Anda di halaman 1dari 44

BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2016


UNIVERSITAS PATTIMURA

ANESTESI SPINAL PADA PROSEDUR SECTIO CESAREA


PASIEN DENGAN KALA II LAMA DAN GAWAT JANIN

Disusun Oleh:

IDA AMSIYATI

NIM. 2010-83-031

Pembimbing:

dr. Ony W. Angkejaya, Sp. An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

DI BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2016
BAB I
PENDAHULUAN

Bedah sesar atau sectio cesarea sudah menjadi pembedahan yang lazim di
Indonesia. Sekarang ini, bedah sesar sudah berkembang pesat. Biasanya teknik
operasi ini lebih diperuntukkan bagi wanita dengan bedah sesar pada persalinan
sebelumnya dan wanita dengan kehamilan yang memiliki resiko besar saat
persalinan seperti distosia, posisi janin sungsang, dan fetal distress.
Jumlah pasien pembedahan sesar pun meningkat karena saat ini bedah sesar
tidak hanya dilakukan berdasarkan indikasi klinis atau sebagai tindakan kegawat-
daruratan namun juga atas permintaan pasien sendiri atau lebih dikenal dengan
sebutan bedah sesar elektif. Karena bedah sesar termasuk salah satu jenis
pembedahan, tentu saja tindakan ini juga memerlukan anestesi untuk mengurangi
rasa sakit pasien. Anestesi adalah keadaan dimana tubuh kehilangan kemampuan
untuk merasakan nyeri. Hal ini terjadi akibat dari pemberian obat atau intervensi
medik lainnya. Keadaan ini, secara umum, menguntungkan bagi pasien dan dokter
saat melakukan pembedahan.
Teknik anestesi yang biasa digunakan pada pasien bedah sesar ada dua
macam, yaitu teknik anestesi umum dan teknik anestesi regional (anestesi spinal
atau anestesi epidural). Menurut beberapa literatur dan penelitian-penelitian
sebelumnya, anestesi umum memiliki tingkat keamanan yang lebih rendah dan
komplikasi yang lebih banyak daripada teknik anestesi regional. Di Negara-negara
maju, teknik anestesi regional lebih disukai untuk pasien-pasien bedah sesar. Di
Amerika sendiri, 80-90% prosedur bedah sesar dilakukan di bawah anestesi
regional.
Pemilihan teknik anestesi pada pasien bedah sesar mempengaruhi prognosa
dan komplikasi pasien pasca operasi. Beberapa hal seperti keadaan kehamilan,
keadaan umum pasien pra-pembedahan, dan tingkat kemampuan ahli anestesi
yang ada berpengaruh terhadap jenis anestesi yang akan dilakukan.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. R
Tempat, Tanggal Lahir : Ambon, 23 Juni 1985
Umur : 29 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Talaga Piru
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Berat Badan : 60 kg
Tinggi Badan : 163 cm
Status pernikahan : Sudah menikah
No.Rekam Medis : 10-09-75
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 22 Juni 2016
Tanggal operasi : 22 Juni 2016

B. ANAMNESIS
 Keluhan utama : nyeri perut
 Anamnesis terpimpin :
Pasien G1P0A0 hamil 9 bulan, masuk RS dg keluhan ketuban pecah
sejak 39 jam SMRS, sudah mendapat pertolongan oleh bidan di desa dan
dirujuk ke RSU Piru karena bayi belum juga lahir. Pasien kemudian
dirujuk kembali ke RSUD Dr. M Haulussy. Gerakan janin dirasakan
masih ada, DJJ lemah. HPHT: ?, TP: ?
 Riwayat penyakit dahulu : pasien diketahui tidak memiliki penyakit
asma, hipertensi maupun penyakit jantung.
 Riwayat pengobatan : IVFD RL 20 tpm, inj. Cefotaxime 2x 1 gr,
PCT 3x 500 mg (RSU Piru)

3
 Riwayat keluarga : tidak ada keluarga yang mempunyai
keluhan yang sama
 Riwayat operasi dan anestesi: tidak pernah menjalani operasi sebelumnya
 Riwayat alergi : tidak ada

C. PEMERIKSAAN FISIK
 Status gizi : cukup
 Keadaan psikis : pasien cukup tenang
B1 Airway : bebas
Breathing : spontan
RR : 18 x/menit, regular
 Teeth : gigi goyang (-)
 Tongue : makroglossy (-)
 TMJ : stiffness (-)
 Tonsil : ukuran T1-T1, hiperemis (-), detritus (-),
krypta (-)
 Torticolis : (-)
 Thyroid notch : > 3 jari
 Trachea : deviasi (-)
 Tumor : (-)
Malampati score : 1
Bunyi napas : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
B2 Akral hangat, kering, merah
Tekanan darah : 115/79 mmHg
Nadi : 92 x/menit, regular, kuat angkat
Bunyi jantung I,II murni, regular, murmur (-), gallop (-)
B3 Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Pupil isokor, RCL +/+, RCTL +/+
Suhu : 37, 5ºC

4
B4 BAK kateter (+)
B5 Abdomen : gravid, Bising usus (+)
B6 Fraktur (-), Edema (-)

 Pemeriksaan Obstetri
Tinggi fundus uteri : 32 cm
TBJ : 3255 gram
DJJ : 110 x/menit
His : 4 kali dlm 10 menit, durasi 50 detik

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin
• RBC = 4,43 x 106/mm3
• Hb = 12,5 g/dL
• Hct = 38,4 %
• MCV = 87 µm3
• MCH = 28,1 pg
• MCHC = 32,5 g/dL
• Plt = 230 x 103/mm3
• WBC = 15,1 x 103/mm3

E. DIAGNOSIS
 Klinis : G1P0A0 hamil aterm + Kala II lama + Gawat janin
 Anestesi : PS ASA IIE

F. RENCANA
Pro Sectio cesarean CITO!

G. PRE OPERASI
1. Diagnosis pra bedah : G1P0A0 hamil aterm + Kala II lama + Gawat janin

5
2. Diagnosis post bedah : Partus aterm + Gawat janin + Kala II lama ec
CPD Outlet
3. Jenis pembedahan : Sectio Cesarean Transperitoneal Profunda (SCTP)
4. Jenis anestesi : Regional anestesia dengan spinal anesthesia
5. Lama operasi : 14.50 – 15.30
6. Lama anestesi : 14.45 – SAB
7. Teknik anestesi :
• Pasien posisi supine, monitor terpasang, IV line pada tangan kanan,
cairan RL 50 tpm
• Memastikan kondisi pasien stabil dengan TTV dalam batas normal
• Preoksigenase / denitrogenase dengan O2 100 % dalam 3-5 menit
• Disiapkan spoit 5 cc yang diisi dengan bupivacaine 15 mg dan
dilepas needle dari spoit tersebut
• Pasien disuruh duduk di atas meja operasi dengan kepala
ditundukan agar memudahkan proses anestesi spinal.
• Pasien kemudian ditusuk pada L3-4 dan untuk mengetahui apakah
jarum sudah memasuki ruang subarachnoid atau belum adalah
dengan keluarnya cairan serebrospinal, maka dilakukan aspirasi.
• Setelah jarum sudah masuk pada ruang subarachnoid, spoit berisi
bupivacaine dihubungkan dengan jarum spinal dan bupivacaine 15
mg segera disuntikkan ke dalam ruang subarachnoid.
• Ketika bupivacaine sudah selesai disuntikkan semua, jarum dan
spoit segera ditarik dan luka tusukkan segera ditutup plester dan
pasien juga secepatnya diinstruksikan terlentang kembali.
• Kemudian pasien diminta untuk mengangkat kedua kakinya secara
bergantian, dan pasien mengaku terasa berat saat mengangkat kaki.
• Maintenance dengan O2 4 lpm dan efedrin 10 mg
• Pasien diinformasikan bahwa kakinya baru akan dapat digerakkan
3-4 jam kemudian.

