Anda di halaman 1dari 24

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2017


UNIVERSITAS PATTIMURA

FAKTOR PSIKOLOGIK YANG MEMPENGARUHI KONDISI


FISIK (PSIKOSOMATIK)

Disusun oleh:
Ida Amsiyati
NIM. 2010-83-031

Pembimbing:
dr. Sherly Yacobus, Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
RUMAH SAKIT KHUSUS DAERAH PROVINSI MALUKU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Psikosomatik atau dikenal dengan nama lain, psikofisologis merupakan


bagian spesifik dalam bidang psikiatri yang sudah ada selama lebih dari 75 tahun.
Secara umum, gangguan ini digambarkan sebagai satu atau lebih faktor psikologis
atau masalah perilaku yang secara jelas memperburuk perjalanan atau hasil
kondisi medis umum. Atau secara jelas, meningkatkan risiko seseorang
mengalami hasil medis yang lebih buruk.1
Dalam pandangan kedokteran, psikosomatik adalah interdisiplin beberapa
cabang ilmu kedokteran yang mempelajari penyakit – penyakit psikosomatis,
yang sekarang lebih tertuju kepada penyakit – penyakit psiko-fisologis,
memandangnya sebagai suatu gangguan yang gejalanya lebih disebabkan oleh
proses mental dari pada penyebab fisiologis secara langsung.1
Cabang kedokteran ini mempelajari evaluasi dan tata laksana secara
terintergrasi dan melibatkan cabang kedokteran Psikiatri, Neurologi, Bedah,
Ginekologi, Kedokteran Paliatif, Pediatrik, Dermatologi, dan
Psikoneuroimunologi, serta Psikologis.1
Dan kompetensi dari kedokteran psikosomatis adalah situasi klinis dimana
psikologis merupakan faktor utama yang mempengaruhi kondisi klinis, kepatuhan
klinis, atau hasil pembedahan.1
Dalam referat ini akan di bahas lebih lanjut bagaimana faktor psikologis
dapat mempengaruhi kondisi fisik dan bagaimana penatalaksanaan masalah
kondisi medis yang dipengaruhi oleh faktor psikologis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Psikosomatis berasal dari dua kata yaitu psiko yang artinya psikis, dan
somatis yang artinya tubuh. Dalam Diagnostic And Statistic Manual Of
Mental Disorders edisi ke empat (DSM IV) istilah psikosomatis telah
digantikan dengan kategori diagnostik faktor psikologis yang
mempengaruhi kondisi medis.2,3
Menurut Wittkower psikosomatis secara luas didefinisikan sebagai
usaha untuk mempelajari interelasi aspek-aspek psikologis dan aspek-aspek
fisis semua faal jasmani dalam keadaan normal maupun abnormal. Ilmu ini
mencoba mempelajari, menemukan interelasi dan interaksi antara fenomena
kehidupan psikis (jiwa) dan somatis (raga) dalam keadaan sehat maupun
sakit.3
Gangguan psikosomatik ialah gangguan atau penyakit dengan gejala-
gejala yang menyerupai penyakit fisis dan diyakini adanya hubungan yang
erat antara suatu peristiwa psikososial tertentu dengan timbulnya gejala-
gejala tersebut. Ada juga yang memberikan batasan bahwa gangguan
psikosomatik merupakan suatu kelainan fungsional suatu alat atau sistem
organ yang dapat dinyatakan secara obyektif, misalnya adanya spasme, hipo
atau hipersekresi, perubahan konduksi saraf dan lain-lain. Keadaan ini dapat
disertai adanya organik/struktural sebagai akibat gangguan fungsional yang
sudah berlangsung lama.3
Dalam kenyataannya, di klinik jarang sekali faktor psikis/emosi
seperti frustasi, konflik, ketegangan dan sebagainya dikemukakan sebagai
keluhan utama oleh pasien. Justru keluhan – keluhan fisis yang beraneka
ragam yang selalu ditonjolkan oleh pasien. Keluhan-keluhan yang dirasakan
pasien umumnya terletak di bidang penyakit dalam seperti keluhan sitem
kardiovaskuler, sistem pernapasan, saluran cerna, saluran urogenital, dan
sebagainya.3
3
Keluhan-keluhan tersebut adalah manifestasi adanya
ketidakseimbangan sistem saraf otonom vegetatif, seperti sakit kepala,
pusing, serasa mabuk, cenderung untuk pingsan, banyak keringat, jantung
berdebar-debar, sesak napas, gangguan pada lambung, dan usus, diare,
anoreksia, kaki dan tangan dingin, kesemutan, merasa panas atau dingin
seluruh tubuh dan banyak lagi gejala lainnya.3

B. Etiologi
Hampir semua setuju bahwa stress berat dan kronis mempunyai peran
penyebab timbulnya penyakit-penyakit somatis, namun beberapa peneliti
meragukan validitas konsep psychosomatic medicine. Masih merupakan
psiki-kontroversial, beberapa faktor seperti, bagaimana karakter stress,
faktor fisiologis, kepekaan genetik dan organ seseorang serta faktor konflik
emosional menyebabkan terjadinya suatu penyakit.1

