelasan
dikategorikan menjadi 3 bagian : rejection, conclusion, dan empowerment. Dengan rejection,
dokter menyangkal kenyataan terdapat gejala atau mengimplikasikan bahwa pasien memiliki
sumber rasa sakit yang imajiner. Pendekatan ini dapat diawali dengan kalimat “Tenang, tidak ada
yang salah dengan Anda.” Conclusion terjadi ketika dokter secara eksplisit atau implicit
menyetujui penjelasan pasien. Pada akhirnya, dengan empowerment, dokter memberikan
penjelasan yang nyatadan rasional untuk gejala somatik, bersamaan dengan peluang untuk
memanajemen diri. Dokter mengetahui penderitaan pasien, tanpa rasa menuduh, dan membuat
kesepakatan terapeutik. Dengan demikian gejala dan emosi dapat dihubungkan dengan baik. 3

Tujuan pengobatan

1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan pemikiran/meyakinkan


bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak untuk kehidupan nyata).

2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes diagnosis, treatment,


dan obat-obatan yang tidak perlu.

3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid (memperparah kondisi).

Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial

1. Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama

2. Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai

3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke masalah


sosial.

Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik

1. Diberikan hanya bila indikasinya jelas

2. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi

3. Anti anxietas dan antidepressant.


Gambar 2. Langkah-langkah Manajemen Gangguan Somatisasi3

1. Sadock BJ and Sadock VA. 2010. Kaplan & Sadock’s Concise Textbook of Clinical
Psychiatry. New York, Lippincott Williams & Wilkins Inc

2. American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders. 4th ed. rev. Washington D.C, American Psychiatric Association

3. Mai F. 2004. Somatization Disorder : A Practical Review. Canadian Journal of Psychiatry


Vol. 49 (10) : 652 – 662

4. Huwitz T. 2004. Somatization and Conversion Disorder. Canadian Journal of Psychiatry


Vol. 49 (3) : 172 – 178

5. Oyama O, Paltoo C, Greengold J. 2007. American Family Physician Vol. 76 (9) : 1333 –
1338

6. Kaplan, H.I., Saddock, B.J., dan Grebb J.A., 2010. Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid 2. Jakarta: Binanupa Aksara

7. Mansjoer, A., dkk (editor), 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Penerbit Media
Aesculapicus : Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura

8. Departemen Kesehatan R.I., 1995. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia III Cetakan Pertama. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen
Kesehatan RI

9. Elvira, S. D., dkk (editor), 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

10. Maslim, R. 2001/ Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta : PT. Nuh Jaya

Anda mungkin juga menyukai