PERNIKAHAN
MAKALAH
Disusun Oleh :
Kelompok : 1
Nanda. M : 18.1.T1.5155
Kelompok : 1
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan........................................................................................... 21
B. Saran ..................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
yang telah disebutkan di atas, tetapi juga mengatur adanya larangan
perkawinan bagi seseorang perempuan yang masih memiliki suami ataupun
sebaliknya
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Apa pengertian pernikahan?
2. Apa tujuan pernikahan?
3. Bagaimana hukum pernikahan?
4. Apa saja syarat dan rukun pernikahan?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan
Pernikahan atau perkawinan menurut istilah hukum Islam sama
dengan kata “nikah” dan kata “zawaj”. Nikah menurut bahasa mempunyai
arti sebenarnya (hakikat) yakni “dham” yang berarti menghimpit,menindih
atau berkumpul. Nikah mempunyai arti kiasan yakni “wathaa” yang berarti
“setubuh” atau “akad” yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.1
Menurut ahli ushul, arti nikah terdapat 3 macam pendapat,
yakni :
1. Menurut ahli ushul golongan hanafi, arti aslinya adalah setubuh dan
menurut arti majazi (metaphoric) adalah akad yang dengannya menjadi
halal hubungan kelamin antara pria dan wanita
2. Menurut hli ushul golongan syafi’i, nikah menurut arti aslinnya
adalah akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria
dan wanita, sedangkan menurut arti majazi adalah setubuh.
3. Menurut abul qasim azzajjad, imam yahya, ibnu hazm, dan sebagian
ahli ushul dari sahabat abu hanifah mengaerikan nikah, bersyarikat artinya
antara akad dan setubuh.2
Para ahli hukum memberi beragam pengertian atau definisi
perkawinan. Perbedaan itu tidaklah menunjukan pertentangan yang tajam,
namun hanya perbrdaan sudut pandang. Pendapat ini setidak-tidaknya dapat
ditelaah dari beberapa perumusan mengenai pengertian atau definisi
perkawinan antara lain :
1. Asaf A.A fyzee : mariegge in mohammadan law : is a contract for
the legalization of intercourse and the procreation of children.
1
Abd.Somad, Hukum Islam, 2010 (jakarta : kencana ) hal. 272
2
Ibid.
3
2. Ahmad azhar bashir merumuskan : nikah adalah melakukan suaru
akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan
wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak,
dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan
suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan
ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi Allah.
3
3. Abdullah sidik : perkawinan pertalian yang sah antara seorang laki-
lakidan seorang perempuan yang hidup bersama dan yang tujuannya
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, serta mencegah
perjinahan dan menjaga ketentraman jiwa atau batin.
4. Zahry hamid : yang dinamakan nikah menurut syara’ ialah akad (ijab
qabul) antara wali dan mempelai laki-laki dengan ucapan tertentu dan
memenuhi rukun dan syaratnya.
Diantara pengertian-pengertian tersebut tidak terdapat pertentangan
satu sama lain, karena intinya secara sederhana dapat ditrik kesimpulan
hakikat niah adalah perjanjian antara calon suami istri untuk membolehkan
bergaul sebagai suami istri, guna membentuk suatu keluarga
4
Al-quran menggolongkan perkawinan sebagai perjanjian yang kuat
sebagai mana firman Allah dalam surat An-Nisa (4) : 1)
3
Abd.Somad, Hukum Islam, (Jakarta : Kencana 2010) hal. 274
4
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 2004 (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada) hal. 61
4
banyak dan perempuan (juga dalam jumlah yang banyak). Dan bertakwalah
kamu kepada allah yang dengan (mempergunakan) namanya kamu saling
meminta satu sama lain, sesungguhnya allahn selalu menjaga dan
mengawasi kamu”. (Q.S An-Nisa (4) : 1)
َ َض ِل ْلب
ص ِر ُّ غَ َ فَ ِإَنَِّهُ أ، ْع ِم ْن ُك ُم ا ْلبَا َءٍةَ فَ ْليَت َ َز ََّوج
َ طاَ َ ست
ْ َم ِْن ا،ب ِ شبَا
َّ يَا َم ْعش ََر ال
فَ ِإَنَِّهُ لَِهُ َِو َجاء،ص ْو َِم َّ ست َ ِط ْع فَعَلَ ْي ِِه ِبال َ ََْوأَِح
ْ َ ََو َم ْْن لَ ْم ي،ِص ُْن ِل ْلْفَ ْرج
5
Mustafa Dieb Al-Bigha, Fiqih Sunnah Imam Syafi’i, (Jakarta: Fathan Media Prima), hal. 193
6
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal, 2
7
Ibid.
