Anda di halaman 1dari 18

BAB I

KONSEP MEDIS

A. Definisi

Hiperplasia prostat jinak juga dikenal sebagai Benign Prostatic

Hyperplasia (BPH) adalah diagnosis histologis yang ditandai oleh proliferasi

dari elemen seluler prostat. Obstruksi kandung kemih kronis yang sekunder

akibat BPH dapat menyebabkan retensi urine, isufisiensi ginjal, infeksi saluran

kemih berulang, hematuria berat dan kalkulus kandung kemih (Deters, 2016).

BPH adalah keadaan kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia

dan penyebab kedua yang paling sering ditemukan untuk intervensi medis pada

pria di atas usia 50 tahun (Wijaya & Putri, 2013)

Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar

prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai

derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes & et al,

2000)
1 2

Gambar: 1. Prostat Normal 2. Prostat Hyperplasia

1
3

Gambar 3: Derajat BPH

- Derajat I = beratnya ± 20 gram.

- Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.

- Derajat III = beratnya > 40 gram

B. Etiologi

Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui.

Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen.

Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan. Ada

beberapa faktor kemungkinan penyebab antara lain :

1. Dihydrotestosteron

Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel

dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi.

2
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron

Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan

penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.

3. Interaksi stroma epitel

Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan

penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi

stroma dan epitel.

4. Berkurangnya sel yang mati

Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma

dan epitel dari kelenjar prostat.

5. Teori sel stem

Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit Teori sel

stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga

menyebabkan produksi selstroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi

berlebihan.

C. Manifestasi Klinik

Gejala yang ditimbulkan BPH disebut sebagai syndrome prostatisme.

Sindrome ini dibagi menjadi dua yaitu:

1. Gejala Obstruktif yaitu:

a. Hesitansi : memulai lama saat miksi dan disertai mengejan yang

disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu

3
beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi

adanya tekanan dalam uretra prostatika

b. Intermitency : terputus-putus aliran kencing akibat ketidakmampuan

otot destrusor dalam mempertahan tekanan intra vesika sampai

berakhirnya miksi.

c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir miksi.

d. Pancaran lemah: kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrusor

memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.

e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya miksi

2. Gejala Iritasi yaitu:

a. Urgensi : perasaan ingin miksi yang sangat mendesak dan sulit ditahan

b. Frekuensi: penderita miksi lebih sering dari biasanya, dapat terjadi

pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.

c. Disuria : nyeri saat miksi

D. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat adalah retensi kronik

dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal

ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada saluran

kemih. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya

batu, hematuriaf, sistitis dan pielonefritis.

4
E. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan menurut Deters (2016), yaitu:

1. Laboratorium

a. Urinalis : evaluasi sedimen disentrifugasi untuk menilai adanya darah,

leukosit, bakteri, protein, atau glukosa.

b. Kultur urine: ini mungkin berguna untuk menyingkirkan penyebab

infeksi kandung kemih yang mengiritasi jika temuan urinalis

menunjukan abnormalitas

c. Antigen spesifik prostat (PSA): meskipun BPH tidak menyebabkan

kanker prostat, pria yang beresiko terkena BPH juga beresiko terkena

kanker prostat sehingga dibutuhkan skrining

d. Elektrolit, BUN dan kreatinin: evaluasi ini merupakan alat skrining

yang berguna untuk isufisiensi ginjal kronis pada pasien yang memiliki

volume urine residu tinggi.

2. Ultrasonografi

Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan ukuran kandung kemih, prostat

dan tingkat hidronefrosis (jika ada) pada pasien denga retensi urine atau

tanda insufisiensi ginjal.

3. Endoskopi

Endoskopi saluran kemih bagian bawah (sistoskopi) dilakukan pada pasien

dengan rencana tindakan invasif atau dicurigai adanya keganasan atau

benda asing. Endoskopi juga dilakukan pada pasien dengan riwayat

5
penyakit menular seksual (mis. Uretritis gonokokal), kateterisasi, atau

trauma berkepanjangan.

