Anda di halaman 1dari 25

PENGERTIAN, TUJUAN, HUKUM DAN SYARAT

PERNIKAHAN
MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas Terstruktur Mata Kuliah

Fiqh Munakahat dan Mawarits

Pada semester IV Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI-A)

Dosen Pengampu : Ilyas Hibatullah, A.Q, S.H.I., S.IP., M.Si

Disusun Oleh :

Kelompok : 1

Muhammad Abdul Aziz : 18.1.T1.5148

Eneng Fitria Anwar : 18.1.T1.5139

Nanda. M : 18.1.T1.5155

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)

SYAMSUL ‘ULUM GUNUNGPUYUH SUKABUMI

TAHUN AKADEMIK 2019-2020


KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Pengertian,
Tujuan, Hukum, dan Syarat pernikahan”. Adapun tujuan dalam pembuatan makalah
ini adalahuntuk memenuhu tugas mata kuliah Fiqh Munakahat dan Mawarits .
Solawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada nabi Muhammad
SAW beserta keluarganya, para sahabatnya, dan kita selaku umatya.

Meskipun dalam penyusunan makalah ini penulis banyak menemukan


hambatan dan kesulitan, tetapi karena motivasi dan dorongan dari berbagai pihak
makalah ini dapat terselesaikan. Dengan demikian, lewat lembaran ini penulis
hendak menyampaikan ucapan terimakasih kepada mereka, teriring do’a dan segala
bantuannya, sehingga bernilai ibadah disisi Allah.

Penulis menyadari bahwa pada penulisan makalah ini masih banyak


terdapat kekurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari
semua pihak yang membaca makalah ini yang sifatnya membangun kesempurnaan
makalah ini. Dan harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang membacanya.

Sukabumi, 14 februari 2020

Kelompok : 1

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan dan Kegunaan .......................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Pernikahan .......................................................................... 3


B. Tujuan Pernikahan ............................................................................... 6
C. Hukum Pernikahan ............................................................................... 9
D. Syarat dan Rukun Pernikahan .............................................................. 14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................................... 21
B. Saran ..................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Allah swt. telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan,
ada lelaki dan ada perempuan. Salah satu ciri makhluk hidup adalah
berkembang biak yang bertujuan untuk generasi atau melanjutkan
keturunan. Oleh Allah swt. manusia diberikan karunia berupa pernikahan
untuk memasuki jenjang hidup baru yang bertujuan untuk melanjutkan dan
melestarikan generasinya.
Untuk merealisasikan terjadinya kesatuan dari dua sifat tersebut
menjadi sebuah hubungan yang benar-benar manusiawi, maka Islam telah
datang dengan membawa ajaran pernikahan yang sesuai dengan syariat-
Nya. Islam menjadikan lembaga pernikahan itu pula akan lahir keturunan
secara terhormat, maka adalah satu hal yang wajar pernikahan dikatakan
sebagai suatu peristiwa dan sangat diharapkan oleh mereka yang ingin
menjaga kesucian fitrah.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa terlepas dari
ketergantungan dengan orang lain. Menurut Ibnu Khaldun, manusia itu
(pasti) dilahirkan di tengah-tengah masyaratakat, dan tidak mungkin hidup
kecuali di tengah-tengah mereka pula. Manusia memiliki naluri untuk hidup
bersama dan melestarikan keturunannya. Ini diwujudkan dengan
pernikahan. Pernikahan yang menjadi anjuran Allah swt. dan Rasul-Nya ini
merupakan akad yang sangat kuat atau mitssqan ghalidzan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Syarat-syarat pernikahan akan menimbulkan larangan-larangan
pernikahan seperti larangan pernikahan di antara dua orang yang masih
berhubungan darah, berhubungan sesusuan, berhubungan semenda, atau
hal-hal lain yang dianggap tidak memenuhi syarat. Undang-Undang
Perkawinan tidak hanya mengatur mengenai larangan perkawinan yang
disebabkan karena hubungan tertentu antara calon suami dan istri seperti

1
yang telah disebutkan di atas, tetapi juga mengatur adanya larangan
perkawinan bagi seseorang perempuan yang masih memiliki suami ataupun
sebaliknya

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Apa pengertian pernikahan?
2. Apa tujuan pernikahan?
3. Bagaimana hukum pernikahan?
4. Apa saja syarat dan rukun pernikahan?