5
Pernikahan yang dilakukan antara pasangan seorang pria dengan
seorang wanita, pada hakekatnya merupakan naluri atau fitrah manusia
sebagai makhluk sosial guna melanjutkan keturunannya. Oleh karenanya
dilihat dari aspek fitrah manusia tersebut, pengaturan pernikahan tidak
hanya didasarkan pada norma hukum yang dibuat oleh manusia saja,
melainkan juga bersumber dari hukum Tuhan yang tertuang dalam hukum
agama.8
B. Tujuan Pernikahan
Landasan pernikahan dengan nilai-nilai roh keislaman yakni
sakinah, mawadah, dan rahmah yang dirumuskan dalam Firman Allah
dalam QS. Ar-Rum: 21
س ُكنُوا ِإلَ ْي َها ََو َجعَ َل ْ َ س ُك ْم أ َ َْز ََوا اجا ِلت
ِ ََُو ِم ْْن آيَا ِت ِِه أ َ َْن َخلََقَ لَ ُك ْم ِم ْْن أ َ َْنْف
َ بَ ْينَ ُك ْم َم َو َّدٍةا ََو َرِحْ َمةا ۚ ِإ ََّن فِي َٰذَ ِلكَ ََليَات ِلقَ ْوَم َيتَْفَك َُّر
َوَن
8
Ibid, 4
9
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo, 1995), hal. 114
6
atau kedamaian itu didatangkan Allah ke dalam hati para Nabi dan orang
yang beriman agar tabah dan tidak gentar menghadapi rintangan apapun.
Jadi berdasarkan arti kata sakinah pada ayat tersebut, maka sakinah dalam
keluarga dapat dipahami sebagai keadaan yang tetap tenang meskipun
menghadapi banyak rintangan dan ujian kehidupan.
Landasan idiil ini terkait dengan secara langsung dengan nilai yang
diatur dalam surat Al-Baqarah: 187 dan An-Nisa: 19, dan hadits Nabi:
QS. Al-Baqarah (2) ayat 187: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan
puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu,
dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.”
QS. An-Nisa ayat 19: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah
kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji
yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila
10
Adib Machrus, Fondasi Keluarga Sakinah, (Jakarta: Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah
Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, 2018), hal. 10
7
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak.”
11
Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam, Taisiru al-allam Syarh Umdatu al-Ahkam Edisi
Indonesia: Syarah Hadits Pilihan Bukhari-Muslim Pent: Kathur Suhardi, (Jakarta: Darus Sunah,
2008), Hal. 739
8
Allah menetapkan kebersamaan, maka di antara suami istri akan muncul
makna-makna cinta dan kasih sayang, yang tidak akan dirasakan di
antara kedua teman kecuali setelah bergaul sekian lama.
6. Berbagi urusan rumah tangga dan keluarga dapat tertangani dan terurus
karena bersatunya suami-istri, yang sekaligus menjadi benih tegaknya
masyarakat. Seorang suami bekerja dan mencari penghidupan lalu
memberi nafkah dan memenuhi kebutuhan. Sementara istri menata
rumah, mengurus kebutuhan hidup, mendidik anak, dan menangani
urusan mereka.
C. Hukum Pernikahan
Nikah disyari’atkan oleh agama sejalan dengan hikmah manusia
diciptakan oleh Allah yaitu memakmurkan dunia dengan jalan
terpeliharanya perkembangbiakan umat manusia. Para ulama sependapat
bahwa nikah itu disyari’atkan oleh agama, perselisihan mereka di antaranya
dalam hal hukum menikah. Dalil yang menunjukan persyariatan nikah dan
hukumnya antara lain adalah:
12
Abd. Shomad, Hukum Islam, (jakarta : kencana, 2010) hal. 275
9
ع ۖ فَ ِإ َْن ِخ ْْفت ُ ْم أ َ ًَّل
َ ث ََو ُربَا َ اء َمثْنَ َٰى ََوث ُ ََل ِ س َ ِاب َل ُك ْم ِم َْن الن َ ط َ فَا َْن ِك ُحوا َما
اِح ََدٍةا أ َ َْو َما َملَكَتْ أ َ ْي َماَنُ ُك ْم ۚ َٰذَ ِلكَ أ َ ْدَنَ َٰى أ َ ًَّل تَعُولُوا
ِ ت َ ْع َِدلُوا فَ َو
… maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki… (QS. An-Nisa: 3)
10
Hukum menikah adalah mubah, dengan alasan bahwa firman Allah
dalam An-Nisa ayat 3 adalah Allah menyerahkan kepada kita untuk
memperoleh wanita dengan jalan menikah atau dengan tasarri, yang
menunjukan bahwa kedua jalan itu sama derajatnya. Menurut ijma’ tasarri
hukumnya mubah, karena menikah juga hukumnya mubah (tidak sunah)
karena tidak ada pilihan antara sunah dan mubah. Pendapat ini dipelopori
oleh Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa asal hukum nikah adalah jaiz
atau mubah, atau dengan perkataan lain seseorang boleh nikah boleh tidak
atau tidak dihukum orang yang nikah dan tidak pula dihukum orang yang
tidak nikah. Bertolak pangkal dari jaiz itu dapat berkembang menjurus ke
tingkat yang tinggi yakni wajib melalui sunah dan dapat juga menjurus ke
tingkat yang rendah yakni haram melalui makruh. Dalam sistem hukum
Syafiyah tidak menekankan hanya kepada kaidah hukuman sich-nya saja
tetapi juga pada segi agamanya, pahala, dosa, dan segi susila moralnya,
sesuai dengan jiwa syar’at Islam.13
“Hukum itu beredar atau berganti-ganti menurut illah (t)-nya, ada illah (t)
menjadikan adanya hukum dan tidak ada illah (t) menjadikan tidak adanya
hukum.”
