Coba sekarang Saudara membawa binatang dari Saudara-saudara, saya ingin menggunakan kesem-
Kanada, sebelah utara Amerika yang dingin, dan patan ini dengan memberikan pegangan kepada
Saudara pelihara di sini. Ia pasti akan mati. Tetapi Saudara-saudara. Apa yang harus kita miliki dalam
manusia bisa beradaptasi, dari sini pindah ke Amerika, keadaan yang tidak menentu seperti sekarang ini?
pindah ke Kanada, orang daerah dingin pindah ke Apakah pegangan yang dipunyai oleh, dan harus
Indonesia yang panas, bisa! Meskipun sulit, bisa! Fisik dipunyai oleh setiap umat Buddha dalam menghadapi
manusia bisa beradaptasi, binatang sulit! Ada yang bermacam-macam masalah yang tidak menentu, yang
bisa, tetapi tidak semua. menimbulkan ketakutan, was-was, gelisah, khawatir,
dan sebagainya? Tidak lain adalah Triratna. Tidak ada
Mental kita juga bisa beradaptasi. Saya mendengar pilihan lain, yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha.
cerita zaman Belanda keadaannya begini-begini, Setiap umat Buddha melakukan sembahyang,
zaman Jepang keadaannya begini-begini, tapi rakyat berupacara. Pada waktu kita akan memulai Dhamma
bisa beradaptasi. Itulah kekuatan manusia yang Class, ini kita juga melakukan pembukaan singkat
terbesar. Beradaptasi itu istilah gampangnya: sekali. Semuanya tidak lain ditujukan kepada
menyesuaikan diri. Sudah tentu kita mempunyai Triratna—Buddha-Dhamma-Sangha. Setiap umat
pedoman-pedoman di dalam perbuatan kita. Bukan Buddha juga hafal dengan Buddham, Dhammam, dan
menyesuaikan diri melakukan kejahatan, melakukan Sangham saranam gacchami (Aku berlindung kepada
hal-hal yang tercela. Buddha-Dhamma-Sangha). Kalimat itu jelas sekali. Aku
berlindung kepada Buddha-Dhamma-Sangha. Sebagai
Nah, Saudara-saudara, kalau kita tidak bisa
pelindung fisik, kita punya polisi, tentara, benteng,
mengubah lingkungan kita, tidak bisa mengubah
gembok, kunci, terali dan lain-lain. Namun, sebagai
negara ini sesegera mungkin, kita harus menyesuaikan
pelindung mental, kita memiliki Buddha, Dhamma,
diri dan kita tidak usah ikut berteori bagaimana krisis
dan Sangha. Mengapa Buddha-Dhamma-Sangha itu
moneter ini kok menjadi krisis kepercayaan.
dijadikan Pelindung? Mengapa kok tidak sesama
Bagaimana arahnya reformasi ini, sudahlah biar saja,
manusia saja? Saudara, itu adalah karena Buddha-
itu urusannya satrio-satrio yang di Jakarta sana. Wong
Dhamma-Sangha sudah bersih dari keserakahan,
cilik ini tidak usah berpikir begitu. Kita melakukan apa
kebencian, dan kegelapan batin. Dewa-dewa atau
yang kita mampu untuk bisa bertahan dan membantu
orang lain bisa melindungi kita. Mungkin saja dia
sekeliling kita. Nanti kalau kita ikut-ikutan, wong cilik
melindungi dengan tulus, tetapi mungkin juga dia bisa
ini bukan saja teorinya tidak cocok, nanti
melindungi dengan pamrih, minta balasan. Paling
3
tidak ya dia mengharapkan ucapan terima kasih, Caranya adalah belajar Dhamma. Apa yang
pujian. Kalau dia tidak mendapatkan itu dia bisa diberikan Triratna kepada kita? Buddha adalah
kecewa karena dia sudah berkorban melindungi yang bagaikan Penemu obat, Dhamma itulah obat, dan
harus dilindungi. Sangha itu adalah seperti orang yang sudah mencoba
obat itu serta sudah sembuh dan kemudian menjadi
Karena mereka masih mempunyai keserakahan, perawat untuk membantu kita-kita yang masih belum
meskipun mungkin tidak besar, mereka juga mungkin sembuh.
