Anda di halaman 1dari 14

Laporan kasus

SELULITIS

EVA SURYANI DAMAMAIN (2015-84-042)

Bagian/ SMF I.P Kulit dan Kelamin

FK UNPATTI/ RSUD Dr. M. Haulussy Ambon

PENDAHULUAN

Selulitis ialah infeksi berat yang menyebar pada dermis dan lemak

subkutan. Biasanya disebabkan oleh bakteri. Selulitis dan erisipelas biasanya

disebabkan oleh S. aureus atau Streptococci β-hemolytic [primarily group A

Steptococcus (GAS)]. 1,2

Pada tahun 2012, Selulitis tersebar di seluruh dunia dan mengenai 3/100

orang per tahunnya. Angka kejadian infeksi kulit ini kira-kira mencapai 7%-10%

pasien yang dirawat di rumah sakit di Amerika Utara. Insiden pada laki – laki

lebih banyak dibandingkan perempuan, dan umur yang sering terkena yaitu 3

tahun untuk anak – anak dan 45 – 65 tahun untuk orang dewasa. Penelitian

Alzamora,dkk yang menganalisis aspek epidemiologi dan klinis pada semua kasus

erisipelas dan selulitis yang dirawat di rumah sakit pada periode 5 tahun,

didapatkan frekuensi kejadian selulitis pada tungkai bawah lebih tinggi pada pria

dan pada pasien usia lebih dari 65 tahun.2,3,4,5

Faktor resiko dapat dibagi menjadi 2 kelompok yakni faktor predisposisi

yang menyebabkan perkembangan selulitis, dan kondisi yang mempengaruhi

keparahan selulitis yang terjadi. Faktor predisposisi pencetus selulitis ialah

tersedianya pintu masuk atau port of entry bagi mikroba seperti pada keadaan

1
adanya luka baik karena trauma, gigitan serangga atau secara sadar (tato,

piercing), ataupun bekas operasi, infeksi superfisial atau terlokalisasi, dan

dermatitik eczematous. Terdapat beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan

kemungkinan terinfeksi meliputi paparan terhadap organisme patogen, Infeksi

lokal terhadap fungsi penghalang kulit (termasuk dermatitis atopik, dan yang lebih

jarang, dermatitis kontak alergi, psoriasis, trauma, penggunaan obat intravena,

prosedur bedah dan kosmetik, gigitan dan ulkus kronis), immunocompromise

(termasuk acquired immunodeficiency syndrome [AIDS], diabetes, penyakit ginjal

stadium akhir/dialisis, neutropenia, kanker, dan obat imunosupresif), dan

obesitas.1,4,6

Baik S.aureus dan GAS memiliki mekanisme melewati sistem imun dan

memunculkan infeksi. Bakteri GAS tampaknya dapat menonaktifkan cathelicidin

LL-37, yang dapat memediasi resistensi dari sistem imun innate.Walaupun secara

umum berhubungan dengan patogen ekstraseluler, GAS juga ditemukan dapat

menghindari deteksi imun dan terapi antibiotik dengan memasuki makrofag dan

sel endothelial.2

Gambaran klinis selulitis kulit tampak eritema, nyeri, kulit tampak tegang

dan lunak, dan kadang membengkak. Gejala sistemik seperti demam, menggigil,

dan lemas, sangat bervariasi.2,7

Panduan terapi bagi selulitis tergantung keparahan selulitisnya. Tiga terapi

utama menggunakan antibiotik intravena, cairan intravena, dan manajemen nyeri

sangat direkomendasikan. 8

2
Kasus

Seorang laki-laki berusia 28 tahun, suku Ambon, bangsa Indonesia, alamat

kudamati. Masuk rumah sakit umum RSUD Dr. M Haulussy Ambon pada tanggal

24 juli 2017 (No.RM 11 83 05) dengan keluhan nyeri pada tungkai kanan.

Autoanamnesis

Pasien mengatakan tungkai bawah kanannya kemerahan dan terasa nyeri

sejak 1 minggu yang lalu. Pasien mengaku keluhan diawali dengan timbul

lepuhan berisi cairan jernih yang kemudian pecah dan menjadi luka serta tidak

mengering. Keluhan disertai dengan rasa panas pada tungkai bawah kanan. Pasien

juga merasa kakinya terasa tegang. Gatal tidak ada, demam tidak ada, pasien tidak

merasa pusing, mual ataupun muntah. Nafsu makan baik dan pasien masih dapat

berjalan keluar kamarnya ataupun mandi.

Riwayat penyakit dahulu: pasien mengaku baru pernah mengalami

keluhan seperti ini. Pasien mengaku pasien sering bisulan. Hipertensi, diabetes

mellitus dan kolesterol disangkal.

Riwayat pengobatan : pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan unttuk

menghilangkan gejala.