C. Patomekanisme
Patofisiologi timbulnya kelainan fisis yang berhubungan dengan
gangguan psikis/emosi belum seluruhnya dapat diterangkan namun sudah
terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan
pegangan. Gangguan psikis/konflik emosi yang menimbulkan gangguan
psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan-perubahan fisiologis dan
biokimia pada tubuh seseorang. Perubahan fisiologi ini berkaitan erat
dengan adanya gangguan pada sistem neurotransmiter, sistem endokrin,
sistem imun dan faktor perubahan kehidupan.3
Ketika ada stresor, maka tubuh akan berespon terhadap stresor
tersebut. Berikut ini ada beberapa respon sistem tubuh terhadap stres, antara
lain:2
1. Neurotransmiter
Stresor mengaktivasi sistem noradrenergik di otak (tepatnya di
locus ceruleus) dan menyebabkan keluarnya katekolamin dari sistem
saraf otonom. Dan stresor juga mengaktivasi sistem serotonergik di
4
otak, sebagaimana dibuktikan dengan meningkatnya jumlah serotonin.
Bukti terbaru menyatakan bahwa glukokortikoid meningkatkan fungsi
serotonin, perbedaan – perbedaan mungkin ada pada regulasi
glukokortikoid terhadap subtipe reseptor serotonin yang dapat
memiliki implikasi terhadap fungsi serotonin pada depresi dan
penyakit – penyakit yang berhubungan. Contohnya glukokortikoid
dapat meningkatkan serotonin 5 – hydroxytryptamine (5-HT2) yang
dimediasi aksi, maka berkontribusi terhadap intensifikasi
(peningkatan) aktivitas tipe reseptor tersebut, yang berimplikasi dalam
patofisiologi gangguan depresif mayor. Stresor juga meningkatkan
neurotransmisi dopaminergik pada jaras mesoprefrontal.
Corticotropin-releasing factor (CRF) (sebagai sebuah neurotransmiter,
bukan hanya sebuah regulator hormonal dari hypothalamic-pituitary-
adrenal [HPA] axis functioning), glutamat (lewat N-methyl-D-
aspartate [NMDA] receptor), dan GABA (-aminobutyric acid)
memiliki peranan penting untuk membuat respon stres atau dalam
memodulasi sistem-sistem lain yang responsif terhadap stres, seperti
area otak yg dopaminergik dan noradrenergik.2
2. Endokrin
CRF disekresikan dari hipotalamus ke dalam hypophysial-
pituitary-portal system dan beraksi di pituitari anterior untuk memicu
keluarnya adrenocorticotropin hormone (ACTH). Setelah ACTH
dikeluarkan, ACTH beraksi di korteks adrenal untuk menstimulasi
sintesis dan keluarnya glukokortikoid. Glukokortikoid sendiri
memiliki efek yang sangat besar dalam tubuh, tapi aktivitasnya dapat
diringkas dalam jangka pendek sebagai pendukung penggunaan
energi, aktivitas kardiovaskuler (respon “flight or fight”), dan
menghambat fungsi – fungsi, seperti pertumbuhan, reproduksi, dan
imunitas. Aksis HPA nya adalah subjek untuk memfiksasi kontrol
negative feedback, dengan hasil akhir produknya (ACTH dan kortisol)
di tingkatan yg multipel, termasukn pituitari anterior, hipotalamus,
5
dan seperti regio otak suprahipotalamik, hippocampus. Sebagai
tambahan, sejumlah secretagogues CRF (substansi yang menstimulus
keluarnya ACTH) yang ada dapat memicu keluarnya CRF dan beraksi
langsung untuk memulai kaskade glukokortikoid. Contoh
secretagogues CRF, antara lain : katekolamin, vasopresin, dan
oksitosin. Dan menariknya, stresor yang berbeda (contoh, cold stress
versus hypotension) memicu pola yang berbeda pula terhadap
keluarnya secretagogue, dan menunjukkan bahwa pemahaman dari
sebuah respon stres yg sama terhadap sebuah stresor generik adalah
sebuah oversimplikasi (terlalu mudah dan tidak memperdulikan
beberapa fakta).2
3. Imunitas
Bagian dari respon stres terdiri dari penghambatan fungsi
imunitas oleh glukokortikoid. Penghambatan tersebut merefleksikan
aksi kompensasi aksis HPA untuk mengurangi efek fisiologis lain dari
stres. Sebaliknya stres juga dapat menyebabkan aktivasi imun lewat
berbagai jalur. CRF sendiri dapat menstimulasi keluarnya norepinefrin
via reseptor CRF yang berlokasi di locus ceruleus, yang mengaktivasi
sistem saraf simpatis, baik sentral maupun perifer, dan meningkatkan
keluarnya epinefrin dari medula adrenal. Sebagai tambahan, ada juga
jalur neuron epinferin yang bersinaps di sel target imun. Maka dalam
menghadapi stresor, peningkatan aktivasi imun juga terjadi, meliputi
keluarnya faktor – faktor imun humoral (sitokin), seperti IL-1 dan IL-
6. Sitokin – sitokin tersebut dapat menimbulkan keluarnya CRF, yang
dalam teori mendukung untuk meningkatkan efek glukokortikoid dan
maka terjadilah self-limit the immune activation.2
4. Perubahan kehidupan
Thomas Holmes dan Richard Rahe melakukan skala penilaian
reaksi penyesuaian yang terjadi akibat perubahan peristiwa kehidupan,
terhadap seratus orang dari berbagai latar belakang. Mereka yang
menghadapi stres secara optimal lebih jarang mengalami gangguan
6
psikosomatik dari pada mereka yang menghadapinya dengan pesimis.
Kalaupun ada gangguan, biasanya akan lebih cepat pulih kembali.2