masih mempunyai kebencian, masih mempunyai
pandangan-pandangan yang salah. Tetapi Buddha, Yang pertama mungkin saya menabung kedamaian,
Dhamma, dan Sangha tidak lagi mempunyai karena kalau saya sakit, saya sudah kenal dokter
keserakahan, kebencian, ataupun pandangan yang spesialis. Dokternya itu Sang Triratna. Tentu itu tidak
salah. Buddha, Dhamma, dan Sangha tidak cukup! Tidak cukup hanya kenal dokter spesialis lalu
membutuhkan imbalan apapun dari kita, pujian pun damai dan tenang. Memang itu perlu dan lebih baik
juga tidak, apalagi imbalan-imbalan yang kasar, daripada tidak mengenal dokter sama sekali. Nanti
seperti sesaji atau persembahan-persembahan. Tidak kalau betul-betul sakit, bisa kebingungan. Tetapi tidak
sama sekali. Saudara-saudara, sekarang yang menjadi cukup begitu. Kita suatu ketika harus mengecek,
persoalan adalah kalau kita sudah menyatakan memeriksa kesehatan kita. “Dok, darah saya
berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha, bagaimana? Dok, kolesterol saya bagaimana?” Dan
apakah kita juga sudah bebas dari penderitaan? suatu ketika kita pasti sakit, tidak mungkin tidak.
Nyatanya banyak umat Buddha yang berlindung pada
Buddha, Dhamma, dan Sangha masih belum bebas Kemudian, kita harus datang kepada dokter itu,
dari penderitaan. mendengarkan nasihatnya, dan dokter kemudian
memberikan nasihat, memberikan obat. Kita harus
Benar, Saudara, kalau Saudara menyatakan menurut. Kalau kita hanya puas: wah saya sudah
berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha, aman, saya kenal dokter spesialis itu, spesialis ginjal,
secara mental Saudara mempunyai pelindung. Paling spesialis penyakit dalam, spesialis hidung, telinga,
tidak, pikiran kita tidak dikuasai terus-menerus oleh tenggorokan, spesialis paru-paru, dan sebagainya,
kekhawatiran, was-was, gelisah, jengkel, benci, dan maka itu belum ada manfaatnya. Nah sekarang kita
sebagainya, karena kita mengalihkan pikiran kita meningkatkannya sehingga tidak hanya kenal, tetapi
kepada Buddha-Dhamma-Sangha. Pada saat kita datang bertanya, “Umur saya ini sudah kepala lima,
memikirkan Buddha-Dhamma-Sangha, kebencian, Dokter, apa yang harus saya perhatikan? Apa yang
kemarahan, kekhawatiran, kegelisahan itu dilupakan harus saya lakukan, dan apa yang harus saya hindari?”
sementara. Itulah artinya perlindungan mental. Dokter akan memberikan nasehat. Kita harus
Mungkin di agama lain ada yang mengingat Maria, mendengar, memahaminya, dan kemudian berusaha
ada yang mengingat Yesus, ada yang mengingat Gusti untuk menepati. Itulah berlindung pada Triratna.
Allah, ya silahkan. Bagi umat Buddha yang diingat Tingkat yang selanjutnya, mengerti apa yang diberikan
adalah Buddha-Dhamma-Sangha. Alasannya Buddha- Triratna.
Dhamma-Sangha ini tidak akan meminta imbalan,
bersih dari keserakahan, kebencian, pandangan salah Perasaan Saudara yang tidak senang adalah
dan sebagainya. penderitaan dan perasaan Saudara yang senang itulah
bahagia. Nah, perasaan senang atau tidak senang itu
Mental kita pun menjadi memiliki tameng yang kedua-duanya berbahaya. Meskipun perasaan itu
mulia sehingga mental kita tidak hanya dikuasai oleh didapat dari berbuat baik, yang halal, yang dibenarkan
kemarahan, ketidakmauan menerima kenyataan, oleh agama, itu juga berbahaya. Karena perasaan
kebencian dan sebagainya. Makin sering kita senang hasil dari berbuat baik itu tidak kekal. Dan
memikirkan Buddha-Dhamma-Sangha, Aku berlindung kalau tidak disadari nantinya malah akan membuat
pada Buddha, Aku berlindung pada Dhamma, Aku kita kecewa. Kecewa itu adalah penderitaan yang baru,
berlindung pada Sangha, kemarahan dan kejengkelan buntutnya jengkel, marah. Nah, oleh karena itu,
itu akan berkurang. “Tetapi penderitaan kan belum sadarlah!
