Anda di halaman 1dari 17

21 TERAPI CAIRAN DI INTENSIVE CARE UNIT

GEOFFREY K. LIGHTHALL DAN RONALD G. PEARL

PENDAHULUAN
Terapi cairan adalah hal yang penting pada pemberian perawatan tambahan di
ruang intensive care unit (ICU). Perbedaan antara masa perawatan biasa dan
dengan komplikasi terhadap kerusakan salah satu organ biasanya berhubungan
penanganan cairan yang diberikan. Pasien yang mengalami gangguan kesehatan
sering kali mendapat infeksi atau penyakit lainnya selama beberapa hari dirawat di
rumah sakit, sehingga membutuhkan terapi yang cepat di ruang ICU. Pasien
bedah perlu mendapat terapi tambahan pada saat akan menjalani operasi; oleh
karena operasi dapat menimbulkan stress pada diri pasien, sehingga perlu
dilakukan pengoptimalisasian fisiologi pasien sebelum di operasi, dan
memberikan hasil sesuai yang diharapkan. Bab ini akan membahas hubungan
terapi cairan pada pasien dengan penyakit kritis, setelah mendapat operasi besar.
Fisiologi berhubungan dengan distribusi cairan, dan pemilihan cairan serta cara
menentukan resusitasi preoperatif dan postoperatif juga akan dibahas.

FISIOLOGI
Balance Cairan
Air merupakan 60% dari seluruh massa tubuh. Perilaku, rasa haus, dan
mekanisme neuroendokrin akan menyesuaikan antara kehilangan cairan dengan
intake cairan. Fisiologi cairan normal akan beradaptasi dengan cepat terhadap
berbagai kondisi tersebut, seperti misalnya olahraga, intake air dan cairan yang
silih berganti, serta luka. Pada keadaan biasa, mekanisme homeostatik
memberikan keseimbangan cairan antara kompartemen cairan yang berbeda. Total
cairan tubuh (TBW), duapertiganya terdapat di intraseluler, dan sepertiga lainnya
terbagi di interstisial (25% dari TBW) dan di intravaskuler (8% dari TBW).
Penampakan kompartemen TBW tersebut, adalah persentasi dari total massa
tubuh yaitu air, yang bergantung pada etiologi dan tingkat kronisitas dari suatu
penyakit. Infus cairan dengan kompartemen ini adalah dapat diperkirakan.
Kristaloid seperti saline normal (NS) dan ringer laktat (RL) akan segera mengisi
kompartemen interstisial dan intravaskuler, dimana sawar kapiler yang normal
akan mempertahankan sel darah merah, dan koloid, pada khususnya akan mengisi
ruang intravaskuler.
Perubahan homeostasis cairan membutuhkan pemahaman tentang sumber
kehilangan cairan dan cara penggantiannya juga harus diperhitungkan. Sebagai
contoh, perdarahan akut akan menyebabkan penurunan cairan intravaskuler, sel
darah merah, dan protein plasma. Jika penggantian tidak dilakukan dengan segera,
maka cairan interstisial akan berpindah ke kompartemen intravaskuler. Cairan
intraseluler juga dapat meningkat akibat pergerakan cairan isotonis dan air dari
interstitium.
Pasien dengan penyakit kritis akan mengalami pembesaran ruang
interstisial, yang manifestasinya berupa edema dan anasarka. Cedera seluler,
infeksi, dan inflamasi dapat meningkatkan permeabilitas kapiler dan mengenai
perpindahan cairan transkapiler dapat digunakan hukum Starling. Selanjutnya,
pasien dengan tubuh yang membesar akibat kelebihan input cairan tetap
membutuhkan cairan dan mempertahankan volume intravaskuler sampai proses
akutnya berakhir. Selanjutnya, ventilasi tekanan positif dapat menstimulasi sistim
renin-angiotensi-aldosteron untuk mempertahankan cairan dan sodium,
berdasarkan patologi masing-masing. Perawatan di rumah sakit yang ideal adalah
membutuhkan balance cairan yang positif pada tahap awal untuk mepertahankan
kestabilan hemodinamik, pada tahap kedua dilakukan remobilisasi cairan
interstisial. Namun, pada pasien dengan penyakit kritis, kadar protein plasma
kadang tidak cukup untuk beberapa minggu untuk memberikan mobilisasi cairan
interstisial dengan cepat.

Balance Oksigen Jaringan


Pemberian oksigen jaringan (DO2) merupakan hasil dari kandungan curah jantung
(CO) dan oksigen arteri (Tabel 1). Pada keadaan dibawah normal, konsumsi
oksigen (VO2) tergantung pada DO2 sampai DO2 menurun dibawah kadar yang
kritis. Gambar 1 akan memperlihatkan hubungan tersebut.