6
H. INTRA OPERATIF
1. Induksi spinal : bupivacaine 15 mg
2. Maintenance : O2 4 lpm dan efedrin 10 mg
3. Keseimbangan cairan:
• Cairan masuk : PO (RL 250 cc), DO (RL 1000 cc)
• Cairan keluar : perdarahan ± 200 cc; produksi urine PO 450 cc, DO
200 cc
4. Keadaan Bayi Lahir:
Bayi lahir pukul 14.55, jenis kelamin laki-laki :
• APGAR score menit 1 = 1
• APGAR score menit 5 = 3
• BB = 3000 gram
• PB = 50 cm

I. POST OPERATIF
1. Pasien masuk ruangan pemulihan (RR) pukul 15.40
2. Keluhan pasien : mual (-), muntah (-), nyeri (-)
3. Pemeriksaan fisik :
B1 Airway : bebas
Breathing : spontan
RR : 20 x/ menit, reguler
Bunyi napas : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
SpO2: 100%
B2 Akral hangat, kering, merah
Tekanan darah : 100/69 mmHg
Nadi : 87 x/menit, regular, kuat angkat
Bunyi jantung I,II murni, regular, murmur (-), gallop (-)
B3 Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Pupil isokor, RCL +/+, RCTL +/+

7
Suhu : 37, 5ºC
B4 BAK kateter (+)
B5 Abdomen supel, bising usus (+)
B6 Fraktur (-)
Edema (-).

4. Post op pain management : drips tramadol 100 mg dalam 500 cc RL dan


ketorolac 30 mg/8jam/IV/hari.
5. Pasien dipindahkan ke ruang perawatan pukul 16.15
6. Terapi :
• Awasi tanda vital
• Head up 30º
• Bed rest 24 jam, boleh miring kiri dan kanan
• Makan minum jam 20.00 WIT
• Post op pain Ketorolac 3 mg/8jam/IV/hari, Tramadol 100 mg/8
jam/IV, bolus pelan 3 menit
• Terapi lain sesuai terapi dari dokter obgyn

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANESTESI SPINAL PADA PROSEDUR SECTIO CESAREA


I. ANESTESI SPINAL
1. Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan
tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang
subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai blok
spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila
kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang subarachnoid
di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.2,8

2. Farmakologi Obat Anestetik Lokal


Anestetik lokal ialah obat yang menghasilkan blokade
konduksi atau blokade saluran natrium pada dinding saraf secara
sementara terhadap rangsangan transmisi sepanjang saraf, jika
digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik lokal setelah
keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan
dan lengkap tanpa diikuti kerusakan struktur saraf. Obat-obat
anestesi lokal yang digunakan pada pembedahan harus memenuhi
syarat-syarat yaitu blokade sensorik dan motorik yang adekuat, mula
kerja yang cepat, tidak neurotoksik, dan pemulihan blokade motorik
yang cepat pascaoperasi sehingga mobilisasi lebih cepat dapat
dilakukan dan risiko toksisitas sistemik yang rendah.2
Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik atau
gabungan alkaloid larut lemak dan garam larut air. Rumus bangun
terdiri dari bagian kepala cincin aromatik tak jenuh bersifat lipofilik,
bagian badan cincin hidrokarbon sebagai penghubung, bagian ekor
amino tersier bersifat hidrofilik. Bagian aromatik mempengaruhi
kelarutan dalam air dan rantai penghubung menentukan jalur

9
metabolisme obat anestetik lokal. Struktur umum dari obat anestetik
lokal tersebut mencerminkan orientasi dari tempat bekerja yaitu
membran sel saraf. Jika dilihat susunan dari membran sel saraf yang
terdiri dari dua lapisan lemak dan satu lapisan protein di luar dan
dalam, maka struktur obat anestetik lokal gugus hidrofilik berguna
untuk transport ke sel saraf sedangkan gugus lipofilik berguna untuk
migrasi ke dalam sel saraf.2
Obat anestesi lokal yang digunakan dibagi ke dalam dua
macam, yakni golongan ester seperti kokain, benzokain, prokain,
kloroprokain, ametokain, tetrakain dan golongan amida seperti
lidokain, mepivakain, prilokain, bupivakain, etidokain, dibukain,
ropivakain, levobupivakain. Perbedaannya terletak pada kestabilan
struktur kimia. Golongan ester mudah dihidrolisis dan tidak stabil
dalam cairan, sedangkan golongan amida lebih stabil. Golongan ester
dihidrolisa dalam plasma oleh enzim pseudo-kolinesterase dan
golongan amida dimetabolisme di hati. Di Indonesia golongan ester
yang paling banyak digunakan ialah prokain, sedangkan golongan
amida tersering ialah lidokain dan bupivakain.2

Tabel 1. Beberapa jenis obat anestesi lokal yang dipakai pada anestesi
spinal.2

10
a. Bupivakain
Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang
kurang lebih tiga kali lebih kuat daripada asalnya. Obat ini
bersifat long acting dan disintesa oleh BO af Ekenstem dan
dipakai pertama kali pada tahun 1963. Secara komersial
bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml solutions.2,3,8
Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan
konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg,
sedangkan bupivakain hiperbarik diberikan dengan konsentrasi
0,5%, volume 2-4 ml dan total dosis 15-22,5 mg. Bupivakain
juga mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain
karena mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengikat
protein. Untuk menghilangkan nyeri pada persalinan, dosis
sebesar 30 mg akan memberikan rasa bebas nyeri selama 2 jam
disertai blokade motoris yang ringan. Analgesik paska bedah
dapat berlangsung selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian
dengan tehnik anestesi kaudal akan memberikan efek analgesik
selama 8 jam atau lebih.2,3,8
Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 – 0,75 %) digunakan
untuk pembedahan. Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf
tepi 0,25 – 0,5 %, epidural 0,5 – 0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis
maksimal pada pemberian tunggal adalah 175 mg. Dosis rata-
ratanya 3 – 4 mg / kgBB.2,3,8
b. Klonidin
Klonidin adalah salah satu contoh dari agonis α2 yang
digunakan untuk obat antihipertensi (penurunan resistensi
pembuluh darah sistemik) dan efek kronotropik negatif. Dalam
beberapa penelitian juga ditemukan efek anestesi dari pemberian
secara oral (3-5μg/kg), intramuscular (2μg/kg), intravena (1-
3μg/kg), transdermal (0,1-0,3 mg setiap hari) intratekal 75-
150μg) dan epidural (1-2μg/kg) dari pemberian klonidin. Selama

11
anestesi regional, termasuk peripheral nerve block, klonidin akan
meningkatkan durasi dari blokade. Efek langsung pada medula
spinalis mungkin dibantu oleh reseptor postsinaptik α2 dengan
ramus dorsalis. Keuntungan lain juga mungkin berupa
menurunkan terjadinya postoperative shivering, inhibisi dari
kekakuan otot akibat obat opioid, gejala withdrawal dari opioid,
dan pengobatan dari beberapa sindrom nyeri kronis. Efek
samping dapat berupa bradikardia, hypotensi, sedasi, depresi
nafas dan mulut kering.2,3,8
Dosis dewasa yang biasa digunakan per oral adalah 0,2-0,3
mg. Ketersediaan klonidin transdermal ditujukan untuk
pemberian secara mingguan pada pasien bedah yang tidak dapat
diberikan obat per oral.2,3,8
c. Epinefrin (Adrenalin)
Adrenalin (epinephrine), adalah hormon katekolamin yang
dihasilkan oleh bagian medula kelenjar adrenal, dan suatu
neurotransmitter yang dilepas oleh neuron-neuron tertentu yang
bekerja aktif di sistem saraf pusat. Epinephrin merupakan
stimulator yang kuat pada reseptor adrenergik sistem saraf
simpatis, dan stimulan jatung yang kuat, mempercepat frekuensi
denyut jantung dan meningkatkan curah jantung, meningkatkan
glikogenolisis, dan mengeluarkan efek metabolik lain.2,3,8
Adrenalin (epinefrin) digunakan sebagai adjuvant pada
anestesi regional. Adrenalin digunakan untuk mengurangi
konsentrasi plasma pada obat dan meningkatkan tindakan
anestesi. Adrenalin bersifat vasokonstiksi, dengan mengurangi
aliran darah pada tempat penyerapan lokal anestesi dan dan
opioid, dapat menguatkan dan memperpanjang obat-obat
anestesi. Mekanisme yang kedua yaitu dengan memperbaiki
hambatan perifer oleh adrenalin dijelaskan dalam dua jenis

