Anda di halaman 1dari 33

Tutorial in Clinik (TIC)

Gambaran Kasus

An. F usia 5 tahun dating ke RS Soudarso dari rujukan RS Bhayangkara tanggal 3 maret 2020
dengan keluhan demam sedah 7 hari dan demam naik turun. Ibunya mengatakan anak selalu
rewel dan kadang sesak anak juga mengatakan nyeri dibagian abdomen. Nyeri seperti ditusuk-
tusuk, dengan skala 8 dengan nyeri hilang dating. Saat dilakukan pegkajian anak terlihat rewel
dan gelisah. Saat melihat perawat dan saat perawat melakukan tindakan anak/klien menangis.
GCS klien compos mentis dengan E 4 V 5 M 6. Keadaan umum klien tampak lemah, suhu anak
naik turun, TD 103/70 mmHg, N 103 x/menit, RR 39x/menit, S 36,50C, SPO2 99% dengan
terpasang O2 2lpm menggunakan nasal kanul. Klien terpasang NGT untuk memberikan obat,
aktivitas sehari-hari klien dibantu oleh orang tua dan perawat. Diagnose medis klien adalah DSS
(Dengue Syok Syndrome)

Hasil pemeriksaan lab pada tanggal 4 maret 2020:

Parameter Hasil Satuan Nilai Normal


Leukosit 6.69 10*3/uL 4.6-11
Eritrosit 5.11 10*6/uL M:4.6-6.0 F:4.6-6.0
Haemoglobin 12.4 g/dL M:14-18 F:12-16
Hematokrit 38.6 % M:36-54 F:36-54
MCV 75.5 fL 82-92
MCH 24.3 pg 27.0-31.0
MCHC 32.1 g/dL 32.0-37.0
Trombosit 80 10*3/uL 150-440
RDW-CV 12.4 % 11.5-14.5
RDW-SD 33.1 fL 35-47
PDW 14.7 fL 9.0-13.0
MPV 10.8 fL 7.2-11.1
P-LCR 32.9 % 15.0-25.0

Step 1 (kata sulit)

1. Apa yang dimaksud dengan DSS?


Jawab: DSS adalah syok akibat demam berdarah yang menyebabkan gangguan sirkulasi
dan penurunan kesadaran.
2. Apa yang dimaksud compos mentis?
Jawab: kesadaran normal/sepenuhnya dapat menjawab pertanyaa dengan jumlah GCS 15
E4, V5, M6

Step 2 dan 3 (Pertanyaan dan Jawaban)


1. Apa yang dimaksud dengan demam berdarah:
Jawab: demam berdarah/ DBD adalah penyakit aibat infeksi virus dengue, yang masuk ke
tubuh manusia akibat gigitan nyamuk Aedes aegypti
2. Apa perbedaan DSS dan DBD?
Jawab : DSS adalah bentuk klinis demam berdarah yang berbahaya
3. Apasaja tanda gejala DSS?
Jawab: biasanya syok terjadi pada hari ke 3-7, dengan penurunan suhu tubuh, gelisah,
nadi cepat/lemah, penurunan TD hingga kesadaran
4. Ada berapa jenis DSS?
Jawab : ada 2, syok tingkat biasa dank lien masih bisa sadar sedangkan syok tingkat berat
tidak teraba nadi atau TD dan terjadi kematian

Step 4 (Skema)

Etiologi

Stroke Non Hemoragik

Patofisiologi

Pemeriksaan Penunjang Manifestasi Klinis Penatalaksanaan


Askep

Step 5 (Learning objective)


1. Definisi
2. Etiologi
3. Patofisiologi
4. Pathway
5. Komplikasi
6. Pemeriksaan Penunjang
7. Penatalaksanaan
8. Asuhan Keperawatan

Step 6 (Discovery Learning)