4. IPPS/AUA-SI

Tingkat keparahan BPH dapat ditentukan dengan gejala International

Prostate Symptom Score (IPPS)/ American Urological Association

Symptom Index (AUA-SI). Pertanyaan menyangkut hal berikut:

a. Pengosongan urine tidak lengkap

b. Frekuensi berkemih

c. Intermitency : terputus-putus aliran kencing akibat ketidakmampuan

otot destrusor dalam mempertahan tekanan intra vesika.

d. urgensi

e. Lemahnya pancaran urine

f. Mengejan saat memulai miksi

g. Nokturia

F. Penatalaksanaan

1. Watchfull Waiting

Tatalaksana pada penderita BPH saat ini tergantung pada LUTS yang

diukur dengan sistem skor IPSS. Pada pasien dengan skor ringan (IPSS ≤

7 atau Madsen Iversen ≤ 9), dilakukan watchful waiting atau observasi

yang mencakup edukasi, reasuransi, kontrol periodik, dan pengaturan gaya

hidup. Bahkan bagi pasien dengan LUTS sedang yang tidak terlalu

terganggu dengan gejala LUTS yang dirasakan juga dapat memulai terapi

dengan malakukan watchful waiting. Saran yang diberikan antara lain :

6
a. Mengurangi minum setelah makan malam (mengurangi nokturia).

b. Menghindari obat dekongestan (parasimpatolitik).

c. Mengurangi minum kopi dan larang minum alkohol (mengurangi

frekuensi miksi).

d. Setiap 3 bulan mengontrol keluhan.

2. Tatalaksana Invasif

Tatalaksana invasif pada BPH bertujuan untuk mengurangi jaringan

adenoma. Indikasi absolut untuk melakukan tatalaksana invasif :

a. Sisa kencing yang banyak

b. Infeksi saluran kemih berulang

c. Batu vesika

d. Hematuria makroskopil

e. Retensi urin berulang

f. Penurunan fungsi ginjal

Gold Standard untuk tatalaksana invasif BPH adalah Trans Urethral

Resection of the Prostate (TURP) yang dilakukan untuk gejala sedang

sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gram, dan kondisi pasien

memenuhi toleransi operasi. Komplikasi jangka pendek pada TURP antara

lain perdarahan, infeksi, hiponatremi, retensi karena bekuan darah.

Komplikasi jangka panjang TURP adalah striktur uretra, ejakulasi

retrograd, dan impotensi.

7
Gambar 5: Tindakan TURP

Bila alat yang tersedia tidak memadai, maka dapat dilakukan operasi

terbuka dengan teknik transvesikal atau retropubik. Karena morbiditas dan

mortalitas yang tinggi yang ditimbulkannya, operasi sejenis ini hanya

dilakukan apabila ditemukan pula batu vesika yang tidak bisa dipecah

dengan litotriptor / divertikel yang besar (sekaligus diverkulektomi) /

volume prostat lebih dari 100cc

3. Medical Treatment

Ada beberapa jenis pengobatan medikamentosa pada BPH yaitu :

a. Penghambat adrenergik alfa

Obat ini menghambat reseptor alfa pada otot polos di trigonum, leher

vesika, prostat, dan kapsul prostat, sehingga terjadi relaksasi,

penurunan tekanan di uretra pars prostatika, sehingga meringankan

obstruksi. Perbaikan gejala timbul dengan cepat, contohnya Prazosin,

Doxazosin, Terazosin, Afluzosin, atau Tamsulosin. Efek samping yang

8
dapat timbul adalah karena penurunan tekanan darah sehingga pasien

bisa mengeluh pusing, capek, hidung tersumbat, dan lemah.

b. Penghambat enzim 5 α reduktase

Obat ini menghambat kerja enzim 5 α reduktase sehingga testosteron

tidak diubah menjadi DHT, konsentrasi DHT dalam prostat menurun,

sehingga sintesis protein terhambat. Perbaikan gejala baru muncul

setelah 6 bulan, dan efek sampingnya antara lain melemahkan libido,

dan menurunkan nilai PSA.