2
Tabel 1 Kalkulasi dari Transpor Oksigen dan Variabel yang Berhubungan
Variabel Kalkulasi
DO2 CO x CaO2
VO2 CO x (CaO2 – CvO2)
CaO2 (1,34 x Hb x SaO2) + 0,0031 PaO2
O2ER VO2/ DO2 = (CaO2 – CvO2)/CaO2
Penjelasan : Petunjuk untuk cardiac output dan pengangkutan oksigen (CI dan DO 2I) adalah hasil
dari perbandingan CO dan DO2 terhadap luas permukaan tubuh.
Singkatan : DO2, transpor oksigen; CI, cardiac index; CO, cardiac output; CaO 2, komposisi
oksigen arteri; VO2, penggunaan oksigen; CvO2, komposisi campuran oksigen vena; Hb,
hemoglobin; SaO2, saturasi oksigen; DO2I, indeks DO2.

Hubungan antara DO2 dan VO2 akan mengalami perubahan pada beberapa
keadaan, khususnya pada disfungsi seluler akibat syok. Kehilangan darah,
dehidrasi, dan gangguan kardiopulmonal akan mempengaruhi DO2. Sebagaimana
penurunan DO2 pada suplai beberapa daerah (misalnya, bagian datar dari kurva
dimana VO2 tidak dibatasi oleh DO2), rasio pemecahan oksigen meningkat
sehingga VO2 tetap konstan (gambar 1). Pada umumnya, menurunnya saturasi
oksigen vena sampai kurang dari 70% menunjukkan peningkatan pemecahan
oksigen. Kadar DO2 yang membagi suplai pada daerah yang membutuhkan
maupun pada daerah yang tidak membutuhkan disebut DO2 kritis. Pada pasien
normal yang teranastesi, DO2 kritis kira-kira 330 mL/menit/m2. Apabila DO2
menurun pada daerah yang membutuhkan, maka hal ini akan membatasi respirasi
mitokondria sehingga terjadi metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat,
sedangkan VO2 berkisar 110 mL/menit/m2. Pada umumnya, pada daerah tubuh
pasien yang membutuhkan DO2 akan mengalami asidosis laktat, sedangkan pada
daerah tubuh pasien yang tidak membutuhkan DO2 tidak terjadi hal itu. Pada
pasien dengan penyakit kritis, tidak dapat diperkirakan kadar DO 2 ataupun VO2,
dimana stres dan sepsis akan mengubah VO2, DO2 kritis berbeda-beda antara
pasien dengan kelebihan waktu. Sebagai contoh para klinikus diperhadapkan pada
suplai oksigen yang tidak adekuat oleh karena terjadinya peningkatan kebutuhan,
Gambar 1 Hubungan antara DO2 dan VO2. Normalnya,
sedasi, bantuan ventilasi, dan paralisis penurunan
yang memerlukan
konsentrasipengurangan VO2.peningkatan
Hb menkompensasi
CO dan rasio ekstrasi O2 tanpa menurunkan konsumsi
titik kritis transpor oksigen O2. Penurunan CO menkompensasi peningkatan rasio
ekstrasi O2 tanpa menurunkan konsumsi O2. Sebagai
VO2 contoh, perdarahan mild menyebabkan pergeseran ke
kiri dari wilayah suplai independen, tanpa membatasi
metabolisme oksidatif. Penurunan DO2 di bawah batas
kritis dapat menyebabkan imbalance suplai/kebutuhan,
dimana metabolisme anaerob dan pengurangan O2
wilayah suplai independen jaringan menyebabkan disfungsi organ bila tidak 3
cepat
diatasi
DO2=CaO2.CO
Albumin Serum dan Hukum Starling
Hukum Starling menunjukkan pergeseran cairan melewati membran
semipermeabel berdasarkan persamaan berikut ini :
Jv = Kf [(Pvas – Pint) – σ(πvas - πint)]
Dimana Jv = aliran cairan, Kf = koefisien filtrasi kapiler, Pvas = tekanan
hidrostatik vaskuler, Pint= tekanan hidrostatik interstisial, σ = koefisien
Stavermann, πvas = tekanan onkotik vaskuler, dan πint = tekanan onkotik
intertisial.
Prediksi pergerakan cairan berdasarkan hukum tersebut memiliki titik
fokal dari persetujuan yang bergantung pada penggunaan cairan kristaloid dan
koloid untuk mecapai tujuan resusitasi. Hukum Starling disederhanakan sebagai
perbedaan antara tekanan onkotik dan tekanan hidrostatik, tapi tidak
diperhitungkan pada σ (lihat pembahasan dibawah ini). Pada paru normal, Pvas
dan πint memiliki nilai positif dan Pint adalah negatif, maka πvas hanya
mendorong kerjanya untuk mepertahankan cairan dalam ruang intravaskuler. Pada
paru normal, balance starling sedikit positif maka cairannya akan berlanjut dari
ruang intravaskuler ke ruang interstisial yang dialirkan melalui limfe.
Pada keadaaan dibawah normal, albumin bertanggungjawab terhadap
60%-80% tekanan osmotik koloid total (COP). Empat puluh tahun yang lalu,
Guyton menunjukkan bahwa edema pulmonal terjadi pada tekanan atrium kiri
yang rendah sedangkan COP menurun. Berbagai penelitian menggunakan
plasmaferesis untuk menurunkan COP yang berhubungan dengan penemuan ini.
Penelitian observasi menunjukkan bahwa pasien dengan konsentrasi COP dan
albumin yang rendah akan meningkatkan insidensi edema pulmonal dan disfungsi
paru. Penurunan COP tidak hanya menimbulkan edema paru, tapi juga edema
pada organ lain seperti otak, hati, usus, ginjal, dan kulit, sehingga menimbulkan