12
kompartemen, kompartemen luar (jaringan epineurial) dan
kompartemen dalam (endoneurium dan serabut-serabut saraf).2,3,8
Adrenalin 200-500 µg (dosis tunggal) ditambahkan ke
dalam anestesi spinal sehingga memberikan hasil yang bervariasi
sehingga memperpanjang blok yang mempengaruhi dosis
adrenalin dan anestesi lokal yang digunakan. Selain itu,
misalnya, pemberian adrenalin 200 µg intratekal pada 7,5 mg
bupivakain dapat memperpanjang modalitas sensorik,
memperpanjang blokade motorik, dan memperpanjang waktu
untuk hambat sekitar 30-50 menit.2,3,8
d. Fentanyl
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika.
Analgesik narkotika digunakan sebagai penghilang nyeri.
Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk
menghilangkan rasa sakit. Beberapa efek samping juga
disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf pusat. Pada
pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi
tidak sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan.2,3,8
Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok
neuraxial pusat (CNB) meningkatkan kualitas analgesia
intraoperatif dan juga memperpanjang analgesia pascaoperasi.
Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60 menit
setelah dosis tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis
injeksi Fentanyl 12,5 µg menghasilkan efek puncak, dengan
dosis yang lebih rendah tidak memiliki efek apapun dan dosis
tinggi meningkatkan kejadian efek samping.2,3,8
Dari penelitian ini terbukti bahwa dengan penambahan
fentanil pada anastesi spinal dapat mengurangi dosis bupivacain
sehingga insidensi hipotensi dan penurunan tekanan darah
sistolik dapat menurun juga.2,3,8

13
Distribusi anestetik lokal pada ruang subarahnoid atau cairan
serebrospinal dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:2,8
1. Faktor utama2,8
1) Berat jenis atau barisitas dan posisi pasien
Barisitas merupakan faktor utama yang menentukan
penyebaran lokal anestetik di ruang subarakhnoid dan
dipengaruhi juga oleh gravitasi serta posisi pasien. Larutan
hipobarik ialah larutan yang lebih ringan dari cairan
serbrospinal bersifat melawan gravitasi, larutan isobarik ialah
larutan yang sama berat dengan cairan serbrospinal bersifat
menetap pada tingkat daerah penyuntikkan, larutan hiperbarik
ialah larutan yang lebih berat daripada cairan otak bersifat
mengikuti gravitasi setelah pemberian. Larutan hiperbarik
biasanya menghasilkan tingkat blok yang lebih tinggi. 2,8
Contoh pengaruh barisitas dan posisi pasien terhadap
penyebaran anestetik lokal: 2,8
- Posisi kepala kebawah maka larutan hiperbarik akan
menyebar ke arah cephalad, sedangkan larutan hipobarik
akan menyebar ke arah kaudal.
- Posisi kepala keatas maka larutan hiperbarik akan
menyebar ke arah kaudal, sedangkan larutan hipobarik
akan menyebar ke arah cephalad.
- Posisi lateral maka larutan hiperbarik akan menyebar
mengikuti posisi lateral dan sebaliknya untuk larutan
hipobarik.
- Posisi apapun dengan larutan isobarik akan berada pada
daerah sekitar penyuntikkan.
- Saat pasien dalam posisi supinasi maka setelah
penyuntikkan larutan hiperbarik, anestetik lokal akan
menyebar ke area T4-T8 dan puncaknya akan mengikuti
lekukan normal dari vertebra yaitu di T4.

14
Pada umumnya semakin jauh penyebaran lokal
anestetik maka semakin singkat durasi blok sensorik obat
tersebut karena menurunnya konsentrasi obat di daerah
injeksi. 2,8
2) Dosis dan volume anestetik lolal
Semakin besar jumlah dan kadar konsentrasi dari
anestetik lokal, maka akan semakin tinggi juga area
hambatan. 2,8
2. Faktor tambahan 2,8
a) Umur
Umur pasien berpengaruh terhadap level analgesi
spinal. Ruang arakhnoid dan epidural menjadi lebih kecil
dengan bertambahnya umur yang membuat penyebaran obat
analgetika lokal lebih besar atau luas, dengan hasil
penyebaran obat analgetika lokal ke cephalad lebih banyak
sehingga level analgesia lebih tinggi dengan dosis sama dan
tinggi badan sama. Sehingga dosis hendaknya dikurangi pada
umur tua. 2,8
b) Tinggi badan
Makin tinggi tubh makin panjang medula spinalisnya,
sehingga penderita yang tinggi memerlukan dosis lebih
banyak daripada yang pendek. 2,8
c) Berat badan
Kegemukan berhubungan dengan penumpukan lemak
dalam rongga epidural yang akan mengurangi volume cairan
serebrospinal. Pengalaman klinis mengindikasikan bahwa
kegemukan berpengaruh sedikit terhadap penyebaran obat
anastetik lokal dalam cairan serebrospinal2,8
d) Tekanan intraabdomen
Tekanan intraabdomen yang meninggi menyebabkan
tekanan vena dan isi darah vertebral meningkat yang

15
menyebabkkan berkurangnya isi cairan serebrospinal.
Akibatnya hasil anastetik lokal yang dicapai lebih tinggi
seperti pada ibu hamil, obesitas, dan tumor abdomen. 2,8
e) Anatomi kolumna vertebralis
Lekukan kolumna vertebralis akan mempengaruhi
penyebaran obat anastetik lokal dalam cairan serebrospinal.
Ini akan tampak pada cairan yang bersifat hiperbarik atau
hipobarik pada posisi terlentang horizontal. Penyuntikkan di
atas L3 dengan posisi pasien supinasi setelah penyuntikkan
akan membuat penyebaran anestetik lokal kerah cephalad dan
mencapai kurvatura T4. 2,8
f) Tempat penyuntikkan
Kurang berperan terhadap tingginya analgesia. Tusukan
pada lumbal 2-3 atau lumbal 3-4 memudahkan penyebaran
obat ke arah torakal, sedangkan tusukan pada lumbal 4-5
karena bentuk vertebral memudahkan obat berkumpul di
daerah sakral. 2,8
g) Arah penyuntikkan
Bila anestetik lokal disuntikkan kearah kaudal maka
pennyebaran oat akan terbatas dibandingkan dengan
penyuntikkan kearah cephalad. 2,8
h) Kecepatan penyuntikkan
Kecepatan penyuntikan yang lambat menyebabkan
difusi lambat dan tingkat analgesia yang dicapai rendah. 2,8

3. Teknik Anestesi Spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan
pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan.
Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan
hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya

16
obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal
adalah sebagai berikut:1,2,8
a. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga
supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk
maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk.
b. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-
L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap
medulla spinalis.
c. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
d. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan
lidokain 1-2% 2-3ml.
e. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk
yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun
jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser
sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian
masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock)
irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu
pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah,
untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang,
mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum
tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang
benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya
likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan
kateter.

17
f. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya
bedah hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-
ligamentum flavum dewasa ± 6cm. 1,2,8

4. Indikasi Anestesi Spinal


Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah
untuk pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke
bawah (daerah papila mammae ke bawah). Anestesi spinal ini
digunakan pada hampir semua operasi abdomen bagian bawah
(termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki. 1,2,8

5. Kontraindikasi
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif.
Kontraindikasi absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada
tempat suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak
diketahui, koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakanial, kecuali
pada kasus-kasus pseudotumor cerebri. Sedangkan kontraindikasi
relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan (misalnya, infeksi
ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang
tidak diketahui. Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi
antibiotik dan tanda-tanda vital stabil, anestesi spinal dapat
dipertimbangkan, sebelum melakukan anestesi spinal, ahli anestesi
harus memeriksa kembali pasien untuk mencari adanya tanda-tanda
infeksi, yang dapat meningkatkan risiko meningitis. 1,2,8
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko
hipotensi setelah pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial
yang tinggi juga dapat meningkatkan risiko herniasi uncus ketika
cairan serebrospinal keluar melalui jarum, jika tekanan intrakranial
meningkat. Setelah injeksi anestesi spinal, herniasi otak dapat terjadi.
1,2,8

18
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan risiko pembentukan
hematoma, hal ini sangat penting untuk menentukan jumlah waktu
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan operasi sebelum menginduksi
anestesi spinal. Jika durasi operasi tidak diketahui, anestesi spinal
yang diberikan mungkin tidak cukup panjang untuk menyelesaikan
operasi dengan mengetahui durasi operasi membantu ahli anestesi
menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, penambahan terapi
spinal seperti epinefrin, dan apakah kateter spinal akan diperlukan.
Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah
tempat operasi, karena operasi di atas umbilikus akan sulit untuk
menutup dengan tulang belakang sebagai teknik tunggal. Anestesi
spinal pada pasien dengan penyakit neurologis, seperti multiple
sclerosis, masih kontroversial karena dalam percobaan in vitro
didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap
toksisitas obat bius local. 1,2,8
Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan
kontraindikasi relatif terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis
aorta, dianggap sebagai kontraindikasi mutlak untuk anestesi spinal,
sekarang mungkin menggabungkan pembiusan spinal dilakukan
dengan hati-hati dalam perawatan anestesi mereka deformitas dari
kolomna spinalis dapat meningkatkan kesulitan dalam menempatkan
anesetesi spinal. Arthritis, kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal
sebelumnya semua faktor dalam kemampuan dokter anestesi untuk
performa anestesi spinal. Hal ini penting untuk memeriksa kembali
pasien untuk menentukan kelainan apapun pada anatomi sebelum
mencoba anestesi spinal. 1,2,8