C. Tujuan dan Kegunaan


Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang akan
dicapai dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan
1. Mengetahui pengertian pernikahan.
2. Mengetahui tujuan pernikahan.
3. Mengetahui hukum pernikahan.
4. Mengetahui syarat dan rukun pernikahan.
2. Kegunaan
Berdasarkan tujuan yang akan dicapai, maka makalah ini diharapkan
mempunyai kegunaan dalam perndidikan baik secara langsung maupun
tidak langsung.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pernikahan
Pernikahan atau perkawinan menurut istilah hukum Islam sama
dengan kata “nikah” dan kata “zawaj”. Nikah menurut bahasa mempunyai
arti sebenarnya (hakikat) yakni “dham” yang berarti menghimpit,menindih
atau berkumpul. Nikah mempunyai arti kiasan yakni “wathaa” yang berarti
“setubuh” atau “akad” yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.1
Menurut ahli ushul, arti nikah terdapat 3 macam pendapat,

yakni :

1. Menurut ahli ushul golongan hanafi, arti aslinya adalah setubuh dan
menurut arti majazi (metaphoric) adalah akad yang dengannya menjadi
halal hubungan kelamin antara pria dan wanita
2. Menurut hli ushul golongan syafi’i, nikah menurut arti aslinnya
adalah akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria
dan wanita, sedangkan menurut arti majazi adalah setubuh.
3. Menurut abul qasim azzajjad, imam yahya, ibnu hazm, dan sebagian
ahli ushul dari sahabat abu hanifah mengaerikan nikah, bersyarikat artinya
antara akad dan setubuh.2
Para ahli hukum memberi beragam pengertian atau definisi
perkawinan. Perbedaan itu tidaklah menunjukan pertentangan yang tajam,
namun hanya perbrdaan sudut pandang. Pendapat ini setidak-tidaknya dapat
ditelaah dari beberapa perumusan mengenai pengertian atau definisi
perkawinan antara lain :
1. Asaf A.A fyzee : mariegge in mohammadan law : is a contract for
the legalization of intercourse and the procreation of children.

1
Abd.Somad, Hukum Islam, 2010 (jakarta : kencana ) hal. 272
2
Ibid.

3
2. Ahmad azhar bashir merumuskan : nikah adalah melakukan suaru
akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan
wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak,
dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan
suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan
ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi Allah.
3
3. Abdullah sidik : perkawinan pertalian yang sah antara seorang laki-
lakidan seorang perempuan yang hidup bersama dan yang tujuannya
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, serta mencegah
perjinahan dan menjaga ketentraman jiwa atau batin.
4. Zahry hamid : yang dinamakan nikah menurut syara’ ialah akad (ijab
qabul) antara wali dan mempelai laki-laki dengan ucapan tertentu dan
memenuhi rukun dan syaratnya.
Diantara pengertian-pengertian tersebut tidak terdapat pertentangan
satu sama lain, karena intinya secara sederhana dapat ditrik kesimpulan
hakikat niah adalah perjanjian antara calon suami istri untuk membolehkan
bergaul sebagai suami istri, guna membentuk suatu keluarga
4
Al-quran menggolongkan perkawinan sebagai perjanjian yang kuat
sebagai mana firman Allah dalam surat An-Nisa (4) : 1)

ِ ‫اس اتَّقُوا َربَّ ُك ُم الَّذِي َخلَقَ ُك ْم ِم ْْن َنَ ْْفٍس ََو‬


‫اِحَدٍَة ََو َخ َلَقَ ِم ْن َها ََز َْو َج َها‬ ُ َّ‫َيا أَيُّ َها الن‬
َّ ‫وَن ِب ِِه ََو ْاَأْل َ ْر َِحا ََم ۚ ِإ ََّن‬
َ‫ّللا‬ َ َ ‫ّللا الَّذِي ت‬
َ ُ‫سا َءل‬ َ َّ ‫سا اء ۚ ََواتَّقُوا‬ َ ِ‫يرا ََوَن‬ ‫ث ِم ْن ُه َما ِر َج ااًل َكثِ ا‬
َّ َ‫ََوب‬
‫علَ ْي ُك ْم َرقِيباا‬ َ ‫ك‬
َ ‫َاَن‬

“Hai sekalian manusia! Bertakwalah kamu kepada tuhanmu yang telah


menciptakan kamu dari diri yang satu (adam), dan daripadanya allah
menciptakan pasangan istrinya (hawa) dan kemudian dari keduannya adam
dan hawa allah memperkembangbiakan laki-laki (dalam jumlah) yang

3
Abd.Somad, Hukum Islam, (Jakarta : Kencana 2010) hal. 274
4
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 2004 (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada) hal. 61

4
banyak dan perempuan (juga dalam jumlah yang banyak). Dan bertakwalah
kamu kepada allah yang dengan (mempergunakan) namanya kamu saling
meminta satu sama lain, sesungguhnya allahn selalu menjaga dan
mengawasi kamu”. (Q.S An-Nisa (4) : 1)

Dan beberapa hadits Rasulullah SAW, di antaranya: hadits yang


diriwayatkan oleh Imam Bukhari (4779) dan Muslim (1400) Dari Ibnu
Mas’ud r.a ia berkata, “ketika kami masih bujang, dan belum memiliki apa-
apa, Rasulullah SAW bersabda kepada kami:

َ َ‫ض ِل ْلب‬
‫ص ِر‬ ُّ ‫غ‬َ َ ‫ فَ ِإَنَِّهُ أ‬، ْ‫ع ِم ْن ُك ُم ا ْلبَا َءٍةَ فَ ْليَت َ َز ََّوج‬
َ ‫طا‬َ َ ‫ست‬
ْ ‫ َم ِْن ا‬،‫ب‬ ِ ‫شبَا‬
َّ ‫يَا َم ْعش ََر ال‬
‫ فَ ِإَنَِّهُ لَِهُ َِو َجاء‬،‫ص ْو َِم‬ َّ ‫ست َ ِط ْع فَعَلَ ْي ِِه ِبال‬ َ ْ‫ََوأَِح‬
ْ َ‫ ََو َم ْْن لَ ْم ي‬،ِ‫ص ُْن ِل ْلْفَ ْرج‬

“Hai segenap pemuda, barang siapa di antara kalian sanggup untuk


menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya menikah itu, dapat lebih
menjaga pandangan dan memelihara kemaluan. Barang siapa yang belum
mampu menikah, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat menjadi
obat baginya (dalam mengendalikan nafsunya).”5

Menurut ketentuan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun


1974 tentang Perkawinan, pengertian pernikahan ialah: “ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.6

Menurut Sajuti Talib, pernikahan adalah suatu perjanjian yang suci


dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni,
kasih mengasihi, tentram dan bahagia.7

5
Mustafa Dieb Al-Bigha, Fiqih Sunnah Imam Syafi’i, (Jakarta: Fathan Media Prima), hal. 193
6
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal, 2
7
Ibid.

5
Pernikahan yang dilakukan antara pasangan seorang pria dengan
seorang wanita, pada hakekatnya merupakan naluri atau fitrah manusia
sebagai makhluk sosial guna melanjutkan keturunannya. Oleh karenanya
dilihat dari aspek fitrah manusia tersebut, pengaturan pernikahan tidak
hanya didasarkan pada norma hukum yang dibuat oleh manusia saja,
melainkan juga bersumber dari hukum Tuhan yang tertuang dalam hukum
agama.8

Selanjutnya sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Kompilasi Hukum


Islam di Indonesia-Inpres No. 1 Tahun 1991 mengartikan perkawinan
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliidhan
untuk menaati perintah Allah dan melaksanakan merupakan ibadah.9

B. Tujuan Pernikahan
Landasan pernikahan dengan nilai-nilai roh keislaman yakni
sakinah, mawadah, dan rahmah yang dirumuskan dalam Firman Allah
dalam QS. Ar-Rum: 21

‫س ُكنُوا ِإلَ ْي َها ََو َجعَ َل‬ ْ َ ‫س ُك ْم أ َ َْز ََوا اجا ِلت‬
ِ ُ‫ََو ِم ْْن آيَا ِت ِِه أ َ َْن َخلََقَ لَ ُك ْم ِم ْْن أ َ َْنْف‬
َ ‫بَ ْينَ ُك ْم َم َو َّدٍةا ََو َرِحْ َمةا ۚ ِإ ََّن فِي َٰذَ ِلكَ ََليَات ِلقَ ْوَم َيتَْفَك َُّر‬
‫َوَن‬

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, ialah dia menciptakan untukmu


istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu kasih dan sayang.
Sesungguhnya yang demikian itu berarti benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berpikir”.

Keluarga yang dituju dengan adanya pernikahan adalah keluarga


yang:

Sakinah, kata sakinah sederhana dapat diterjemahkan sebagai


kedamaian. Berdasarkan ayat Al-Qur’an QS. Al-Baqarah/2:248, sakinah

8
Ibid, 4
9
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo, 1995), hal. 114

6
atau kedamaian itu didatangkan Allah ke dalam hati para Nabi dan orang
yang beriman agar tabah dan tidak gentar menghadapi rintangan apapun.
Jadi berdasarkan arti kata sakinah pada ayat tersebut, maka sakinah dalam
keluarga dapat dipahami sebagai keadaan yang tetap tenang meskipun
menghadapi banyak rintangan dan ujian kehidupan.

Mawadah, Quraish Shihab dalam pengantin Al-Qur’an


menjelaskan bahwa kata ini secara sederhana, dari segi bahasa, dapat
diterjemahkan sebagai “cinta”. Istilah ini bermakna bahwa orang yang
memiliki cinta di hatinya akan lapang dadanya, penuh harapan, dan jiwanya
akan selalu berusaha menjauhkan diri dari keinginan buruk atau jahat. Ia
akan senantiasa menjaga cinta baik dikala senang maupun susah atau sedih.

Rahmah, secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai “kasih


sayang”. Istilah ini bermakna keadaan jiwa yang dipenuhi dengan kasih
sayang. Rasa kasih sayang ini menyebabkan seseorang akan berusaha
memberikan kebaikan, kekuatan, dan kebahagiaan bagi orang lain dengan
cara-cara yang lembut dan penuh kesabaran.10

Landasan idiil ini terkait dengan secara langsung dengan nilai yang
diatur dalam surat Al-Baqarah: 187 dan An-Nisa: 19, dan hadits Nabi:

QS. Al-Baqarah (2) ayat 187: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan
puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu,
dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.”