A. Definisi Dengue Shock Syndrome (DSS)


Syok pada penyakit DBD yang dikenal dengan Dengue Shock Syndrome (DSS)
merupakan syok hipovolemikyang dapat mengakibatkan gangguan sirkulasi dan
membuat penderita tidak sadar kerena hilangnya cairan plasma (Harisnal, 2012).Dengue
Shock Syndrome (DSS) yaitu terjadinya kegagalan sirkulasi darah karena plasma darah
merembes keluar dari pembuluh darah yang mengakibatkan darah semakin mengental
yang ditandai dengan denyut nadi yang lemah dan cepat, disertai hipotensi dengan tanda
kulit yang teraba dingin dan lembab serta penderita tampak gelisah hingga terjadinya
syok/renjatan berat (denyut nadi menjadi tidak teraba, dan tekanan darah tidak terukur)
(WHO, 2009) (Kemenkes RI, 2013).
DSS terjadi padapenderita DBD derajat III dan IV.Kelainan klinik yang
menunjukkanancaman terjadinya syok adalah hipotermi, nyeri perut, muntah dan
penderita gelisah. Pada DBD derajat III terdapat tanda-tanda terjadinya syok (DSS), yaitu
nadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun, gelisah, sianosis sekitar mulut, kulit teraba
dingin dan lembab, terutama pada ujung hidung, jari tangan dan kaki, sedangkan pada
DBD derajat IV pasien sedang mengalami syok, terjadi penurunan kesadaran, nadi tidak
teraba dan tekanan darah tidak terukur (Setiawati, 2011).
Kebocoran plasma merupakan patogenesis utama menimbulkansyok dan
kematian.Kondisi penderita yang berlanjut menjadi syok akan memburuk secara cepat
setelah periode demam 2-7 hari. Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan kondisi
DBD yang berkembang menjadi lebih parah dan biasanya terjadi pada hari ke 3 hingga ke
7 pada saat suhu tubuh mulai menurun. DSS umumnya dapat menyebabkan kematian
dalam waktu 8-24 jam, apabila tidak ditangani dengan cepat dan sebaliknya pasien dapat
segera sembuh jika dilakukan terapi untuk mengembalikan cairan tubuh.Masa
penyembuhan penderita DSS dapat terjadi dalam waktu singkat.Walaupun penderita
mengalami syok yang berat, ketika mendapatkan penanganan yang tepat maka penderita
akan membaik dalam waktu 2-3 hari meskipun asites dan efusi pleura masih ada.
Prognosis yang baik ditunjukkan dengan jumlah urine yang cukup dan kembalinya nafsu
makan penderita (Soedarto, 2012).

B. Klasifikasi Dengue Shock Syndrome (DSS)


Adapun klasifikasi Dengue Shock Syndrome adalah sebagai berikut :
1. Syok tingkat biasa Penderita mula-mula terlihat letargi dan gelisah, kemudian
jatuh kedalam syok yang ditandai dengan kulit dingin dan lembab sekitar mulut,
nadi cepat dan lemah, tekanan nadi < 20 mmHg dan hipotensi syok padasaat ini
penderita biasanya masih tetap sadar sekalipun sudah menderita stadium akhir.
2. Syok tingkat berat (profound syok) Pada tingkat ini merupakan lanjutan dari syok
pertama, dikarenakan keterlambatan diketahui atau pengobatan yang tidak
adekuat.Syok berat biasanya juga ditemui tidak terabanya denyut nadi maupun
tekanan darah.Kebanyakan penderita pada syok tingkat berat ini sudah tidak sabar
dan menimbulkan berbagai penyulit.

