Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma kandung kemih merupakan penyebab terbanyak pada kecelakaan


lalu lintas atau kecelakaan kerja yang menyebabakan fragmen patah tulang pelvis
mencederai buli-buli. Ruptur kandung kemih dapat bersifat intraperitoneal atau
ekstraperitoneal. Ruptur kandung kemih ekstraperitoneal biasanya akibat tertusuk
fragmen fraktur tulang pelvis pada dinding depan kandung kemih yang penuh
(Smeltzer & Bare, 2001).

Cedera traumatis ke kandung kemih relatif jarang pada orang dewasa


maupun anak-anak. Namun, kejadian trauma tumpul meningkat sebagai akibat
dari preferensi transportasi modern dan meningkatkan ketergantungan pada
kendaraan bermotor yang melakukan perjalanan pada kecepatan yang lebih tinggi
secara paralel dengan kemajuan dalam mesin dan bagian dari teknologi. Oleh
karena itu, kejadian trauma intra abdomen dan kandung kemih dapat diperkirakan
akan meningkat juga (Espinoza & Rodriguez.1997; Dobrowolski et al, 2002;
McGahan et al. 2005 dalam Hohenfellner & Santtuci, 2007).

Trauma kandung kemih sekunder terjadi karena cidera tumpul atau cedera
tembus. enam puluh atau sembilan puluh persen dari cedera kandung kemih
tumpul terjadi sekunder untuk fraktur panggul dan 2% sampai 11% dari pasien
dengan fraktur panggul mempertahankan cedera kandung kemih dan
kombinasikan urethal dan cedera kandung kemih terjadi dalam 2% sampai 30%
dari kasus (Loughlin, 2007).

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Trauma kandung kemih adalah cidera yang terjadi pada kandung kemih
yang diakibatkan oleh kecelakaan atau trauma iatrogenik (Salam, 2013).

Trauma kandung kemih adalah trauma yang terjadi pada kandung


kemih (vesica urinaria) yang diakibatkan patahnya tulang panggul dan
beberapa hantaman keras ke arah abdomen bagian bawah ketika kandung
kemih terisi penuh (Smeltzer & Bare, 2001).

Cedera kandung kemih adalah cedera pada kandung kemih yang terjadi
akibat trauma tumpul dan penetrasi dan bervariasi menurut isi kandung kemih
sehingga bila kandung kemih penuh akan lebih mungkin untuk menjadi terluka
dari pada saat kosong (Mutaqqin & Sari, 2011).

2.2 Etiologi
Penyebab utama cedera kandung kemih adalah trauma penetrasi (tajam)
dan trauma tumpul. Penyebab iatrogenik termasuk pasca intervensi bedah dari
ginekologi, urologi, dan operasi ortopedi didekat kandung kemih. Penyebab
lain melibatkan trauma obstetri pada saat melahirkan (Mutaqqin & Sari, 2011).

Kurang lebih 90% trauma tumpul buli-buli adalah akibat fraktur pelvis.
Fiksasi buli-buli pada tulang pelvis oleh fasia endopelvik dan diafragma pelvis
sangat kuat sehingga cedera deselerasi terutama jika titik fiksasi fasia bergerak
pada arah berlawanan (seperti pada fraktur pelvis), dapat merobek buli-buli.
Robeknya buli-buli karena fraktur pelvis bisa pula terjadi akibat fragmen
tulang pelvis merobek dindingnya (Purnomo, 2007).

2
2.3 Patofisiologi
Cedera kandung kemih tidak lengkap atau sebagian akan menyebabkan
robekan mukosa kandung kemih. Segmen dari dinding kandung kemih jernih
mengalami memar, mengakibatkan cedera lokal dan hematoma. Memas atau
kontusio memberikan manifestasi klinik hematuria setelah trauma tumpul atau
setelah melakukan aktivitas fisik yang ekstrem contohnya lari jarak jauh).
Ruptur ekstraperitoneal kandung kemih. Tuptue ekstraperitonel biasanya
berhubungan dengan faktor panggul (89%-100%). Sebelumnya, mekanisme
cedera diyakini dari perforasi langsung oleh fragmen tulang panggul. Tingkat
cedera kandung kemih secara langsung berkaitan dengan tingkat keparahan
fraktur.