D. Perjalanan Penyakit
Gangguan somatisasi merupakan gangguan yang berlangsung kronik,
berfluktuasi, menyebabkan ketidakmampuan dan sering kali disertai dengan
ketidakserasian dari perilaku sosial, interpersonal dan keluarga yang
berkepanjangan.2
Episode peningkatan keparahan gejala dan perkembangan gejala yang
baru diperkirakan berlangsung 6 – 9 bulan dan dapat dipisahkan dari periode
yang kurang simtomatik yang berlangsung 9 – 12 bulan. Tetapi jarang
seorang pasien dengan gangguan somatisasi berjalan lebih dari satu tahun
tanpa mencari suatu perhatian medis. Seringkali terdapat hubungan antara
periode peningkatan stress atau stress baru dan eksaserbasi gejala somatik.2

E. Bentuk Spesifik Gangguan Psikosomatis


Untuk klasifikasi jenis gangguan psikosomatik, maka jenis gangguan
dibagi menurut organ yang paling sering terkena, yaitu gangguan
gastrointestinal, gangguan kardiovaskular, gangguan pernapasan, gangguan
endokrin, gangguan kulit, gangguan muskuloskeletal, psiko-onkologi.
1. Gangguan Gastrointestinal
a. Dispepsia Fungsional
Merupakan perasaan tidak enak dan sakit pada daerah
epigastrium, sering disebabkan karena kelainan fungsi lambung:
sekresi asam lambung yang berlebihan, motilitas dan tonus yang
meninggi pada otot-otot dinding lambung.4 Legarde dan Spiro
(1984) mengatakan bahwa keluhan tidak enak pada perut bagian
atas yang bersifat intermitten sedangkan pada pemeriksaan tidak
didapatkan kelainan organis. Gejala-gejala yang sering
dikeluhkan pasien berupa rasa penuh pada ulu hati sesudah
makan, kembung, sering bersendawa, cepat kenyang, anoreksia,
7
nausea, vomitus, rasa terbakar pada daerah ulu hati dan
regurgitasi.2
Rangsangan psikis/emosi sendiri secara fisiologi dapat
mempengaruhi lambung dengan dua cara:
 Jalur Neurogen: rangsangan konflik emosi pada korteks
serebri mempengaruhi kerja hipotalamus anterior dan
selanjutnya ke nucleus vagus, dan kemudian ke lambung
 Jalur Neurohormonal: rangsangan pada korteks serebri
diteruskan ke hipotalamus anterior selanjutnya ke hipofisis
anterior yang mengeluarkan kortikotropin. Hormon ini
merangsang korteks adrenal dan kemudian menghasilkan
hormon adrenal yang selanjutnya merangsang produksi
asam lambung.2
Pengobatan melalui pendekatan psikosomatis yaitu dengan
memperhatikan aspek-aspek fisik, psikososial, dan lingkungan.
Terhadap keluhan-keluhan dispepsia dapat diberikan pengobatan
simptomatis seperti antasida, obat-obat H2 antagonis seperti
Cimetidin, ranitidine. Obat inhibitor pompa proton seperti
omeprazole, lansoprazole. Yang tidak kalah pentingnya ialah
melakukan psikoterapi dengan beberapa edukasi dan saran agar
dapat mengatasi atau mengurangi stress dan konflik
psikososial.2
b. Ulkus Peptikum
Sering ditemukan dikota besar dan daerah industri. Stress
dan kecemasan yang disebabkan oleh berbagai konflik yang
tidak spesifik dapat menyebabkan hiperasiditas lambung dan
hipersekresi pepsin, yang menyebabkan suatu ulkus. Psikoterapi
merupakan terapi yang dapat dipakai untuk konflik
ketergantungan pasien. Biofeedback dan terapi relaksasi
mungkin berguna. Terapi medis lain yang digunakan adalah
cimetidine, famotidine.2
8
c. Kolitis ulseratif
Tipe kepribadian dari pasien dengan Kolitis ulserativa
menunjukkan sifat kompulsif yang menonjol. Pasien cenderung
pembersih, tertib, rapi, tepat waktu, hiperintelektual, malu-malu,
dan terinhibisi dalam mengungkapkan kemarahan. Stress non
spesifik dapat memperberat penyakit ini. Terapi yang dianjurkan
pada kolitis ulserativa yang akut adalah psikoterapi yang non
konfrontatif dan suportif dengan psikoterapi interpretatif selama
periode tenang. Terapi medis terdiri dari tindakan medis
nonspesifik, seperti antikolinergik dan anti diare.2
d. Obesitas
Terdapat presdiposisi familial genetika pada obesitas, dan
faktor perkembangan awal ditemukan pada obesitas masa anak-
anak. Faktor psikologis adalah penting pada obesitas hipergrafik
(makan berlebihan).Terapi yang dianjurkan adalah pembatasan
diet dan penurunan asupan kalori. Dukungan emosional dan
modifikasi perilaku adalah membantu untuk kecemasan dan
depresi yang berhubungan dengan makan berlebihan dan diet.2
e. Anoreksia nervosa
Anoreksia nervosa ditandai oleh perilaku yang diarahkan
untukmenghilangkan berat badan, pola aneh dalam menangani
makanan, penurunan berat badan, rasa takut yang kuat terhadap
kenaikan berat badan, gangguan citra tubuh, dan pada wanita
amenore.1,6