c. Phytoterapi

Obat dari tumbuhan herbal ini mengandung Hypoxis Rooperis, Pygeum

Africanum, Urtica Sp, Sabal Serulla, Curcubita pepo, populus temula,

Echinacea pupurea, dan Secale cereale. Banyak mekanisme kerja yang

belum jelas diketahui, namun PPygeum Africanum diduga

mempengaruhi kerja Growth Factor terutama b-FGF dan EGF. Efek

dari obat lain yaitu anti-estrogen, anti-androgen, menurunkan sex

binding hormon globulin, hambat proliferasi sel prostat, pengaruhi

metabolisme prostaglandin, anti-inflamasi, dan menurunkan tonus leher

vesika

9
BAB II

KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan

1. Anamnesis

a. Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku

bangsa / ras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan, penghasilan

dan alamat.

b. Keluhan utama

Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP adalah

nyeri yang berhubungan dengan spasme buli – buli. Pada saat mengkaji

keluhan utama perlu diperhatikan faktor yang mempergawat atau

meringankan nyeri ( provokative / paliative ), rasa nyeri yang dirasakan

(quality), keganasan / intensitas ( saverity ) dan waktu serangan, lama,

kekerapan (time).

c. Riwayat penyakit sekarang

Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lower

Urinari Tract Symptoms ( LUTS ) antara lain : hesitansi, pancar urin

lemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah selesai

miksi, urgensi, frekuensi dan disuria. Perlu ditanyakan mengenai

permulaan timbulnya keluhan, hal-hal yang dapat menimbulkan

keluhan dan ketahui pula bahwa munculnya gejala untuk pertama kali

atau berulang.

10
d. Riwayat penyakit dahulu

Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan

keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan . Diabetes Mellitus,

Hipertensi, PPOM, Jantung Koroner, Dekompensasi Kordis dan

gangguan faal darah dapat memperbesar resiko terjadinya penyulit

pasca bedah. Ketahui pula adanya riwayat penyakit saluran kencing dan

pembedahan terdahulu.

e. Riwayat penyakit keluarga

Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya menurun

seperti: Hipertensi, Diabetes Mellitus, Asma perlu digali .

2. Pemeriksaan fisik: Keadaan umum : kesadaran klien, keadaan penyakit dan

tanda-tanda vital. Sistem pernapasan, sirkulasi, neurologi, gastrointestinal,

dan sistem urogenital.

3. Pemeriksaan penunjang

a. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan

konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.

Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :

1) Derajat I = beratnya ± 20 gram.

2) Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.

3) Derajat III = beratnya > 40 gram.

b. Pemeriksaan Laboratorium

1) Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar

gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.

11
2) Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.

3) PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai

kewaspadaan adanya keganasan.

c. Pemeriksaan Uroflowmetri

Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara

obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan

penilaian :

1) Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.

2) Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.

3) Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.

d. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik

1) BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase

pada tulang.

2) USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi,

volume dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual

urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral

dan supra pubik.

3) IVP (Pyelografi Intravena). Digunakan untuk melihat fungsi

exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis.

4) Pemeriksaan Panendoskop. Untuk mengetahui keadaan uretra dan

buli – buli.

12
B. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi

2. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi uretra oleh

prostat

3. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan

4. Risiko infeksi berhubungan dengan media perkembangan patogen (statis

urine)

13
C. Intervensi Keperawatan

No. Dx. Keperawatan Tujuan Intervensi/Implementasi Rasional

1. Domain: 12 Kenyamanan NOC: NIC:


Kelas: 1 Kenyamanan Fisik Tujuan : Setelah dilakukan 1) Lakukan pengkajian nyeri secara 1. Mengetahui ambang batas nyeri
Kode: 00132 tindakan keperawatan selama komprehensif termasuk lokasi, yang dirasakan pasien secara
Nyeri akut berhubungan …. Pasien tidak mengalami karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas subjektif guna pelaksanaan
dengan agen injuri biologi nyeri, dengan dan faktor presipitasi intervensi lanjut
Kriteria hasil:
- Mampu mengontrol nyeri 2) Observasi reaksi nonverbal dari 2. Untuk mengetahui tingkat
(tahu penyebab nyeri, ketidaknyamanan ketidaknyamanan dirasakan
mampu menggunakan oleh pasien
tehnik nonfarmakologi 3) Tentukan pengaruh nyeri terhadap 3. Untuk mengurangi faktor yang
untuk mengurangi nyeri, nafsu makan, tidur, aktivitas, mood, dapat memperburuk nyeri yang
mencari bantuan) dan hubungan sosial dirasakan klien
- Melaporkan bahwa nyeri
4) Ajarkan tentang teknik non
berkurang dengan 4. Agar nyeri yang dirasakan klien
menggunakan manajemen farmakologi: napas dala, relaksasi, tidak bertambah
nyeri distraksi, kompres hangat/ dingin
- Mampu mengenali nyeri 5) Berikan analgetik untuk mengurangi
(skala, intensitas, frekuensi nyeri: ……... 5. Pemberian analgesik dapat
dan tanda nyeri) mengurangi rasa nyeri
- Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
- Tanda vital dalam rentang
normal
- Tidak mengalami
gangguan tidur