13
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 284
11
menikah, maka hukumnya adalah fardhu, karena keadaannya telah
meyakinkan bahwa tanpa menikah dia pasti akan jatuh ke perzinaan.
Jika sekedar besar kemungkinannya atau dikhawatirkan akan jatuh ke
perzinaan, maka menurut golongan Hanafi hukumnya wajib, sedang
menurut mazhab lain, kedua macam kondisi tersebut hukumnya adalah
wajib dan tidak ada perbedaan antara fardlu dan wajib kecuali dalam
bab haji, sebagaimana keterangan hadits Nabi riwayat jamaah dari Ibnu
Mas’ud, pernah nabi bersabda: “Hai, golongan pemuda! Bila di antara
kamu ada yang mampu nikah hendaklah ia nikah, karena nantinya
matanya akan lebih terjaga dan kemaluannya akan lebih terpelihara. Dan
bilamana ia belum mampu nikah, hendaklah ia berpuas, karena puasa
itu ibarat pengebiri.” Karena hukumnya telah wajib, maka jika
seseorang yang berada dalam kondisi demikian melaksanakan
pernikahan, maka akan mendapatkan pahala, jika tidak nikah maka akan
mendapat dosa, baik lak-laki maupun wanita.14
2. Sunah, terhadap seseorang yang keadaan hidupnya sederhana dan
mempunyai kesanggupan untuk menikah sedang dia tidak khawatir
jatuh pada perzinaan. Jika ia mempunyai keinginan untuk menikah
dengan niat memelihara diri atau mendapat keturunan, maka hukum
menikah baginya sunah. Tetapi kalau dia tidak berkeinginan untuk
menikah sedang ia ahli ibadah, maka lebih utama untuk tidak menikah.
Jika ia bukan ahli ibadah, maka lebih utama baginya untuk menikah.
Menurut Imam Ahmad dari suatu riwayat sunah menikah bagi yang
tidak berkeinginan untuk menikah walaupun tidak khawatir jatuh ke
dalam perzinaan yang oleh karenanya menikah lebih utama dari ibadah-
ibadah sunah. Sedang menurut Ibnu Hazm , seorang yang berada dalam
kondisi sebagaimana dijelaskan diatas, maka hukumnya adalah wajib.
Oleh karena hukumnya sunah, maka jika seorang yang berada dalam
kondisi demikian melaksanakan pernikahan akan mendapat pahala. Jika
14
Abd. Shomad, Hukum Islam, (jakarta : kencana, 2010) hal. 285
12
tidak menikah atau belum menikah, maka tidak berdosa dan tidak
mendapat pahala.
3. Mubah, bagi seorang (laki-laki) yang tidak terdesak oleh alasan-alasan
yang mewajibkan segera nikah atau karena alasan-alasan yang
mengharapkan untuk menikah.
4. Makruh, bagi orang yang kalau ia menikah, ia khawatir bakal istrinya
akan teraniaya, akan tetapi kalau tidak menikah ia khawatir akan jatuh
pada perzinaan, karena manakala bertentangan antara hak Allah dan hak
manusia, maka hak manusia diutamakan dan orang ini wajib mengekang
nafsunya supaya tidak berzina. Makruh nikah bagi seseorang yang
lemah syahwatnya dan tidak mampu memberi belanja istrinya,
walaupun tidak merugikan istri, karena ia kaya dan tidak mempunyai
keinginan syahwat yang kuat. Makruh bagi seseorang yang dipandang
dari sudut pertumbuhan jasmaninya telah wajar unuk menikah walaupun
belum sangat mendesak, tetapi belum ada biaya untuk hidup sehingga
kalau ia menikah hanya akan membawa kesengsaraan hidup bagi istri
dan anak-anaknya. Jika seorang dalam kondisi demikian nikah, maka
tidak berdosa dan tidak mendapatkan pahala. Jika tidak menikah karena
pertimbangan diatas, maka akan mendapat pahala.
