Anda di halaman 1dari 14

1.

Sistem Gastrointestinal
a. Anatomi 1

2. Dispepsia

k. Prognosis

Pasien dispepsia fungsional memiliki prognosis kualitas hidup lebih


rendah dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik. Tingkat
kecemasan sedang hingga berat juga lebih sering dialami oleh individu
dispepsia fungsional. Lebih jauh diteliti, terungkap bahwa pasien dispepsia
fungsional, terutama yang refrakter terhadap pengobatan, memiliki
kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan gangguan psikiatris. 2
Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan
penunjang yang akurat, mempunyai prognosis yang baik3.

3. Gastritis

i. Faktor Risiko

Gastritis terjadi karena berbagai sebab paling umum akibat peningkatan


produksi asam lambung atau menurunnya daya tahan dinding lambung terhadap
pengaruh luar. Gastritis akut yang tidak diobati akan berkembang menjadi kronis.
Gastritis yang disertai borok atau luka pada dinding lambung disebut tukak
lambung. Faktor-faktor yang dapat memicu timbulnya penyakit gastritis antara lain:

1. Umur

Penyakit gastritis dapat timbul atau menyerang segala usia, mulai anakanak
hingga usia tua (Ronald H. Sitorus, 1996:30). Walaupun gastritis dapat
menyerang segala usia tapi mencapai puncaknya pada usia lebih dari 40 tahun. 4

2. Jenis kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, wanita lebih sering terkena penyakit gastritis.


Hal ini disebabkan karena wanita sering diet terlalu ketat, karena takut gemuk,
makan tidak beraturan, disamping itu wanita lebih emosional dibandingkan pria.
5

3 Sosial ekonomi

Bakteri Helicobakter Pylori ialah penyebab atau paling sedikit penyebab


utama, suatu bentuk gastritis yang disebut gastritis kronik aktif. H. Pylori aktif
pada 100% pasien.6 Bakteri ini terdapat diseluruh dunia dan berkolerasi dengan
tingkat sosioekonomi masyarakat. Prevalensi meningkat dengan meningkatnya
umur (di negara maju 50% penderita terkena infeksi kuman ini setelah usia 50
tahun). Di negara berkembang yang tingkat ekonominya lebih rendah, terjadi
infeksi pada 80% penduduk setelah usia 30 tahun.7 Besarnya pengaruh sosial
ekonomi dengan tingginya prevalensi infeksi Helicobacter pylori pada
masyarakat. Makin rendah tingkat sosial ekonomi makin tinggi prevalensi
infeksinya. Perbaikan tingkat sosial ekonomi dapat menurunkan prevalensi
kejadian. Fedorek SC dkk dalam penelitiannya juga mendapatkan hubungan
antara tingginya prevalensi infeksi Helicobacter pylori dengan makin rendahnya
tingkat sosial ekonomi.8 Status sosial ekonomi dapat dilihat dari jumlah
pendapatan yang dihasilkan keluarga selama 1 bulan. Untuk menilai apakah
sosial ekonomi keluarga tersebut kurang atau cukup dilihat melalui ”Upah
Minimum Regional 19 (UMR) tiap kota. Menurut Keputusan Gubernur Jawa
Tengah No. 561.4/52/2008 untuk UMR kota Rembang sebesar 647.000 per
bulan.

4. Makanan

Penyimpangan kebiasaan makan, cara makan serta konsumsi jenis makanan


yang tidak sehat dapat menyebabkan gastritis akut, faktor penyimpangan
makanan merupakan titik awal yang mempengaruhi terjadinya perubahan
dinding lambung. Peningkatan produksi cairan lambung dapat dirangsang oleh
konsumsi makanan atau minuman. Cuka, cabai, kopi, alkohol, serta makanan
lain yang bersifat merangsang juga dapat mendorong timbulnya kondisi tersebut.
Pada akhirnya kekuatan dinding lambung menjadi semakin parah sehingga akan
menimbulkan luka pada dinding lambung. Jika tidak lekas ditangani, penyakit
ini akan berubah menjadi gastritis kronis.9 Namun, gastritis juga dapat timbul
setelah makan makanan pedas, asam, minum kopi atau alkohol.10

