Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2018


UNIVERSITAS PATTIMURA

TRIPLE ELIMINATION
(ELIMINASI HIV, SIFILIS DAN HEPATITIS B DARI IBU KE ANAK)

Disusun Oleh:
Triska Fajar Suryani
2011 – 83 – 014

Pembimbing:
dr. Deborah Lantang, M. Kes

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Pada Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran
Universitas Pattimura
Ambon
2018
Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas yang berjudul ‘Triple
Eliminasi (Eliminasi HIV, Sifilis dan Hepatitis B dari Ibu ke Anak)’. Refarat ini penulis
susun untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik SMF Ilmu Kesehatan
Masyarakat di Dinas Kesehatan Kota Ambon.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan referat ini sehingga
dapat terselesaikan dengan baik, terlebih khusus ucapan terima kasih kepada dr. Deborah
Lantang, M. Kes selaku pembimbing dalam penyusunan tugas referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Saran
dan kritik dari pembaca diharapkan demi perbaikan referat ini kedepan. Semoga referat
ini bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi
setiap pembaca.

Ambon, April 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul I
Kata Pengantar............................................................................................................................ ii
Daftar isi...................................................................................................................................... iii
BAB I Pendahuluan............................................................................................................... 1
BAB II Tinjauan Pustaka......................................................................................................... 5
1. Definisi ….......................................................................................................... 5
2. Etiologi dan perjalanan penyakit........................................................................ 6
3. Cara penularan.................................................................................................... 9
4. Epidemiologi ………………………………………..……………………....... 13
5. Kebijakan Program HIV AIDS dan IMS ……………………………............. 19
6. Tatalaksana Ibu Hamil sesuai Hasil Pemeriksaan Laboratorium (Deteksi
Dini) HIV, Sifilis dan Hepatitis B .................................................................... 22
7. Indikator tercapainya Triple Eliminasi............................................................... 26
BAB III Penutup....................................................................................................................... 27
Daftar Pustaka............................................................................................................................. 28

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Beberapa penyakit menular seperti infeksi HIV, Sifilis, dan Hepatitis B

adalah penyakit yang dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi ke anaknya selama

kehamilan, persalinan, dan menyusui, serta menyebabkan kesakitan, kecacatan

dan kematian, sehingga berdampak buruk pada kelangsungan dan kualitas hidup

anak. Namun demikian, hal ini dapat dicegah dengan intervensi sederhana dan

efektif berupa deteksi dini (skrining) pada saat pelayanan antenatal, penanganan

dini, dan imunisasi.

Infeksi HIV, Sifilis, dan Hepatitis B pada anak lebih dari 90% tertular dari

ibunya. Prevalensi infeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B pada ibu hamil berturut-

turut 0,3%, 1,7% dan 2,5%. Risiko penularan dari ibu ke anak untuk HIV adalah

20%-45%, untuk Sifilis adalah 69-80%, dan untuk Hepatitis B adalah lebih dari

90%.

Upaya Eliminasi Penularan HIV, Sifilis dan Hepatitis B dilakukan secara

bersama-sama karena infeksi HIV, Sifilis, dan Hepatitis B memiliki pola

penularan yang relatif sama, yaitu ditularkan melalui hubungan seksual,

pertukaran/kontaminasi darah, dan secara vertikal dari ibu ke anak. Eliminasi

Penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B bersama-sama atau yang sering disebut

“triple eliminasi” ini dilakukan untuk memastikan bahwa sekalipun ibu terinfeksi

HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B sedapat mungkin tidak menular ke anaknya.

Pada ibu hamil, HIV bukan hanya merupakan ancaman bagi keselamatan

jiwa ibu, tetapi juga merupakan ancaman bagi anak yang dikandungnya karena

1
penularan yang terjadi dari ibu ke bayinya. Lebih dari 90% kasus anak HIV,

mendapatkan infeksi dengan cara penularan dari ibu ke anak (mother-to-child

transmission/MTCT). Virus HIV dapat ditularkan dari ibu HIV kepada anaknya

selama masa kehamilan, pada saat persalinan atau pada saat menyusui

Bila ibu hamil yang terinfeksi sifilis tidak diobati dengan adekuat, maka

67% kehamilan akan berakhir dengan abortus, lahir mati atau sifilis kongenital

pada neonatus. Pencegahan penularan sifilis dari ibu ke bayi dapat dilakukan

dengan deteksi dini melalui skrining pada ibu hamil dan mengobati ibu yang

terinfeksi sifilis dan pasangannya.

Ibu hamil yang terinfeksi infeksi HBV dapat menularkan virus ke bayi

mereka selama kehamilan atau persalinan. Hampir 90% dari bayi-bayi ini akan

terinfeksi HBV kronis pada saat lahir jika tidak ada pencegahan. Bayi yang

mengidap infeksi HBV sejak lahir, memiliki peluang untuk menderita HBV

kronis dan kanker hepatoseluler lebih besar daripada yang mengidap virus pada

usia yang lebih lanjut, sehingga sangat penting untuk memutus transmisi virus

dari ibu ke janin yang dikandungnya.