4
disfungsi diastolik miokardial, mengubah status mental, menurunkan motilitas
kandung kemih, meningkatkan permeabilitas usus, disfungsi ginjal, dan
mengurangi penyembuhan luka. Menurunnya COP merupakan penanda kuat
terjadinya disfungsi organ, komplikasi, lama perawatan, dan mortalitas.
Berdasarkan berbagai kepustakaan, Goldwasser dkk menyimpulkan bahwa resiko
kematian meningkat 24%-56% untuk mencapai 2,5 gram.L (0,25 gram/dL)
mengurangi albumin.
Meskipun berbagai penelitian telah menunjukkan albumin, COP, dan nilai
antara tekanan oklusi arteri paru (PAOP), dan COP berhubungan dengan
terjadinya edema paru dan disfungsi organ, dipertahankan antara menurunnya
COP sebagai faktor etiologi utama atau sebagai penanda sederhana terhadap
tingkat keparahan penyakit. Konsentrasi albumin serum menurun selama
berlangsungnya penyakit kritis oleh karena menurunnya sintesa albumin dan
menurunnya albumin yang melewati endotel. Selanjutnya, jika COP tidak
memberikan hasil, kadar yang rendah diperkirakan terjadi pada orang yang sakit
dengan kemungkinan mortalitas yang tinggi. Mangialardi dkk menunjukkan
bahwa kadar protein serum yang rendah akan menimbulkan acute respiratory
distress syndrome (ARDS) dan kematian akibat sepsis.

JENIS CAIRAN, KARATERISTIK, DAN PERBEDAANNYA


Cairan resusitasi koloid dan kristaloid yang sering digunakan di Amerika Serikat
terangkum dalam tabel 2. pemilihanya tergantung pada kebutuhan dan distribusi
air dan cairan antara kompartemen intravaskuler dan interstisial. Sebagaimana
diperlihatkan di bawah ini, fisiologi normal dari aliran cairan transkapiler
seringkali tidak dapat menggambarkan akumulasi cairan pada penyakit kritis.
Hasil dari berbagai penelitian dan meta-analisa membantu dalam menentukan
kebutuhan pemilihan cairan dan penggunaannya.

Tabel 2 Komposisi dari Cairan Intravena

5
Komposisi (mEq/L) Harga
Cairan Perhatian
Na Cl K Ca Buffer/lainnya Osmolaritas (USS)
Kristaloid
RL 130 109 4 3 Laktat 273 Hiperkalemia 0,89
NS 154 154 308 Asidosis 0,72
(0,9%NaCl) Metabolik
D5W 0 0 Glukosa 50 g/L 252 Air bebas
D5W 0,45% 77 77 Glukosa 50 g/L 406
NaCl
7,5% NaCl 1283 1283 2567 Asidosis
metabolik
Koloid
Dextran-40 154 154 310 Alergi, 24
(10%) perdarahan
Albumin 5% 154 154 Carbonat, asetat - Aman untuk 80-360
trauma
Albumin 154 154 120-500 400-
25% 1100
Hetastarch 154 154 310 Koagulopati 25-50
Catatan: Informasi tentang komposisi berasal dari yang tertera pada cairan.
Singkatan: RL. Ringers Lactated; NS, Normal Saline

Cairan Kristaloid
Kristaloid adalah cairan yang mengandung air dan cairan sederhana. Preparatnya
berdasarkan tonisitas dan konsentrasi elektrolit terhadap plasma. Kristaloid
digunakan secara universal baik secara tunggal atau dengan cairan lain untuk
mengganti kehilangan atau distribusi ulang air, cairan, dan darah. Distribusi
kristaloid di vaskuler, interstisial, dan interstisial tergantung pada konsentrasi
plasma cairan. Sebagai contoh, volume RL dan NS sama dengan 3-4 kali dari
kehilangan darah yang dibutuhkan untuk mempertahankan volume intravaskuler.
Penggantian air bebas berhubungan dengan penggunaan larutan SN (misalnya,
saline 0,45% dan saline 0,225%); distribusi air dan cairan diikuti mengikuti
prinsip fisiologi yang telah ditetapkan. Selanjutnya, jika 1 L saline 0,45% diberi
secara infus intravena, 500 mL menyerupai air bebas dan didistribusikan pada
seluruh kompartemen cair, dan 500 mL didistribusikan jika SN dengan 375 mL
disesuaikan dengan volume interstisial dan 125 mL di ruang intravaskuler. Untuk
1000 mL saline 0,225%, hanya 165 mL yang bertahan di ruang intravaskuler
(25% dari kontribusi NS dan 8% dari air bebas). Sebagian besar kristaloid yang

6
sering digunakan adalah larutan RL dan SN 0,9%. Preparat tersebut dapat dilihat
pada tabel 2.