selesai, Bhante.” Ya, penderitaan belum selesai. Oleh
karena itu, Saudara, kita harus meningkatkan sikap Merasa tidak senang, ya disadari. Merasa senang,
berlindung kita itu. Tidak hanya sekadar: Aku ya disadari. “Kalau kita tidak senang bagaimana,
berlindung pada Buddha, Aku berlindung pada Bhante?” Ya tidak usah kebakaran jenggot. Selagi
Dhamma, Aku berlindung pada Sangha. Kita harus tidak senang, ya sudah, kan akan hilang sendiri. Tidak
meningkatkan lebih tinggi lagi. Bagaimana caranya? usah cari selingan pergi ke tempat yang tidak benar,
4
tidak usah pergi ke tempat yang remang-remang, kita akan menyadari apa saja yang muncul pada
minum-minum, tidak usah. Sadari saja. Nanti akan pikiran, perasaan kita. Itulah arti berlindung pada
hilang sendiri. Buddha-Dhamma-Sangha yang tertinggi.
Demikian juga kalau lagi puas, lagi gembira. Jadi tidak nyebut-nyebut nama Buddha-Dhamma-
Meskipun itu tidak dari kejahatan, dari kebaikan “Wah Sangha, Buddha-Dhamma-Sangha, Buddha-Dhamma-
lagi senang, lagi bahagia.” Sewaktu selesai meditasi, Sangha. Yang kita kerjakan adalah mengawasi pikiran
rasanya bahagia, harus disadari. Bahagianya orang dan perasaan sebanyak mungkin supaya kita tidak
meditasi itu juga tidak kekal. Jangan kaget nanti kalau terpancing. Karena kalau terpancing yang tidak
hilang. Oleh karena itu Sang Buddha mengatakan menyenangkan maka akan timbul marah, panas;
tujuan kita yang tertinggi itu bukan mencari bahagia. sedangkan kalau terpancing yang menyenangkan
Memang kita tidak ingin menderita, ya lumrah. Orang maka akan timbul serakah, panas juga, sama saja.
tidak ingin menderita, ingin bahagia. Ya. Tapi bahagia
itu tidak abadi. Bahagia itu hanya sepintas dan Nah, kalau kita bisa menyadari dengan pengertian
sebentar sehingga akan mengecewakan kita pada ketidakkekalan, kita akan bebas meskipun kita belum
akhirnya. Maka yang tertinggi itu bukan mencari mencapai kesucian. Detik-detik itu kita menjadi
kebahagiaan, tetapi mencari KEBEBASAN. Kebebasan manusia bebas. Meskipun cuma satu detik, itu
ini bukan berarti bebas mau bertindak apapun berharga sekali. Satu saat saya merasa sedih, tapi
seenaknya saja. Kebebasan di sini berarti bebas dari begitu ingat kesadaran, saya sadari, “Oh perasaan
perangkap, tidak terperangkap oleh kebencian, tidak saya sedih, ini tidak kekal.” Begitu saya menyadari,
terperangkap oleh kebahagiaan. saya menjadi orang bebas; merasakan kebebasan
meskipun sesaat. Jengkel saya rasanya, kok tidak enak,
Kebencian itu bagaikan pancing, Saudara. Kita wah buru-buru disadari, “Oh ini perasaan tidak senang
tidak terpancing bagaimana? Marah. Kalau sedang muncul, tetapi ini juga tidak kekal, nanti juga
menghadapi yang tidak disenangi maka menjadi lenyap.” Pada saat kita menyadari itu, kita merasa
marah dan jengkel. Kalau sudah jengkel, muncul ringan, enteng, dan bebas. Detik itu pula kita bebas
ucapan dan perbuatan yang tidak bisa dikendalikan. dari kemarahan dan kebencian. Nah, suatu ketika kita
Timbullah kejahatan. Itulah pancingan rasa tidak makan enak, atau angin sepoi-sepoi menyejukkan,
senang. Rasa senang juga sebetulnya pancingan. “Waduh kalau begini kok rasanya enak.” Eh, hati-hati!
Pancingannya rasa senang itu apa? Serakah, ingin lagi, Sadarilah bahwa rasa enak tersebut juga tidak kekal.
ingin lagi, ingin lagi. “Wah, kalau bisa seperti begini Maka pada saat itu kita bebas dari keserakahan. Detik
terus,” itu pancingan kesenangan. itu kita adalah orang yang bebas.
