Anda di halaman 1dari 16

Laporan kasus

PITIRIASIS ROSEA

Karmila Missy (2015-84-007)

Bagian/ SMF I.P Kulit dan Kelamin

FK UNPATTI/ RSUD Dr. M. Haulussy Ambon

PENDAHULUAN

Istilah pitiriasis rosea (PR) pertama kali digunakan oleh Gibert pada tahun 1860

dan berarti merah muda (rosea) dan skuama (pitiriasis). PR adalah erupsi pada kulit

bersifat akut, tidak menular dan biasanya diawali dengan satu lesi oval berskuama atau

disebut juga dengan (herald patch) pada tubuh. Lesi awal diikuti beberapa hari sampai

minggu, kemudian munculnya berbagai jenis lesi yang lebih kecil dan terletak

disepanjang garis belahan badan yang disebut pola (Christmas tree). Lesi pada PR ini

biasanya akan menghilang secara spontan dalam waktu 3-8 minggu.1,2

PR tersebar di seluruh dunia dan didapatkan kira-kira sebanyak 2% dari setiap

kunjungan pasien yang berobat jalan pada ahli penyakit kulit.3 Sebagian besar kasus

PR terjadi antara usia 10 dan 35 tahun, penyakit ini paling jarang terjadi pada anak-

anak dibawah usia 2 tahun dan orang tua diatas 65 tahun. Berdasarkan jenis kelamin,

angka kejadian PR sedikit lebih tinggi pada perempuan diandingkan laki-laki dengan

rasio 1,5:1. 1,4

Penyebab pasti dari PR masih belum jelas, Namun teori yang berkembang saat

ini menyatakan bahwa penyebab penyakit ini adalah infeksi virus. Virus yang

diperkirakan menjadi penyebabnya adalah Human herpes virus 6 (HHV-6) dan Human

1
herpes virus 7 (HHV-7).1,4,5 Terdapat laporan, beberapa obat menyebabkan PR atau

ruam yang terlihat sangat mirip dengan PR. PR yang diduga karena obat menunjukkan

pola yang lebih atipikal, memiliki waktu lebih lama, dan lebih resisten terhadap

pengobatan. Beberapa obat yang terlibat diantaranya arsenik, barbiturat, bismuth,

captopril, clonidine, D-penicillamine, interferon-α, isotretinoin, metronidazol,

omeprazole, dan terbinafine.3

Patogenesis terjadinya PR masih diperdebatkan, namun terdapat hipotesis bahwa

reaktivasi HHV-7 memicu terjadinya reaktivasi HHV-6, Akan tetapi apa yang menjadi

pemicu utama reaktivasi HHV-7 masih belum jelas. Pitiriasis rosea tidak disebabkan

langsung oleh infeksi virus herpes melalui kulit, tapi kemungkinan disebabkan karena

infiltrasi kutaneus dari infeksi limfosit yang tersembunyi pada waktu replikasi virus

sistemik. Bukti lain mengesankan reaktivasi virus mencakup kejadian timbulnya

kembali penyakit dan timbulnya pitiriasis rosea pada saat status imunitas seseorang

mengalami perubahan.1,2,4,6

Gambaran klinik PR pertama kali muncul yaitu, lesi primer soliter berupa makula

eritema atau papul eritema pada batang tubuh atau leher, yang secara bertahap akan

membesar dalam beberapa hari dengan diameter 2-4 cm, berwarna pink salmon,

berbentuk oval dengan skuama tipis. Lesi yang pertama muncul ini disebut dengan

Herald patch/Mother plaque/Medalion. Setelah timbul lesi primer, 1-2 minggu

kemudian akan timbul lesi sekunder dengan ukuran lebih kecil (diameter 0,5 – 1,5 cm)

dengan aksis panjangnya sejajar dengan garis kulit dan sejajar dengan kosta sehingga

memberikan gambaran Christmas tree. Tempat predeleksi herald patch Biasanya akan

2
muncul pada paha, lengan atas, badan, atau leher dan bentuknya oval atau bulat,

berbatas tegas, eritematous, dan ditutupi skuama halus yang mengarah ke dalam.1-3