2. Gangguan Kardiovaskular
a. Hipertensi
Hipertensi oleh banyak peneliti dianggap sebagai suatu
penyakit yang multifaktorial. Selain faktor psikis yang
menstimulasi efek simpatikotonik, pengaruh lingkungan sekitar
dan sosio-kultural juga ikut berperan. Faktor-faktor psikis
9
stuasional yang menyebabkan kenaikan tekanan darah,
merupakan model outlet yang aman sebagai reaksi normal
fisiologis.7
Menurut Groen, mekanisme utama perkembangan menjadi
hipertensi yaitu perubahan suatu reaksi fisiologis yang
dihubungkan dengan behavior readiness, oleh suatu reaksi
neuroviseral; sebagai ganti aktivitas neuromuscular yang kuat
dan volume semenit jantung yang meningkat, serta resistensi
pembuluh darah yang meningkat pula.7
Karena sifat etiologi yang multifaktorial, kebanyakan
pasien membutuhkan terapi kombinasi. Terapi dengan obat
seringkali perlu diberikan, namun efek samping harus
diperhatikan. Reserpine, misalnya, juga mempunyai efek
samping depresif. Latihan autogen (autogenic training) sebagai
latihan rileks pada hakikatnya sangat baik, namun seringkali
menambah rasa takut dan kegelisahan, karena aktivitas defense
yang menutup-nutupi rasa takut dihilangka, sehingga konflik
internal malah dialami lebih jelas.7
b. Gangguan Irama Jantung
Mekanisme regulasi jantung mudah bereaksi terhadap
rangsangan pikis dan penilaiannya dalam hal khayalan dan
pengalaman merupakan faktor-faktor yang menentukan dalam
terjadinya penyakit. Faktor-faktor emosional dapat bekerja
dengan 3 cara:
 Afek seperti rasa takut, sedih, gembira atau ketegangan
jiwa mempengaruhi fungsi somatik secara tidak
khas.emosi agresif mempercepat frekuensi jantung.
Pengalaman depresif menekan dan memperlambatnya.
 Bila dalam keadaan normal, jantung berdenyut teratur,
maka persepsi gangguan irama dapat menimbulkan
kecemasan atau ketidakseimbangan vegetatif.7
10
Faktor-faktor psikis berpengaruh pada timbulnya
gangguan frekuensi denyut dan disaritmia jantung. Pada
gangguan frekuensi jantung, pengaruh fisis, toksik, infeksi dan
degenerasi, juga faktor piskis.7
Aritmia psikogenik tanpa adanya gangguan struktural pada
umumnya tidak akan menyebabkan kematian, namun dapat
memberikan impilkasi yang buruk terhadap kondisi ppsikis
pasien. Maka psikoterapi suportif dan pemberian ansiolitik dapat
mencegah perburukan kondisi psikis dan menghilangkan ritma.7
3. Gangguan Pernapasan
a. Sindrom Hiperventilasi
Sindrom hiperventilasi didefinisikan sebagai suatu
keadaan ventilasi berlebihan yang menyebabkan perubahan
hemodinamik dan kimia sehingga menimbulkan berbagai gejala.
Mekanisme yang mendasari hingga terjadi sindrom
hiperventilasi belum jelas diketahui.3
Menurut Arautigam (1973) secara psikologis penyebab
yang mencetuskan penyakit ini ialah perubahan pernapasan,
yang ia namakan “sindrom pernapasan nervous” yang biasanya
disebabkan oleh faktor emosional/stress psikis. Terapat 2 jenis
pernapasan yang dapat ditemukan, yaitu: 3
 Pernapasan yang tidak teratur yang dianggap sebagai
pengutaraan rasa takut yang khas.
 Pernapasan yang dangkal yang diselingi dengan penarikan
napas dalam sebagai pengutaraan situasi pribadi yang
bersifat keletihan dan pasrah, yaitu pertanda tujuan tidak
dapat dicapai kendati sudah diusahakan.
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada pasien adalah
napas sesak, napas pendek, dada tertekan, nyeri pada
epigastrium, pusing, sakit kepala,mulut dan tenggorokan kering,