2. Tujuan

a. Memutus penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dari ibu ke anak;

b. Menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian akibat HIV, Sifilis,

dan Hepatitis B pada ibu dan anak; dan

c. Memberikan acuan bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, tenaga

kesehatan, dan pemangku kepentingan lain dalam penyelenggaraan

Eliminasi Penularan

2
3. Target

Pemerintah menetapkan target pencapaian awal program Eliminasi

Penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dari ibu ke anak pada tahun 2022, dengan

indikator Eliminasi Penularan sebagai berikut:

1. HIV : Pengurangan jumlah kasus infeksi baru HIV pada bayi baru lahir

dengan tolok ukur ≤50 kasus anak terinfeksi HIV per 100.000 kelahiran

hidup.

2. Sifilis : Pengurangan jumlah kasus infeksi baru Sifilis pada bayi baru lahir

dengan tolok ukur ≤50 kasus anak terinfeksi Sifilis per 100.000 kelahiran

hidup.

3. Hepatitis B : Pengurangan jumlah kasus infeksi baru Hepatitis B pada bayi

baru lahir dengan tolok ukur ≤50 kasus anak terinfeksi Hepatitis B per

100.000 kelahiran hidup.

Pemeriksaan ada atau tidaknya penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis dari

ibu ke anak dilakukan sesuai waktunya masing-masing sebagai berikut :

1. Infeksi HIV dilakukan dengan pemeriksaan PCR DNA kualitatif

menggunakan sediaan darah (serum) atau Dried Blood Spot (DBS) pada

bayi usia 6 minggu atau lebih dan dinyatakan terinfeksi HIV jika hasil

pemeriksaan positif.

2. Infeksi Sifilis dengan pemeriksaan titer Reagen Plasma Reagin (RPR)

bayi pada usia 3 bulan dan ibu dan dinyatakan terinfeksi Sifilis jika:

a. Titer bayi lebih dari 4 kali lipat titer ibunya, misal jika titer ibu 1:4

maka titer bayi 1:16 atau lebih; atau

b. Titer bayi lebih dari 1:32.

3
3. Infeksi Hepatitis B dengan pemeriksaan HBsAg pada saat bayi berusia 9

bulan ke atas dan dinyatakan terinfeksi Hepatitis B jika HBsAg positif.

4. Strategi

Strategi dalam mewujudkan target program Eliminasi Penularan meliputi:

1. Meningkatkan akses dan kualitas layanan bagi ibu hamil, ibu menyusui,

dan bayi/anak sesuai standar;

2. Meningkatkan peran fasilitas pelayanan kesehatan dalam penatalaksanaan

yang diperlukan untuk Eliminasi Penularan;

3. Meningkatkan penyediaan sumber daya di bidang kesehatan;

4. Meningkatkan jejaring kerja dan kemitraan, serta kerja sama lintas

program dan lintas sektor; dan

5. Meningkatkan peran serta masyarakat.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan

penyakit AIDS yang termasuk kelompok retrovirus. Seseorang yang terinfeksi

HIV, akan mengalami infeksi seumur hidup. Kebanyakan orang dengan

HIV/AIDS (ODHA) tetap asimtomatik (tanpa tanda dan gejala dari suatu

penyakit) untuk jangka waktu lama. Meski demikian, sebetulnya mereka telah

dapat menulari orang lain. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune

Deficiency Syndrome. “Acquired” artinya tidak diturunkan, tetapi didapat;

“Immune” adalah sistem daya tangkal atau kekebalan tubuh terhadap penyakit;

“Deficiency” artinya tidak cukup atau kurang; dan “Syndrome” adalah kumpulan

tanda dan gejala penyakit. AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV, yang

merupakan kumpulan gejala menurunnya sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV

berjalan sangat progresif merusak sistem kekebalan tubuh, sehingga penderita

tidak dapat menahan serangan infeksi jamur, bakteri atau virus. Kebanyakan

orang dengan HIV akan meninggal dalam beberapa tahun setelah tanda pertama

AIDS muncul bila tidak ada pelayanan dan terapi yang diberikan.

Sifilis merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh spirochaete,

Treponema pallidum (T. pallidum) dan merupakan salah satu bentuk infeksi

menular seksual. Selain sifilis, terdapat tiga jenis infeksi lain pada manusia yang

disebabkan oleh treponema, yaitu: non venereal endemic syphilis (telah eradikasi),

frambusia (T. pertenue), dan pinta (T. careteum di Amerika Selatan). Sifilis secara

5
umum dapat dibedakan menjadi dua: yaitu sifilis kongenital(ditularkan dari ibu ke

janin selama dalam kandungan)dan sifilis yang didapat / acquired (ditularkan

melalui hubungan seks atau jarum suntik dan produk darah yang tercemar).

Hepatitis Virus B adalah penyakit menular dalam bentuk peradangan hati

yang disebabkan oleh virus Hepatitis B. Ibu hamil yang terinfeksi infeksi HBV

dapat menularkan virus ke bayi mereka selama kehamilan atau persalinan. Hampir

90% dari bayi-bayi ini akan terinfeksi HBV kronis pada saat lahir jika tidak ada

pencegahan. Bayi yang mengidap infeksi HBV sejak lahir, memiliki peluang

untuk menderita HBV kronis dan kanker hepatoseluler lebih besar daripada yang

mengidap virus pada usia yang lebih lanjut, sehingga sangat penting untuk

memutus transmisi virus dari ibu ke janin yang dikandungnya.