Diagnosis pitiriasis rosea dapat ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang.3,4,6

Penatalaksanaan pitiriasis rosea berupa: 1. Terapi topikal Untuk mengurangi rasa

gatal berupa, zink oksida, kalamin losion atau 0,25% mentol, dan bethametasone

dipropionate 0,025% ointment. 2. Terapi sistemik berupa, antihistamin, dan obat

sistemik lainnya seperti eritromisin, dan asiklovir dilaporkan dapat mempercepat

penyembuhan pada penderita PR. 3. Terapi dengan sinar radiasi ultraviolet B atau

sinar matahari alami dapat mengurangi rasa gatal dan menguranngu lesi. 4. Edukasi

dan menenangkan pasien merupakan hal yang perlu dilakukan pada kasus ini. 4,6

Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk lebih memahami diagnosis dan

penatalaksanaan dari pitiriasis rosea.

3
Kasus

Seorang perempuan berusia 24 tahun, suku Ambon, bangsa Indonesia, alamat

Hunut. Datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. M. Haulussy (no RM 11 86

88) tanggal 2 Agustus 2017 dengan keluhan adanya gatal dan bercak kemerahan pada

leher, punggung, dan dada.

Autoanamnesis

Bercak kemerahan pada leher, punggung dan dada dialami sejak 2 minggu

sebelum masuk Rumah Sakit, keluhan timbul secara perlahan dan lama kelamaan

menjadi banyak. Awalnya pasien mengeluh muncul bercak kemerahan di leher

kemudian menyebar di dada dan punggung. Keluhan disertai rasa gatal yang dialami

bersamaan dengan timbulnya bercak merah, nyeri (-). Gatal dirasakan terus menerus,

terutama pada saat berkeringat. Pasien baru pertama kali mengalami keluhan ini. Pasien

menyangkal demam, mual, dan lemah sebelumnya.

Riwayat Penyakit Dahulu: Gigi berlubang (+)

Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.

Riwayat pengobatan: (-)

Riwayat atopi/alergi : (-)

Riwayat keluarga : tidak ada keluarga dirumah dengan keluhan yang sama

4
Pemeriksaan Fisik

Status generalis

Keadaan umum : Kesadaran compos mentis, tampak sakit ringan, gizi cukup.
TD : 110/70 mmHg, nadi : 92 x/menit

RR : 20x/menit, Suhu : 36.8oC

Kepala : Bentuk normosefal, konjungtiva anemis (-), sclera ikterik

Mulut : Sianosis (-), tonsil (T1/T1)

Leher dan aksila : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Toraks : Jantung dan paru dalam batas normal

Abdomen : Hepar dan lien tidak teraba, tidak ada nyeri tekan

Ekstremitas : Akral hangat, edema(-)

Status dermatologis

Lokasi : Regio colli, vertebra, dan thoraks.

Efloresensi : Makula eritema, hiperpigmentasi, skuama halus, erosi

Ukuran : Miliar - numular

5
DIAGNOSIS BANDING

1. Tinea corporis

2. Dermatitis numular

DIAGNOSIS
Pitiriasis rosea

PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Tidak dilakukan

6
PENATALAKSANAAN

1. Terapi sistemik :

- Metylprednisolon tablet 16 mg 1-0-1/2 selama 5 hari

- Cetirizine tablet 1x1

2. Terapi topikal :

- Desoxymetason 0,25% cream 2x1

- Mometasone furoate 0,1 % cream 2x1

3. Edukasi

- Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit psien biasanya dapat sembuh


sempurna namun memerlukan waktu sekitar 3-8 minggu sampai lesi pada
kulit menghilang.
- Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit pasien tidak menular (self-limited
disease).
- Menjelaskan pada pasien agar menjalani pengobatan sesuai anjuran dokter.