C. Patogenesis Terjadinya Syok pada DBD


Menurut Depkes RI (2004), pathogenesis DBD dan DSS masih merupakan
masalah kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan DSS adalah
hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune
enchancement.Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien mengalami
infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai
resiko berat yang lebih besar untukmenderita DBD. Antibodi heterolog yang telah ada
sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk
kompleks antigen antibody yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membrane
sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena itu anti bodi heterolog maka virus tidak
dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan meningkatkan infeksi dan repliksai dalam sel
makrofag. Dihipotesiskan mengenai Antibody Dependent Enhancement (ADE), suatu
proses yang meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue didalam sel mononuclear.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif
yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok. Sebagai akibat dari infeksi sekunder oleh
tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibody anamnestik yang
akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferai dan transformasi
limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibody IgG anti dengue. Disamping itu,
repliksi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat
terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini mengakibatkan terbentuknya virus
kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler
ke ruang ekstravaskular.Pada pasien syok berat, volume plasma dapat berkurang lebih
dari 30% dan berlagsung selama 24-48 jam.Perembesan plasma ini terbukti dengan
adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan
rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal, oleh karena itu pengobatan
syok sangat penting guna mencegah kematian.
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain
dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi
baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan
genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia,
peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain
beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar.
Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.

D. Pathway
E. Tanda dan Gejala Dengue Shock Syndrome (DSS)
Menurut Soedarto (2012), menjelaskan bahwa syok pada penderita DBD, terjadi
antara hari ke-3 dan ke-7, dimana penderita mengalami penurunan suhu tubuh, letargi dan
gelisah. Menunjukkan gejala-gejala syok seperti : kulit dingin dan lembab, terjadi
sianosis disekitar mulut, nadi cepat, lemah dengan tekanan kurang dari 20 mmHg,
penderita mengalami penurunan tekanan darah, gelisah dan penurunan kesadaran.

F. Kriteria Diagnosis Dengue Shock Syndrome (DSS)


Menurut (Garna, 2012) kondisi penderita yang berlanjut menjadi syok memburuk
secara cepat setelah periode demam 2-7 hari. Kriteria diagnosis untuk menegakkan
Dengue Shock Syndrome (DSS) yaitu kriteria untuk DBD harus ada, dengan ditambah
munculnya kegagalan sirkulasi darah dengan tanda-tanda sebagai berikut :
1. Demam atau riwayat demam akut yang berlangsung 2-7 hari dan sering bifasik.
2. Manifestasi perdarahan :
a. Tes tourniquet positif
b. Petekie, Ekimosis atau purpura
c. Perdarahan dari mukosa, GIT, tempat suntikan, atau lokasi lain
d. Hematemesis atau melena
3. Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)
4. Terdapat kebocoran plasma karena meningkatnya permeabilitas vascular dengan
manifestasi klinis yaitu :
a. Peningkatan hematokrit ≥20% diatas usia rata-rata, jenis kelamin dan populasi.
b. Penurunan hematokrit ≥20% setelah dilakukan pemberian cairan.
c. Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites dan hipoproteinemia.
5. Denyut nadi cepat dan lemah 6. Penyempitan pembuluh darah atau nadi yang sempit
(≤ 20 mmHg).
Atau bermanifestasi sebagai :
1. Hipotensi berdasarkan usianya (tekanan sistol 5 tahun)
2. Perfusi perifer menurun
3. Kulit yang dingin, lesu, lemah dan gelisah.

G. Komplikasi Dengue Shock Syndrome (DSS)


Apabila syok tidak segera diatasi, maka penderita dapat mengalami komplikasi
berupa asidosis metabolic dan perdarahan hebat pada gastrointestinal dan organ
lainnya.Jika terjadi perdarahan intrakranial penderita dapat mengalami kejang hingga
koma, sehingga dapat menyebabkan penderita meninggal dunia. Syok yang dapat diatasi
dalam waktu 2-3 hari akan menunjukkan perbaikan berupa pengeluaran urin yang cukup
dan peningkatan nafsu makan (Soegijanto, 2012).