6. Komplikasi
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini
dan komplikasi lambat. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi,
respirasi dan gastrointestinal. 1,2,8,9

19
a. Komplikasi Sirkulasi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering
terjadi. Biasanya terjadinya pada 10 menit pertama setelah
suntikan, sehingga tekanan darah perlu diukur setiap 10 menit
pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu diukur
setiap 2 menit selama periode ini. Hipotensi terjadi karena
vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin berat
hipotensi. 1,2,8,9
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse
cairan kristaloid (NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera setelah
penyuntikan anestesi spinal dan juga berikan oksigen. Bila
dengan cairan infus cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus
diobati dengan vasopressor seperti efedrin 15-25 mg
intramuskular. 1,2,8,9
1) Bradikardi
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik
berkurang atau karena blok simpatis, Jika denyut jantung di
bawah 65 kali per menit, berikan atropin 0,5 mg intravena.
1,2,8,9

2) Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu
komplikasi anestesi spinal yang sering terjadi. Sakit kepala
akibat anestesi spinal biasanya akan memburuk bila pasien
duduk atau berdiri dan hilang bila pasien berbaring. Sakit
kepala biasanya pada daerah frontal atau oksipital dan tidak
ada hubungannya dengan kekakuan leher. Hal ini disebabkan
oleh hilangnya cairan serebrospinal dari otak melalui pungsi
dura, makin besar lubang, makin besar kemungkinan
terjadinya sakit kepala. Ini dapat dicegah dengan membiarkan
pasien berbaring secara datar (boleh menggunakan satu
bantal) selama 24 jam. 1,2,8,9

20
b. Komplikasi Respirasi
1) Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi,
bila fungsi paru-paru normal.
2) Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi
untuk blok spinal tinggi.
3) Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu
tinggi atau karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
4) Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,
merupakan tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang
perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan. 1,2,8,9
c. Komplikasi Gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus
parasimpatis berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena
traksi pada traktus gastrointestinal serta komplikasi delayed,
pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala
dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari
tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48 jam pasca pungsi
lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih
jarang dan pada kehamilan meningkat. 1,2,8,9

II. SEKSIO SEASERIA


1. Definisi
Seksio sesaria atau persalinan sesaria didefinisikan sebagai
melahirkan janin melalui insisi dinding abdomen (laparatomi) dan
dinding uterus (histerotomi). Definisi ini tidak mencakup
pengangkatan janin dari kavum abdomen dalam kasus ruptur
uteri/kehamilan abdominal. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah
kematian ibu dan bayi karena kemungkinan-kemungkinan
komplikasi yang dapat timbul bila persalinan tersebut berlangsung
pervaginam11.

21
2. Klasifikasi Seksio Sesarea
Ada beberapa jenis seksio sesarea, yaitu11:
a. Seksio sesarea transperitoneal profunda merupakan suatu
pembedahan dengan melakukan insisi pada segmen bawah
uterus. Hampir 99% dari seluruh kasus seksio sesarea dalam
praktek kedokteran dilakukan dengan menggunakan teknik ini,
karena memiliki beberapa keunggulan seperti kesembuhan lebih
baik, dan tidak banyak menimbulkan perlekatan. Adapun
kerugiannya adalah terdapat kesulitan dalam mengeluarkan janin
sehingga memungkinkan terjadinya perluasan luka insisi dan
dapat menimbulkan perdarahan (Manuaba, 1999). Arah insisi
melintang (secara Kerr) dan insisi memanjang (secara Kronig).
b. Seksio sesarea klasik (corporal), yaitu insisi pada segmen atas
uterus atau korpus uteri. Pembedahan ini dilakukan bila segmen
bawah rahim tidak dapat dicapai dengan aman (misalnya karena
perlekatan yang erat pada vesika urinaria akibat pembedahan
sebelumnya atau terdapat mioma pada segmen bawah uterus atau
karsinoma serviks invasif), bayi besar dengan kelainan letak
terutama jika selaput ketuban sudah pecah (Charles, 2005).
Teknik ini juga memiliki beberapa kerugian yaitu, kesembuhan
luka insisi relatif sulit, kemungkinan terjadinya ruptur uteri pada
kehamilan berikutnya dan kemungkinan terjadinya perlekatan
dengan dinding abdomen lebih besar (Manuaba, 1999).
c. Seksio sesarea yang disertai histerektomi, yaitu pengangkatan
uterus setelah seksio sesarea karena atoni uteri yang tidak dapat
diatasi dengan tindakan lain, pada uterus miomatousus yang
besar dan atau banyak, atau pada ruptur uteri yang tidak dapat
diatasi dengan jahitan (Cunningham dkk, 2005).
d. Seksio sesarea vaginal, yaitu pembedahan melalui dinding vagina
anterior ke dalam rongga uterus. Jenis seksio ini tidak lagi
digunakan dalam praktek obstetri (Charles, 2005).

22
e. Seksio sesarea ekstraperitoneal, yaitu seksio yang dilakukan
tanpa insisi peritoneum dengan mendorong lipatan peritoneum ke
atas dan kandung kemih ke bawah atau ke garis tengah,
kemudian uterus dibuka dengan insisi di segmen bawah (Charles,
2005).

3. Indikasi Seksio Sesarea


Dalam persalinan ada beberapa faktor yang menentukan
keberhasilan suatu persalinan, yaitu passage (jalan lahir), passenger
(janin), power (kekuatan ibu), psikologi ibu dan penolong. Apabila
terdapat gangguan pada salah satu faktor tersebut akan
mengakibatkan persalinan tidak berjalan dengan lancar bahkan dapat
menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan ibu dan janin
jika keadaan tersebut berlanjut (Manuaba, 1999).
Indikasi untuk sectio caesarea antara lain meliputi:
a. Indikasi Medis
Terdiri dari 3 faktor : power, passanger, passage
b. Indikasi Ibu
1) Usia
2) Tulang Panggul
3) Persalinan sebelumnya dengan section caesarea
4) Faktor hambatan jalan lahir
5) Kelainan kontraksi rahim
6) Ketuban pecah dini
7) Rasa takut kesakitan
c. Indikasi Janin
1) Ancaman gawat janin (fetal distress)
2) Bayi besar (makrosemia)
3) Letak sungsang
4) Faktor plasenta : plasenta previa, solution plasenta, plasenta
accreta

23
5) Kelainan tali pusat : prolapsus tali pusat, terlilit tali pusat
Seksio sesarea dilakukan bila diyakini bahwa penundaan
persalinan yang lebih lama akan menimbulkan bahaya yang serius
bagi janin, ibu, atau bahkan keduanya, atau bila persalinan
pervaginam tidak mungkin dapat dilakukan dengan aman.
Berdasarkan laporan mengenai indikasi terbanyak di negara-negara
maju seperti yang diperlihatkan pada tabel 2.1, di Norwegia
diperoleh hasil bahwa indikasi terbanyak untuk seksio sesarea adalah
distosia 3,6%, diikuti oleh presentasi bokong 2,1%, gawat janin
2,0%, riwayat seksio sesarea sebelumnya 1,4% dan lain-lain 3,7%
dari 12,8% kasus seksio sesarea yang terjadi.