5. Haram, bagi orang yang kalau dia menikah dia yakin bahwa perempuan
yang bakal istrinya akan menderita dan teraniaya karena tidak
mempunyai mata pencaharia. Haram bagi seseorang yang tidak mampu
memenuhi nafkah batin dan lahirnya kepada istrinya serta nafsunya pun
tidak mendesak. Dalam kaitannya dengan hal ini Qurthuby berkata:
“Bila seorang laki-laki sadar tidak mampu membelanjai istrinya atau
membayar maharnya atau memenuhi hak-hak istrinya, maka tidaklah
boleh ia menikah, sebelum ia dengan terus terang menjelaskan
keadaanya kepadanya, atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi
hak-hak istrinya. Begitu pula kalau ia karena suatu hal menjadi, tak
mampu menggauli istrinya, maka wajiblah ia menerangkan dengan terus
terang agar perempuannya tidak tertipu olehnya. Haram hukumnya
13
menikah apabila seorang laki-laki hendak menikah dengan seorang
wanita dengan maksud untuk menganiaya atau memperolok-olok (Q.
IV:24-25, Q. II:23) atau berakibat secara langsung bagi penganiayaan
terhadap wanita yang bersangkutan menurut perhitungan yang wajar
dan umum. Jika seorang berada dalam situasi yang demikian, maka
berdosa baginya menikah walaupun pernikahannya sah jika telah
memenuhi ketentuan formil yang telah ditentukan. Namun jika dia tidak
kawin dengan maksud karena tidak diizinkan oleh Al-Qur’an, maka
akan mendapat pahala.15
15
Ibid. 287
16
Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta: Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997), hal. 16
14
pernikahan. Bila tidak adanya mahar maka suatu pernikahan
menjadi tidak sah.17 Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
surat an-Nisa ayat 4:
ُص َُدقَاتِ ِه َّْن َنِحْ لَةا ۚ فَ ِإ َْن ِط ْب َْن لَ ُك ْم ع َْْن ش َْيء ِم ْنِه َ ََِوآتُوا الن
َ سا َء
سا فَ ُكلُوهُ َهنِيئ اا َم ِريئ اا
َنَ ْْف ا
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin
itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian
itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
17
Mardani, Hukum Pernikahan Islam Di Dunia Islam Modern, cet ke-1(Yogykarta : Graha Ilmu,
2011), hlm. 10
15
b. Merdeka atas kemauan sendiri, dalam Pasal 16 KHI disebutkan
bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan
tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga
berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. Bila
pernikahan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka
pernikahan itu tidak dapat dilangsungkan (Pasal 17 (2) KHI)
c. Jelas orangnya.
d. Tidak sedang berihram haji.
e. Pasal 6 /74 + 15 KHI
- Pasal 6 Tahun 1974:18
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin
kedua orang tua.
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka
izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus
keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang
disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang
atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya,
18
Tim Redaksi Fokusmedia, Undang-Undang Perkawinan, (Bandung: Fokusmedia, 2006), hal. 3
16
maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang
yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang
tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar
orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini
berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain.
- Pasal 15 KHI
3. Syarat wali
a. Laki-laki;
b. Baligh;
c. Waras akalnya;
d. Tidak dipaksa;
e. Adil;
f. Tidak sedang ihram haji.
4. Syarat saksi-saksi
a. Laki-laki;
19
Disalin dari “Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,” Direktorat Pembinaan Peradilan Agama
Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001.