2. Etiologi dan Perjalanan Penyakit

Sesudah HIV memasuki tubuh seseorang, maka tubuh akan terinfeksi dan

virus mulai mereplikasi diri dalam sel orang tersebut (terutama sel limfosit T CD4

dan makrofag). Virus HIV akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan

menghasilkan antibody untuk HIV. Masa antara masuknya infeksi dan

terbentuknya antibodi yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium

adalah selama 2-12 minggu dan disebut masa jendela (window period). Selama

masa jendela, pasien sangat infeksius, mudah menularkan kepada orang lain,

meski hasil pemeriksaan laboratoriumnya masih negatif. Hampir 30-50% orang

mengalami masa infeksi akut pada masa infeksius ini, di mana gejala dan tanda

yang biasanya timbul adalah: demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat

malam, ruam kulit, sakit kepala dan batuk. Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap

tanpa gejala dan tanda (asimtomatik) untuk jangka waktu cukup panjang bahkan

6
sampai 10 tahun atau lebih. Namun orang tersebut dapat menularkan infeksinya

kepada orang lain. Kita hanya dapat mengetahui bahwa orang tersebut terinfeksi

HIV dari pemeriksaan laboratorium antibodi HIV serum.

Gambar. Proses Perkembangan Penyakit

Sesudah jangka waktu tertentu, yang bervariasi dari orang ke orang, virus

memperbanyak diri secara cepat dan diikuti dengan perusakan sel limfosit T CD4

dan sel kekebalan lainnya sehingga terjadilah gejala berkurangnya daya tahan

tubuh yang progresif. Progresivitas tergantung pada beberapa faktor seperti: usia

kurang dari 5 tahun atau di atas 40 tahun, infeksi lainnya, dan faktor genetik.

Gambar. Perjalanan alamiah infeksi HIV dan penyakit yang ditimbulkan

7
Sifilis merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh spirochaete,

Treponema pallidum (T. pallidum) dan merupakan salah satu bentuk infeksi

menular seksual.

Gambar. A. T. Pallidum Gambaran mikroskop electron. B. Histopatologis T.pallidum (Gambaran


mikroskop elektron dengan pengecatan Steiner silver).
Sumber: en.wikipedia.org/wiki/syphilis

Selain sifilis, terdapat tiga jenis infeksi lain pada manusia yang disebabkan

oleh treponema, yaitu: non venereal endemic syphilis (telah eradikasi), frambusia

(T. pertenue), dan pinta (T. careteum di Amerika Selatan). Sifilis secara umum

dapat dibedakan menjadi dua: yaitu sifilis kongenital(ditularkan dari ibu ke janin

selama dalam kandungan)dan sifilis yang didapat / acquired (ditularkan melalui

hubungan seks atau jarum suntik dan produk darah yang tercemar).

Sifilis kongenital ditularkan dari ibu ke janin di dalam rahim, terdiri dari:

1. Sifilis kongenital dini: dalam dua tahun pertama kehidupan bayi

2. Sifilis kongenital lanjut: berlanjut sampai setelah usia 2 tahun

Istilah “hepatitis dipakai untuk semua jenis peradangan pada sel-sel hati,

yang bisa disebabkan oleh infeksi (virus, bakteri, parasit), obat-obatan (termasuk

obat tradisional), konsumsi alcohol, lemak yang berlebih dan penyakit autoimun.

Ada 5 jenis hepatitis virus, yaitu: hepatitis A, B, C, D, dan E. Hepatitis Virus B

adalah penyakit menular dalam bentuk peradangan hati yang disebabkan oleh

8
virus Hepatitis B, dari golongan virus DNA. Penularannya vertical 95% terjadi

masa perinatal (saat persalinan) dan 5% intra uterine. Penularan horizontal melalui

tranfusi darah, jarum suntik tercemar, pisau cukur, tattoo dan transplantasi organ.

3. Cara Penularan

Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan

oleh beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari

infeksi HIV. Tetapi, jika terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada

plasenta, maka HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan HIV dari

ibu ke anak. Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat

persalinan dan pada saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak

mendapatkan penanganan PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%. Risiko

penularan 15-30% terjadi pada saat hamil dan bersalin, sedangkan peningkatan

risiko transmisi HIV sebesar 10-20% dapat terjadi pada masa nifas dan menyusui.

Tabel. Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak


Waktu Resiko
Selama hamil 5 – 10%
Bersalin 10 – 20%
Menyusui 5 – 20%
Resiko penularan keseluruhan 20 – 50%

Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-

30% dan akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan ARV. Pemberian

ARV jangka pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV sebesar 15-

25% dan risiko penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui (PASI).

Akan tetapi, dengan terapi antiretroviral (ART) jangka panjang, risiko penularan

HIV dari ibu ke anak dapat diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui

secara eksklusif memiliki risiko yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya

dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui.

9
Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak,

yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.

1. Faktor Ibu

 Jumlah virus (viral load)

Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan

dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat

mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV

menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml)

dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml.

 Jumlah sel CD4

Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke

bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV

semakin besar.

 Status gizi selama hamil

Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil

meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat

meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.

 Penyakit infeksi selama hamil

Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual,infeksi saluran

reproduksi lainnya, malaria,dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan

jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.

 Gangguan pada payudara: Gangguan pada payudara ibu dan penyakit

lain, seperti mastitis, abses, dan luka di puting payudara dapat

meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI.

10
2. Faktor Bayi

 Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir

Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih

rentan tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya

belum berkembang dengan baik.

 Periode pemberian ASI

Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan

semakin besar.

 Adanya luka di mulut bayi

Bayi dengn luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika

diberikan ASI.

3. Faktor obstetrik

Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir.

Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak

selama persalinan adalah:

 Jenis persalinan

Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada

persalinan melalui bedah sesar (seksio sesaria).

 Lama persalinan

Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari

ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak

antara bayi dengan darah dan lendir ibu.

11
 Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko

penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang

dari 4 jam.

 Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko

penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi.

Iinfeksi sifilis kebanyakan tidak bergejala dan prevalensinya yang tinggi,

maka diperlukan skrining sifilis secara rutin untuk mengendalikan sifilis di

masyarakat. Skrining sifilis dilakukan dengan pemeriksaan fisik dan tes serologis

sifilis. Skrining sifilis terutama ditujukan bagi:

a. Semua ibu hamil. Skrining sifilis harus dilakukan sedini mungkin pada

kunjungan antenatal yang pertama. Skrining diulangi pada trimester ketiga

dan saat persalinan. Skrining dan terapi sifilis dapat mengurangi angka

kematian bayi dan kecacatan bayi. Untuk eliminasi sifilis kongenital,

sangat penting untuk mencapai 100% cakupan skrining sifilis pada ibu

hamil. Jika fasilitas pemeriksaan RPR dan TP Rapid tidak tersedia, demi

perlindungan terhadap janin, dapat digunakan tes cepat/rapid test saja.

Semua hasil rapid test positif, diobati sebagai sifilis aktif.

b. Ibu melahirkan harus diskrining sifilis, terutama apabila selama masa

kehamilan belum pernah diskrining sifilis. Skrining pada saat persalinan

dapat mendeteksi infeksi sehingga dapat dilakukan penanganan dini

terhadap ibu dan bayinya. Jika fasilitas pemeriksaan RPR dan TPHA tidak

tersedia, demi perlindungan terhadap janin, dapat digunakan rapid test

saja. Semua hasil rapid test positif, diobati sebagai sifilis aktif.

12
c. Semua penjaja seks (perempuan, laki-laki, waria), karena risiko

pekerjaannya harus diskrining sifilis tiap 3-6 bulan sekali.

d. Semua LSL yang memiliki banyak pasangan seks

e. Semua pasien IMS

f. Perempuan yang mengalami riwayat keguguran atau bayi lahir mati

4. Epidemiologi

a. Epidemiologi Ibu Hamil dengan HIV

Laporan Epidemi AIDS Global (UNAIDS 2012) menunjukkan bahwa

terdapat 34 juta orang dengan HIV di seluruh dunia. Sebanyak 50% di antaranya

adalah perempuan dan 2,1 juta anak berusia kurang dari 15 tahun. Di Asia

Tenggara, terdapat kurang lebih 4 juta orang dengan HIV. Menurut Laporan

Perkembangann HIV-AIDS WHO-SEARO 2011 , sekitar 1,3 juta orang (37%)

perempuan terinfeksi HIV.

Jumlah perempuan yang terinfeksi HIV dari tahun ke tahun semakin

meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan

hubungan seksual tidak aman, yang akan menularkan HIV pada pasangan

seksualnya. Pada ibu hamil, HIV bukan hanya merupakan ancaman bagi

keselamatan jiwa ibu, tetapi juga merupakan ancaman bagi anak yang

dikandungnya karena penularan yang terjadi dari ibu ke bayinya. Lebih dari 90%

kasus anak HIV, mendapatkan infeksi dengan cara penularan dari ibu ke anak

(mother-to-child transmission/MTCT).

Di banyak negara berkembang, HIV merupakan penyebab utama kematian

perempuan usia reproduksi. Pada tahun 2010 diperkirakan terdapat 57.000 ibu

13
hamil terinfeksi HIV di regional Asia Tenggara. Negara dengan high-burden

penularan infeksi HIV dari ibu ke anak seperti India, Thailand, Myanmar dan

Indonesia menunjukan estimasi insidens HIV diantara ibu hamil cenderung tetap

selama lima tahun terakhir. Jumlah anak kurang dari 15 tahun yang terinfeksi

telah HIV sebesar 87.000 dengan estimasi infeksi HIV baru sebesar 48.000. Data

estimasi UNAIDS/WHO (2009) juga memperkirakan 22.000 anak di wilayah

Asia- Pasifik terinfeksi HIV dan tanpa pengobatan, setengah dari anak yang

terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua.

Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan utama

dan salah satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian ibu dan

anak. Pada tahun 2016, dari 726.764 ibu hamil yang melakukan konseling dan tes

HIV terdapat 4.389 (0,6%) ibu dengan infeksi HIV. Lebih dari 90% bayi

terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV positif. Penularan tersebut dapat terjadi pada

masa kehamilan, saat persalinan dan selama menyusui. Data Kementerian

Kesehatan (2011) menunjukkan dari 21.103 ibu hamil yang menjalani tes HIV,

534 (2,5%) di antaranya positif terinfeksi HIV. Hasil Pemodelan Matematika

Epidemi HIV Kementerian Kesehatan tahun 2012 menunjukkan prevalensi HIV

pada populasi usia 15-49 tahun dan prevalensi HIV pada ibu hamil di Indonesia

diperkirakan akan meningkat. Jumlah kasus HIV-AIDS diperkirakan akan

meningkat dari 591.823 (2012) menjadi 785.821 (2016), dengan jumlah infeksi

baru HIV yang meningkat dari 71.879 (2012) menjadi 90.915 (2016). Sementara

itu, jumlah kematian terkait AIDS pada populasi 15-49 tahun akan meningkat

hampir dua kali lipat di tahun 2016.