Beberapa kasus mungkin dengan mekanisme yang mirip dengan pecahnya


kandung kemih intraperitoneal, yang merupakan kombinasi dari trauma dan
overdistention kandung kemih. Temuan cystographic klasik adalah ekstravasasi
kontrol sekitar kandung kemih.dengan cedera yang lebih kompleks, bahan
kontras melaluas ke paha, penis, perineum, atau kedalam dinding anterior
abdomen. Ekstravasasi akan mencapai skrotum ketika fasia superior
diagfragma urogenital sendiri menjadi terganggu.

Kombinasi ruptur intraperitoneal dan ekstraperitoneal. Mekanisme cedera


penerasi memungkinkan cedera menembus kandung kemih seperti peluru
kecepatan tinggi melintasi kandung kemih atau luka tusuk abdominal bawah.
Hal tersebut akan menyebabkan intraperitoneal, ekstraperitoneal, cedera, atau
gabungan kandung kemih (Muttaqin & Sari, 2011).

2.4 Klasifikasi
Menurut Purnomo, 2007 Secara klinis cedera buli-buli dibedakan menjadi
kontusio buli-buli, cedera buli-buli ekstra peritoneal, dan cedera intra
peritoneal. Pada kontusio buli-buli hanya terdapat memar pada dindingnya,
mungkin didapatkan hematoma perivesikal, tetapi tidak didapatkan
ekstravasasi urine ke luar buli-buli. Cedera intraperitoneal merupakan 25-45%
dari seluruh trauma buli-buli, sedangkan kejadian cedera buli-buli

3
ekstraperitoneal kurang lebih 45-60% dari seluruh trauma buli-buli. Kadang-
kadang cedera buli-buli intraperitoneal bersama cedera ekstraperitoneal (2-
12%). Jika tidak mendapatkan perawatan dengan segera 10-20% cedera buli-
buli akan berakibat kematian karena peritonitis atau sepsis.

1. Ruptur intraperitoneal

Peritoneum pariental, simfisis, promantorium, cedera dinding perut yang


mengakibatkan rupture intraperitoneal kandung kemih yang penuh, tidak
terdapat perdarahan retroperitoneal kandung kemih yang penuh, tidak terdapat
perdarahan retroperitoneal kecuali bila disebabkan patah tulang pinggul.

2. Ruptur retroperitoneal

Peritoneum parietal, simfisis, promantorium, cedera panggul yang


menyebabkan patah tulang sehingga terjadi rupture buli-buli retro atau
intraperitoneal. Darah dan urin dijaringan lunak diluar rongga perut, perut
terbebas darah dan urin (Sjamsuhidayat, 1998).

2.4 Manifestasi klinis

Gejala rupturakan kandung kemih terutama berupa hematuria


makroskopik, dan nyeri selanjutnya ditambah gejala dan tanda trauma tulan
panggul. Pada pemeriksaan fisik terdapat hematom subkutis, kadang – kadang
luka goresan. Perkusi sering menunjukkan nada redup yang luas pada badan
bagian bawah sebagai akibat hematoma atau adanya ekstavasasi urina.biasanya
bagian kandung kemih yang robek terletak eksperitoneal. Kadang –kadang
kandung kemih robek kearah peritoneum. Akibatnya dapat terjadi rangsangan
peritoneum, serta ditemukan darah dan urin intraperitoneal. Pemeriksaan per
rektal biasanya tidak menunjukkan kelaina ( Scholtmeijer & Schroder, 1996 ).