Pancingan yang tidak menyenangkan: kemarahan, Nah, kalau Saudara bisa mempertahankan detik-
kejengkelan, kebencian. Pancingan yang menye- detik ini terus, itulah sesungguhnya dikatakan
nangkan: keserakahan. Kedua berbahaya. Nah, Nibbana atau Nirvana. Kebebasan. Memang sukar.
Saudara-saudara sekalian, oleh karena itu marilah kita Meskipun kita tidak bisa menikmati Nibbana dalam
mengasah menggunakan kesadaran. Memang susah waktu yang agak lama, ya tidak apa, minimal dalam
sekali, sangat susah. Tetapi kita harus latihan meditasi, saat-saat tertentu. Di saat-saat tertentu kita mencicipi
belajar Dhamma. Pendeknya apa saja yang kontak apa yang dikatakan Sang Buddha sebagai Nibbana.
pada pikiran, perasaan; harus diketahui ataupun Kebebasan itu seperti yang saya jelaskan tadi. Itulah
disadari dengan dilandasi pengertian ‘ini tidak kekal’, KEBEBASAN, tujuan umat Buddha yang tertinggi dan
‘ini tidak abadi’, ‘ini hanya sebentar’. itulah arti berlindung pada Triratna yang
sesungguhnya, bukan kita pakai tasbih, Buddha-
Selesai mendengarkan khotbah, “Wah saya Dhamma-Sangha, Buddha-Dhamma-Sangha, Buddha-
mengerti, senang saya rasanya.” Harus disadari bahwa Dhamma-Sangha. Menyebut Buddha-Dhamma-
rasa senang itu juga tidak kekal meskipun senang itu Sangha itu memang baik, tapi itu perlindungan kelas
yang timbul dari mendengarkan khotbah. Itu juga nol. Kelas nol memang baik, daripada tidak sekolah.
tidak kekal, sebentar saja, nanti akan timbul masalah Daripada memikirkan kejahatan, kegelisahan,
lain dan hilang sudah senangnya. pemerkosaan, kekhawatiran, kan lebih baik membawa
tasbih, Buddha-Dhamma-Sangha, Buddha-Dhamma-
Memelihara dan menjaga kesadaran, meskipun Sangha, Buddha-Dhamma-Sangha. Pelindung saya
tidak bisa setiap detik, itu sangat perlu dilatih sejak Buddha-Dhamma-Sangha. Perasaan kita tentram,
dari kita bangun pagi sampai nanti tidur kembali. tetapi kita belum bebas dari penderitaan. Lebih lanjut,
Sebanyak-banyaknya kita menggunakan kesadaran, belajar Dhamma, kurangi kejahatan, hindari kejahatan,
5
perbuat kebaikan sebanyak mungkin karena ingat menjadi orang yang dikuasai oleh ingatan-ingatan dan
Hukum Kamma. Itulah berlindung yang lebih baik. kesan-kesan yang tidak baik. Demikianlah, Saudara,
Meskipun demikian, penderitaan masih belum selesai cara membebaskan pikiran kita dari gangguan-
karena untuk menyelesaikan penderitaan itu bukan gangguan, dari problem-problem dan persoalan-
hanya dengan berbuat baik. Meskipun Anda berbuat persoalan.
baik setinggi langit, penderitaan tidak akan terhapus.
Hapusnya penderitaan itu adalah bagian dari Malam itu Pangeran Siddharta merasa gelisah.
kesadaran, supaya tidak terpancing oleh perasaan Berbagai fenomena penderitaan yang baru disaksikan
yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan. di balik tembok istana mengusik nuraninya dan
Dengan kesadaran itulah penderitaan akan membuat hatinya terguncang.
terhapuskan dan kita memperoleh Kebebasan. Itulah
arti berlindung pada Triratna yang sesungguhnya. Ia bergulat dengan pikirannya, “Mengapa
penderitaan itu harus terjadi”. Muara kehidupan
Dalam keadaan krisis seperti ini, cobalah kita haruslah kebahagiaan, bukan penderitaan.
meningkatkan latihan spiritual kita. “Wah, nanti tahu- Kebahagiaan akan terwujud manakala tak ada lagi
tahu saya ikut jadi korban mati. Bagaimana Bhante?” ketakutan akan usia tua, sakit, kematian. Tak ada lagi
Bukankah kita sudah punya bekal. Bekalnya air mata, diskriminasi, kemiskinan, kebodohan,
berlindung pada Triratna dengan cara yang benar. keterbelakangan, dan ketidakadilan.