4. Kontraindikasi Seksio Sesarea


Pada prinsipnya seksio sesarea dilakukan untuk kepentingan
ibu dan janin sehingga dalam praktik obstetri tidak terdapat
kontraindikasi pada seksio sesarea. Dalam hal ini adanya gangguan
mekanisme pembekuan darah ibu, persalinan pervaginam lebih
dianjurkan karena insisi yang ditimbulkan dapat seminimal mungkin
(Cunningham dkk, 2005).11

B. GAWAT JANIN DAN RESUSITASI BAYI BARU LAHIR


I. GAWAT JANIN
1. Definisi
Gawat janin menunjukkan suatu keadaan bahaya yang relatif
dari janin yang secara serius, yang mengancam kesehatan janin.12
Istilah gawat janin (fetal distress) terlalu luas dan kurang tepat
menggambarkan situasi klinis. Ketidakpastian dalam diagnosis
gawat janin yang didasarkan pada interpretasi pola frekuensi
denyut jantung janin menyebabkan munculnya istilah-istilah
deskriptif misalnya "reassuring" (meyakinkan) atau "nonreassuring"
(meragukan, tidak meyakinkan).12 Gawat janin juga umum

24
digunakan untuk menjelaskan kondisi hipoksia yang bila tidak
dilakukan penyelamatan akan berakibat buruk yaitu menyebabkan
kerusakan atau kematian janin jika tidak diatasi secepatnya atau janin
secepatnya dilahirkan. Hipoksia ialah keadaan jaringan yang kurang
oksigen, sedangkan hipoksemia ialah kadar oksigen darah yang
kurang. Asidemia ialah keadaan lanjut dari hipoksemia yang dapat
disebabkan menurunnya fungsi respirasi atau akumulasi asam.13

2. Etiopatogenesis
Ada beberapa kemungkinan penyebab gawat janin, namun
biasanya gawat janin terjadi karena beberapa mekanisme yang
berkesinambungan. Penurunan aliran darah plasenta akibat kontraksi
dapat menyebabkan kompresi terhadap tali pusat. Sehingga pada
wanita yang mengalami persalinan lama hal ini dapat menyebabkan
kegawatan pada bayi melalui mekanisme di atas. Kegawatan akut
dapat terjadi akibat abrupsio plasenta, prolaps tali pusat (terutama
dengan presentasi bokong), keadaan hipertonik uterine dan
penggunaan oksitosin. Hipotensi dapat terjadi akibat anestesi
epidural atau posisi supine, dimana hal ini dapat mengurangi aliran
darah vena cava kembali ke jantung. Penurunan aliran darah pada
hipotensi dapat menyebabkan kegawatan pada janin. 15,16
Hendaknya kita dapat menganalisa kondisi janin dan ibu,untuk
kemudian membuat pemeriksan khusus dalam membuktikan
kebenaran analisa tersebut. Kondisi klinik yang berkaitan dengan
hipoksia ialah :
a. Kelainan pasokan plasenta : solutio plasenta, plasenta previa,
postterm, prolapsus tali pusat, lilitan tali pusat, pertumbuhan
janin terhambat, isufisiensi plasenta
b. Kelainan arus darah plasenta : hipotensi ibu, hipertensi, kontraksi
hipertonik,

25
c. Saturasi oksigen ibu berkurang: hipoventilasi, hipoksia, penyakit
jantung.
Bila pasokan oksigen dan nutrisi berkurang , maka janin akan
mengalami retardasi organ bahkan risiko asidosis dan kematian.
Bermula dari upaya redistribusi aliran darah yang akan ditujukan
pada organ penting seperti otak dan jantung dengan mengorbankan
visera (hepar dan ginjal). Hal ini tampak dari volume cairan amnion
yang berkurang (oligohidramnion). Bradikardia yang terjadi
merupakan mekanisme dari jantung dalam bereaksi dari baroreseptor
akibat tekanan (misalnya hipertensi pada kompresi tali pusat) atau
reaksi kemoreseptor akibat asidemia. 13

3. Hal – hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan keadaan


Gawat Janin
a. Denyut Jantung Janin (DJJ)
Dellinger dkk. (2000) secara retrospektif menganalisis
pola frekuensi denyut jantung janin intrapartum pada 898
kehamilan dengan menggunakan suatu sistem klasifikasi
yang mereka rancang sendiri. Pola frekuensi denyut jantung
janin selarna persalinan sebelum pelahiran diklasifikasikan
sebagai "normal", "stres", atau "gawat". "Gawat" janin
didiagnosis pada 8 (1 persen) rekaman dan 70 persen
diklasifikasikan sebagai "normal". Hampir sepertiga adalah
pola intermediet. Yang digolongkan ke dalam "gawat" janin
antara lain tidak adanya variabilitas plus deselerasi larnbat
atau deserasi variabel sedang sampai parah atau denyut basal
kurang dari 110 dpm selama 5 menit atau lebih. Hasil akhir
seperti seksio sesarea, asidemia janin, dan rawat inap di ruang
perawatan intensif secara bermakna berkaitan dengan pola
frekuensi denyut jantung janin. Para penulis ini
menyimpulkan bahwa sistem klasifikasi mereka secara akurat

26
dapat memprediksi hasil akhir normal bagi janin serta
17
membedakan gawat janin yang sesungguhnya.
Singkatnya, setelah lebih dari 30 tahun pengalaman
dengan interpretasi pola frekuensi denyut jantung janin,
akhirnya ditemukan bukti bahwa beberapa kombinasi pola
frekuensi denyut jantung janin dapat digunakan untuk
mengidentifikasi janin normal dan abnormal parah. Pola
gawat janin yang sejati tampaknya berupa tidak adanya
variabilitas denyut-demi-denyut disertai deselerasi berat atau
perubahan frekuensi basal persisten atau keduanya. Salah satu
penjelasan mengapa manfaat pemantauan frekuensi denyut
jantung sulit dibuktikan secara ilmiah adalah gawat janin
semacam itu jarang terjadi sehingga sulit dilakukan uji klinis
yang sahih (Hornbuckle dkk., 2000). 14
Pemantauan dan pencatatan denyut jantung janin yang
segera dan kontinyu dalam hubungan dengan kontraksi uterus
memberikan sutu penilaian kesehatan janin yang sangat
membantu selama persalinan. Akselerasi periodik pada gerakan
janin merupakan keterangan dari reaktifitas janin yang normal.12
Indikasi-indikasi kemungkinan gawat janin:
1) Bradikardi
Denyut jantung janin kurang dari 120 denyut per menit.
2) Takikardi
Akselerasi denyut jantung janin yang memanjang
(>160) dapat dihubungkan dengan demam pada ibu yang
sekunder terhadap infeksi intrauterine. Prematuritas atropine
juga dihubungkan dengan denyut jantung janin yang
meningkat.
3) Variabilitas denyut jantung dasar yang menurun.

27
Yang berarti depresi system saraf otonom janin oleh
medikasi ibu (atropine , skopolamin, diazepam, fenobarbital,
magnesium dan analgesic narkotik).
4) Pola deselerasi.
Deselerasi lanjut menunjukkan hipoksia janin yang
disebabkan oleh insufisiensi uteriplasenter. Deselerasi yang
bervariasi tidak berhubungan dengan kontraksi uterus adalah
lebih sering dan muncul untuk menunjukkan kompresi
sementara waktu saja dari pembuluh darah umbilicus.
Peringatan tentang peningkatan hipoksia janin adalah
deselerasi lanjut, penurunan atau tiadanya variabilitas,
bradikardia yang menetap dan pola gelombang sinus.14,17
b. Air Ketuban Hijau dan Kental (Mekonium)
Mekonium akan keluar dari usus pada keadaan stres
hipoksia, telah terbukti bahwa pasase mekonium disebabkan
karena rangsangan saraf dari saluran pencernaan yang sudah
matur. Pada saat janin aterm, saluran pencernaan menjadi matur,
terjadi stimulasi vagal dari kepala atau kompresi tali pusat yang
akan menyebabkan timbulnya peristaltik dan relaksasi dari
spinkter ani yang menyebabkan keluarnya mekonium. Walaupun
etiologinya belum dipahami dengan baik, namun efek dari
mekonium telah diketahui.17,18
Pasase mekonium pada janin yang matur difasilitasi oleh
myelinisasi serabut saraf, peningkatan tonus parasimpatis dan
bertambahnya konsentrasi motilin (suatu peptida yang yang
merangsang kontraksi usus). Ditemukan adanya hubungan antara
kejadian gawat jain dengan peningkatan kadar motilin. 8,9
Mekonium secara langsung merubah air ketuban, menekan
efek antibakteri dan selanjutnya meningkatkan risiko infeksi
perinatal, juga dapat mengiritasi kulit janin sehingga
meningkatkan kejadian erythema toksikum. Namun komplikasi

28
yang paling berbahaya dari keluarnya mekonium in utero adalah
aspirasi air ketuban yang mengandung mekonium sebelum,
selama dan sesudah persalinan.18
Mekonium menyebabkan inflamasi dan obstruksi jalan
nafas. Mekonium yang teraspirasi ke jalan nafas akan
menimbulkan fenomena katup bola dimana udara yang melewati
mekonium pada saat inspirasi akan terperangkap di bagian distal
pada saat ekspirasi, menyebabkan peningkatan resistensi
ekspirasi paru, kapasitas residu fungsional dan diameter
anteroposterior rongga dada.19
Udara yang terjebak di bagian distal saluran pernafasan
menyebabkan hiperekspansi alveoli dan atelektasis dan
menimbulkan terjadinya ventilasi yang tidak seimbang dan shunt
intrapulmoner. Kebocoran udara terjadi pada sekitar 50 % bayi
dengan aspirasi mekonium, dan umumnya terjadi pada saat
dilakukan tindakan resursitasi. Hipertensi pulmonar merupakan
komplikasi yang sering ditemukan.17,18
Aspirasi mekonium merupakan penyebab utama dari
penyakit yang berat dan kematian pada bayi baru lahir.
Pendidikan obstetri sepanjang abad ini mengajarkan konsep
bahwa keluamya mekonium kemungkinan merupakan
peringatan adanya asfiksia janin. J.Whitridge Williams
mengamati pada tahun 1903 bahwa "tanda khas ancaman
asfiksia adalah keluamya mekonium". Ia menyatakan bahwa
keluamya mekonium disebabkan oleh "relaksasi otot sfingter
ani yang dipicu oleh kurangnya aerasi darah janin". Namun,
para ahli kebidanan juga telah lama menyadari bahwa deteksi
mekonium selama persalinan menimbulkan masalah dalam
memprediksi asfiksia atau gawat janin. Memang, walaupun
12 sampai 22 persen persalinan pada manusia dipersulit oleh
mekonium, hanya sedikit yang mengakibatkan kematian bayi.