5. Faktor Psikologi

Stres adalah suatu kondisi dimana seseorang ada dalam keadaan yang sangat
tertekan.11 Stres menurut Terry Looker dan Olga Gregson (2005:44), adalah
sebuah keadaan yang kita alami ketika ada sebuah ketidaksesuaian antara
tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya. Adapun
tanda-tanda atau gejala stres sebagai berikut:
a. Gejala fisik meliputi berdebar-debar, gangguan pencernaan, sakit kepala,
lesu, letih, sulit tidur, berkeringat dingin, nafsu makan menurun dan sejumlah
gejala lainnya.

b. Gejala mental meliputi cemas, kecewa, merasa putus asa dan tanpa daya,
tidak sabar, mudah tersinggung, marah, tergesa-gesa, sulit berpikir jernih,
berkonsentrasi, dan membuat keputusan, gelisah dan sebagainya. Para ahli
kedokteran sependapat menyatakan bahwa produksi HCl yang berlebih di dalam
lambung, disebebkan terutama oleh adanya ketegangan atau stres mental atau
kejiwaan yang cukup berat. Peneliti Amerika, dr. Selye (1949), telah
membuktikan bahwa tubuh manusia yang menerima suatu tekanan atau ancaman
dalam bentuk apapun, akan mengadakan serangkaian reaksi penangkis
(perlawanan). Tekanan atau stresor tersebut dapat berupa kesulitan dalam hidup
berkeluarga atau pekerjaan, kekalahan atau keinginan untuk berprestasi, emosi
(takut, kaget, dan ketegangan batin lainnya), kedinginan, luka, atau perdarahan,
dan sebagainya. Adanya stres tersebut, terutama yang berupa tekanan mental dan
emosi, akan mengakibatkan timbulnya suatu “reaksi alarm”, yaitu suatu reaksi
otomatis yang mengubah seluruh tempo dalam badan manusia, misalnya denyut
nadi bertambah cepat, tekenan darah naik, tangan menjadi dingin, darah
dialirkan dari kulit ke organ vital, asam lambung di produksi untuk mempercepat
proses pencernaan yang mengubah makanan menjadi energi yang dibutuhkan,
dan kelenjar adrenal akan distimulir untuk memproduksi hormon adrenalin dan
steroid yang lebih banyak dari pada kondisi normal guna melawan stres.10
Apabila stres mental dan emosi tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang
cukup lama, maka tubuh akan berusaha untuk menyesuaikan diri (beradaptasi)
dengan tekanan tersebut. Kondisi yang demikian, dapat menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan patologis dalam jaringan/ organ tubuh manusia, melalui
sistem saraf otonom. Sebagai akibatnya, akan timbul penyakit adaptasi yang
dapat berupa hipertesi, jantung, gastritis, dan sebagainya.10 Stres dapat
merangsang peningkatan produksi asam lambung dan gerakan peristaltik
lambung. Stres juga akan mendorong gesekan antara makanan dan dinding
lambung menjadi bertambah kuat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya
peradangan di lambung.11