Larutan Dekstrosa 5% (D5W)


D5W merupakan alat untuk mengganti glukosa dan air bebas. Karena D5W adalah
iso-osmotik intravena maka pemberian D5W tidak akan menimbulkan hemolisis,
sebagaimana yang terjadi pada infus air murni. Penggunaan khusus D5W
merupakan koreksi hipernatremi dan pemberian glukosa pada pasien yang
mendapat insulin. Hipoglikemi sebaiknya ditangani dengan pemberian larutan
dekstrosa 50%. Kombinasi dekstrosa dengan RL dan saline seperempat, separuh
dan penuh juga tersedia dan digunakan berdasarkan tonisitas dan konsentrasi
glukosa. Pada jaman dahulu, beberapa dokter menggunakan dekstrosa 5 dan saline
0,45% sebagai cairan “maintenance” postoperatif. Data-data terkini menunjukkan
adanya penurunan mortalitas dan kerusakan sistim organ dengan kontrol glukosa
yang ketat, pemberian glukosa dihindari.

Saline Normal
SN mengandung sodium dan klorida pada 154 mM, tanpa larutan maupun buffer
lain. SN digunakan untuk mengatasi hipernatremi dan alkalosis metabolik
hipokloremi, serta pada pasien hiperkalemi yang tidak dapat mentoleransi
tambahan potassium (sebagaimana juga RL). SN umumnya diberikan dengan RL
pada pasien trauma kapitis, oleh karena memberikan konsentrasi sodium
hipotonis. Disamping isotonis dan iso-osmotik, anion klorida mengandung
konsentrasi plasma dan akan meningkatkan volume yang diinfuskan. SN
merupakan larutan mengandung sodium dan klorida dalam jumlah yang sama,
dapat menimbulkan hiperkloremi tanpa asidosis metabolik. Masalah ini sebagian
besar tidak membatasi penggunaan SN maupun saline hipertonis dalam jumlah
besar.

Larutan Ringer Laktat

7
RL adalah larutan garam yang telah diseimbangkan dengan kandungan
konsentrasi sodium, potassium, dan klorida yang sama dengan plasma. Endapan
kalsium dan laktat juga ada, yang siap dimetabolisme. Perlu dicegah penggunaan
infus RL pada jalur intravena yang sama dengan darah, oleh karena beresiko
menimbulkan mikroagregasi kalsium sel darah merah (pembentukan rouleaux).
Untuk alasan yang sama, sel darah merah biasanya digunakan bersama dengan
SN.

Saline Hipertonis
Preparat ini memberi keuntungan pada kebutuhan volume total yang kecil untuk
mencukupi kebutuhan intravaskuler. Pada prinsipnya, sodium serum meningkat,
air intraseluler bergerak dari intraseluler ke ekstaseluler untuk menormalkan
tonisitas dan jumlah ion. SH digunakan pada resusitasi sebelum di Rumah Sakit,
sebagai cairan maintenance. Keuntungannya bila digunakan untuk resusitasi dapat
mengisi volume intravaskuler dengan volume yang terbatas dan menurunkan
edema otak serta tekanan intrakranial yang tinggi. Keuntungan tambahan yaitu
menurunkan inflamasi, meningkatkan kontraktilitas miokardial, dan memperbaiki
aliran mikrosirkulasi. Younes dkk menunjukkan adanya perbaikan angka
kelangsungan hidup (73% berbanding 64%) pada pasien yang mengalami syok
hemoragik. Pada 6 penelitian meta-analisa pemberian SH pada pasien trauma
yang mengalami hipotensi, Wade dkk tidak dapat menunjukkan perbedaan dalam
hal mortalitas. Penelitian tambahan membutuhkan penggunaan SH, dengan atau
tanpa koloid, sebagai terapi syok hemoragik.
SH juga diberikan bersama dengan dekstran. Ada 8 penelitian yang
menguji penggunaan SH-dekstran, 7 penelitian menunjukkan perbaikan
kelangsungan hidup (ratio 1:20 dengan peningkatan angka kelangsungan hidup
sebesar 4%). Wade dkk menyimpulkan bahwa penggunaan SH secara tunggal
tidak berbeda dengan perawatan yang standar digunakan, tapi SH-dekstran masih
menjadi pilihan utama. Pada suatu analisa berdasarkan data pasien pada percobaan
secara acak, SH-dekstran dapat memperbaiki angka kelangsungan hidup (38%
berbanding 27%; rasio 2:12). Serupa dengan itu, pada percobaan meta-analisa

8
lainnya, penggunaan kombinasi koloid-kristalod hipertonis berbanding kristaloid
isotonis saja dapat menurunkan mortalitas (resiko 0,84). Penelitian lainnya yang
difokuskan pada pasien trauma kapitis menunjukkan hasil yang berbeda antara
penggunaan SH dibandingkan dengan kristaloid pada penanganan pasien trauma
kapitis.

Larutan Hidroksietil dan Koloid Lainnya


Koloid memiliki banyak ukuran, jumlah berdasarkan berat molekul (nilai rata-rata
aritmetika berat molekul partikel), dan rata-rata berat molekul (jumlah tiap
molekul berdasarkan berat dikalikan dengan berat partikel dibagi jumlah berat
semua molekul). Larutan monodispere, seperti albumin, memiliki satu ukuran
partikel maka beratnya berbeda berdasarkan ukuran molekul dan bentuknya,
menimbulkan perbedaan antara berat rata-rata dengan berat rata-rata molekul.
Terdapat sejumlah koloid yang dapat digunakan dengan ukuran molekul, waktu
paruh, COP, efek samping, dan harga yang berbeda-beda. Penelitian menunjukkan
efek dari setiap koloid berbeda-beda.