29
Dalam sebuah penelitian baru-baru ini di Parkland Hospital,
mekonium terbukti sebagai bahaya obstetris "risiko-rendah"
karena angka kematian perinatal yang disebabkan oleh
mekonium adalah 1 kematian per 1000 kelahiran hidup
(Nathan dkk.,1994). Tiga teori diajukan untuk menjelaskan
keluamya mekonium dari janin dan mungkin, sebagian
menjelaskan korelasi yang lemah antara deteksi mekonium
dan mortalitas bayi. Penjelasan patologis menyatakan bahwa
janin mengeluarkan mekonium sebagai respons terhadap
hipoksia, dengan demikian mekonium merupakan tanda
gangguan janin (Walker, 1953). Penjelasan lain, keluamya
mekonium in utero mungkin merupakan pematangan normal
saluran cerna di bawah kontrol saraf (Mathews dan Warshaw,
1979). Ketiga, keluamya mekonium juga terjadi setelah
stimulasi vagus akibat terjepitnya tali pusat yang sering
terjadi tetapi berlangsung singkat dan menyebabkan
peningkatan peristalsis (Hon et al., 1961). Dengan demikian,
pengeluaran mekonium oleh janin juga mungkin
mencerminkan proses fisiologis.16
Ramin dan rekan (1996) mempelajari hampir 8000
persalinan yang air ketubannya tercemar mekonium di
Parkland Hospital. Sindrom aspirasi mekonium secara
bermakna berhubungan dengan asidemia janin saat lahir. Hal-
hal lain yang secara bermakna berkaitan dengan aspirasi
antara lain seksio sesarea, pemakaian forseps untuk
mempercepat kelahiran, kelainan frekuensi denyut jantung
intrapartum, penurunan skor Apgar, dan perlunya bantuan
ventilasi saat lahir. Analisis jenis asidemia janin berdasarkan
gas darah tali pusat menunjukkan bahwa gangguan janin yang
menyertai sindrom aspirasi mekonium merupakan suatu
kejadian yang akut karena sebagian besar janin asidemik lebih

30
memperlihatkan peningkatan abnormal PC02 daripada asidemia
metabolik murni. 15
Yang menarik, hiperkarbia pada janin domba terbukti
memicu janin tersengal-sengal (gasping) dan menyebabkan
peningkatan inhalasi cairan amnion (Dawes dkk., 1972).
Jovanovic dan Nguyen (1989) mengamati bahwa mekonium
yang terhirup ke dalam paru menyebabkan sindrom aspirasi
hanya pada janin hewan yang mengalami asfiksia. Ramin dan
rekan (1996) berhipotesis bahwa patofisiologi sindrom
aspirasi mekonium melibatkan, tetapi tidak terbatas pada:
hiperkarbia janin-yang merangsang respirasi janin sehingga
terjadi aspirasi mekonium ke dalam alveolus, dan kerusakan
parenkim paru akibat asidemia yang memicu kerusakan sel
alveolus. Dalam skenario patofisiologi ini, mekonium dalam
cairan amnion lebih merupakan suatu bahaya potensial yang
terdapat di lingkungan janin daripada menjadi penanda sudah
terjadinya suatu gangguan. Rangkaian proses patofisiologi
yang dihipotesiskan ini tidak bersifat menyeluruh, karena
tidak memperhitungkan sekitar separuh kasus sindrom
aspirasi mekonium dengan janin yang tidak mengalami
asidemia saat lahir. Disimpulkan bahwa tingginya insiden
ditemukannya mekonium dalam cairan amnion selama
persalinan sering mencerminkan pengeluaran isi saluran cerna
janin yang merupakan proses fisiologis normal. Namun,
mekonium ini dapat menjadi suatu bahaya potensial
lingkungan apabila disertai asidemia janin. Yang penting,
asidemia janin tersebut terjadi secara akut sehingga aspirasi
mekonium tidak dapat diperkirakan dan besar
kemungkinannya tidak dapat dicegah. 18

31
c. Pemeriksaan pH Darah Janin
Contoh darah janin memberikan informasi yang objektif
tentang status asam basa janin. Pemantauan janin secara
elektronik dapat menjadi begitu sensitive terhadap perubahan-
perubahan dalam denyut jantung janin dimana gawat janin dapat
diduga bahkan bila janin itu dalam keadaan sehat dan hanya
memberi reaksi terhadap stress dari kontraksi uterus selama
persalinan. Oleh karena itu, pengukuran pH kapiler janin
dikombinasikan dengan pemantauan denyut jantung janin
memberikan informasi kesehatan janin yang dapat dipercaya
dibandingkan jika hanya melakukan pemantauan denyut jantung
janin saja. 15,20
Pengambilan contoh darah janin diindikasikan bilamana
pola denyut jantung janin abnormal atau kacau. Jika pH kulit
kepala yang lebih besar dari 7,25, hal ini menandakan pH
normal. Sedangkan pH kulit kepala yang kurang dari 7,20
menandakan hipoksia janin dengan asidosis. Jika hal ini
terdeteksi maka persiapan kelahiran segera dilakukan.
Sksiosesaria dianjurkan, kecuali jika kelahiran pervaginam sudah
dekat. 12,17
Jika terjadi pH patologis, hal ini membuat rangsangan pada
kemoreseptor, yang mengakibatkan :
− Takikardi.
− Irama detak jantung irreguler ; rangsangan saraf simpatikus
dan saraf vagus yang bersamaan.
− Detak jantung menurun dan irama tidak teratur.
− Rangsangan saraf vagus mempengaruhi sfingter ani terbuka
sehingga mekonium keluar.
− Metabolisme anaerobik membuat cadangan glukosa menurun
dan kontraksi melemah sehingga terjadi kegagalan total dan
janin mati.

32
4. Gejala dan Tanda
a. Gawat Janin Sebelum Persalinan
Gerakan janin menurun, pasien mengalami kegagalan
dalam pertambahan berat badan dan uterus tidak bertambah
besar. Uterus yang lebih kecil daripada umur kehamilan yang
diperkirakan memberi kesan retardasi pertumbuhan intrauterin
atau oligohidramnion. Riwayat dari satu atau lebih faktor-faktor
risiko tinggi, masalah-masalah obstetri, persalinan prematur atau
lahir mati dapat memberi kesan suatu peningkatan risiko gawat
janin. Faktor-faktor risiko tinggi meliputi penyakit hipertensi,
diabetes melitus, penyakit jantung, postmaturitas, malnutrisi ibu,
anemia, isoimunisasi Rh dan penyakit ginjal. 11,20
Pemantauan denyut jantung janin menyingkirkan gawat
janin sepanjang:
1) denyut dasar dalam batas normal;
2) variabilitas denyut ke denyut normal,
3) akselerasi terjadi sesuai gerakan janin, dan
4) tidak ada deselerasi lanjut dengan adanya kontraksi uterus.
b. Gawat Janin Selama Persalinan
Gawat janin selama persalinan menunjukkan hipoksia
janin. Tanpa oksigen yang adekuat, denyut jantung janin
kehilangan variabilitas dasarnya dan menunjukkan deselerasi
lanjut pada kontraksi uterus. Bila hipoksia menetap, glikolisis
anaerob menghasilkan asam laktat dengan pH janin yang
menurun. 12
Gerakan janin yang menurun atau berlebihan menandakan
gawat janin. Tetapi, biasanya tidak ada gejala-gejala subjektif.
Seringkali indikator gawat janin yang pertama adalah perubahan
dalam pola denyut jantung janin (bradikardia, takikardia, tidak
adanya variabilitas, atau deselerasi lanjut). Hipotensi pada ibu,
suhu tubuh yang meningkat atau kontraksi uterus yang hipertonik