6. Obat yang mengiritasi lambung

Beberapa macam obat yang bersifat asam atau basa keras dapat
menyebabkan gastritis. Obat-obatan yang mengandung salisilat misalnya aspirin
(sering digunakan sebagai obat pereda sakit kepala) dalam tingkat konsumsi
yang berlebihan dapat menimbulkan gastritis.11 Obat-obat tertentu yang
mengandung aspirin, obat-obat reumatik, dan golongan kortikosteroid dapat
menyebabkan penyakit gastitis bila lambung penderitanya terlalu peka terhadap
bahan-bahan tersebut.5 Radang lambung atau gastritis dapat pula disebabkan
oleh beberapa obat seperti NSAIDs (asetosal, indometasin, dan lain-lain ),
kortikosteroid. Obat tersebut dapat menghambat produksi prostaglandin tertentu
dengan efek pelindung terhadap mukosa. Selain itu penggunaan dalam kadar
tinggi dapat merusak barrier mucus lambung dan dapat mengakibatkan
pendarahan.12 Caruso, dkk meneliti secara gastrokopis efek OAINS yang
diberikan tunggal atau kombinasi pada 164 pasien dengan artritis reumatoid dan
84 pasien dengan osteoartritis. Selama 1 tahun pengobatan, ternyata secara
endoskopis dipastikan mengalami lesi gaster. Diperkirakan terjadi ulkus
gastrointestinal, pendarahan, dan perforasi pada kurang lebih 12% dari seluruh
pasien yang menggunakan OAINS selama 3 bulan dan 25% pada pasien yang
menggunakan OAINS selama 1 tahun. Risiko kumulatif dari keadaan di atas
akan meningkat dengan lamanya pengobatan,13 Menurut Lintott (1983)
melakukan pemeriksaan gastroskopi berturut-turut pada 16 penderita yang
minum tablet aspirin, asam salisilat yang telah dihancurkan. Tiga belas orang
dari 16 penderita yang minum 15 gram aspirin, terlihat mukosa yang hiperemik
sampai pembengkakan pembuluh-pembuluh darah dengan pendarahan sub
mukosa. Ternyata bahwa aspirin yang tidak larut dapat menyebabkan timbulnya
iritasi lambung secara tidak langsung.4

7. Perilaku yang berisiko tertular Helicobacter pylori


Infeksi kuman Helicobacter pylori merupakan kausa gastritis yang amat
penting. Karena hampir 80% gastritis kronis dihubungkan dengan infeksi
H.pylori.14 Sumber penularan infeksi bakteri Helicobacter pylori ditularkan dari
satu penderita ke penderita lain, kemungkinan besar melalui oral-oral
(berciuman), gastro-oral (muntahan), atau fekal-oral (makanan/minuman yang
terkontaminasi tinja penderita secara langsung/tidak langsung melalui perantara
lalat dan lipas). Di negara berkembang jalurnya adalah fekal-oral.15 Peningkatan
prevalensi Helicobacter pylori juga dikaitkan dengan peningkatan konsumsi
makanan dari pedagang kaki lima yang mendukung kemungkinan terjadinya
penularan yaitu penyiapan makanan dalam kondisi yang tidak higienis.16
Pencegahan penularan infeksi bakteri Helicobacter pylori yang dapat dilakukan
kebiasaan mencuci tangan baik sebelum dan sesudah makan maupun setelah
buang air besar.8

8. Kondisi jamban

Helicobacter pylori bersifat mikroaerofilik yaitu tumbuh baik pada


lingkungan dengan kandung CO2 10%, O2 tidak lebih dari 5%, suhu antara 33-
400 C, kelembaban 100%, pH 5,5-8,5, mati dalam suasana anaerobik, kadar O2
normal, dan suhu dibawah 280 C (Sudaryat Sutaatmaja, 2007:271-273).
Penularan Helicobacter pylori melalui fekal-oral ditemukan dalam tinja dan
penularan terjadi melalui air yang terkontaminasi tinja. Di Chili, membuktikan
bahwa mereka yang mengkonsumsi sayuran mentah atau tidak dimasak yang
dicuci dengan air yang terkontaminasi tinja/kotoran dikaitkan dengan seropositif
Helicobacter pylori.16

l. Komplikasi17

Komplikasi gastritis dibagi menjadi dua yaitu gastritis akut dan gastritis kronik.
Gastristis akut komplikasinya adalah perdarahan saluran cerna bagian atas berupa
hematemesis dan melena. Komplikasi ini dapat berakhir syok hemoragik. Gastritis
kronik komplikasinya adalah perdarahan saluran cerna bagian atas, ulkus, perforasi
dan anemia.
4. Ulkus Gaster

g. Diagnosis

Pemeriksaan yang biasanya dilakukan untuk diagnosis tukak peptik yaitu


seperti endoskopi dengan biopsi dan sitologi, pemeriksaan dengan barium,
radiologi pada abdomen, analisis lambung, pemeriksaan laboratorium (kadar Hb,
Ht, dan pepsinogen darah), dan melena.18