11
disfagi, dan rasa penuh pada lambung. Penyebab paling sering
untuk hiperventilasi ialah emosi rasa takut dan kegelisahan.3
Terapi untuk pasien dengan sindrom hiperventilasi:3
 Pasien disuruh bernapas (inspirasi dan ekspirasi) ke dalam
sungkup kantong plastik
 Bila didapatkan tanda alkalosis agar PCO2 dalam darah
naik.Suntikkan 10 cc larutan kalsium glukonas 10%
intravena mempunyai efek placebo. Pasien merasa hangat
dan enak, tetapi kadar ion kalsium tidak akan naik.
 Belajar bernapas torako-abdominal dengan menggerakkan
diafragma.
 Psikoterapi: membantu menyelesaikan problem-problem
emosional pada pasien, termasuk melakukan terapi pelaku
(Cogntive Behavioral Teraphy)
 Karena hiperventilasi sering merupakan bagian dari
serangan panik (panic disorder), maka pemberian obat
yang tepat adalah golongan benzodizepin atau golongan
SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
b. Asma Bronkial
Asma merupakan suatu gangguan karena hiperaktivitas
yang diikuti bronkokontriksi yang reversible serta adanya reaksi
inflamasi kronik serta kerusakan epitel. Dalam
perkembangannya, pathogenesis asam dipengaruhi oleh 3 faktor,
yaitu faktor genetik , permusuhan, kejengkelan (atopi dan
hiperaktivitas bronkus pada keluarga), faktor lingkungan,
allergen seperti debu rumah, serbuk sari bunga, virus dan
bakteri, polusi udara; faktor individu, adanya stressor dan
kemampuan untuk mengatasi asma.3
Beberapa keadaan yang merupakan stressor psikososial,
sebagai berikut:

12
 Pengalaman luar biasa: permulaan masuk sekolah, ujian,
pertama masuk kerja, menderita penyakit, berpisah dengan
orang tua, dll
 Kejadian-kejadian traumatik: perkelahian/pertentangan
dengan orang tua, permusuhan, kejengkelan dalam kerja.
 Pengalaman yang menyedihkan: kematian orang tua, atau
anak, kehilangan harta benda, dan musibah lainnya.3
Terhadap gejala asma secara fisik diberikan pengobatan
standar yang sudah baku sesuai dengan tingkat beratnya
penyakit (bronkodilator, kortikosteroid). Sedangkan untuk
gangguan psikosomatik seperti adanya anxietas atau depresi
secara bersamaan dilakukan psikoterapi dan psikoedukasi serta
psiokfarmaka yang sesuai. Pada gangguan anxietas yang
menyertai atau mencetuskan asma dapat diberikan golongan
benzodiazepine seperti alprazolam, klobazam. Bila dijumpai
adanya presi, maka dapat diberikan antidepresan yang aman
misalnya golongan SRI seperti sertraline, fluoksetin.3
Cara pengobatan psikosomatik yang khusus pada asma
memang belum ada standar, namun pada umumnya pengobatan
meliputi psikoterapi superfisial, edukasi, instruksi.
 Psikoterapi individual dan psikoterapi kelompok. Mereka
diberikan edukasi mengenai perjalanan penyakit asma,
mekanisme timbul, faktor resiko, pengobatan dan
pencegahan. Psikoterapi ini diberikan untuk meningkatkan
daya adaptasi dan kemampuan untuk menyelesaikan atau
menghilangkan stressor psikososial yang dialami pasien.4,3
 Instruksi tentang penatalaksanaan mandiri dengan
monitoring PEFR (Peak Expiratory Flow Rate) di rumah.
 Autogrnic training yaitu latihan untuk dapat bersantai
dengan memahami bahwa faktor psikis dapat
menimbulkan reaksi bronkospasme.
13
 Cara sugestif yaitu mengalihkan atau mencurahkan
perhatian diri sendiri kepada hal-hal yang bermanfaat.
 Psikoterapi analisis yang sederhana.3
4. Gangguan Endokrin
a. Kelainan Tiroid
Pasien tirotoksikosis umumnya datang dengan keluhan
yang dianggap bersifat psiksis belaka. Misalnya rasa cemas,
mudah marah, paranoid, rasa seperti leher tercekik atau terikat,
rasa takut tanpa sebab yang jelas, insomnia dengan mimpi
buruk, dan gugup. Keluhan ini sering diikuti dengan
hiperaktivitas saraf otonom seperti keringat banyak, mulut
kering, pupil lebar, kulit pucat, nadi cepat, dan sebagainya.3
Pengobatan ialah usaha untuk mengendalikan
metabolisme dengan obat-obat dan bila perlu dioperasi.
Transquilaizer dapat sangat membantu. Psikoterapi perlu,
terutama pada penderita dengan konflik yang mendalam dan
yang tidak dapat menyesuaikan diri.4
b. Diabetes Melitus
Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit
meabolik yang ditandai dengan adanya defek pada sekresi
insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada
pasien diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,
disfungsi atau kegagalan berbagai organ seperti mata, ginjal,
saraf, jantung, dan pembuluh darah serta mempengaruhi kondisi
psikis. Gangguan psikis yang biasa terjadi pada penderita
diabetes mellitus adalah depresi.8
Depresi terjadi akibat faktor psikologis dan psikososial
yang berhubungan dengan penyakit atau terapinya. Depresi pada
diabetes terjadi akibat meningkatnya tekanan pasien yang
dialami dari penyakitnya yang kronik. Hubungan