Trauma kandung kemih terjadi dari fraktur pelvis dan trauma multipel
ataupun dari dorongan abdomen bawah ketika kandung kemih penuh. Gejala
dari trauma kandung kemih adalah kontusio (memar berwarna pucat yang besar
atau ekimosis akibat masuknya darah ke jaringan), ruptur kandung kemih

4
secara ekstraperitoneal, intraperitoneal, atau kombinasi keduanya. Pasien
dengan ruptur kandung kemih mungkin akan mengalami perdarahan hebat
untuk beberapa hari setelah perbaikan (Suharyanto, 2009).

2.6 Komplikasi
a. Syok

Terjadi karena penurunan tekanan darah dan terjadinya perdarahan. Pada


penderita syok sepsis 40-60% terdapat bakteremia. Hubungan antara
bakteremia dan sepsis dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain imunitas
dan kondisi penyakit. Secara umum bakteri aerobik gram negatif sering
dihubungkan dengan keadaan sepsis. Akhir-akhir ini bakteri gram positif juga
banyak ditemukan sebagai pemicu sepsis. Perjalanan sepsis akibat bakteri
diawali oleh proses infeksi yang ditandai dengan bakteremia selanjutnya
berkembang menjadi SIRS (Systemic Inflamatory Respon Syndrome)
dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir MODS. Syok terjadi
pada 40% pasien sepsis ( Prayogo, 2011)

b. Sepsis

Komplikasi pada luka traumatik biasanya disebabkan oleh oranisme aerob


endogen, terutama P. Aeruginosa, S. Aureus, E.coli, Proteus spp, acino bacter
dan lain – lain (Putranto, 2014). Ketika luka akibat trrauma tidak dirawat
dengan baik maka bakteri masuk kedalam saluran kemih maka terjadilah
infeksi saluran kemih.

Respon imunologi pada trauma berat dimulai saat awal kejadian dengan
dimulai aktifitas monosit. Aktifitas ini menyebabkan peningkatan sintesa dan
pelepasan mediatormediator inflamasi baik itu yang bersifat pro inflamasi
maupun anti inflamasi. Kelebihan respon pada trauma menginduksi SIRS dan
MOF yang terjadi 30% pada semua trauma berat (Suharyanto, 2009).

5
2.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang berguna untuk konfirmasi diagnosis dan


menyingkirkan diagnosis banding. Berikut adalah pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan pada trauma kandung kemih :

1. Uroflowmetri

Uroflowmetri adalah alat untuk mengetahui pancaran urin secara


obyektif. Derasnya pancaran diukur dengan membagi volume urin saat
berkemih, dibagi dengan lama proses berkemih. Kecepatan pancaran
normal adalah 20 ml/detik. Jika kecepatan pancaran <10 ml/detik
menandakan adanya obstruksi.

2. Uretrigram Retrograde

Dilakukan uretrigram retrograde untuk mengevaluasi cedera


uretral. Klien dilakukan kateterisasi setelah uretrogram untuk
meminimalkan risiko gangguan uretral dan komplikasi jangka panjang
yang luas, seperti striktur, inkontinensia (tidak dapat menahan berkemih)
dan impoten.

3. USG (Ultrasonografi)

USG cukup berguna dalam mengevaluasi striktur pada pars


bulbosa. Dengan alat ini kita juga bisa mengevaluasi panjang striktur dan
derajat luas jaringan parut, contohnya spongiofibrosis. Ini membantu kita
memilih jenis tindakan operasi yang akan dilakukan kepada pasien. Kita
dapat mengetahui jumlah residual urin dan panjang striktur secara nyata,
sehingga meningkatkan keakuratan saat operasi

4. MRI (Magneting Resonance Imaging)

MRI sebaiknya dilakukan sebelum operasi karena dapat mengukur


secara pasti panjang striktur, derajat fibrosis, dan pembesaran prostat.
Namun, alat ini belum tersedia secara luas dan biayanya sangat mahal
sehingga jarang digunakan (Suharyanto, 2009).