Dekstran dan Gelatin


Dekstran dibuat berdasarkan molekul polisakarida linier dimana berat molekul
berbeda-beda dari 10-90 kDa. Dekstran dapat memperbaiki sirkulasi
mikrovaskuler dengan mengurangi viskositas darah dan menambal sel endotel
vaskuler untuk meminimalkan agregasi trombosit dan sel darah putih. Namun,
dekstran dapat menimbulkan perdarahan melalui mekanisme yang sama dab
berhubungan dengan resiko anafilaksis sebesar 1-5%. Gelatin merupakan
polipeptida dengan berat molekul 35 kDa. Penggunaannya terbatas sebagai
plasma ekspander oleh karena memiliki pergerakan yang cepat dari ruang
intravaskuler.
Larutan Hidroksietil (Hetastarch)
Hetastarch merupakan polimer sintetik yang terdiri dari amilopektin, cabang dari
polimer polisakarida. Pertemuan antara kelompok eter hidroksietil terhadap
glukosa akan memperlambat aliran hetastarch melalui serum amilase.

9
Farmakokinetik HES berhubungan dengan ukuran dan rasio penggantian molar
(jumlah kelompok hidroksietil per molekul glukosa). Penggantian yang tinggi
akan menghasilkan pemecahan dan eliminasi molekul yang berlangsung lambat.
Partikel kurang dari 50 kDa difiltrasi oleh ginjal dalam waktu 48 jam, sedangkan
partikel yang besar dihidrolisa oleh amilase dan disekresikan di urine dan empedu,
atau difagositosis oleh sistim retikuloendotelial. Larutan HES standar yang
digunakan di Amerika Serikat (HES 450/0,7) memiliki berat molekul rata-rata
(450 kDa) dan memiliki rasio penggantian yang tinggi (0,7). Pentastarch
merupakan HES modifikasi, yang difiltrasi untuk mengeliminasi molekul keluar
dari ukuran biasa (10-1000 kDa). Pentafraksi dapat lebih homogen dibanding
Pentastarch, dengan berat molekul antara 100-500 kDa. Penelitian menunjukan
bahwa efek sampingnya dapat diminimalkan dengan larutan yang lebih homogen.
Larutan HES modifikasi (HES 200/0,5) dengan berat molekul sedang dan rasio
penggantian molar sama dengan yang digunakan di Eropa. Penelitian terbaru
menunjukkan baik starch dengan berat molekul sedang maupun berat lebih efektif
dibanding albumin 5% untuk digunakan sebagai volume pengganti. Saat ini
dianjurkan membatasi dosis maksimal HES adalah sampai 20 mL/kg/hari oleh
karena memiliki efek samping pada hematologi, imunitas, ginjal, fungsi
retikuloendotelial. Pembatasan ini tidak berlaku pada preparat hetastarch dengan
berat yang sedang. Vogt dkk menunjukkan bahwa HES 200/0,5 dalam dosis yang
lebih besar (20-36 mL/kg) dibanding yang dianjurkan untuk terapi HES tidak
memberi efek samping pada hemodinamik, fungsi ginjal, parameter koagulasi,
maupun jumlah kehilangan darah. Beberapa manfaatnya dapat digunakan pada
larutan HES 130/0,4 dan merupakan larutan starch asetil terbaru.
Hetastarch efektif sebagai albumin untuk menambah volume. Namun,
penelitian menunjukkan bahwa pemberian HES dapat mempengaruhi koagulasi.
Gangguan koagulasi dapat menurunkan faktor VII dan Faktor von Willebrand.
Penggunaan hetastrach masih diperdebatkan pada kasus operasi jantung, karena
memiliki gangguan koagulasi. Herwaldi dkk menyebutkan bahwa penggunaan
hetastarch lebih dari 5 mL/kg merupakan faktor resiko terjadinya perdarahan
pasca operasi jantung (rasio 1:82); biaya penanganan perdarahan dapat dibatasi