Riwayat keluarga : tidak ada yang mempunyai keluhan seperti pasien

Riwayat atopi/alergi : pasien mengaku alergi terhadap obat ketorolac

Riwayat Higiene : Pasien mandi dua kali sehari, gunakan sabun lifebuoy,

menggunakan handuk sendiri.

3
Pemeriksaan Fisik

Status generalis

Keadaan umum : Kesadaran compos mentis, tampak sakit sedang, gizi


cukup.TD:120/70 nadi : 84 x/menit RR : 20x/menit, Suhu :
36.7oC

Kepala : Bentuk normosefal, konjungtiva anemis (-), sklera ikterik


(-)

Mulut : Sianosis (-), tonsil (T1/T1) hiperemis (-)

Leher dan aksila : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Toraks : Jantung BJ I,II, regular, murmur (-), gallop (-)

paru  dalam batas normal

Abdomen : Hepar dan lien tidak teraba, tidak ada nyeri tekan

Ekstremitas : Akral hangat, edema(+) pada tungkai bawah kanan,


kemerahan (+), nyeri (+)

Status dermatologis

Lokasi : Regio cruris dextra

Efloresensi : Makula hiperpigmentasi, eritema, ulkus, erosi, krusta,


edema

Ukuran : Lentikuler , nummular

DIAGNOSIS BANDING

1. Selulitis
2. Erisipelas

DIAGNOSIS : Selulitis
PEMERIKSAAN PENUNJANG :
 Pemeriksaan Darah Rutin

4
HASIL NILAI RUJUKAN
RBC 5,14 x 106 3,80-6,50

HGB 15,1 g/dL 11,5-17,0

MCV 85 µm3 80-100


MCH 29,5 27,0-32,0

PLT 422 x 103 150-500

WBC 8,4 x 103 4,0-10,0

Glukosa Puasa 63 mg/dL 80-100

PENATALAKSANAAN

1. Terapi sistemik :
- Pasang venflon
- Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam/IV
2. Terapi topikal :
- Kompres NaCl 0,9%
- Rawat luka dengan Cutimed sorbact

PROGNOSIS

Quo ad Vitam : dubia ad bonam

Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

Quo ad Functionam : dubia ad bonam

Quo ad Kosmetikan :dubia ad bonam

FOLLOW UP

Hari/Tanggal S.O.A.P

Selasa,25/7/2017 S: Nyeri dan kemerahan pada tungkai berkurang

O: Status Dermatovenerologi

Lokasi  Regio cruris dextra

5
Ukuran  Lentikuler , numular

Efloresensi Makula hiperpigmentasi, eritema, ulkus, erosi,


krusta

A: Selulitis

P:

1. Terapi sistemik :
- Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam/IV
2. Terapi topikal :
- Kompres NaCl 0,9%
- Rawat luka dengan Cutimed Sorbact

Rabu,26/7/2017 S: Nyeri dan kemerahan pada tungkai berkurang

O: Status Dermatovenerologi

Lokasi  Regio cruris dextra

Ukuran  Lentikuler , numular

Efloresensi Makula hiperpigmentasi, eritema, ulkus, erosi,


krusta

A: Selulitis

P:

1. Terapi sistemik :

6
- Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam/IV
2. Terapi topikal :
- Kompres NaCl 0,9%
- Rawat luka dengan Citimed Sorbach

Kamis,27/7/2017 S: Kemerahan pada tungkai kanan berkurang, nyeri (-)

O: Status Dermatovenerologi

Lokasi  Regio cruris dextra

Ukuran  Lentikuler , numular

Efloresensi Makula hiperpigmentasi, eritema, ulkus, erosi,


krusta

A: Selulitis

P:

- Pasien boleh pulang


- Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam/IV

7
DISKUSI

Pada kasus ini pasien didiagnosis dengan selulitis berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Dari anamnesis diketahui bahwa penderita seorang laki-laki berusia 28

tahun datang dengan keluhan nyeri pada tungkai kanan bawah sejak 1 minggu

yang lalu. berisi cairan jernih yang kemudian pecah dan menjadi luka serta tidak

mengering. Keluhan disertai dengan rasa panas pada tungkai bawah kanan. Pasien

juga merasa kakinya terasa tegang. Selulitis sering mengenai pasien dewasa

dengan usia antara 40-60 tahun. Laki-laki dan perempuan memiliki resiko yang

sama untuk terkena penyakit ini. Hal ini sesuai dengan teori bahwa selulitis

merupakan sebuah inflamasi kulit murni karena infeksi dengan gambaran klinis

pada selulitis sesuai teori yaitu kulit tampak eritema, nyeri, kulit tampak tegang

dan lunak, dan kadang membengkak. Eritema dapat dengan cepat muncul dan

menyebar, batasnya tidak jelas. bahkan dalam beberapa kasus selulitis, yang

melibatkan lapisan epidermis terdapat edema, formasi vesikel dan bulla atau

nekrosis yang akibatkan peluruhan epidermis dan erosi superfisial. Menurut teori,

gejala sistemik seperti demam, menggigil, dan lemas, sangat bervariasi dapat

dialami pasien dengan selulitis namun pada pasien ini hal tersebut tidak

dialami.2,7,9,11

Keluhan ini dialami pasien karena awalnya ia mengaku muncul lepuhan

berisi cairan jernih yang kemudian pecah dan tinggalkan bekas kemerahan yang

makin meluas. Faktor predisposisi terjadinya selulitis yaitu trauma, luka, infeksi