Tahap permulaan, tahap pertengahan, dan
mengembangkan kesadaran. Tidak usah khawatir. Kita Akhirnya Pangeran Siddharta mengambil
mulai saja mulai saat ini. Selain itu kalau memang kita keputusan radikal. Kalau banyak orang menjadi
masih belum mati, mungkin matinya nanti di umur 70 pemimpin dengan mencari istana, Pangeran Siddharta
atau 80, kan kita sudah beruntung karena sekarang justru meninggalkan istana. Kalau orang berjuang
kita sudah mengerti bagaimana cara berlindung yang keras untuk menjadi kaya, Pangeran Siddharta dengan
benar; selain menghindari kejahatan, menambah penuh kesadaran meninggalkan gemerlap kehidupan
kebaikan, mempertajam kesadaran dan kewaspadaan istana untuk hidup sederhana, sebagaimana layaknya
untuk merasakan, mencicipi kebebasan dari hawa rakyat biasa.
nafsu, dari kebencian, dari keserakahan, dan
sebagainya. Ia rela melepas gelar kebangsawanan, kemewahan,
kenikmatan hidup dunia, bahkan keluarga yang
Itulah yang ingin saya sampaikan pada kesempatan dicintainya. Pelepasan agung ini tak pernah bisa dicari
ini. Jadi kalau umat Buddha berdoa, bagaimana analoginya dalam kenyataan sekuler.
caranya? Caranya ya menyadari itu tadi. Meskipun di
Berpuluh tahun lalu, para pejuang kemerdekaan
dalam kamar kecil atau di mana saja, waktu mandi,
dengan tekad bulat, mengusir penjajah yang menjarah
waktu makan, rasa senang yang muncul itu disadari,
kekayaan alam dan mencabik-cabik harga dirinya dan
rasa yang tidak senang muncul juga disadari. Ini akan
saudara sebangsa. Mereka mengorbankan segalanya;
membuat kita tenang, seimbang. Kalau senang
harta, kehormatan, bahkan nyawa. Mereka adalah
muncul juga tidak menggebu-gebu, kalau senang tidak
pahlawan.
muncul juga tidak sedih yang luar biasa. “Jadi
bagaimana, Bhante, kalau nonton bioskop, nonton
K ekuatan ketulusan
TV?” Boleh, Saudara. “Nonton bola bagaimana?”
Boleh. “Jagonya kalah, sedih, bagaimana, Bhante?” Ya Komitmen dan sikap Pangeran Siddharta serta
disadari. Sadari perasaan tidak senang itu. “Jagonya para pahlawan pejuang untuk mengatasi penderitaan
menang bagaimana?” Itu juga disadari. Senang… dan memerdekakan manusia adalah wujud semangat
senang… tidak abadi, tidak kekal. Itulah caranya kita solidaritas, kebersamaan, dan kesetiakawanan sosial.
membebaskan diri kita. Mereka disatukan oleh kesederajatan, senasib,
sepenanggungan sebagai makhluk yang sama-sama
Demikian juga kenangan masa lalu yang pahit-
tercecer dan tersingkir ke pinggir-pinggir kehidupan.
pahit, yang sangat pahit. Kadang-kadang
kenangan/ingatan itu muncul. “Wah, kita sedih sekali Di atas semua itu, tak ada misi sedikitpun yang
kalau teringat hal itu. Sedih sekali, Bhante” Nah, terselip dalam benak Pangeran Siddharta untuk
sadari itu. Ini hanya ingatan, ulahnya pikiran. Saya mendirikan agama; pun tak ada secuil kepentingan
merasa sedih, rasa sedih ini tidak kekal, tidak kekal. untuk mencari pengikut. Pengorbanan dan
Maka akan mudah sekali kita membebaskan dari perjuangan tanpa pamrih Sang Pangeran dan para
nostalgia-nostalgia yang nakal-nakal itu. Kita tidak pahlawan pejuang untuk mencari jalan pembebasan
6
itu yang terus menggugah kita. Mereka dikenang dilakukan dalam setiap tindakan. Ini berarti “aku”
karena ketulusan hatinya. Mereka akan tetap hidup yang melakukan perjuangan dan pengorbanan tidak
dalam semangat luhur untuk menolong sesama; teridentifikasi. Tidak ada “aku” utuh yang melakukan
peduli pada pergumulan kehidupan. perjuangan dan pengorbanan karena tidak ada “aku”
yang berdiri sendiri tanpa ada kondisi-kondisi lain.