QS. An-Nisa ayat 19: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah
kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji
yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila

10
Adib Machrus, Fondasi Keluarga Sakinah, (Jakarta: Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah
Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, 2018), hal. 10

7
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak.”

Hadits Nabi Muhammad SAW: “Hendaklah kamu saling nasihat menasihati


dengan baik dalam hal kehidupan berumah tangga (kaum wanita) dengan
baik.”

Menurut Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam, tujuan


pernikahan, yaitu:11

1. Menjaga kemaluan suami-istri dan membatasi pandangan masing-


masing di antara keduanya, dengan perjanjian ini hanya kepada
pasangannya, tidak mengarahkan pandangan kepada laki-laki atau
wanita lain.
2. Memperbanyak umat lewat keturunan, untuk memperbanyak hamba-
hamba Allah dan orang-orang yang mengikuti Nabi-Nya, sehingga
terealisasi kebangsaan di antara mereka dan saling tolong-menolong
dalam berbagai aktivitas kehidupan.
3. Menjaga nasab, yang dengannya terwujud perkenalan antar sesama, dan
saling sayang menyayangi. Sekiranya tidak ada akad nikah dan upaya
menjaga kemaluan dengan pernikahan, maka banyak nasab yang tidak
teridentifikasi dan kehidupan ini menjadi anarkis, tidak ada waris, tidak
ada hak, tidak ada pangkal dan cabang.
4. Dengan pernikahan dapat ditumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang di
antara suami-istri. Setiap manusia membutuhkan teman pendamping
dalam hidupnya, berbagi rasa dengannya dalam suka maupun duka,
dalam kelapangan dan kesusahan.
5. Dalam pernikahan terdapat rahasia Ilahi yang sangat besar, yang
terwujud secara sempurna ketika akad pernikahan dilaksanakan. Jika

11
Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam, Taisiru al-allam Syarh Umdatu al-Ahkam Edisi
Indonesia: Syarah Hadits Pilihan Bukhari-Muslim Pent: Kathur Suhardi, (Jakarta: Darus Sunah,
2008), Hal. 739

8
Allah menetapkan kebersamaan, maka di antara suami istri akan muncul
makna-makna cinta dan kasih sayang, yang tidak akan dirasakan di
antara kedua teman kecuali setelah bergaul sekian lama.
6. Berbagi urusan rumah tangga dan keluarga dapat tertangani dan terurus
karena bersatunya suami-istri, yang sekaligus menjadi benih tegaknya
masyarakat. Seorang suami bekerja dan mencari penghidupan lalu
memberi nafkah dan memenuhi kebutuhan. Sementara istri menata
rumah, mengurus kebutuhan hidup, mendidik anak, dan menangani
urusan mereka.

Sebagai perbandingan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2


disebutkan pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Mengomentari substansi KHI
ini Yahya Harahap menulis bahwa KHI mempertegas landasan filosofis
perkawinan Islam, tanpa mengurangi landasan filosofi perkawinan tahun
1974. Landasan filosofi itu dipertegas dan diperluas dalam Pasal 2 KHI di
atas Undang-Undang berisi inti-inti.

- Pernikahan semata-mata “menaati perintah Allah”


- Melaksanakan pernikahan adalah “ibadah”
- Ikatan pernikahan bersifat “miltsaqon gholidlzan” (an-Nisa:21)12

C. Hukum Pernikahan
Nikah disyari’atkan oleh agama sejalan dengan hikmah manusia
diciptakan oleh Allah yaitu memakmurkan dunia dengan jalan
terpeliharanya perkembangbiakan umat manusia. Para ulama sependapat
bahwa nikah itu disyari’atkan oleh agama, perselisihan mereka di antaranya
dalam hal hukum menikah. Dalil yang menunjukan persyariatan nikah dan
hukumnya antara lain adalah:

12
Abd. Shomad, Hukum Islam, (jakarta : kencana, 2010) hal. 275

9
‫ع ۖ فَ ِإ َْن ِخ ْْفت ُ ْم أ َ ًَّل‬
َ ‫ث ََو ُربَا‬ َ ‫اء َمثْنَ َٰى ََوث ُ ََل‬ ِ ‫س‬ َ ِ‫اب َل ُك ْم ِم َْن الن‬ َ ‫ط‬ َ ‫فَا َْن ِك ُحوا َما‬
‫اِح ََدٍةا أ َ َْو َما َملَكَتْ أ َ ْي َماَنُ ُك ْم ۚ َٰذَ ِلكَ أ َ ْدَنَ َٰى أ َ ًَّل تَعُولُوا‬
ِ ‫ت َ ْع َِدلُوا فَ َو‬

… maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki… (QS. An-Nisa: 3)

Dalam masalah hukum menikah terdapat perselisihan pendapat


dalam ahli hukum Islam yang terbagi dalam tiga kelompok, yakni:

Hukum menikah adalah wajib, karena perintah menikah di dalam


Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 3 dan perintah menikahkan dalam/pada kedua
hadits riwayat Bukhari-Muslim sebagimana telah disebut, kesemuanya
menunjukan kepada perintah wajib. Hal ini berdasarkan pada kaidah bahwa
setiap sighat “amar” itu menunjukan wajib secara mutlak. Pendapat ini
dipelopori oleh Daud Az Zhahiry, yakni satu kali kawinuntuk seumur hidup
walaupun yang bersangkutan impoten; Ibnu Hazm, hukum wajib hanya
ditujukan kepada mereka yang tidak impoten; dan juga dipelopori oleh
Imam Ahmad.