Diagnosis tukak peptik ditegakkan berdasarkan: 19

1) Pengamatan klinis

2) Hasil pemeriksaan penunjang (radiologi dan endoskopi)

3) Hasil biopsi untuk pemeriksaan CLO (Compylobacter Like Organism),


histopatologi kuman H. pylori

Diagnosis terhadap H.pylori diperlukan untuk menetapkan adanya infeksi


sebelum memberikan pengobatan. Jenis tes diagnostik infeksi H. pylori adalah
sebagai berikut: 20

1) Non invasif : Serologi (IgG, IgA anti Hp, urea breath test)

2) Invasif/endoskopi : Tes urease (CLO, histopatologi, kultur mikrobiologi,


Polymerase chain reaction)

l. Komplikasi (Kak raisah, reyhan)

5. GERD

c. Patogenesis 21

Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi yang
dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal,
pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang
terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau
muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila
tonus LES tidak ada atau sangat rendah.
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :

a. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat

b. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan

c. Meningkatnya tekanan intraabdominal

Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD


menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif
dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah
antirefluks (lini pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini kedua), dan
ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang termasuk faktor
ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.

 Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES
dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan
tekanan intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus
LES yang normal. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya
hiatus hernia, panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-
obatan (misal antikolinergik, beta adrenergik, teofilin, opiate, dll), dan faktor
hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan
tonus LES.

Namun dengan perkembangan teknik pemeriksaan manometri, tampak


bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan
dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu
relaksasi LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa
didahului proses menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi
pada beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung
yang lambat (delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung.

Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih


kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan
hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang
signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk
bersihan asam dari esophagus serta menurunkan tonus LES.

 Bersihan asam dari lumen esophagus


Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah
gravitasi, peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat.

Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke


lambung dengan dorongan peristaltic yang dirangsang oleh proses menelan.
Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan
kelenjar esophagus.

Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara
bahan refluksat dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin besar
kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian besar pasien GERD ternyata
memiliki waktu transit esophagus yang normal sehingga kelainan yang timbul
disebabkan karena peristaltic esophagus yang minimal.

Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan


kerusakan esophagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan
esophagus tidak aktif.

 Ketahanan epithelial esophagus


Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan
mukus yang melindungi mukosa esophagus.

 Mekanisme ketahanan epithelial esophagus terdiri dari :


 membran sel
 batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke
jaringan esophagus
 aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat,
serta mengeluarkan ion H+ dan CO2
 sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl-
intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.
Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esophagus,
sedangkan alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H.
Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat.
Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak refluksat terdiri dari HCl,
pepsin, garam empedu, dan enzim pancreas.

Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang


dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esophagus makin meningkat pada pH <
2, atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang
memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam. Faktor-faktor lain yang
berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang
meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung, atau
obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.

Peranan infeksi helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil


dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik
antara infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian
esofagitis, Barrett’s esophagus dan adenokarsinoma esophagus. Pengaruh dari
infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta
pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H. pylori
sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang
tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant antral
gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat menekan munculnya gejala GERD.
Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H.
pylori dengan corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat
meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada
pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan antral predominant
gastritis, eradikasi H.pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta menekan
sekresi asam lambung. Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-
infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat
memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi asam lambung.
Pengobatan PPI jangka panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat
mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi
H. pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan PPI jangka panjang.

Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid
reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud
dengan non-acid reflux adalah berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau
refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karena
hipersensitivitas visceral.

7. Regulasi Asam Lambung 22

Produksi asam lambung diatur oleh sistem saraf otonom dan beberapa hormon.
Sistem saraf parasimpatis, melalui saraf vagus, dan hormon gastrin menstimulasi
sel parietal untuk memproduksi asam lambung, baik secara langsung bekerja pada
sel parietal dan secara tidak langsung, melalui stimulasi sekresi hormon histamin
dari sel mirip enterokromafin (ECL). Peptida usus vasoaktif, kolesistokinin, dan
sekretin semuanya menghambat produksi.
Produksi asam lambung diatur ketat oleh mekanisme pengatur positif dan
timbal-balik negatif. Empat tipe sel terlibat dalam proses ini: sel parietal, sel G, sel
D, dan sel seperti-enterokromafin. Di samping itu, ujung saraf vagus dan pleksus
saraf intramural dalam saluran pencernaan memengaruhi sekresi secara signifikan.