14
Gambar. Cakupan tes ibu hamil & positivity rate hiv di indonesia

b. Epidemiologi Ibu Hamil dengan Sifilis

Penyakit sifilis masih menjadi masalah kesehatan dunia dengan perkiraan

12 juta orang terinfeksi setiap tahunnya. Pada orang yang menderita sifilis, risiko

HIV meningkat 2-3 kali lipat. Diperkirakan terdapat 2 juta kehamilan dengan

sifilis setiap tahun, dimana 25% ibu hamil akan berakhir dengan kematian janin

atau abortus spontan dan 25% ibu hamil yang lain akan mengalami bayi dengan

berat lahir rendah (BBLR) atau dengan infeksi berat. Di Asia-Pasifik sifilis

kongenital dapat menyebabkan kematian janin dan neonatus pada 69% dari

kehamilan dengan sifilis. Setiap tahun diperkirakan 600.000 ibu hamil seropositif

sifilis. Data WHO (2003), termasuk hasil serosurvei di Indonesia, menunjukkan

0,8% dari 395 ibu hamil yang diperiksa terinfeksi sifilis.

Bila ibu hamil yang terinfeksi sifilis tidak diobati dengan adekuat, maka

67% kehamilan akan berakhir dengan abortus, lahir mati atau sifilis kongenital

pada neonatus. Pencegahan penularan sifilis dari ibu ke bayi dapat dilakukan

dengan deteksi dini melalui skrining pada ibu hamil dan mengobati ibu yang

15
terinfeksi sifilis dan pasangannya. Pada tahun 2007 dilakukan skrining sifilis

dengan menggunakan rapid test di tiga propinsi yang mencakup empat

kabupaten/kota di DKI Jakarta, Kalimantan Barat dan Jawa Barat. Skrining

tersebut dilakukan terhadap 2.332 ibu hamil yang datang pada kunjungan pertama

antenatal. Hasilnya menunjukkan bahwa 24 orang (1,45%) di antara ibu hamil

tersebut terinfeksi sifilis.

Prevalensi dan kejadian komplikasi IMS pada saat ini masih cukup tinggi.

Meskipun upaya pengendalian IMS telah dilakukan, prevalensi IMS di Indonesia

belum menunjukkan penurunan yang berarti. Hasil STBP 2011 menunjukkan

prevalensi sifilis yang cukup tinggi di kalangan populasi kunci, yaitu 10% pada

WPSL, 9% pada LSL, 25% pada waria dan 2% pada penasun. Prevalensi gonorea

juga cukup tinggi, yaitu 38% pada WPSL, 21% pada LSL, dan 29% pada waria.

Prevalensi tersebut masih jauh lebih tinggi dari target pengendalian IMS, yaitu

sifilis kurang dari 1% dan gonorea kurang dari 10% pada populasi kunci.

Gambar. Persentase tes sifilis positif pada populasi kunci yang mendapat layanan kesehatan

16
Gambar. Capaian Skrining Sifilis pada Ibu Hamil (Januari – Juni 2017) Di Indonesia

Data pelaporan rutin layanan kesehatan pada Subdirektorat AIDS dan

PMS melalui Sistem Informasi HIV dan AIDS (SIHA) tahun 2012-2014 juga

memperlihatkan tingginya angka positif pemeriksaan sifilis di kalangan populasi

kunci. Untuk semua populasi kunci, angka tersebut masih terlalu tinggi.

c. Epidemiologi Ibu Hamil dengan Hepatitis B

Hepatitis virus merupakan sebuah fenomena gunung es, dimana penderita

yang tercatat atau yang datang ke layanan kesehatan lebih sedikit dari jumlah

penderita sesungguhnya. Mengingat penyakit ini adalah penyakit kronis yang

menahun, dimana pada saat tersebut telah terinfeksi, kondisi masih sehat dan

belum menunjukkan gejala dan tanda khas, tetapi penularan terus berjalan.

Menurut hasil Riskesdas tahun 2013 bahwa jumlah orang yang didiagnosis

hepatitis di fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan gejala-gejala yang ada,

menunjukkan peningkatan 2 kali lipat apabila dibandingkan dari data tahun 2007

dan 2013, hal ini dapat memberikan petunjuk awal kepada kita tentang uapaya

pengendalian dimasa lalu, peningkatan akses, potensial masalah di masa yang

akan datang apabila tidak segera dilakukan upaya-upaya serius.

17
Gambar. Prevalensi Hepatitis menurut Provinsi tahun 2007 dan 2013

Dari grafik di atas dapat dilihat pada tahun 2007, lima provinsi dengan

prevalensi hepatitis tertinggiadalah Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah,

Aceh, Gorontalo dan Papua Barat sedangkan pada tahun 2013 lima provinsi

dengan prevalensi tertinggi yaitu Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Selatan,

Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Pada tahun 2013 ada 13 provinsi yang

memiliki angka prevalensi diatas rata-rata nasional, yaitu: Nusa Tenggara Timur,

Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku, Sulawesi Tenggara, Sulawesi

Utara, Aceh, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Kalimantan Tengah,Sulawesi

Utara, Kalimantan Tenggara.

Gambar. Distribusi ibu hamil dan tenaga kesehatan dengan HBsAg (+) di wilayah DKI Jakarta.