33
atau ketiganya secara keseluruhan dapat menyebabkan asfiksia
janin. 11,12
Pemantauan Denyut Jantung Janin(DJJ) dapat
menggunakan kardiotokograf, yang merupakan suatu instrumen
elektronik yang dirancang untuk mendeteksi kecepatan denyut
jantung janin (KDJ) secara serentak dan mengukur intensitas dan
lamanya kontraksi uterus (KU). Instrumen itu menyediakan suatu
peragaan langsung sumber sinyal denyut jantung janin, indikator
audibel yang sejalan dengan sinyal dan kertas tulis berlipat yang
kontinu yang merekam data KDJ-KU. Kecepatan kertas dapat
bervariasi dari 1 em sampai 3 em per menit; keeepatan yang lebih
lambat biasanya digunakan untuk skrining keeepatan denyut
jantung jamn, sedangkan keeepatan yang lebih cepat membantu
dalam pengellalan pola KDJ. Kecepatan denyut jantung janin
dapat direkam seeara tidak langsung melalui dinding abdomen
lewat transduser uItrasonik, suatu mikrofon kontak yang
mendeteksi bunyi jantung janin (fonokardiografi), atau elektroda
abdomen yang merekam elektrokardiogram janin. 13,14
Elektrokardiogram janin diperoleh secara tidak langsung
bila sebuah elektroda ditempatkan pada bagian presentasi janin,
biasanya kulit kepala. Kontraksi uterus dapat diamati dari luar
lewat sensor aktifitas persalinan per abdominam
(tokodinamometer) atau dari dalam melalui suatu kateter yang
diisi eairan yang ditempatkan seeara transervikal di dalam uterus.
Pengamatan janin secara langsung ataupun internal hanya
mungkin setelah ketuban pecah dan serviks agak dilatasi. 12,14
Pencatatan denyut jantung janin yang segera dan kontinu
dalam bubungan dengan kontraksi uterus memberikan suatu
penilaian kesehatan janin yang sangat membantu selama
persalinan. Akselerasi periodik pada gerakan janin merupakan
keterangan dari reaktivitas janin yang normal. 13,15

34
5. Penatalaksanaan dan Edukasi Pasien
Pada gawat janin selama kehamilan, keputusan harus
didasarkan pada evaluasi kesehatan janin in utero dan maturitas
janin. Potensi untuk kehidupan ekstrauterin harus dipertimbangkan
terhadap risiko insufisiensi plasenta intrauterin. Bila seorang pasien
khawatir mengenai gerakan janin yang menurun, pemantauan denyut
jantung janin atau oxytocin challenge test sering memberikan
keterangan akan kesehatan janin. Jika normal, pasien dapat
dipulangkan dengan suatu peta/grafik gerakan janin dan diminta
untuk mencatat gerakan janin pada pagi, siang, sore dan malam hari.
Jika penurunan gerakan janin menetap dianjurkan evaluasi obstetrik
ulang.Jika janin imatur dan keadaan insufisiensi plasenta kurang
tegas, dinasehatkan untuk mengadakan observasi tambahan. Pada
umur janin telah matur, dan terjadi kejadian insufisiensi plasenta
maka perlu secepatnya dilakukan kelahiran. Persalinan dapat
diinduksi jika serviks dan presentasi janin menguntungkan. Selama
induksi, denyut jantung janin harus dipantau secara teliti; penetapan
pH kulit kepala diindikasikan. Dilakukan seksio sesarea jika terjadi
gawat janin. Seksio sesarea juga dipilih untuk kelahiran presentasi
bokong, atau jika pasien pernah mengalami operasi uterus
sebelumnya. 16
Pada gawat janin selama masa persalinan, lakukan upaya
pembebasan setiap kompresi tali pusat, perbaiki aliran darah
uteroplasental, dan segera nilai apakah persalinan dapat berlangsung
normal atau kelahiran segera merupakan indikasi. Rencana kelahiran
(per vaginam atau per abdominam) didasarkan pada faktor-faktor
etiologi, kondisi janin, riwayat obstetrik pasien dan jalannya per-
salinan. Langkah-langkah khusus berupa, posisi ibu diubah dari
posisi terlentang ke posisi lateral sebagai usaha untuk membebaskan
kompresi aortokaval dan memperbaiki aliran darah balik, curah

35
jantung, dan aliran darah uteroplasental. Perubahan dalam posisi juga
dapat membebaskan kompresi tali pusat. Oksigen diberikan melalui
masker muka 6 liter per menit sebagai usaha untuk meningkatkan
pergantian oksigen fetomaternal. Oksitosin dihentikan, karena
kontraksi uterus akan mengganggu curahan darah ke ruang intervili.
Hipotensi dikoreksi dengan infus intravena dekstrosa 5% dalam
larutan Ringer Laktat. Transfusi darah dapat diindikasikan pada syok
hemoragik. Pemeriksaan per vaginam menyingkirkan prolaps tali
pusat dan menentukan perjalanan persalinan. Elevasi kepala janin
secara lembut dapat merupakan suatu prosedur yang bermanfaat. 18
Adapun tindakan yang dianjurkan oleh American College of
Obstetricians and Gynecologists (1998) untuk penatalaksanaan
pola frekuensi denyut jantung janin yang meragukan,
diperlihatkan di tabel dibawah. 20

Tabel Kriteria Penatalaksanaan untuk Pola Frekuensi Jantung


Janin yang Meragukan 20
1. Reposisi pasien
2. Penghentian stimulant uterus dan koreksi hiperstimulasi uterus
3. Pemeriksaan dalam vagina
4. Koreksi hipotensi ibu
5. Pemberitahuan kepada staf anestesi dan keperawatan akan perlunya
persalinan darurat
6.Pemantauan frekuensi denyut jantung janin dengan monitor janin
elektronik atau auskultasi- di ruang operasi sebelum persiapan
abdomen
7. Meminta petugas terlatih untuk bersiap melakukan resusitasi dan
perawatan neonatus
8. Pemberian oksigen kepada ibu

36
 Medikamentosa
TOKOLISIS. Suntikan dosis tunggal 0,25 mg terbutalin
sulfat intravena atau subkutan yang diberikan untuk
melemaskan uterus dilaporkan dapat digunakan sebagai
tindakan sementara dalam penatalaksanaan pola frekuensi
denyut jantung janin yang tidak meyakinkan selama
persalinan. Alasan tindakan ini adalah bahwa inhibisi
kontraksi uterus dapat memperbaiki oksigenasi janin
sehingga terjadi resusitasi in utero. Cook dan Spinnato
(1994) melaporkan pengalaman mereka dengan tokolisis
terbutalin untuk resusitasi janin pada 368 kehamilan
selama periode 10 tahun. Tindakan resusitasi ini memper-
baiki angka pH darah kulit kepala janin walaupun semua
wanita ini melahirkan melalui seksio sesarea. Dalam
kajian mereka, para peneliti berkesimpulan bahwa
walaupun studi yang ada sedikit dan jarang berupa studi
acak, namun sebagian besar melaporkan bahwa tokolisis
terbutalin untuk pola yang meragukan memberi hasil baik.
Nitrogliserin intravena dalam dosis kecil (60 sampai 180
mg) juga dilaporkan bermanfaat (Mercier dkk., 1997). 12,17

II. RESUSITASI BAYI BARU LAHIR


1. Penilaian Bayi Baru Lahir degan APGAR Skor
Apgar skor adalah ekspresi dari kondisi physiologis bayi baru
lahir. Dengan apgar skor (tabel 1) memungkinkan dilakukan evaluasi
kondisi bayi yang baru lahir pada menit pertama dan kelima
kehidupannya.