14
ketidakmampuan adaptasi dengan gejala depresi ditentukan oleh
beberapa faktor, yaitu:8
 Pandangan terhadap penyakit yang diderita.
 Dukungan sosial yang kurang baik
 Coping strategy, mencegah pikiran untuk lari dari
kenyataan dan adaptasi psikologis menjadi lebih baik
sehingga mengurangi kemungkinan gejala depresi.
Pengobatan depresi dan diabetes dilakukan bersama-sama
dengan psikoterapi, psikoedukasi, psikofarmaka secara serentak.
Cognitive Behavioral Theraphy (CBT) sangat bermanfaat
diberikan pada pasien depresi dengan diabetes mellitus dan
dikombinasikan dengan edukasi diabetes. Teknik CBT tersebut
adalah:8
 Merubah perilaku dengan mengembalikan aktuvitas fisik
dan kehidupan sosial yang menyenangkan pasien.
 Upaya pemecahan masalah atau stress yang dihadapi.
 Teknik kognitif dengan mengidentifikasi adanya
maldaptasi dan menggantinya dengan pandangan yang
akurat, adaptif dan akurat.
Beberapa golongan obat antidepresan yang biasa diberikan
untuk penderita diabetes melitus adalah golongan SSRI
(Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) dapat mengurangi
resistensi insulin sehingga gula darah dapat lebih terkontrol.
Beberapa golongan obat SSRI seperti fluoksetin memiliki efek
menurunkan berat badan sehingga baik diberikan pada penderita
diabetes yang gemuk. Efek samping yang perlu diperhatikan
adalah kemungkinan terjadinya hipoglikemia, disfungsi seksual
dan pasien yang disertai gangguan ginjal.8

15
5. Gangguan Muskuloskeletal
Arthritis rheumatoid (AR) adalah penyakit inflamasi kronik
dengan pathogenesis autoimun dan etiologi yang multikompleks.
Berbagai faktor yang dapat berperan penting seperti immunogenetik,
kelamin, umur dan stress. Hubungan stress dengan AR masih belum
jelas, meskipun pada berbagai penelitian terdapat perkembangan
bahwa faktor stressor lingkungan, psikologis, dan biologis menjadi
faktor predisposisi.3
Sebelum timbulnya penyakit AR, pasien menunjukkan ciri-ciri
psikodinamik dan kepribadian yang khas, yaitu:
 Ketelitian yang berlebihan, perfeksionisme, kepatuhan, dengan
kecenderungan menekan semua dorongan agresi dan
permusuhan.
 Ciri mesokistis-depresif dengan tendensi pengorbanan diri, sifat
menolong yang berlebihan, bermoral tinggi dan cenderung
depresif.
 Kebutuhan aktivitas badaniah seperti olahraga, kerja di rumah
dan berkebun sebagai penyaluran agresi.3,4
Kepribadian, stressor psikologis, ancaman terserang AR,
kemampuan menanggulangi nyeri dan menanggulagi
ketidakmampuan serta dukungan sosial telah terbukti berhubungan
dengan derajat nyeri, disabilitas dn aktivitas penyakit AR. Faktor
psikososial seperti stress psikologis, penyesuaian, depresi, keyakinan
dalam kemampuan menanggulangi penyakit dan dukungan sosial
berperan pada keadaan sakit dengan mempengaruhi pelepasan
hormone stress, yang selanjutnya berpengaruh pada mekanisme dalam
tubuh termasuk kerentanan dan kekambuhan penyakit AR.3

6. Gangguan Urologi
Irritable bladder, yang bukan disebabkan oleh kelainan organik
terutama pada wanita hingga klimakterium, jarang pada pria. Secara
16
psikofisiologis yang mendasari terjadinya irritable bladder ialah
sensibilitas fungsi kandung kemih yang berlebihan atau ambang
rangsang yang rendah yang bersifat psikovegetatif, yang dapat
ditemukan dengan pengukuran tegangan intravesikal. Dengan
demikian perubahan-perubahan pengisian kandung kemih yang
berlebihan. Secara psikodinamik hal ini dapat terjadi pada situasi
konflik seksual, rasa malu dan takut pada percobaan koitus, rasa segan
terhadap pasangan.3
Beberapa contoh lain gangguan psikosomatik saluran kemih:3
 Fobia mengenai buang air kecil yang tak diinginkan
 Polakisuria tanpa ada kelainan organ
 Retensio urin tidak organik yang sepintas lalu atau residivans
 Bercampur aduknya fungsi berkemih dengan fungsi seksual

F. Diagnosis
Diagnosis pasti gangguan somatisasi berdasarkan PPDGJ III:9
1. Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang
tidak dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang
sudah berlangsung sedikitnya 2 tahun.
2. Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter
bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-
keluhannya.
3. Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga,
yang berkaitan dengan sifat keluhan-keluhan dan dampak dari
perilaku.
Diagnosis gangguan psikosomatik ditegakkan bila:1
1. Didapatkan adanya kondisi medis umum, yang dicantumkan pada
aksis III, didiagnosis Multi Aksial.
2. Terdapat faktor psikologis yang secara bermakna dan tidak
menyenangkan, mempengaruhi kondisi medis umum dalam hal:
 Mempengaruhi perjalanan penyakit,
17
 Menghambat atau mengganggu pengobatan,
 Menimbulkan tambahan risiko kesehatan,
 Respon fisiologis akibat stress mencetuskan atau mengeksaserbasi
simptom dari kondisi medis umumnya

G. Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah kesembuhan, maksudnya adalah resolusi
gangguan, reorganisasi pribadian, adaptasi yang lebih matang,
meningkatkan kapasitas fisik dan okupasi serta proses penyembuhan,
perbaikan penyakit, mengurangi secondary gain terhadap kondisi medisnya,
serta menjadi patuh dengan pengobatan.1
Terapi pada gangguan psikosomatis terdiri dari 3 jenis terapi, antara
lain:1,2
1. Pendekatan Farmakoterapi
Terapi penyakit somatik dalam keadaan akut, yang utama adalah
terapi medis. Pada umumnya adalah anti ansietas dan anti depresan
serta farmakoterapi untuk penyakit konkomitannya.1
a. Antiansietas
Antiansietas adalah kelompok obat-obat yang
dipergunakan terutama mengatasi kecemasan dan juga biasanya
memiliki efek sedasi, relaksasi otot, amnestik dan antiepileptik.1
Klasifikasi yang sering dipakai adalah:1
 Derivat benzodiazepine: diazepam, lorazepam,
alprazolam, clobazam
 Derivat gliserol: meprobamat
 Derivate barbiturat: fenobarbital
Secara umum obat-obat antiansietas bekerja di reseptor
GABA. Golongan benzodiazepine merupakan “drug of choice”
dari semua obat yang mempunyai efek antiansietas, disebabkan
spesifisitas, potensi dan keamanannya. Benzodiazepine

18
menghasilkan efek terapi dengan cara peningkatan spesifik
terhadap reseptor GABA.10
b. Antidepresan
Antidepresan adalah kelompok obat-obat yang heterogen
dengan efek utama dan terpenting adalah untuk mengendalikan
gejala depresi. Disamping itu juga digunakan untuk beberapa
indikasi lain seperti gangguan cemas dan lain-lain.1
Secara umum diklasifikasikan sebagai berikut:1
 Derivat trisiklik: Imipramin, Amitriptilin
 Derivat tetrasiklik: Maproptilin, Mianserin
 Derivat MAOI (MonoAmine Oksidase Inhibitor:
Moclobemide
 Derivat SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor):
Sertralin, Fluoxetine, Fluvoxamine, Paroxetine
 Derivat SNRI (Serotonin Norepinefrin Reuptake
Inhibitor): Venlafaxine, Duloxetine
Dulu yang biasa digunakan adalah senyawa trisiklik dan
tetrasiklik yang dimulai dengan dosis kecil yang kemudian
ditingkatkan. Saat ini, golongan trisiklik sudah jarang digunakan
karena efek samping yang banyak akibat kerja anti
kolinergiknya. Antidepresan baru dengan efek samping yang
minimal yang menjadi pilihan pengobatan saat ini adalah
golongan SSRI. SSRI bekerja secara selektif menghambat
ambilan kembali serotonin juga menghambat ambilan kembali
neurotransmiter norepinefrin.1,10
2. Pendekatan Psikoterapi
Terapi harus tetap fokus pada pengertian terhadap motivasi dan
fungsi mekanisme yang terganggu serta membantu pasien mengenali
penyakit dan dampak dari pola adaptif terhadap penyakitnya tersebut.1
Pendekatan psikoterapi dapat dilakukan dengan beberapa cara,
diantaranya:2
19
 Psikoterapi suportif: ketika pasien punya sebuah terapi kerja
sama, pasien dapat mengekspresikan ketakutan dari penyakit,
khususnya fantasi – fantasi kematian, dengan psikiater. Banyak
pasien yang memiliki kebutuhan yang ketergantungan kuat,
yang sebagian puas dengan terapi.
 Dynamic insight – oriented psychotherapy: pemeriksaan konflik
yang tak disadari tentang seks dan kemarahan. Kecemasan yang
berhubungan dengan kehidupan yang stres diperiksa dan
pertahanan emosional diadakan. Banyak pasien merasakan
keuntungan dari psikoterapi suportif dari pada insight-oriented
therapy ketika pasien punya gangguan psikosomatik.
 Terapi kelompok: diperuntukan untuk pasien-pasien yang
memiliki masalah kondisi fisik yang sama. Pasien-pasien akan
berbagi cerita dan belajar satu sama lain.
 Terapi keluarga: hubungan dan proses keluarga dieksplor disaat
bagaimana penyakit pasien mempengaruhi anggota keluarga
lainnya.
 Terapi kognitif-perilaku
 Kognitif: pasien belajar tentang bagaimana stres dan
konflik ditranslasikan ke dalam penyakit somatik. Pikiran
negatif tentang penyakit diperiksa dan diubah
 Perilaku : teknik relaksasi dan biofeedback mempengaruhi
sistem saraf otonom secara positif. Digunakan pada asma,
alergi, hipertensi, dan sakit kepala
 Hipnosis: efektif pada mengurangi merokok dan perubahan
peningkatan diet.
 Biofeedback : mengkontrol fungsi sistem saraf otonom tertentu
dengan latihan. Digunakan pada tension headache, migrain, dan
hipertensi.
 Acupressure dan akupuntur: terapi alternatif yang dapat
digunakan di hampir semua gangguan psikosomatis.
20
 Pengaturan waktu: mengembalikan keseimbangan perasaan
terhadap hidup pasien. Untuk mensukseskan tujuan, pasien
harus mencatat aktivitas apa saja yang pasien lakukan.
 Latihan relaksasi:
 Relaksasi otot : digunakan untuk tension headache ketika
pasien waspada terhadap situasi yang meningkatkan
tekanan pada otot leher yang terkena.
 Perubahan perilaku
Peran utama dokter dalam menterapi pasien dengan
gangguan psikosomatk, adalah membawa pasien untuk
mengubah perilaku sehingga terjadi proses penyembuhan yang
optimal. Hal ini akan memerlukan perubahan gaya hidup secara
umum, atau perubahan perilaku yang lebih spesifik. Terjadinya
perubahan perilaku ini sangat bergantung pada kualitas
hubungan dokter-pasien.1
Idealnya, secara bersama dokter dan pasien bekerja sama
dan menentukan jenis sikap terapi serta melakukan negosiasi
terhadap pilihan terapi untuk mencapai hasil yang sama-sam
disetujui.1
Beberapa strategi negosiasi yang digambarkan oleh Aaron
Lazare:1
 Edukasi langsung
 Intervensi pihak ketiga
 Eksplorasi pilihan
 Menyediakan contoh atau percobaan terapi
 Control sharing
 Membuat konsesi
 Konfrontasi yang empatik
 Meentukan standar
 Selalu perhatikan gejala – gejala nonpsikiatri secara
serius dan gunakan pengobatan yang sesuai (contoh,
21
laksatif untuk konstipasi). Konsultasi dengan dokter
spesialis yang sesuai bila sulit diterapi.
3. Pendekatan kolaboratif
Kolaborasi dengan internis atau dokter bedah yang menangani
gangguan fisik dan dengan psikiater yang menangani aspek psikiatri.