18
Grafik di atas menunjukkan ada 3 wilayah yang mempunyai prevalensi ibu

hamil dengan HBsAg (+) yang lebih besar dari rata-rata DKI Jakarta Timur,

Jakarta pusat dan Jakarta Barat. Sedangkan prevalensi petugas kedehatan dengan

HBsAg (+) yang cukup tinggi adalah Jakarta Pusat dan Jakarta Barat.

5. Kebijakan Program HIV AIDS dan IMS

Deteksi dini adalah upaya untuk mengenali secepat mungkin gejala, tanda,

atau ciri dari risiko, ancaman, atau kondisi yang membahayakan. Deteksi dini,

skrining, atau penapisan kesehatan pada ibu hamil dilaksanakan pada saat

pelayanan antenatal agar seorang ibu hamil mampu menjalani kehamilan dengan

sehat, bersalin dengan selamat, serta melahirkan bayi yang sehat dan berkualitas.

Deteksi dini dilakukan sejak masa konsepsi hingga sebelum mulainya proses

persalinan, sifatnya wajib melalui pelayanan antenatal terpadu sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk mewujukan deteksi dini yang

paripurna maka dilakukan:

1. Deteksi dini kehamilan dalam pelayanan antenatal terpadu berkualitas dan

lengkap dilaksanakan oleh tenaga kesehatan di setiap fasilitas pelayanan

kesehatan.

2. Deteksi dini risiko infeksi HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dilakukan melalui

pemeriksaan darah paling sedikit 1 (satu) kali pada masa kehamilan.

Pada Eliminasi Penularan HIV, Sifilis dan Hepatitis B dari ibu ke anak,

deteksi dini penularan infeksi hanya dapat diketahui dengan pemeriksaan

laboratorium sampel darah pada ibu hamil dan deteksi dini pada bayi yang

dilahirkan oleh ibu terinfeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B.

19
Pemeriksaan laboratorium sebagai deteksi dini Eliminasi Penularan

dilakukan secara inklusif bersama pemeriksaan rutin lainnya yang dilakukan pada

ibu hamil sesuai dengan T8 pada pelayanan antenatal terpadu lengkap.

Pemeriksaan laboratorium pada ibu hamil dan bayinya merupakan misi negara

sehingga ditetapkan sebagai standar bagi setiap ibu hamil di fasilitas pelayanan

kesehatan milik pemerintah maupun masyarakat/swasta.

Deteksi dini HIV, Sifilis,dan Hepatitis B dilaksanakan dengan tes cepat

(rapid diagnostic test). Untuk menjamin hasil pemeriksaan yang akurat, setiap

hasil yang reaktif pada deteksi dini wajib dirujuk kepada dokter di Pusat

Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) untuk penegakan diagnosis. Puskesmas

dengan sarananya harus melaksanakan pengukuran, penetapan, dan pengujian

terhadap bahan yang berasal dari manusia untuk penentuan jenis penyakit,

penyebaran penyakit, kondisi kesehatan, atau faktor yang berpengaruh pada

kesehatan perorangan dan masyarakat. Penyelenggaraan laboratorium puskesmas

berdasarkan kondisi dan permasalahan kesehatan masyarakat setempat dengan

tetap berprinsip pada pelayanan secara holistik, komprehensif, dan terpadu dalam

rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Untuk menjamin keberlangsungan program Eliminasi Penularan maka

kualitas baku mutu pemeriksaan laboratorium menjadi pilar utama deteksi dini

dan konfirmasi diagnosis untuk intervensi program kesehatan.

Pemeriksaan laboratorium selama kehamilan, persalinan,dan nifas

merupakan salah satu komponen penting dalam pelayanan antenatal untuk

identifikasi risiko dan komplikasi.

20
Gambar. Alur Deteksi Dini HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dari Ibu Hamil Dalam Pelayanan
Antenatal Terpadu

Dari skema ini terlihat bahwa pintu masuk upaya eliminasi penularan HIV,

sifilis dan hepatitis B adalah pemeriksaam rapid diagnostic test (RDT) pada

kunjungan antenatal ibu hamil yang dilakukan bersama-sama secara inklusif

dengan pemeriksaan laboratorium rutin lainnya pada ibu hamil yaitu golongan

darah dan Hb, disertai malaria untuk daerah endemis, protein dari urin dan sputum

dahak untuk basil tahan asam (BTA) tuberculosis bila ada indikasi batuk atau

B3B. permintaan pemeriksaan laboratorium lain pada pelayanan antenatal di

puskesmas dapat dilakukan sesuai ketentuan.

Hasil yang diharapkan dari deteksi dini eliminasi penularan adalah hasil

yang nagatif sahingga upaya lanjut yang dilakukan adalah mempertahankan ibu

hamil tersebut tetap negative. Deteksi dini pada kehamilan ini dapat diulang pada

ibu hamil dan pasangan seksualnya minimal 3 bulan kemudian atau menjelang

persalinan, atau apabila ditemukan indikasi atau kecurigaan.

21
6. Tatalaksana Ibu Hamil sesuai Hasil Pemeriksaan Laboratorium (Deteksi Dini)

HIV, Sifilis dan Hepatitis B

Penanganan kasus adalah proses atau cara menangani atau mengatasi

kasus/keadaan yang tidak diharapkan atau berisiko membahayakan agar berubah

menjadi tidak berisiko atau tidak membahayakan. Untuk menghindari risiko atau

bahaya penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dari ibu ke anak, dilakukan:

1. Penanganan yang diberikan sesuai kebutuhan kesehatan masing-masing

ibu hamil terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B dan bayi yang lahir

dari ibu tersebut.