Hukum menikah atau menikahkan adalah sunnah, dengan berpegang


pada surat an-Nisa ayat 3 yang menunjukan bahwa jalan halal untuk
mendekati wanita itu ada dua cara; dengan jalan menikah atau dengan jalan
Tasarri yakni memiliki jariyah (budak perempuan). Perbedaan antara
keduanya adalah menikah memberikan status kepada wanita untuk
memperoleh dari suatu perawatan yang wajar, suami berkewajiban memberi
nafkah istrinya sesuai dengan kedudukannya. Tasarri mewajibkan si jariyah
(budak perempuan) itu berkhidmat kepada tuannya secara primair, karena
seluruh diri pribadinya dimiliki oleh tuannya. Si tuan dapat menyetubuhi
karena miliknya, asal saja tidak dikawinkan kepadan orang lain menjadi istri
orang lain atas izin tuannya.

10
Hukum menikah adalah mubah, dengan alasan bahwa firman Allah
dalam An-Nisa ayat 3 adalah Allah menyerahkan kepada kita untuk
memperoleh wanita dengan jalan menikah atau dengan tasarri, yang
menunjukan bahwa kedua jalan itu sama derajatnya. Menurut ijma’ tasarri
hukumnya mubah, karena menikah juga hukumnya mubah (tidak sunah)
karena tidak ada pilihan antara sunah dan mubah. Pendapat ini dipelopori
oleh Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa asal hukum nikah adalah jaiz
atau mubah, atau dengan perkataan lain seseorang boleh nikah boleh tidak
atau tidak dihukum orang yang nikah dan tidak pula dihukum orang yang
tidak nikah. Bertolak pangkal dari jaiz itu dapat berkembang menjurus ke
tingkat yang tinggi yakni wajib melalui sunah dan dapat juga menjurus ke
tingkat yang rendah yakni haram melalui makruh. Dalam sistem hukum
Syafiyah tidak menekankan hanya kepada kaidah hukuman sich-nya saja
tetapi juga pada segi agamanya, pahala, dosa, dan segi susila moralnya,
sesuai dengan jiwa syar’at Islam.13

Hukum menikah dari kondisi perseorangan dengan berlandaskan


pada kaidah ushul fiqh yang berbunyi:

“Hukum itu beredar atau berganti-ganti menurut illah (t)-nya, ada illah (t)
menjadikan adanya hukum dan tidak ada illah (t) menjadikan tidak adanya
hukum.”

Kaidah ini sesudah diterapkan dalam hukum melaksanakan


pernikahan ini, menghasilkan perubahan hukum diatas untuk perbuatan
yang sama, yaitu melaksanakan (suatu) perbuatan tetapi berbeda illah-nya
mengakibatkan berbeda pula hukumnya. Hukum menikah ditinjau dari
kondisi perseorangan adalah sebagai berikut:

1. Wajib, terhadap orang yang selalu berkobar-kobar nafsunya terhadap


wanita dan tidak dapat mengendalikannya sedang dia mampu untuk

13
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 284

11
menikah, maka hukumnya adalah fardhu, karena keadaannya telah
meyakinkan bahwa tanpa menikah dia pasti akan jatuh ke perzinaan.
Jika sekedar besar kemungkinannya atau dikhawatirkan akan jatuh ke
perzinaan, maka menurut golongan Hanafi hukumnya wajib, sedang
menurut mazhab lain, kedua macam kondisi tersebut hukumnya adalah
wajib dan tidak ada perbedaan antara fardlu dan wajib kecuali dalam
bab haji, sebagaimana keterangan hadits Nabi riwayat jamaah dari Ibnu
Mas’ud, pernah nabi bersabda: “Hai, golongan pemuda! Bila di antara
kamu ada yang mampu nikah hendaklah ia nikah, karena nantinya
matanya akan lebih terjaga dan kemaluannya akan lebih terpelihara. Dan
bilamana ia belum mampu nikah, hendaklah ia berpuas, karena puasa
itu ibarat pengebiri.” Karena hukumnya telah wajib, maka jika
seseorang yang berada dalam kondisi demikian melaksanakan
pernikahan, maka akan mendapatkan pahala, jika tidak nikah maka akan
mendapat dosa, baik lak-laki maupun wanita.14
2. Sunah, terhadap seseorang yang keadaan hidupnya sederhana dan
mempunyai kesanggupan untuk menikah sedang dia tidak khawatir
jatuh pada perzinaan. Jika ia mempunyai keinginan untuk menikah
dengan niat memelihara diri atau mendapat keturunan, maka hukum
menikah baginya sunah. Tetapi kalau dia tidak berkeinginan untuk
menikah sedang ia ahli ibadah, maka lebih utama untuk tidak menikah.
Jika ia bukan ahli ibadah, maka lebih utama baginya untuk menikah.
Menurut Imam Ahmad dari suatu riwayat sunah menikah bagi yang
tidak berkeinginan untuk menikah walaupun tidak khawatir jatuh ke
dalam perzinaan yang oleh karenanya menikah lebih utama dari ibadah-
ibadah sunah. Sedang menurut Ibnu Hazm , seorang yang berada dalam
kondisi sebagaimana dijelaskan diatas, maka hukumnya adalah wajib.
Oleh karena hukumnya sunah, maka jika seorang yang berada dalam
kondisi demikian melaksanakan pernikahan akan mendapat pahala. Jika