PROGNOSIS

Quo ad Vitam : bonam

Quo ad Fungsionam : bonam

Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

Quo ad Kosmetikan : dubia ad bonam

7
Kontrol poliklik

Tanggal SOAP PLANNING

6-8-2017 S: Bercak kemerahan pada leher, - Metylprednisolon 16 mg


punggung dan dada (+), gatal sudah 1x1 tablet.
mulai berkurang - Ceterizine 1x1 tablet
- Desoxymetason 0,25% 2x1
O: Status Dermatologis
cream
- Lokasi : Regio colli, vertebra dan
thoraks
- Effloresensi : Makula eritema,
hiperpigmentasi, skuama halus, erosi
- Ukuran : miliar - numular

A: Pitiriasis Rosea

8
PEMBAHASAN

Diagnosis pitiriasis rosea pada kasus ini dapat ditegakan berdasarkan anmnesis,

dan pemeriksaan fisik.

Dari hasil anamnesis diketahui bahwa penderita seorang perempuan berusia 24

dengan keluhan adanya gatal dan bercak kemerahan pada leher, punggung, dan dada

yang dialami sejak 2 minggu yang lalu. Menurut kepustakaan pitiriasis rosea paling

sering terjadi pada usia 10-35 tahun dan paling jarang pada usia di bawah 2 tahun dan

di atas 65 tahun. Pitiriasis rosea juga sedikit lebih tinggi pada perempuan dibandingkan

9
laki-laki dengan perbandingan 1,5:1. Jadi, pasien ini memiliki faktor predisposisi untuk

terserang pitiiriasis rosea.1-3

Etiologi dan faktor pemicu pada penderita ini belum jelas, Menurut kepustakaan etiologi

pitiriasis rosea masih belum dapat dipahami, namun terdapat hipotesis bahwa reaktivasi

HHV-7 memicu terjadinya reaktivasi HHV-6, Pitiriasis rosea tidak disebabkan

langsung oleh infeksi virus herpes melalui kulit, tapi kemungkinan disebabkan karena

infiltrasi kutaneus dari infeksi limfosit yang tersembunyi pada waktu replikasi virus

sistemik. Bukti lain mengesankan reaktivasi virus mencakup kejadian timbulnya

kembali penyakit dan timbulnya pitiriasis rosea pada saat status imunitas seseorang

mengalami perubahan.1,2,4,6

Pada pemeriksaan fisik dijumapi lesi yang pertama kali muncul pada bagian

leher, berupa makula eritema, berbatas tegas, tepi reguler dengan skuama halus,

berbentuk oval dengan ukuran kurang lebih 3-4 cm, lesi inilah yang merupakan herald

patch pada pasien. Menurut kepustakaan, Herald patch merupakan lesi awal pada

pitiriasis rosea berupa makula eritema atau papul eritema pada batang tubuh atau leher,

yang secara bertahap akan membesar dalam beberapa hari dengan diameter 2-4 cm,

berwarna pink salmon, berbentuk oval dengan skuama halus. 2,3

Selain itu pada penderita terdapat lesi kecil-kecil yang terletak di sepanjang garis

belahan badan yang disebut dengan christmas tree, Sebagian besar lesi berupa makula

hiperpigmentasi, yang disertai dengan erosi (bekas garukan). Pada pasien muncul salah

satu gejala prodomal, yaitu gigi berlubang yang merupakan suatu infeksi pada traktus

respitorius bagian atas

10
Menurut kepustakaan, keadaan ini bisa muncul pada sekitar 20% pasien,

gambaran klinis menyimpang dari satu gejala klasik yang dijelaskan sebelumnya.1

Drago dkk (2016) memaparkan klasifikasi pitiriasis rosea, yaitu tipe klasik (tipikal dan

atipikal), tipe relaps, tipe persisten, tipe anak, tipe kehamilan, dan tipe mirip erupsi.