2. Penanganan bagi ibu hamil terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B

dilakukan sesuai dengan tata laksana kedokteran.

3. Penanganan bagi bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV, Sifilis,

dan/atau Hepatitis B dilakukan sesuai kondisi kesehatan bayi tersebut.

Penanganan kasus terbagi atas penanganan pada ibu hamil terinfeksi HIV,

Sifilis, dan/atau Hepatitis B dan penanganan bayi dari ibu yang terinfeksi HIV,

Sifilis, dan/atau Hepatitis B. Bentuk penanganan tersebut sebagai berikut:

1. Penanganan Pada Ibu Hamil Terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B.

Penanganan pada ibu hamil terinfeksi HIV, Sifilis, dan Hepatitis B secara

ringkas dapat dilihat pada skema berikut:

22
Gambar. Alur penanganan ibu hamil dengan HIV, Sifilis dan Hepatitis B.

Apabila ibu hamil terinfeksiHIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B maka

dilakukan penanganan kesehatan melalui tatalaksana medis, asuhan keperawatan,

dan asuhan kebidanan sesuai kebutuhan. Tatalaksana medis, asuhan kebidanan,

dan asuhan keperawatan pada ibu hamil terinfeksi HIV, Siflis, dan/atau Hepatitis

B dilakukan sesuai dengan tata laksana keprofesian berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Selain tata laksana medis, asuhan kebidanan, dan asuhan keperawatan,

pada ibu hamil baik yang negatif maupun positif terinfeksi HIV, Sifilis, dan

Hepatitis B juga dilakukan konseling. Pada pelayanan antenatal maupun

pemeriksaan laboratorium HIV, Sifilis, dan Hepatitis B, pemberitahuan hasil

pemeriksaan laboratorium sama seperti pada pemeriksaan laboratorium pada

umumnya yaitu dilakukan oleh yang meminta pemeriksaan, disertai penjelasan

atas hasil pemeriksaan disertai dengan rencana tindak lanjut disebut konseling

kesehatan pasca tes. Penyampaian hasil tes dan konseling kesehatan diberikan

23
secara individual sesuai ketentuan. Apabila pasien masih memerlukan konseling

tambahan dapat dirujuk kepada psikolog klinis atau dokter spesialis kedokteran

jiwa, atau pada kasus HIV dapat dirujuk ke konselor apabila stigma dan

diskrimasi tenaga pelaksana Eliminasi Penularan masih tinggi. Konseling pada ibu

hamil yang negatif maupun positif terinfeksi HIV, Sifilis, dan Hepatitis B

dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Konseling Kesehatan Untuk Ibu Hamil Negatif HIV, Sifilis dan/atau

Hepatitis B

1) Pesan mempertahankan hasil tetap negatif, pencegahan agar tidak

terinfeksi di kemudian hari.

2) Anjuran masuk kelas ibu hamil.

3) Ajakan agar pasangan juga diperiksa HIV, Sifilis dan Hepatitis B.

4) Jadwalkan untuk tes ulang bila ada IMS, atau termasuk populasi

kunci dari anamnesis.

5) Hindari perilaku berisiko.

b. Konseling Untuk Ibu Hamil Positif HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B

Apabila ditemukan hasil positif HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B,

maka konseling yang diberikan berupa:

1) Kepatuhan pengobatan

2) Pilihan cara persalinan.

3) Pilihan pemberian makanan bayi.

4) Penanganan pada bayi.

5) Penurunan faktor risiko penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B.

6) Penanganan bagi pasangan seksualnya.

24
2. Penanganan Pada Bayi dari Ibu Terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B

Penanganan pada bayi dari ibu terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau

Hepatitis B dilakukan dengan:

a. Tata Laksana Medis

Tata laksana medis pada bayi dari ibu terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau

Hepatitis B dilaksanakan sesuai dengan tata laksana keprofesian

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Pemberian Makanan

Pemberian makanan pada bayi dari ibu terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau

Hepatitis B seharusnya telah dilakukan edukasi dan konseling selama

kehamilan. Secara umum Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan terbaik

bayi dan pilihan pertama, adapun pemberian ASI sebagai berikut:

1) Pada bayi dari ibu dengan Sifilis dan Hepatitis B, ASI

Eksklusif dapat diberikan pada bayi dari ibu terinfeksi Sifilis

dan Hepatitis B.

2) Pada bayi dari ibu dengan HIV, pemberian makanan pada bayi

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

25
7. Indikator Tercapainya Triple Eliminasi

Dalam menentukan tercapainya indikator Eliminasi Penularan tersebut

dapat dilihat dari cakupan kegiatan sebagai berikut:

Pencapaian HIV Sifilis Hepatitis B

1. Ibu hamil diperiksa, Cakupan 2018 : 60% dari ibu hamil


dites, dideteksi dini Cakupan 2019 : 70% dari ibu hamil
ANC 10T lengkap Cakupan 2020 : 80% dari ibu hamil
berkualitas Cakupan 2021 : 90% dari ibu hamil
Cakupan 2022 : 100% dari ibu hamil
2. Penanganan bagi 100% ibu hamil diobati 100% ibu hamil 100% kasus hepatitis
ibu hamil dengan hasil ARV, berupa diobati dengan B pada ibu hamil
positif Kombinasi Dosis Tetap Benzatin Penicilin G dalam pengawasan,
(KDT) (Tenofovir 2,4 juta IU IM dirujuk ke rumah
300mg + Lamivudin sebagai program sakit yang mampu
300mg + Efavirens dosis tunggal pada tatalaksana hepatitis
600mg) setiap hari fase dini, diulang 2 B
sekali (tiap 24jam) kali dgn selang
seumur hidup waktu 1 minggu atau
dirujuk
3. Ibu bersalin di 100% bersalin di 100% bersalin di 100% bersalin di
fasyankes fasyankes oleh nakes fasyankes oleh nakes fasyankes oleh nakes

4. Penanganan anak 100% mendapat 100% mendapat 100% mendapat


dari ibu positif pelayanan standar; pelayanan standar pelayanan standar
profilaksis ARV dalam pengobatan Benzatin imunisasi HB0 <24
24 jam, pemeriksaan Penicilin G 50.000 jam dan
EID (virologis IU/kgBB IM dosis HBIg <24 jam;
kualitatif dgn DBS) tunggal, pemeriksaan pemeriksaan
saat mulai 6 minggu, titer RPR usia 3 bulan serologis HBsAg dan
dilanjutkan dengan dibandingkan titer atau virologis
kotrimoksazol ibunya, atau Hepatitis B saat bayi
profilaksis pemeriksaan lain atau usia 9-12 bulan.
atau pemeriksaan pemantauan klinis
serologis pada usia 18 sampai 2 tahun
bulan

5. Anak negatif 100% hasil DBS EID 100% titer RPR 100% pemeriksaan
(keberhasilan program negatif, anak sehat negatif atau sama serologis HBsAg
3E) tanpa ARV dengan titer ibu anak Hepatitis B negatif.
sehat, tanpa cacat
atau kematian

26
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

a. Pengendalian Penyakit HIV, Sifilis dan Hepatitis B akan sangat efektif dan

efisien bila dilakukan pemutusan penularan dari ibu ke anak.

b. Diperlukan Integrasi antara program KIA, HIV AIDS dan PIMS serta

Hepatitis di Fasyankes untuk tercapainya Eliminasi Penularan HIV, Sifilis

dan Hepatitis B dari Ibu ke Anak.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan tentang Laboratorium

Klinik, PMK No. 411 tahun 2010.

2. Departemen Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan tentang Rekam Medis,

PMK No. 269 tahun 2008.

3. Departemen Kesehatan. (2006). Standar Pelayanan Laboratorium Kesehatan

Pemeriksa HIV dan Infeksi Oportunis. Jakarta. Departemen Kesehatan.

4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia-WHO. (2009). Pedoman Eliminasi

Sifilis Kongenital Melalui Skrining Pada Ibu Hamil. Jakarta. Departemen

Kesehatan.

5. Kementerian Kesehatan RI. (2010). Pedoman Nasional Manajemen Program

HIV dan AIDS. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.

6. Kementerian Kesehatan RI. (2010). Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu.

Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.

7. Kementerian Kesehatan RI. (2012). Pedoman Penerapan Layanan

Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan. Jakarta. Kementerian Kesehatan.

8. Kementerian Kesehatan RI. (2012). Petunjuk Teknis Pengisian Form Manual

Pencatatan Program Pengendalian HIV/AIDS dan IMS. Jakarta. Kementerian

Kesehatan.

9. Kementerian Kesehatan RI. (2013). Pedoman Tata Laksana Sifilis untuk

Pengendalian Sifilis di Puskesmas. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.

10. Kementerian Kesehatan RI. (2013). Peraturan Menteri Kesehatan tentang

Penanggulanagan HIV dan AIDS, PMK No. 21 tahun 2013.

28
11. Kementerian Kesehatan RI (2014) . Peraturan Menteri Kesehatan tentang

Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan dan

Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta

Pelayanan Kesehatan Seksual, PMK No. 97 Tahun 2014

12. Kementerian Kesehatan RI (2015) Peraturan Menteri Kesehatan tentang

Penyelenggaraan Pemeriksaan Laboratorium untuk Ibu Hamil, Bersalin dan

Nifas di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Jaringan Pelayanannya, PMK No.

25 Tahun 2015.

13. Kementerian Kesehatan. (2013). Rencana Aksi Nasional PPIA 2013-2017.

Jakarta: Kementerian Kesehatan

14. Kementerian Kesehatan. (2013). Surat Edaran Menteri Kesehatan tentang

Layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak, SE No.

GK/Menkes/001/I/2013 tahun 2013.

15. Kementerian Kesehatan. (2014). Pedoman Pelaksanaan Pencegahan

Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak. Jakarta. Kementerian Kesehatan

16. Kementerian Kesehatan (2014). Rencana Aksi Nasional HIV dan IMS Bidang

Kesehatan 2015-2019. Jakarta. Kementerian Kesehatan.

17. Kementerian Kesehatan (2014). Rencana Aksi Nasional Pengendalian Infeksi

Menular Seksual Di Indonesia 2015-2019. Jakarta. Kementerian Kesehatan.

18. WHO. (2007). The Global Elimination of Congenital Syphilis Rationale and

Strategy For Action. Geneva. WHO.

19. Kementrian Kesehatan (2017). Eliminasi Penularan Human Immunodeficiency

Virus, Sifilis, Dan Hepatitis B Dari Ibu Ke Anak.

29

Anda mungkin juga menyukai