10
jika hetastarch diganti dengan albumin. Serupa dengan hal itu, Knutson dkk,
menyebutkan bahwa penggunaan pentastarch dapat meningkatkan terjadinya
perdarahan dan membutuhkan transfusi darah setelah operasi jantung. Namun,
tidak semua penelitian menunjukkan masalah dengan penggunaan HES. Baru-
baru ini, Canver dan Nichols menunjukkan bahwa penggunaan 500 mL Hes
dibanding albumin tidak meningkatkan kebutuhan pemberian transfusi, masa
perawatan di ICU dan rumah sakit, serta mortalitas.
Sebagai tambahan dapat menyebabkan sedikit efek samping, HES dengan
berat yang sedang dapat memperbaiki keadaan inflamasi dengan cara mengurangi
vaskularisasi, menurunkan pelepasan mediator vasoaktif, dan memperbaiki
mikrosirkulasi dengan cara mengurangi viskositas darah dan mempertahankan
volume plasma. Percobaan menggunakan hewan coba akan mengurangi
permeabilitas mikrovaskuler, mengurangi inflamasi, mengurangi aktivasi
neutrofil, dan mengurangi perfusi pada iskemi. Penelitian menunjukkan bahwa
keadaan mikrovaskuler pada hewan coba yang mengalami sepsis diterapi dengan
cairan dengan berat molekul yang rendah dibanding dengan kristaloid dan HES
dengan berat molekul besar. Traber dkk menunjukkan bahwa larutan dengan berat
molekul sedang akan mengurangi aliran limfe paru setelah pemberian endotoksin
pada kambing yang mengalami sepsis. Untuk menerapkannya perlu ditentukan
jika hal itu dapat memberikan manfaat pada pasien dengan penyakit kritis, Bold
dkk melakukan terapi pada pasien dengan penyakit kritis dengan HES modifikasi
10% (COP 66 mmHg) berbanding albumin 20% (COP 78 mmHg) dengan
melakukan penggantian volume selama 5 hari. Indeks jantung (CI), DO 2, dan DO2
akan meningkat hanya pada pasien yang mendapat HES. Pasien sepsis yang
diterapi dengan HES akan mengalami peningkatan rasio PaO 2/ FiO2,
menunjukkan perbaikan fungsi paru. Pasien yang diterapi dengan HES akan
mengalami penurunan skor APACHE II, menunjukkan adanya penurunan tingkat
keparahan penyakit dan resiko kematian. Pasien sepsis yang diterapi dengan
albumin akan mengalami penurunan pH intramukosa gaster (pHi), menunjukkan
perfusi splanknikus yang tidak adekuat; tidak semua dapat menurunkan kelompok
HES. Pada penelitian yang besar, pada kelompoik yang sama menunjukkan bahwa

11
HES efektif sebagaimana dengan albumin, tidak terdapat efek samping pada
koagulasi baik pada pasien sepsis dan pasien trauma. Penelitian tambahan
menunjukkan baik pada cairan hetastarch dengan molekul yang berat merupakan
pilihan utama untuk resusitasi.

Perdebatan Tentang Penggunaan Kristaloid Koloid


Penggunaan cairan koloid diperkirakan berhubungan dengan penurunan COP dan
disfungsi paru serta mortalitas, juga terjadi peningkatan volume intravaskuler dan
berhubungan dengan panjangnya durasi penambahan volume intravaskuler yang
terjadi dengan pemberian cairan koloid. Waktu paruh albumin eksogen kira-kira
15 jam pada kondisi normal, tapi biasanya ditandai dengan meningkatnya
permeabilitas kapiler. Mempertahankan kestabilan hemodinamik membutuhkan 2-
6 kali lipat volume kristaloid dibandingkan dengan pemberian cairan koloid.
Pemilihan cairan kristaloid untuk digunakan pada resusitasi dapat
dilakukan pada keadaan normal dibanding pada keadaan dimana permeabilitas
kapiler meningkat. Apabila permeabilitas kapiler normal, tiga faktor antiedema
dapat meminimalkan resiko terjadinya edema paru, meskipun terjadi peningkatan
tekanan hidrostatik yang bersifat sedang. Pertama, apabila tekanan hidrostatik
meningkat, aliran cairan meningkat dari daerah intravaskuler masuk ke interstisial
yang diikuti dengan peningkatan pergerakan air dan elektrolit; akibatnya
konsentrasi protein (πint) di interstisial menurun dan COP (πvas –πint)
meningkat, membatasi pergerakan cairan. Kedua, peningkatan pergerakan cairan
akan meningkatkan tekanan hidrostatik interstisial sehingga tekanan hidrostatik
menurun (Pvas- Pint). Ketiga, drainase limfatik untuk mengurangi cairan protein
dapat meningkat sampai tujuh kali lipat sehingga akumulasi air dalam
ekstravaskuler paru berkurang. Selanjutnya, apabila permeabilitas kapiler normal,
maka memberi sedikit keuntungan untuk resusitasi koloid.
Tabel 3 Perbandingan Meta-analisa Kematian dengan Cairan Kristaloid vs. Koloid
Penulis (tahun) Jumlah penelitian Jumlah pasien RRa Pendapat
Velanovich (1989) kematian meningkat 5.7%
8 826 n.d. dengan koloid (seluruh
penelitian)

12
Trauma kematian meningkat 12.3%
5 730 n.d.
dengan koloid
Nontrauma kematian meningkat 7.8%
2 50 n.d.
dengan koloid
Schierhout (1998) 19 1315 1.29 analisa seluruh kelompok
Trauma 6 636 1.3
Operasi 7 191 0.55
Luka Bakar 4 416 1.21
Choi (1999) 17 732 1.6 analisa seluruh kelompok
Trauma 5 302 2.56
Alderson (2000)b
Albumin 18 641 1.52
Hetastarch 7 197 1.28
Dextran 8 668 1.24
Cochrane IG (1998) b 24 1204 1.68 analisa seluruh kelompok
Luka Bakar 3 163 2.40
Hipovolemia 13 534 1.46
Hipoalbumin 8 507 1.69
Wilkes (2001) b 55 3504 1.11 analisa seluruh kelompok
a
Relativitas resiko kematian dengan koloid/kristaloid
b
Perbandingan langsung antara albumin dan cairan kristaloid