6
2.8 Penatalaksanaan

1. Sistografi

Sistografi yaitu dengan memasukkan kontras ke dalam buli-buli


sebanyak 300- 400 ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-
uretram. Kemudian dibuat beberapa foto, yaitu (1) foto pada saat buli-buli
terisi kontras dalam posisi anterior-posterior (AP), (2) pada posisi oblik,
dan (3) wash out film yaitu foto setelah kontras dikeluarkan dari buli-buli.

Jika didapatkan robekan pada buli-buli, terlihat ekstravasasi


kontras di dalam rongga perivesikal yang merupakan tanda adanya
robekan ekstraperitoneal. Jika terdapat kontras yang berada di sela-sela
usus berarti ada robekan buli-buli intraperitoneal. Pada perforasi yang
kecil seringkali tidak tampak adanya ekstravasasi (negatif palsu) terutama
jika kontras yang dimasukkan kurang dari 250 ml (Purnomo, 2007).

Penanganan ruptur traumatik kandung kemih meliputi:

1. Bedah eksplorasi dan perbaikan laserasi

2. Drainase suprapublik dari kandung kemih

3. Memasang kateter urin

4. Perawatan umum pasca bedah dipantau dengan ketat untuk menjamin


drainase yang adekuat sampai terjadi penyembuhan. Pasien ruptur
kandung kemih mungkin mengalami perdarahan hebat untuk beberapa hari
setelah perbaikan (Suharyanto, 2009).

7
BAB III

KESIMPULAN

Trauma vesika urinaria merupakan keadaan darurat bedah yang


memerlukan penatalaksanaan segera, bila tidak ditanggulangi dengan segera dapat
menimbulkan komplikasi seperti perdarahan hebat, peritonitis dan sepsis. Secara
anatomic buli-buli terletak di dalam rongga pelvis terlindung oleh tulang pelvis
sehingga jarang mengalami cedera. Cedera kandung kemih disebabkan oleh
trauma tumpul atau penetrasi. Kemungkinan cedera kandung kemih bervariasi
menurut isi kandung kemih sehingga bila kandung kemih penuh akan lebih
mungkin untuk menjadi luka daripada satu kosong. Klasifikasinya rupture
ekstaperitoneal kandung kemi, rupture kandung kemih intraperitoneal, kombinasi
rupture intraperitoneal dan ekstraperitoneal. Komplikasi yang akan terjadi
perdarahan, shock, sepsis, ekstravasasi (penyebaran darah ke jariangan).

8
DAFTAR PUSTAKA

Baradero, Mary dkk. 2008. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal.
Jakarta :EGC

Hohenfellner, M & Santucci, R.A. 2007. Emergencies in Urology. Heidelberg:


Department of Urology Heidelberg University.

Louhin, Kevin R. 2007. Complication of Urologic Surgery and Practice.


Massachusetts: Taylor & Francis Group.

Mutaqqin, Arif & Sari, Kumala. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.

Purnomo, Basuki B. 2007. Dasar – dasar Urologi Edisi Dua. Jakarta : CV


Sagung Seto.

Prayogo, Budhy Wirantono. 2011. Hubungan antara Faktor Risiko Sepsis


Obstetri dengan Kejadian Sepsis Berat dan Syok Sepsis di Departemen Obstetri
dan Ginekologi, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Surabaya. Fakultas Kedokteran,
Universitas Airlangga.

Putranto, Rudi Hendro., dkk. 2014. Cynebacterium diphtheriae Diagnosis


Laboratorium Bakteriologi. Jakarta: Pustaka obor

Salam, M.A et al. 2013. Principles and Practice of Urology, Vol. 1. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publisher.

Scholtmeijer, R.J. & Schroder, F.H. 1996. Urologi untuk praktek umum. Jakarta:
EGC

Anda mungkin juga menyukai