37
Tabel 3. Apgar score 21

TANDA 0 1 2
Appearance Biru, pucat Tubuh merah, Merah seluruh tubuh
(warna kulit) Ekstremitas biru ektremitas biru
Pulse/hearth rate Tidak ada <100 kali/menit >100 kali/menit
(denyut jantung)
Grimace Tidak ada Menyeringai Batuk, bersin,
(reflek) menangis
Activity Lemas Fleksi ekstremitas Gerakan aktif,
(tonus otot) lemah fleksi ekstremitas
Respiration Tidak ada Tidak teratur, dangkal Tangis kuat,
(pernafasan) Teratur

Apgar skor pada menit pertama merefleksikan kondisi bayi


pada saat lahir dan berhubungan dengan kemampuannya untuk
bertahan hidup, apgar skor yang tidak banyak meningkat dari menit
pertama hingga menit ke 5 dikatakan meningkatkan resiko kematian
pada bayi. Sedangkan apgar skor pada menit ke-5 merefleksikan
usaha resusitasi dan mungkin berhubungan dengan neurological
outcome, apgar score yang rendah pada menit ke 5 (0-3) dikatakan
meningkatkan resiko terjadinya serebral palsy.
Apgar skor 8-10. Apgar skor 8-10 umumnya dapat dicapai
pada 90% neonatus. Dalam hal ini, diperlukan suction oral dan nasal,
mengeringkan kulit, dan menjaga temperatur tubuh tetap normal.
Reevaluasi kondisi neonatus dilakukan pada menit ke-5 pertama
kehidupan.11
Apgar skor 5-7 (asfiksia ringan). Neonatus ini akan merespon
terhadap rangsangan dan pemberian oksigen. Jika responnya lambat,
maka dapat diberikan ventilasi dengan pemberian oksigen 80-100%
melalui bag and mask. Pada menit ke-5 biasanya keadaannya akan
membaik.21

38
Apgar skor 3-4 (asfiksia sedang). Neonatus biasanya sianotik
dan usaha pernafasannya berat, tetapi biasanya berespon terhadap
bag and mask ventilation dan kulitnya menjadi merah muda. Apabila
neonatus ini tidak bernafas spontan, maka ventilasi paru dengan bag
and mask akan menjadi sulit, karena terjadi resistensi jalan nafas
pada saat melewati esofagus. Apabila neonatus tidak bernafas atau
pernafasannya tidak efektif, pemasangan pipa endotrakea diperlukan
sebelum dilakukan ventilasi paru. Hasil analisa gas darah seringkali
abnormal (PaO2 < 20 mmHg, PaCO2 > 60 mmHg, pHa 7,15).
Apabila pH dan defisit basa tidak berubah atau memburuk,
diperlukan pemasangan kateter arteri umbilikalis dan jika perlu dapat
diberikan natrium bikarbonat.22
Apgar skor 0-2. Neonatus dengan apgar skor 5-7 disebut
menderita asfiksia berat dan memerlukan resusitasi segera.23
Sebaiknya dilakukan intubasi dan kompresi dada dapat dilakukan
segera21.

2. Resusitasi Neonatus
Dalam proses resusitasi difokuskan dengan mengidentifikasi
abnormalitas pada oksigenasi dan perfusi. Tujuan yang ingin dicapai
adalah untuk mengoreksi keadaan tersebut dan mencegah
pemburukan yang lebih lanjut.25
Resusitasi adalah usaha dalam memberikan ventilasi yang
adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk
menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan alat-alat vital lainnya.
Sedangkan neonatus adalah bayi baru lahir sampai usia 28 hari
setelah kelahiran. Neonatus dini adalah bayi baru lahir (0 hari)
sampai 7 hari setelah lahir, dan neonatus lanjut adalah bayi berusia 8
hari-28 hari setelah lahir. Resusitasi neonatus adalah usaha untuk
mengakhiri asfiksia dengan memberikan oksigenasi yang adekuat.
Resusitasi neonatus adalah serangkaian intervensi saat kelahiran

39
untuk mengadakan usaha nafas dan sirkulasi yang adekuat. Tujuan
resusitasi pada neonatus adalah membuat bayi baru lahir stabil dalam
waktu selambat-lambatnya 1 jam sesudah lahir. Resusitasi pada bayi
baru lahir adalah prosedur yang diaplikasikan pada BBL yang tidak
dapat bernapas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau
beberapa saat setelah lahir.24
Bayi-bayi yang tidak memerlukan resusitasi dapat dinilai
dengan mudah dan cepat. Penilaiannya meliputi 3 karakteristik yaitu:
- Apakah bayi lahir aterm?
- Apakah bayi menangis atau bernafas?
- Apakah tonus otot bayi baik?
Jika semua pertanyaan diatas jawabannya adalah ”iya”, maka
bayi tidak memerlukan resusitasi dan tidak perlu dipisahkan dari
ibunya. Bayi harus dikeringkan, diletakkan salling bersentuhan
dengan ibunya, dan ditutupi dengan kain linen untuk menjaga
temperatur. Selanjutnya tetap observasi pernafasan, aktifitas, dan
warna kulit bayi.24
Jika ada dari pertanyaan diatas yang jawabannya adalah
”tidak”, maka bayi memerlukan resusitasi yang dibagi menjadi 4
kategori, yaitu:
a. Langkah dasar, mencakup penilaian secara cepat dan stabilisasi
awal
b. Ventilasi, mencakup bag-mask atau bag-tube ventilation
c. Kompresi dada
d. Pemberian cairan atau obat-obatan24

40
Tabel 4 Algoritma Resusitasi Neonatus

(sumber : resusitasi neonatus 2013 IDAI)

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief, Said. 2009. Analgesia Regional. Dalam: Petunjuk Praktis Anestesiologi


Edisi II. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
2. Medscape Reference [Internet] Subarachnoid Spinal Block [Updated on Aug,
5, 2013] Available at http://emedicine.medscape.com/article/2000841-
overview
3. S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Jakarta : CV.
Infomedika, 2004; 125-8.
4. Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book],
Vertebral Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section #146.
5. NYSORA – New York School of Regional Anesthesia, [Internet]
Subarachnoidal Block [Last Update Oct 4 2013], Available at
http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-perineuraxial-
techniques/landmarkbased/ spinal-epidural-cse/3423-spinal-anesthesia.html
6. Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book],
Vertebral Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section #154A
7. University of Pittsburgh Online Reference [Internet] Subarachnoid spinal
block anesthesia. [Last Update Jan 2013].
Available at http://www.pitt.e du/~regional/Spinal/Spinal.htm
8. Gan Gunawan, Sulistya et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta; Balai Penerbit FKUI, 259-72.
9. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray. Clinical
10. Anesthesiology 4th Edition [Digital E-Book] Section Spinal, Epidural and
Caudal Anesthesia; Appleton and Lange, 2005. California: McGraw-Hill
Publishing.

42
11. Khangure, Nicole in TOTW Anesthesia.- World Federation of Societies of
Anesthesiologist [Internet Journal] Neuraxial Anesthesia Adjuvant [Last
Update on July 4 2011]. Available at:
http://totw.anaesthesiologists.org/wpcontent/ uploads/2011/07/230-Neuraxial-
adjuvants.pdf
12. Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan, edisi 3, Cetakan kelima, Jakarta, Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1999.
13. Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea.
Intrapartum Assessment.. 2002. Williams obstetrics. Ed.22. Stamford:
Appleton and Lange.
14. Hariadi R. Gawat Janin. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Ed.1. Surabaya
: Himpunan Kedokteran Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
15. Reece EA, Hobbins J. Normal and Abnormal placentation. 2007. Clinical
Obstetrics : The Fetus and Mother. Ed.3. Massachusetts: Blackwell
16. DeCherney AH, Nathan L. Methods of Assessment for Pregnancy at Risk.
2003. Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment. Ed.9.
California : The McGraw-Hill Companies, Inc.
17. Klingner M, Kruse J. Meconium aspiration syndrome : pathophysiology and
prevention. J Am Board Fam Pract 1999.
18. Datta S. Fetal Distress. 2004. Anesthetic and obstetric management of high-
risk pregnancy. Ed.3. New York : Springer.
19. Anne CC Lee, at al : Neonatal Resuscitation and Immediate New Born
Assessment and Stimulation for The New Prevention of Neonatal Death.
BMC Public Health 2011. Available at : http://www.biomedcentral.com/1471-
2458/11/S3/S12
20. Wiswell MD,Thomas: Neonatal resuscitation. Respiratory Care. Vol 48 No
3;2003.
21. Wyllie J, et al. Part 11: Neonatal Resuscitation. 2010 International Consensus
on
22. Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science
with Treatment Recommendations. Resuscitation 2010;81S:e260-e287.

43
23. Kattwinkel J et al. Special Report Neonatal Resuscitation: 2010 American
Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care.Pediatrics 2010;126:e1400-e1413.
24. Weinberger Barry, et al : Antecedents and Neonatal Consequences of Low
Apgar Scores in Preterm New Born. Arch Pediatr Adolesc Med. Vol 154: 294-
300; 2000
25. American Academy of Pediatrics, Committee on fetus and Newborn,
AmericanCollage of Obstetricians and Gynecologists and Committee on
Obstetric Practice : The Apgar Score. Pediactrics 2006 ; 117 ; 1444. Available
at : http://pediatrics.aapublications.org/content/117/4/1444.full.html

44

Anda mungkin juga menyukai