8
superficial dan dermatitis eksematous. Penyebab tersering dari selulitis adalah

Staphylococcus Aureus dan Staphylococcus Pyogenes yang mana terdapat

interdigital. Pada pasien ini memiliki predisposisi baik untuk tersedianya port of

entry bagi mikroba yakni S.aureus. Faktor predisposisi tersedianya port of entry

ialah akibat luka akibat lesi awal yang muncul mendahului terbentuknya selulitis

yang kemudian mengakibatkan erosi superfisial. Staphylococcus Aureus dan

Streptococcus adalah bakteri gram positif. Keduanya memiliki mekanisme yang

efektif untuk melewati sistem imun dan kemudian menyebabkan infeksi. Jika

terjadi kerusakan protective barrier pada permukaan kulit makan bakteri dengan

mudah dapat masuk ke dalam tubuh dan resiko untuk terjadinya selulitis

meningkat. 1,2,7

Pada pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada kasus ini, didapatkan

hasil dalam batas normal dan pada pasien ini tidak pemeriksaan histopatologi

untuk kasus ini tidak di lakukan. Kultur jaringan akan memberikan hasil yang

positif hanya sampai 40% kasus. Kultur darah juga dapat di lakukan namun hasil

ditemukan positif kurang dari 25% kasus.3,8 Teknik imunofluoresen langsung telah

dilaporkan dapat mengidentifikasi patogen streptokokus pada 19 dari 27 kasus

erysipelas dan pada 10 dari 15 kasus selulitis, menghasilkan sensitivitas 70%

untuk deteksi Streptokokus in situ. Punch biopsy pada lesi sering membantu

dalam mengesampingkan lesi inflamasi non-invasif selulitis atau diagnosis yang

berdampingan seperti eritema nodosum, vaskulitis atau selulitis eosinofilik. Pada

penelitian Kultur Darah Sebagian besar dilakukan pada pasien imunokompeten

dengan selulitis non-nekrosis atau erisipelas yang tidak rumit menunjukkan kultur

9
darah positif, namun tidak harus menjadi bagian dari evaluasi rutin, terutama

karena sering memperlihatkan positif palsu. Faktor lain yang mungkin

menandakan kegunaan dilakukannya kultur darah yaitu apabila Lokasi infeksi

proksimal, durasi gejala kurang dari 2 hari, beberapa faktor komorbiditas, dan

kurangnya pretreatment dengan antibiotik.2

Selulitis didiagnosis banding dengan erisipelas. Erisipelas adalah penyakit

infeksi akut yang biasanya disebabkan oleh infeksi streptococcus, pada erisipelas

peradangan terjadi pada jaringan limfatik pada dermis superfisial dan jaringan

sekitarnya. Sehingga faktor resiko yang utama pada pasien dewasa yakni

terdapatnya limfedema (termasuk limfedema kongenital), stasis vena, intertigo

web, dan obesitas. Walaupun erisipelas juga memiliki gejala khas seperti selulitis

pada umumnya (nyeri tekan, eritema, dan edema), namun pada erisipelas lesi

lebih berbatas tegas dan berwarna merah terang (bright red).2

Berdasarkan teori, terapi antibiotik bagi selulitis predominan

staphylococcus dapat diberikan semisynthetic peniciillinas-resistant penicillins

(nafcillin 2 gr/4 jam/IV) dan golongan sefalosporin (cefazolin 1 gr/8jam/IV), atau

vancomycin (1gr/12 jam/IV), bila pasien kemungkinan MRSA (methicillin

resistant staphylococcus aureus), atau pasien dengan riwayat reaksi anafilaksis

pada penicillin atau sefalosporin. Pada selulitis dengan predominan infeksi

streptococcus direkomendasikan dicloxacillin atau cephalexin (keduanya 4x500

mg/hari). Makrolid dan clindamycin dapat diberikan pada pasien dengan alergi

penicillin. Pada kasus berat dan terdapat komplikasi akibat komorbid seperti

diabetes, penicillin G high dose harus diberikan (1-2jutaIU/4-6 jam/IV), tapi saat