Analisa mengenai peningkatan permeabilitas kapiler pada akumulasi


edema paru termasuk pula pemahaman tentang koefisien filtrasi kapiler Kf yang
meningkat dan koefisien Stverman σ menurun. Peningkatan Kf menunjukkan
adanya peningkatan filtrasi cairan untuk mengendalikan tekanan. Penurunan σ
memiliki 2 efek. Pertama, efek terhadap tekanan onkotik (πvas –πint) menurun.
Yang lebih penting, tekanan onkotik interstisial juga meningkat. Rasio πint ke
πvas akan berbeda dengan σ. Selanjutnya, jika σ menurun sampai 0,2 (khususnya
penilaian terhadap endotel paru pada trauma paru akut, 1,0 menunjukkan
gangguan permeabilitas), COP interstisial (πint) akan meningkat sampai 80% dari
COP intravaskuler (πvas) dan tekanan onkotik (πvas- πint) hanya sekitar 20%
dari COP plasma. Selanjutnya, untuk meningkatkan tekanan onkotik dengan
pemberian koloid akan membatasi keberhasilan perubahan hukum Starling.
Beberapa peneliti sepakat bahwa pemberian koloid pada saat permeabilitas
mengalami perubahan akan menimbulkan peningkatan konsentrasi protein pada
daerah interstisial, menghalangi resolusi edema pada saat permeabilitas kembali
pada keadaan normal.

13
Sebuah teori dihasilkan dari penelitian terhadap 100 hewan coba dan
percobaan klinis. Selain penelitian tersebut, belum ada konsensus yang dihasilkan.
Health Care Consortium (UHC pada sebuah Universitas menerbitkan sebuah
petunjuk pelaksanaan pada tahu 1995 yang mendukung penggunaan cairan koloid
pada resusitasi kristaloid. Bertolak belakang dengan hal itu, sebuah center
Pendidikan Ahli Bedah di Amerika Serikat menganjurkan penggunaan cairan
kristaloid pada pasien trauma. Disamping petunjuk pelaksanaan tersebut,
kristaloid masih banyak digunakan. Yim dkk melaporkan bahwa hanya 24%
albumin yang digunakan pada 15 center pendidikan kedokteran yang
menggunakan petunjuk pelaksanaan UHC.
Menerapkan konsiliasi terhadap berbagai data tentang kristaloid
dibandingkan dengan koloid telah kembali pada tehnik penelitian meta-analisa
dan evidence-based. Penemuan yang besar dan analisa komprehensif dapat dilihat
pada tabel 3. Penelitian meta-analisa oleh Shierhout dan Robert mendapat kritikan
karena difikuskan pada seluruh kelompok koloid dibanding pada salah satu jenis
cairan koloid. Namun, penelitian secara acak tidak selalu dapat menunjukkan
perbedaan antara setiap jenis cairan koloid. Pada penelitian meta-analisa,
penggunaan koloid pada 381 pasien menggunakan koloid, 222 pasien
menggunakan gelatin, 41 pasien menggunakan HES, 652 pasien menggunakan
dekstran, 153 pasien menggunakan plasma, dan 66 menggunakan cairan
kombinasi. Hasilnya, Kelompok Trauma Cochrane (Alderson dkk) melakukan
penelitian meta-analisa lagi pada satu jenis cairan. Analisa ini menunjukkan
bahwa efek samping yang dihasilkan tidak khas untuk penggunaan koloid. Pada
percobaan 18 pasien yang menggunakan albumin, mortalitas meningkat 11-17%
(RR 1,52), pada 5 pasien menggunakan HES, angka mortalitas 19-23% (RR1,28),
dan 8 pasien menggunakan dekstran, angka mortalitasnya 18-27% (RR1,24).
Karena albumin dianjurkan penggunaannya untuk mencegah efek samping dari
koloid lainnya, maka dilakukan suatu penelitian meta-analisa terhadap 30
percobaan secara acak dengan penggunaan albumin (umumnya jarang
menggunakan koloid). Hasilnya sama dengan percobaan meta-analisa koloid yang
pertama. Pemberian albumin akan meningkatkan mortalitas pada ketiga keadaan