14
Abd. Shomad, Hukum Islam, (jakarta : kencana, 2010) hal. 285

12
tidak menikah atau belum menikah, maka tidak berdosa dan tidak
mendapat pahala.
3. Mubah, bagi seorang (laki-laki) yang tidak terdesak oleh alasan-alasan
yang mewajibkan segera nikah atau karena alasan-alasan yang
mengharapkan untuk menikah.
4. Makruh, bagi orang yang kalau ia menikah, ia khawatir bakal istrinya
akan teraniaya, akan tetapi kalau tidak menikah ia khawatir akan jatuh
pada perzinaan, karena manakala bertentangan antara hak Allah dan hak
manusia, maka hak manusia diutamakan dan orang ini wajib mengekang
nafsunya supaya tidak berzina. Makruh nikah bagi seseorang yang
lemah syahwatnya dan tidak mampu memberi belanja istrinya,
walaupun tidak merugikan istri, karena ia kaya dan tidak mempunyai
keinginan syahwat yang kuat. Makruh bagi seseorang yang dipandang
dari sudut pertumbuhan jasmaninya telah wajar unuk menikah walaupun
belum sangat mendesak, tetapi belum ada biaya untuk hidup sehingga
kalau ia menikah hanya akan membawa kesengsaraan hidup bagi istri
dan anak-anaknya. Jika seorang dalam kondisi demikian nikah, maka
tidak berdosa dan tidak mendapatkan pahala. Jika tidak menikah karena
pertimbangan diatas, maka akan mendapat pahala.
5. Haram, bagi orang yang kalau dia menikah dia yakin bahwa perempuan
yang bakal istrinya akan menderita dan teraniaya karena tidak
mempunyai mata pencaharia. Haram bagi seseorang yang tidak mampu
memenuhi nafkah batin dan lahirnya kepada istrinya serta nafsunya pun
tidak mendesak. Dalam kaitannya dengan hal ini Qurthuby berkata:
“Bila seorang laki-laki sadar tidak mampu membelanjai istrinya atau
membayar maharnya atau memenuhi hak-hak istrinya, maka tidaklah
boleh ia menikah, sebelum ia dengan terus terang menjelaskan
keadaanya kepadanya, atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi
hak-hak istrinya. Begitu pula kalau ia karena suatu hal menjadi, tak
mampu menggauli istrinya, maka wajiblah ia menerangkan dengan terus
terang agar perempuannya tidak tertipu olehnya. Haram hukumnya

13
menikah apabila seorang laki-laki hendak menikah dengan seorang
wanita dengan maksud untuk menganiaya atau memperolok-olok (Q.
IV:24-25, Q. II:23) atau berakibat secara langsung bagi penganiayaan
terhadap wanita yang bersangkutan menurut perhitungan yang wajar
dan umum. Jika seorang berada dalam situasi yang demikian, maka
berdosa baginya menikah walaupun pernikahannya sah jika telah
memenuhi ketentuan formil yang telah ditentukan. Namun jika dia tidak
kawin dengan maksud karena tidak diizinkan oleh Al-Qur’an, maka
akan mendapat pahala.15

D. Syarat dan Rukun Nikah


Setiap perbuatan hukum-hukum negara dan hukum Islam harus
memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat. Jika kedua unsur ini tidak
terpenuhi maka pernikahan itu dianggap tidak sah menurut hukum.16
Secara rinci, rukun nikah yaitu:
a. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang
secara syar’i untuk menikah.
b. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang
menggantikan posisi wali.
c. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang
mewakilinya.
d. Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu
menikah atau orang yang melakukan janji nikah dengan
pengantin laki-laki.
e. Dua orang saksi, adalah orang yang menyaksikan sah atau
tidaknya suatu pernikahan.
f. Membayar mahar atau maskawin, kedudukannya menjadi suatu
kewajiban dalam pernikahan dan sebagai suatu syarat sahnya

15
Ibid. 287
16
Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta: Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997), hal. 16