Kekuatan ketulusan membuat para pejuang
kehidupan tak pernah menyesali setiap pengorbanan Betapa berharganya kesadaran akan hal ini karena
yang telah dilakukan. Mereka meyakini apa yang gagasan “milikku, perjuanganku, pengorbananku”,
dilakukan; bahwa melakukan kebajikan akan berbuah lagi-lagi hanya akan menyuburkan ketamakan dan
kebahagiaan. Sementara orang yang tidak tulus akan penderitaan mental yang tak berkesudahan. Gagasan
lebih banyak gelisah dan khawatir, bahkan tak jarang tentang “aku” hanya akan membunuh perkembangan
kecewa dan menyesal manakala mendapati kenyataan spiritual kita.
yang tidak sesuai harapan.
Pikiran sulit dikendalikan
Dalam Anggutara Nikaya V, 2 Buddha Gotama
menyatakan, “Seseorang yang sungguh-sungguh Secara alamiah, pikiran yang tidak terlatih akan
(tulus) dalam kebajikan, tidak perlu ada pemikiran amat sulit dikendalikan. Pikiran itu merayu orang
yang bertujuan, semoga aku terbebas dari penyesalan; untuk menjadikannya sebagai makhluk yang
karena seseorang yang bajik dengan sendirinya akan diperbudak indera. Pikiran yang tidak terlatih itu
terbebas dari penyesalan. Dan bagi seseorang yang menggoda manusia yang telah melakukan kebaikan
terbebas dari penyesalan, tidak perlu ada pemikiran menjadi sombong dan memamerkan kebaikannya,
yang bertujuan, semoga aku berbahagia; karena orang keilmuannya, hartanya, kedudukannya, pengalaman-
yang terbebas dari penyesalan dengan sendirinya nya, kekuatannya, dan aneka topeng duniawi lainnya
akan berbahagia”. yang dianggap dapat mengangkat citra dan pujian
kepada dirinya. Demikianlah, khayalan dan emosi
Tanpa pemilik kebajikan selalu menyesatkan manusia jika pikirannya tak
pernah dilatih dengan benar.
Menurut Buddha Gotama, kita harus meng-
hancurkan egoisme pribadi untuk menghentikan Jadi, perbuatan baik saja tak cukup untuk
penderitaan secara total. Namun, sikap tanpa mencapai kebebasan. Kebahagiaan tertinggi tak dapat
keakuan itu tidak dapat dimiliki hanya karena dicapai tanpa memurnikan pikiran. Buddha Gotama
mengerti, keakuan adalah ilusi. Keakuan juga tidak mengajarkan, meditasi adalah pendekatan psikologis
akan lenyap karena telah memahami, keakuan yang dapat dilakukan untuk melatih, mengembangkan,
menjadi sumber penderitaan. dan memurnikan pikiran.
Pengertian “tanpa aku” dan “tanpa diri” hanya Bangsa ini sudah terlalu lama jauh dari ketulusan;
kunci untuk membuka pintu kebenaran dan ketulusan yang membebaskan kita dari keserakahan,
kebebasan, tetapi kebenaran tidak terletak pada kunci. kebencian, dan berbagai ilusi yang selalu membakar
mental.
Pengertian bahwa keakuan hanya ilusi yang
diciptakan oleh pikiran sendiri dan bermuara pada Mari kita, mulai dari diri sendiri, melangkah
kehancuran pribadi maupun masyarakat merupakan kembali di jalan ketulusan. Berbuat baik dengan
pengertian yang harus menjadi wawasan kita. Namun, ketulusan hati, menganut agama dengan ketulusan
pengertian “tanpa aku” itu harus terwujud dalam beriman, memangku jabatan dengan ketulusan
setiap perilaku kita. menunaikan kewajiban, memimpin dengan ketulusan
mengabdi.
Perilaku bajik yang dilakukan dengan penuh
kesadaran (sati) itulah ketulusan sebenarnya. Selamat Trisuci Waisak 2551. Semoga semua
Kesadaran penuh tidak memberi peluang pada makhluk terbebas dari penderitaan.
hadirnya pemikiran keakuan, baik keakuan sebagai
pribadi yang telah berbuat baik, apalagi keakuan yang Sri Pannyavaro Mahatera
amat kasar, seperti kehausan akan pahala, Bhikkhu, Kepala Vihara Mendut
keuntungan materi maupun ketenaran. Sumber: Harian Kompas, 2007