Ujung-ujung saraf di lambung mengeluarkan dua neurotransmiter stimulasi:


asetilkolin dan peptida yang melepaskan gastrin. Tindakan keuda neurotransimiter
tersebut baik langsung terhadap sel parietal dan dimediasi melalui sekresi gastrin
dari sel G dan histamin dari sel seperti enterokromafin. Gastrin bekerja pada sel
parietal secara langsung dan tidak langsung juga, dengan merangsang pelepasan
histamin.

Pelepasan histamin adalah regulasi positif yang paling penting. Pelepasannya


dirangsang oleh gastrin dan asetilkolin dan dihambat oleh somatostatin.

1. Rohen, J.W., Yokochi, C., Drecoll, E.L. 2011. Color Atlas of Anatomy.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2006.
3. Manson JJ, Rahman A. Systemic lupus erythematosus. Orphanet
Encyclopedia.2005.
4. Sujono, Hadi.2002. Asites dalam Gastroenterologi. Bandung:
Alumni.pp:477-486.
5. Heck, Ronald H. 1996. Leadership and Culture, Conceptual and
Methodological Issues in Comparing Models Across Cultural Settings.
Journal of Educational Administration, Vol.34 No. 5, 1996. MCB
University Press
6. Ahmad H. Asdie. 2000. Gangguan Sistem saluran Makanan. Dalam: Ahmad
H. Asdie, editor. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, volume 4. Jakarta:
EGC.
7. Boedhi, Darmojo, R. (2011). Buku Ajar Geriatic (Ilmu Kesehatan Lanjut
Usia) edisi ke – 4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
8. Suraatmaja, S., 2007. Kapita selekta gastroenterologi Anak. Jakarta :
Sagung Seto.
9. Uripi, Vera. 2001. Menu Untuk Penderita Hepatitis Dan Gangguan Saluran
Pencernaan : Cetakan 1. Puspa Swara : Jakarta.
10. Lanywati, E. 2001. Diabetes Mellitus : Penyakit Kencing Manis.
Yogyakarta : Kanisius ( Anggota IKAPI ).
11. Aziz, Sriana & S.R. Muktiningsih. 1999. Artikel Media Litbangkes Volume
IX Nomor 1 Tahun 1999. Jakarta.
12. Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting Khasiat,
Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam, 262, 269-271, PT.
Elex Media Komputindo, Jakarta
13. Nasution (1992), Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Penerbit
Tarsito, Bandung.
14. Aru W.Sudoyo, B. S. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (2 ed., Vol.
III). Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam.
15. Kunadi Tanzil. 2014. Peran Heliobacter Pylori dan Epidemiologinya pada
Penyakit Saluran Cerna. Jakarta: Majalah Kedokteran Atmaja
16. Yvonne & Rob de jonge. 2011. Transmisi Heliobacteripylori: Peran Untun
Makanan. Buletin Organisasi Kesehatan Dunia
17. Mansjoer Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI.
18. Priyanto, A., dan Lestari, S., 2009, Endoskopi Gastrointestinal, 86, Salemba
Medika, Jakarta.
19. Tarigan, Pengarapen. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV.
Jakarta: FKUI.
20. Rani, A. A., & Fauzi, A. 2006. Infeksi Helicobacter pylori dan Penyakit
Gastro-duodenal. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. S. K., & S.
Setiati (Eds.), Ilmu Penyakit Dalam Jilid I (IV, 329–331). Jakarta: FKUI.
21. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Dalam: A. Aziz
Rani, Sidartawan Soegondo, Anna Uyainah Z. Nasir, Ika Prasetya Wijaya,
Nafrialdi, Arif Mansjoer. Panduan pelayanan medik. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2008.
22. Dworken, Harvey J (2016). Human digestive system: gastric secretion.
Encyclopædia Britannica Inc.

Anda mungkin juga menyukai