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Gangguan psikosomatis merupakan gangguan yang diakibatkan
faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi fisik. Penyebab utama
dari gangguan psikosomatis adalah stres, yang menyebabkan tubuh
berespon melalui neurotransmiter, endokrin, dan imunitas.
Untuk klasifikasi jenis gangguan psikosomatik, maka jenis gangguan
dibagi menurut organ yang paling sering terkena, yaitu gangguan
gastrointestinal, gangguan kardiovaskular, gangguan pernapasan, gangguan
endokrin, gangguan kulit, gangguan muskuloskeletal, psiko-onkologi.
Diagnosis psikosomatik dapat ditegakkan berdasarkan kriteria
gangguan somatisasi dalam PPDGJ III. Selain itu, diagnosis juga dapat
ditegakkan bila didapatkan adanya kondisi medis umum yang dicantumkan
pada aksis III (diagnosis Multi Aksial) serta terdapatnya faktor psikologis
yang secara bermakna dan tidak menyenangkan, mempengaruhi kondisi
medis umum.
Penatalksanaan gangguan psikosomatis dapat berupa pendekatan
farmakologi, pendekatan psikoterapi ataupun pendekatan kolaboratif antara
dokter dan psikiater.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa selain menjaga kesehatan fisik
kita juga harus menjaga kesehatan psikis. Karena kesehatan yang hakiki
akan tercipta apabila kesimbangan antara fisik dan psikis terjaga.

B. Saran
 Tujuan terapi haruslah mengerti motivasi dan mekanisme gangguan
fungsi dan untuk membantu pasien mengerti sifat penyakitnya.
 Tilikan tersebut harus menghasilkan pola perilaku yang berubah dan
lebih sehat.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Elvira, Sylvia D., Hadisukanto, Gitayanti. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010. Hal. 287-93, 356-
8.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psyciatry Behavioral
Sciences/Clinical Pyschiatry. Edisi 10. Philadelphia; LWW, 2007.
3. Mudjaddid, E. Shatri, Hamzah. Gangguan Psikosomatik. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006.
Hal. 896-8, 913-4, 920-1, 924-5, 939-40.
4. Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press.
Surabaya. 1980. Hal. 339-371
5. Mansyur A, dkk. Gangguan Psikosomatis. Dalam: Kapita Selekta
Kedokteran. Media Aesculapius FK UI. 1999. Hal. 228-231
6. Nasution H.N. Anoreksia nervosa. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam jilid II, FK
UI Jakarta 1999. Hal. 659-60
7. Hadi, Sujeno. Psikosomatik Pada Saluran Cerna Bagian Bawah. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI.
2006. Hal. 907-9
8. Djokomoeljanto, R. Psikosomatik Pada Kelainan Tirod. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006.
Hal. 937-8
9. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. 2001. Hal. 84
10. Maslim, Rusdi. Panduan Praktis: Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi
3. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. 2007. Hal. 40

24

Anda mungkin juga menyukai