Erupsi tipikal berupa plak eritematosa seperti medali dengan sedikit elevasi pada

tepinya skuama halus dan pucat dan sedikit depresi di tengah. Ini biasanya terjadi pada

bagian badan jarang terjadi pada tungkai dan membesar secara progresif, mencapai

diamater 3 cm atau lebih. Tetap terisolasi selama sekitar 2 minggu, setelah itu erupsi

berkembang. Erupsi sekunder ini ditandai dengan bercak yang mirip dengan lesi awal

tetapi lebih kecil dan simetris berorientasi aksis panjang tubuh di sepanjang garis

belahan (distribusi Christmas tree). Gejala prodromal sering dilaporkan: malaise, mual,

kehilangan nafsu makan, sakit kepala, kesulitan dalam konsentrasi, mudah marah,

gastrointestinal dan gejala pernapasan atas (hingga 69%), nyeri sendi, pembengkakan

kelenjar getah bening, sakit tenggorokan, dan demam ringan. Gejala ini juga dapat

muncul selama erupsi. Rasa gatal sekali pada 25% dari pasien, sedang dan ringan pada

50%, dan tidak ada di 25% pasien.6,7

Mendiagnosis pitiriasis rosea hampir selalu melalui anamnesis dan pemeriksaan

fisik saja, pemeriksaan histologis biasanya tidak diperlukan. Namun, histopatologi

menampilkan parakeratosis fokal, spongiosis, dan acanthosis pada epidermis dan

extravasasi sel darah merah disertai dengan infiltrat perivaskular limfosit, monosit, dan

eosinofil pada dermis.7 Pada kasus ini, tidak dilakukan pemeriksaan penunjang pada

pasien tersebut.

11
Diagnosis banding dengan tinea corporis dapat disingkirkan karena penyakit ini

disebabkan oleh dermatofit Trichophyton rubrum, dengan predeleksi pada daerah

wajah, tangan, trunkus dan ekstremitas. Kelainan ini ditandai oleh skuama yang berada

ditepi, plak tidak berbentuk oval, dan pada pemeriksaan penunjang didapatkan hifa

panjang pada pemeriksaan KOH. Gejala klinis berupa, gatal, eritema yang berbentuk

cincin, dan penyembuhan di bagian tengah.1,2,6.

Diagnosis banding dengan dermatitis numularis dapat disingkirkan karena pada

dermatitis numularis lesi berbetuk bulat, tidak oval, papul berukuran milier sampai

numuler, didominasi vesikel, tidak berskuama, dan dapat ditutupi oleh krusta. Tempat

predeleksi pada ektremitas. 1,2,6

Pada kasus ini, pasien diberikan terapi sistemik yaitu kortikosteroid oral

(metilprednisolon 16 mg 1-0-1/2) selama 5 hari, antihistamin (cetirizine tablet 1x1),

dan diberikan medikasi topikal berupa desoxymetason 0,25% cream, dan Mometasone

furoate 0,1 % cream. Menurut kepustakaan sebagaimana PR adalah penyakit yang

dapat sembuh sendiri, kebanyakan pasien hanya perlu diberi edukasi mengenai

perjalanan alami penyakit bukannya menempatkan mereka pada protokol pengobatan

agresif. Kebanyakan pasien hanya perlu emolien, anti-histamin, dan kadang-kadang

steroid topikal untuk mengendalikan pruritus.7

Meskipun steroid topikal dan sistemik kadang-kadang digunakan dalam kasus-

kasus PR, terdapat kurangnya bukti substansial yang mendukung atau menyangkal

penggunaannya. Tidak banyak literatur yang menerbitkan penggunaan kortikosteroid

12
pada PR.9 Kortikosteroid topikal mid-poten dapat digunakan untuk mengurangi gejala-

gejala pruritus.1,3

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Das dkk (2015), penggunaan

asiklovir dengan dosis yang dapat diberikan 5 x 800 mg memberikan hasil yang cepat

secara signifikan pada gejala klinis eritema, skuama dan pruritus dibandingkan dengan

penggunaan perawatan standar anti-histamin dan emolien. Munculnya lesi baru

berkurang. Acyclovir dapat digunakan secara aman dalam pengobatan PR untuk

mencapai kontrol lebih cepat dari penyakit dan peningkatan kualitas hidup pasien.10

Penggunaan eritromisin masih diperdebatkan. Eritromisin oral pernah dilaporkan

cukup berhasil pada penderita pitiriasis rosea yang diberikan selama 2 minggu. Dari

suatu penelitian menyebutkan bahwa 73% dari 90 penderita pityriasis rosea yang

mendapat eritromisin oral mengalami kemajuan dalam perbaikan lesi. Eritomisin

diduga mempunyai efek sebagai anti inflamasi.4 Terdapat beberapa studi mengevaluasi

peran fototerapi pada PR. Hal ini dapat bekerja dengan mengubah imunologi di kulit.