14
pernikahan. Bila tidak adanya mahar maka suatu pernikahan
menjadi tidak sah.17 Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
surat an-Nisa ayat 4:
ُ‫ص َُدقَاتِ ِه َّْن َنِحْ لَةا ۚ فَ ِإ َْن ِط ْب َْن لَ ُك ْم ع َْْن ش َْيء ِم ْنِه‬ َ ِ‫ََوآتُوا الن‬
َ ‫سا َء‬
‫سا فَ ُكلُوهُ َهنِيئ اا َم ِريئ اا‬
‫َنَ ْْف ا‬
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin
itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian
itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Syarat pernikahan ialah syarat yang berkaitan dengan rukun-rukun


pernikahan, yaitu syarat-syarat bagi kelima rukun pernikahan tersebut
diatas.

1. Syarat calon suami:


a. Bukan mahram dari calon istri;
b. Tidak terpaksa/atas kemauan sendiri;
c. Orangnya tertentu/jelas orangnya;
d. Tidak sedang menjalankan ihram haji.

Dalam pasal 6 UU 1 tahun 1974 ditentukan juga bahwa calon suami


minimum berumur 19 tahun.

2. Syarat calon istri:


a. Tidak ada halangan hukum yakni:
- Tidak bersuami;
- Bukan mahram;
- Tidak sedang dalam masa idah.

17
Mardani, Hukum Pernikahan Islam Di Dunia Islam Modern, cet ke-1(Yogykarta : Graha Ilmu,
2011), hlm. 10

15
b. Merdeka atas kemauan sendiri, dalam Pasal 16 KHI disebutkan
bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan
tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga
berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. Bila
pernikahan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka
pernikahan itu tidak dapat dilangsungkan (Pasal 17 (2) KHI)
c. Jelas orangnya.
d. Tidak sedang berihram haji.
e. Pasal 6 /74 + 15 KHI
- Pasal 6 Tahun 1974:18
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin
kedua orang tua.
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka
izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus
keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang
disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang
atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya,

18
Tim Redaksi Fokusmedia, Undang-Undang Perkawinan, (Bandung: Fokusmedia, 2006), hal. 3

16
maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang
yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang
tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar
orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini
berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain.
- Pasal 15 KHI

Dalam Kompilasi Hukum Islam telah ada aturan secara khusus


masalah batas umur untuk melakukan perkawinan bagi orang
Islam yaitu pada “Pasal 15 ayat (1) yang menegaskan bahwa
untuk kemaslahatan kelurga dan rumah tangga. Perkawinan
hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang telah
ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yakni calon suami sekurang-kurangnya
berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur
16 tahun”.19

3. Syarat wali
a. Laki-laki;
b. Baligh;
c. Waras akalnya;
d. Tidak dipaksa;
e. Adil;
f. Tidak sedang ihram haji.
4. Syarat saksi-saksi
a. Laki-laki;

19
Disalin dari “Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,” Direktorat Pembinaan Peradilan Agama
Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001.

17
Golongan syafi’I dan Hambali mensyari’atkan skasi haruslah laki-
laki. Akad nikah dengan saksi seorang laki-laki dan dua orang
perempuan adalah tidak sah. Sebagaimana yang Rasulullah ajarkan
bahwa tidka boleh seorang perempuan menjadi saksi dalam urusan
pidana, pernikahan dan talak.
b. Islam;
Menurut Ahmad, Syafi’I dan Muhammad bin Al-Hasan, pernikahan
tidak sah jika saksi-saksinya bukan orang, sedang kesaksian orang
non muslim terhadap orang islam tidak dapat di terima.
c. Baligh;
Abu Hanifah dan Syafi’I mensyaratkan orang yang menjadi saksi
harus orang-orang yang baligh atau merdeka, tetapi Ahmad tidak
mengharuskn syarat ini, dia berpendapat akad nikah yang disaksikan
oleh dua orang budak, hukumnya sah sebagaimana sahnya kesaksian
mereka dalam masalah-masalah lain, dank arena dalam Al-Qur’an
maupun hadits tidak ada keterangan yang menolak seorang budak
untuk menjadi saksi selama ia jujur dan amanah.
d. Bersifat adil;
Menurut golongan Imam Syafi’I berpendapat bahwa untuk menjadi
seorang saksi harus adil sebagaimana disebutkan dalam hadits:

‫عَدْل‬ ْ ‫ ََوشَا ِهَد‬،‫ًلَ َنِكَا َح إًِلَّ ِب َو ِلي‬


َ ‫َي‬
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa adanya izin wali dan dua orang
saksi yang adil”
Hadits ini diriwayatkan Imam Syafi’i dalam kitab musnadnya, dan
Imam Ahmad berkata, “hadits ini adalah hadits paling shahih
dalam masalah ini.” (Kitab Mughni Al-Muhtaj: 3/155).
e. Dapat mendengar dan melihat;
f. Bebas, tidak dipaksa;
g. Tidak sedang mengerjakan ihram;

18
h. Memahami yang dipergunakan untuk ijab kabul.20
5. Syarat-syarat ijab kabul
a. Dilakukan dengan bahasa yang dimengerti kedua belah pihak
(pelaku akad dan penerima akad dan saksi);
b. Singkat hendaknya menggunakan ucapan yang menunjukan waktu
lampau atau salah seorang menggunakan kalimat yang menunjukan
waktu lampau sedang lainnya dengan kalimat yang menunjukan
waktu yang akan datang.