14
yang diteliti (hipovolemia, luka bakar, dan hipoalbuminemia) dengan rasio 1:46,
2:40, dan 1:69, dengan rata-rata peningkatan mortalitas adalah 10% tanpa
menggunakan albumin menjadi 16% dengan menggunakan albumin. Selanjutnya,
data yang ada menunjukkan bahwa albumin masih jarang digunakan. Karena
albumin mahal, maka pemberiannya di rumah sakit hanya impian belaka-yaitu
suatu cara meningkatkan kualitas hidup dengan biaya yang serendah-rendahnya.
Alasan meningkatnya mortalitas dengan pemberian albumin pada
penelitian ini belum diketahui, tapi berhubungan dengan albumin yang memiliki
berat molekul rendah (69 kDa), yang dapat masuk ke ruang intravaskuler.
Meningkatnya permeabilitas kapiler dengan albumin pada keadaan sepsis akan
meningkatkan kelebihan cairan dengan pemberian cairan koloid/albumin,
mengurangi kontraktilitas jantung dari ikatan kalsium, meningkatkan kehilangan
darah sebagai efek antihemostatik dan antiplatelet, perubahan ikatan protein
endogen dan obat, efek anti oksidan, dan merubah sistim imun. Sebagai
tambahan, beberapa penelitian awal dengan albumin akan menghasilkan proses
yang memberikan perubahan seperti aktivasi endotoksin, ion aluminium, dan
prekallikrein.
Cairan kristaloid memiliki harga yang relatif murah dan memberikan
efisiensi dalam penambahan volume intravaskuler dan intersitisial. Selanjutnya ini
sesuai dengan penelitian Shires dkk, yang menunjukkan bahwa mortalitas,
berperan pada syok hemoragik yang terjadi pada hewan coba dapat dikurangi
dengan pemberian transfusi darah ditambah dengan pemberian infus cairan garam.
Pada hewan coba tersebut, tidak ada resusitasi volume, mortalitas sekitar 100%.
Dengan pemberian transfusi darah saja, mortalitas sekitar 80%. Mortalitas dapat
dikurangi dengan memberikan darah ditambah plasma (mortalitas 70%), dan
darah ditambah cairan garam (mortalitas 30%). Akibatnya, cairan kristaloid akan
dipertahankan untuk memperbaiki defisit cairan interstisial yang terjadi pada
tahap awal syok apabila cairan bergerak dari interstisial ke intravaskuler.
Disamping berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa konsentrasi
albumin dapat mempengaruhi keadaan akhir pasien dengan penyakit kritis,
pemberian albumin untuk koreksi hipoalbuminemia tidak memperbaiki hasil

15
tersebut. Namun, beberapa penelitian pada penggunaan albumin menunjukkan
manfaat pada beberapa pasien. Pada sebuah abstrak penelitian, Martin dkk
melakukan penelitian secara acak pada 37 pasien trauma thoraks akut: pasien yang
mendapat albumin mengalami peningkatan COP, berat badan menurun drastis,
oksigenasi yang baik, dan bebas ventilator serta mengurangi masa perawatan di
ICU. Pada ascites, pasien chirosis, mengalami penurunan konsentrasi plasma
albumin dan menyulitkan dalam mempertahankan volume intravaskuler. Gines
dkk melaporkan bahwa pasien yang mendapat albumin akan mengalami
penurunan insidensi disfungsi ginjal dan hiponatremia. Fassio dkk menunjukkan
bahwa dekstran 70 sama efektifnya dengan albumin pada pasien chirosis dan
peritonitis bakteri ynag mendapat antibiotik tanpa mendapat albumin. Pasien yang
mendapat albumin akan mengalami reduksi tiga penanda yang penting: gangguan
ginjal, mortalitas selama perawatan di rumah sakit, dan mortalitas dalam waktu 3
bulan. Penulis juga menyebutkan bahwa penurunan aktivitas plasma renis,
membutuhkan maintenance volume intravaskuler yang baik. Pada kelompok
kontrol yang mendapat kristaloid pada titik akhir (misalnya, tekanan vena sentral
(CVP) 10-12) belum diteliti. Gentilini dkk menunjukkan bahwa pasien yang
mendapat albumin akan mendapat terapi diuretik untuk ascites pada cirhosis akan
memberikan respon yang besar, mengurangi masa perawatan di rumah sakit,
mengurangi biaya perawatan, mengurangi rekurensi ascites, dan mengurangi
pemberian ulang cairan jika dibandingkan dengan pasien yang mendapat diuretik
tanpa mendapat albumin. Pada penelitian Dawidson dkk menunjukkan bahwa
perbaikan hasil setelah dilakukan transplantasi ginjal berhubungan dengan
menurunnya waktu iskemi, pemberian intraoperatif albumin 1,2 gram/kg, akan
meningkatkan waktu operasi, dan meningkatkan usia pasien yang mendapat
donor. Keuntungan pemberian albumin tergantung pada dosisnya. Namun,
keuntungan albumin berhubungan dengan koloid atau volume efektif yang
diberikan belum diteliti. Brown dkk menyebutkan bahwa komplikasi pemberian
albumin digunakan untuk meningkatkan serum albumin lebih dari 3 gram/dL pada
pasien yang mendapat nutrisi parenteral. Namun, keuntungan tersebut tidak
tampak pada percobaan menggunakan protokol serupa. Akhirnya, albumin

16
digunakan sebagai cairan utama untuk bypass kardiopulmonal untuk menutupi
lintasan dan menurunkan platelet. Sebuah penelitian dengan membandingkan
pasien yang mendapat albumin dengan pasien yang mendapat koloid selama masa
perawatan di rumah sakit untuk operasi bypass koroner menunjukkan adanya
sedikit perbaikan kualitas hidup bila menggunakan albumin.

17

Anda mungkin juga menyukai