Pada kelainan kulit yang luas dapat diberikan terapi sinar UVB. UVB dapat

mempercepat penyembuhan karena menghambat fungsi sel Langerhans sebagai

penyaji antigen. Pemberian harus hati-hati karena UVB meningkatkan resiko

terjadinya hiperpigmentasi pasca-inflamasi.6,9

Prognosis baik karena penyakit sembuh spontan, biasanya dalam waktu 3-8

minggu. Beberapa kasus menetap sampai 3 bulan. Dapat terjadi hipo atau

hiperpigmentasi pasca-inflamasi sementara yang biasanya hilang tanpa bekas. Pitiriasis

rosea jarang kambuh, tetapi dapat terjadi kekambuhan pada 1% kasus.10,11

13
RINGKASAN

Telah dilaporkan sebuah kasus pitiriasis rosea, pada seorang perempuan berusia

24 tahun, dengan keluhan adanya bercak kemerahan pada leher, dada dan punggung

disertai dengan gatal. Pasien juga terdapat riwayat gigi berlubang.

Diagnosis dapat ditegakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan makula eritema, hiperpigmentasi, berskuama halus,

dan erosi.

Pasien mendapatkan terapi kortikosteroid oral (metilprednosolon 16 mg 1-0-

1/2) selama 5 hari, antihistamin berupa (cetirizine tab 1x1), dan medikasi topikal

berupa desoxymetason 0,25% cream, dan Mometasone furoate 0,1 % cream. Prognosis

pasien quo ad vitam: bonam, ad fungtionam: bonam, sanationam: dubia ad bonam, dan

kosmetikam: dubia ad bonam.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Blauvelt A. Pityriasis Rosea. In In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller

AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fritzpatrick’s dermatology in general

medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill Inc; 2012. P 669-676

2. James WD, Elston DM, Berger TG. Andrews’ disease of the skin clinical

dermatology. 11th ed. UK: Saunders Elsevier; 2011.

3. Shabazz DR. Pityriasis rosea. In: Kelly AP, Taylor SC, editors. Dermatology

for skin of color. New York: McGraw-Hill Inc; 2009. P 147-151

4. Sterling J. Virus Infection. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths S,

editors. Rook’s textbook of dermatology.8th ed. USA: Blackwell Publishing;

2010. P 33.78

5. Amatya A, Rajouria EA, Karn DK. Comparative study of effectiveness of oral

acyclovir with oral erythromicin in the treatment of pityriasis rosea. Kathmandu

Univ Med J. 2012 January; 10(37): p. 57-61.

6. Djuanda A, Triestianawati W. Pitiriasis Rosea. Dalam: Djuanda A, Hamzah M,


Aisah S, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit

fakultas kedokteran Indonesia. 2016. Hal 225-227

7. Drago F, Ciccarese G, Rebora A, Broccolo F, Parodi A. Pityriasis Rosea: A


Comprehensive Classification. Dermatology 2016;232:431–437

8. Panda M, Patro N, Jena M, Dash M, Mishra S. Pityriasis rosea like drug rash –

a need to identify the disease in childhood. JCDR. 2014;8(8):1-2

15
9. Mahajan K, Relhan V, Relhan AK, Garg VK. Pityriasis rosea: An update on
etiopathogenesis and management of difficult aspects. Indian J Dermatol

2016;61:375-84

10.Das A, Sil A, Das NK, Roy K, Das AK, Bandyopadhyay D. Acyclovir in


pityriasis rosea: An observer-blind, randomized controlled trial of

effectiveness, safety and tolerability. Indian Dermatol Online J 2015;6:181-4

11. Mrowietz U. Papulosquamous disorder. In: Burgdorf WCH, Plewig G, Wolff

HH, Landthaler M, editors. Braun-Falco’s Dermatology. 3rd ed. Italy: Springer;

2009. P 495-496

16

Anda mungkin juga menyukai