Adapun wali tergolong dalam dua bagian, yakni:

a. Nasab (Pasal 21 KHI)


Menurut As Syafii urutan wali nikah ialah:
1. Ayah
2. Kakek
3. Saudara laki-laki sekandung
4. Saudara laki-laki seayah
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
7. Paman sekandung (Saudara laki-laki dari ayah yang seibu seayah)
8. Paman seayah
9. Anak laki-laki dari paman sekandung
10. Anak laki-laki dari paman seayah
Semua itu dilakukan secara berurutan , apabila ashabah
(kerabat) tersebut tidak ada sama sekali. Maka yang berhak adalah
orang laki-laki yang memerdekakan, kemudian ashabah-nya,
kemudian jika tidak ada, hakim atau ulil amri.21 Nabi Muhammad
SAW Bersabda:

‫السلطاَن َولي مْن ًل َولي لِه‬

20
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hal. 543
21
Mustafa Dieb Al-Bigha, Fiqih Sunnah Imam Syafi’i, (Jakarta: Fathan Media Prima), hal. 200

19
“Penguasa adalah wali bagi seseorang yang tidak memiliki wali.”
(HR. Abu Dawud: 2083, Tirmidzi, 1102, dan lain-lain dari Aisyah)

b. Hakim
Menurut Pasal 23 KHI
- Wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak
ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
- Dalam hal ini wali adlal atau enggan, maka waki hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama
tentang wali tersebut.22

BAB III

22
Abd. Shomad, Hukum Islam, (Jakarta : kencana, 2010) hal. 279

20
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pernikahan atau perkawinan menurut istilah hukum islam sama
dengan kata “nikah” dan kata “zawaj”. Nikah menurut bahasa mempunyai
arti sebenarnya (hakikat) yakni “dham” yang berarti menghimpit,menindih
atau berkumpul. Nikah mempunyai arti kiasan yakni “wathaa” yang berarti
“setubuh” atau “akad” yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.
Landasan pernikahan dengan nilai-nilai roh keislaman yakni
sakinah, mawadah, dan rahmah yang dirumuskan dalam Firman Allah
dalam QS. Ar-Rum ayat 21. Keluarga yang dituju dengan adanya
pernikahan adalah keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah.
Nikah disyari’atkan oleh agama sejalan dengan hikmah manusia
diciptakan oleh Allah yaitu memakmurkan dunia dengan jalan
terpeliharanya perkembangbiakan umat manusia. Hukum menikah ditinjau
dari kondisi perseorangan adalah ada yang wajib, sunah, mubah, makruh
dan haram.
Setiap perbuatan hukum-hukum negara dan hukum Islam harus
memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat. Jika kedua unsur ini tidak
terpenuhi maka pernikahan itu dianggap tidak sah menurut hukum.
B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari
kata sempurna, namunkami berharap para pembaca sekalian bisa
mengambil manfaat dari makalah ini. Dan untukmenyempurnakan makalah
ini kami sangat mengharapkan koreksi yang bersifat membangun.

DAFTAR PUSTAKA

21
Summa, Muhammad, Amin. 2004. Hukum Keluarga Islam di Dunia
Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Shomad, Abd. 2010. Hukum Islam. Jakarta: kencana
Al-Bigha, Mustafa, Dieb. Fiqih Sunnah Imam Syafi’i, Jakarta: Fathan
Media Prima
Ramulyo, Moh, Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi
Aksara
Abdurrahman. 1995. Kompilasi Hukum Di Indonesia, Jakarta:
Akademika Presindo
Machrus, Adib. 2018. Fondasi Keluarga Sakinah, Jakarta: Direktorat
Bina KUA & Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI
Bassam, Ali, Abdullah, bin Abdurrahman 2008. Taisiru al-allam Syarh
Umdatu al-Ahkam Edisi Indonesia: Syarah Hadits Pilihan
Bukhari-Muslim Pent: Kathur Suhardi, Jakarta: Darus Sunah
Departemen Agama RI. 1997. Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam
Mardani. 2011. Hukum Pernikahan Islam Di Dunia Islam Modern,
Yogykarta: Graha Ilmu
Tim Redaksi Fokusmedia. 2006. Undang-Undang Perkawinan. Bandung:
Fokusmedia
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. 2001. Direktorat Pembinaan
Peradilan Agama Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam
Departemen Agama
Sabiq, Sayyid. 1983. Fiqih Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr

22

Anda mungkin juga menyukai