10
ini jarang diberikan kecuali terdapat hasil pemeriksaan bukti infeksi tunggal

streptococcus.2 Terapi tambahan yang dapat dilakukan yaitu pasien diistirahatkan

ditempat tidur dengan tungkai yang terkena di elevasi, selanjutnya dapat di

kompres dengan larutan salin yang steril.2,3,8

Pada pasien diberikan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga

yakni Ceftriaxon. Ceftriaxone adalah cephalosporin generasi III yang kurang

sensitif terhadap bakteri gram positif tetapi lebih sensitif terhadap bakteri gram

negatif. Waktu paruhnya mencapai 8 jam. Dosis lazimnya ialah 1-2 gr/hari per IM

atau IV. Pada pasien diberikan ceftriaxone 1gr/12jam/IV. 9,10

Prognosis pada penderita ini quo ad vitam dubia ad bona, quo ad

sanasionam dubia ad malam, quo ad fungsionam dubia ad bonam, quo ad

kosmetikam dubia ad bonam. Menurut kepustakaan prognosis untuk selulitis baik

jika terdeteksi lebih awal dan langsung dimulai pengobatan. Selulitis akut, dengan

atau tanpa pembentukan abses, memiliki kecenderungan menyebar melalui

limfatik dan pembuluh darah dan mungkin merupakan penyakit serius, jika tidak

diobati dari awal. Pada pasien dengan edema kronis, prosesnya bisa menyebar

dengan sangat cepat dan pemulihan mungkin lambat, meski drainase dan

sterilisasi lesi oleh antibiotik.5 Bahaya terbesar adalah apabila kerusakan kulit

melibatkan fasia atau otot, karena necrotizing fasciitis dan myonecrosis dapat

menyebabkan kematian yang cepat. Selain itu, sepsis adalah ancaman.3,8

Ringkasan

11
Telah didapatkan sebuah kasus selulitis, pada seorang laki-laki berusia 28

tahun, dengan keluhan tungkai bawah kanannya kemerahan dan terasa nyeri sejak

1 minggu yang lalu yang diawali dengan timbul lepuhan berisi cairan jernih yang

kemudian pecah dan menjadi luka serta tidak mengering. Keluhan disertai dengan

rasa panas pada tungkai bawah kanan. Pasien juga merasa kakinya terasa tegang.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kakula hiperpigmentasi, eritema, ulkus, erosi,

krusta, edema. Pasien diberikan terapi sistemik yakni antibiotik golongan

sefalosporin generasi III (ceftriaxon 1gr/12 jam/IV), serta terapi topical berupa

kompres NaCl 0,9%.

Prognosis pasien quo ad vitam: dubia ad bonam, ad sanationam: dubia, ad

functionam: dubia ad bonam, ad kosmetikan: dubia ad bonam.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Atzori L, Manunza F, Pau M . New Trends In Cellulitis. EMJ Dermatol,

2013:1;P64-76
2. Lipworth AD, Saavedra AP, Weinberg AN, Johnson RA. Non-Necrotizing

Infections of the Dermis and Subcutaneous Fat: Cellulitis and Erisipelas.

In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff

K .Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York:

Mc.Graw-Hill Inc;2012. P 2160-69


3. Kane KSM, Nambudiri VE, Stratigos AJ. Color atlas & synopsis of

pediatric dermatology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill Inc; 2016. P 462 –

465
4. Alzamora MRP, Duran JCS, Barba MS, Canueto J, Marcos M, Unamuno

P. Clinical and Epidemiological Characteristic Of Adult Patients

Hospitalized for Erisipelas and Cellulitis. Eur J Clin Microbiol Infect Dis.

2012; P1-6
5. Joseph J, Abraham S, Soman A, Mathew LK, Ganga SV, Vujayan V.

Cellulitis: A bacterial Skin Infection, Their Causes, Diagnosis, And

Treatment. World J Pharm Sci. 2014:3(7); P308-26


6. Lawrence HS. Nopper AJ. Superficial Bacterial Skin Infections and

Cellulitis. 2012; P427-35


7. Freeman MK. Evidence-Based Treatment of Cellulitis. Current Literature

And Information For Phamacist.2016:20(8);P1-2


8. Burgdorf WHC, Plewig G, Wolff HH, Landthaler M. Staphylococcal and

Streptococcal Disease. Braun-Falco’s Dermatovenerology. 3rd edition.

Italy: Springer. 2009 P 122-3


9. Djuanda A, Hamsah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi

Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.2016

13
10. Estri SATS, Radiono S. Selulitis Fasialis dengan Trombosis Sinus

Kavernosus . Jakarta. FKUI.2016. P.55


11. Atkin, Leane. Cellulitis of the lower limbs: incidence, diagnosis and

management: 2016; 12 (2): 5256

14

Anda mungkin juga menyukai