14
2. Domain 3. Eliminasi dan NOC: NIC: 1. Memberikan informasi tentang
Pertukaran Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau pemasukan dan pengeluaran dan fungsi ginjal dan adanya
Kelas 1. Fungsi Urinalis keperawatan karakteristik urine. komplikasi.
Kode 00016 selama....diharapkan eliminasi 2. Kaji pola berkemih normal pasien dan 2. Massa dapat menyebabkan
Gangguan eliminasi urine urine optimal, dengan criteria perhatikan variasi. eksibilitas saraf yang
berhubungan dengan hasil: 3. Dorong peningkatan pemasukan cairan. menyebabkan sensasi kebutuhan
obstruksi uretra oleh prostat - Tidak ada hematuri 4. Observasi keluhan kandung kemih penuh, berkemih segera. Biasanya
- Pengeluaran urine tanpa palpasi untuk distensi suprapubik. frekuensi dan urgensi meningkat
nyeri Perhatikan penurunan keluaran urine, bila massa mendekati pertemuan
adanya edema periorbital/tergantung. uretrovesikal.
5. Dorong pasien untuk berkemih bila terasa 3. Peningkatan hidrasi membilas
dorongan. bakteri, darah, dan debris.
6. Jelaskan kondisi perkemihan pasien 4. Retensi urine dapat terjadi
7. Kolaborasi pemasangan kateter menyebabkan distensi jaringan
(kandung kemih/ginjal) dan
potensi resiko infeksi, gagal
ginjal.
5. Berkemih dengan dorongan
mencegah retensi urine.
6. Pengetahuan kesehatan yang
akurat akan meningkatkan
kemampuan pasien dalam
mempertahankan kesehatan
7. Mengantisipasi gangguan lebih
lanjut.

3. Resiko infeksi NOC: NIC:


Setelah dilakukan tindakan 1. Cuci tangan sebelum dan sesudah 1. Meminimalkan risiko infeksi
keperawatan selama…… tindakan keperawatan 2. meminimalkan patogen yang
pasien tidak mengalami infeksi, ada di sekeliling pasien
dengan

15
Kriteria Hasil: 2. Observasi dan laporkan tanda dan gejal 3. memantau terjadina infeksi
- Klien bebas dari tanda dan infeksi seperti kemerahan, panas, nyeri, infeksi
gejala infeksi tumor 4. memantau perubahan nilai
- Menunjukkan kemampuan 3. Kaji tanda-tanda vital tiap 6 jam laboratorium
untuk mencegah timbulnya 4. Catat dan laporkan hasil laboratorium 5. Pemberian antibiotik untuk
infeksi 5. Kolaborasi pemberian antibotik mencegah timbulnya infeksi
- Jumlah leukosit dalam
batas normal

16
BAB III

WEB OF CAUTION (WOC)

17
DAFTAR PUSTAKA

Basuki, P. (2000). Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI. Jakarta:


KTD.
Bulechek, G. M., & et al. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC).
Philadelphia: Elsevier.
Deters, L. A. (2016, November 6). Drugs & Diseases : Urologi. Dipetik May 28,
2017, dari Medscape: http://emedicine.medscape.com/article/437359-
overview
Doengoes, M. E., & et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: Penerbi
Buku Kedokteran EGC.
Moorhead, S., & et al. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC).
Philadelphia: Elsevier.
NANDA. (2015). Diagnosis Keperawatan : Definisi & Klasifikasi Edisi 10.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Wijaya, S. A., & Putri, M. Y. (2013). Keperawatan Medikal Bedah: Keperawatan
Dewasa. Yogyakarta: Nuha Medika.

18

Anda mungkin juga menyukai