17
Golongan syafi’I dan Hambali mensyari’atkan skasi haruslah laki-
laki. Akad nikah dengan saksi seorang laki-laki dan dua orang
perempuan adalah tidak sah. Sebagaimana yang Rasulullah ajarkan
bahwa tidka boleh seorang perempuan menjadi saksi dalam urusan
pidana, pernikahan dan talak.
b. Islam;
Menurut Ahmad, Syafi’I dan Muhammad bin Al-Hasan, pernikahan
tidak sah jika saksi-saksinya bukan orang, sedang kesaksian orang
non muslim terhadap orang islam tidak dapat di terima.
c. Baligh;
Abu Hanifah dan Syafi’I mensyaratkan orang yang menjadi saksi
harus orang-orang yang baligh atau merdeka, tetapi Ahmad tidak
mengharuskn syarat ini, dia berpendapat akad nikah yang disaksikan
oleh dua orang budak, hukumnya sah sebagaimana sahnya kesaksian
mereka dalam masalah-masalah lain, dank arena dalam Al-Qur’an
maupun hadits tidak ada keterangan yang menolak seorang budak
untuk menjadi saksi selama ia jujur dan amanah.
d. Bersifat adil;
Menurut golongan Imam Syafi’I berpendapat bahwa untuk menjadi
seorang saksi harus adil sebagaimana disebutkan dalam hadits:
18
h. Memahami yang dipergunakan untuk ijab kabul.20
5. Syarat-syarat ijab kabul
a. Dilakukan dengan bahasa yang dimengerti kedua belah pihak
(pelaku akad dan penerima akad dan saksi);
b. Singkat hendaknya menggunakan ucapan yang menunjukan waktu
lampau atau salah seorang menggunakan kalimat yang menunjukan
waktu lampau sedang lainnya dengan kalimat yang menunjukan
waktu yang akan datang.
20
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hal. 543
21
Mustafa Dieb Al-Bigha, Fiqih Sunnah Imam Syafi’i, (Jakarta: Fathan Media Prima), hal. 200
19
“Penguasa adalah wali bagi seseorang yang tidak memiliki wali.”
(HR. Abu Dawud: 2083, Tirmidzi, 1102, dan lain-lain dari Aisyah)
b. Hakim
Menurut Pasal 23 KHI
- Wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak
ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
- Dalam hal ini wali adlal atau enggan, maka waki hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama
tentang wali tersebut.22
BAB III
22
Abd. Shomad, Hukum Islam, (Jakarta : kencana, 2010) hal. 279
20
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pernikahan atau perkawinan menurut istilah hukum islam sama
dengan kata “nikah” dan kata “zawaj”. Nikah menurut bahasa mempunyai
arti sebenarnya (hakikat) yakni “dham” yang berarti menghimpit,menindih
atau berkumpul. Nikah mempunyai arti kiasan yakni “wathaa” yang berarti
“setubuh” atau “akad” yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.
Landasan pernikahan dengan nilai-nilai roh keislaman yakni
sakinah, mawadah, dan rahmah yang dirumuskan dalam Firman Allah
dalam QS. Ar-Rum ayat 21. Keluarga yang dituju dengan adanya
pernikahan adalah keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah.
Nikah disyari’atkan oleh agama sejalan dengan hikmah manusia
diciptakan oleh Allah yaitu memakmurkan dunia dengan jalan
terpeliharanya perkembangbiakan umat manusia. Hukum menikah ditinjau
dari kondisi perseorangan adalah ada yang wajib, sunah, mubah, makruh
dan haram.
Setiap perbuatan hukum-hukum negara dan hukum Islam harus
memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat. Jika kedua unsur ini tidak
terpenuhi maka pernikahan itu dianggap tidak sah menurut hukum.
B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari
kata sempurna, namunkami berharap para pembaca sekalian bisa
mengambil manfaat dari makalah ini. Dan untukmenyempurnakan makalah
ini kami sangat mengharapkan koreksi yang bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA
21
Summa, Muhammad, Amin. 2004. Hukum Keluarga Islam di Dunia
Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Shomad, Abd. 2010. Hukum Islam. Jakarta: kencana
Al-Bigha, Mustafa, Dieb. Fiqih Sunnah Imam Syafi’i, Jakarta: Fathan
Media Prima
Ramulyo, Moh, Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi
Aksara
Abdurrahman. 1995. Kompilasi Hukum Di Indonesia, Jakarta:
Akademika Presindo
Machrus, Adib. 2018. Fondasi Keluarga Sakinah, Jakarta: Direktorat
Bina KUA & Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI
Bassam, Ali, Abdullah, bin Abdurrahman 2008. Taisiru al-allam Syarh
Umdatu al-Ahkam Edisi Indonesia: Syarah Hadits Pilihan
Bukhari-Muslim Pent: Kathur Suhardi, Jakarta: Darus Sunah
Departemen Agama RI. 1997. Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam
Mardani. 2011. Hukum Pernikahan Islam Di Dunia Islam Modern,
Yogykarta: Graha Ilmu
Tim Redaksi Fokusmedia. 2006. Undang-Undang Perkawinan. Bandung:
Fokusmedia
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. 2001. Direktorat Pembinaan
Peradilan Agama Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam
Departemen Agama
Sabiq, Sayyid. 1983. Fiqih Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr
22