H. Tata Laksana Dengue Shock Syndrome (DSS)


Dengue Shock Syndrome(DSS) merupakan DBD dengan gejala gelisah, nafas
cepat, nadi teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit (misalnya
sistolik 90 dan diatolik 80 mmHg, tekanan nadi (≤ 20 mmHg), bibir biru, tangan kaki
dingin, tidak ada produksi urin.
Tata Laksana Dengue Shock Syndrome (DSS) berdasarkan Depkes (2004) yaitu :
1. Segera beri infuse kristaloid (ringer laktat atau NaCl 0,9%) 10-20 ml/kg BB
secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 2-4 liter/menit.
Untuk DSS berat diberikan ringer laktat 20 ml/kgBB/jam bersama koloid. Observasi
tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit setiap 4-6 jam. Periksa
elektrolit dan gula darah.
2. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat tetap
dilanjutkan 15-20 ml/kg/BB/jam, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid
sebanyak 10-20ml/kg BB, maksimal 30 ml/kg BB. Observasi keadaan umum, tekanan
darah, tekanan nadi tiap 15 menit dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam.
a. Apabila syok telah teratasi disertai dengan penurunan kadar
hemoglobin/hematokrit, tekanan nadi>20 mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan
dikurangi menjadi 10 ml/kg BB/jam. Volume 10 ml/kg BB/jam dapat
dipertahankan sampai 24 jam atau menjadi 7 ml/kg/BB sampai keadaan klinis dan
hematokrit stabil kemudian secara bertahap cairan diturunkan 5 ml/kg/BB/jam
dan seterusnya 3 ml/kg/BB/jam. Dianjurkan pembelian cairan tidak melebihi 48
jam setelah syok teratasi. Observasi klinis, tekanan darah, nadi, jumlah urin
dikerjakan tiap jam (usahakan urin >1 ml/kgBB/jam, BD urin < 1.020) serta
pemeriksaan hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam sampai keadaan umum baik.
b. Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun, tetapi
masih >40 vol% berikan darah segar dalam volume kecil (10ml/kgBB). Apabila
tampak perdarahan massif, berikan darah segar 20 ml/kgBB dan lanjutkan cairan
kristaloid 10 ml/kgBB/jam. Pemasangan CVP (dipertahankan 5-8 cmH2O) pada
syok berat kadang-kadang diperlukan, sedangkan pemasagan sonde lambung
tidak dianjurkan.
c. Apabila syok belum teratasi, pasang CVP untuk mengetahui kebutuhan cairan dan
pasang kateter urin untuk mengetahui jumlah urin. Apabila CVP normal (. 10
mmH2O), maka diberikan dopamine.

I. Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Dengue Shock Syndrome (DSS)
Teori John Gordon menjelaskan bahwa terjadinya suatu penyakit dipengaruhi oleh
tiga hal yaitu bibit penyakit (agent), penjamu (host) dan lingkungan (environment).
1. Faktor Agent
Agent penyebab penyakit Dengue Shock Syndrome (DSS) adalah virusdengue
yang memiliki 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Virus
dengue ini termasuk kelompok Arthropoda Borne Virus(Arboviroses).
2. Faktor Penjamu (Host)
Host adalah manusia yang merupakan reservoir utama bagi virus dengue dengan
karakteristik individu yang berbeda-beda. Faktor host dalam penelitian ini antara lain
usia anak, jenis kelamin anak, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pendapatan orang tua,
status gizi anak, kadar hematokrit, kadar trombosit, riwayat infeksi DBD sebelumnya,
lama sakit sebelum masuk rumah sakit (pre hospital) dan keterlambatan berobat.
3. Usia Anak
Menurut WHO (2009), penyakit DBD di Asia Tenggara dan Selatan merupakan
penyebab utama rawat inap di rumah sakit dan penyebab kematian tertinggi pada
anak-anak. Usia kanak-kanak lebih rentan terhadap penyakit karena daya tahan tubuh
yang belum stabil. Setiap angka kesakitan dan kematian selalu menunjukkan
hubungan dengan usia. Faktor usia mempengaruhi pasien DBD mengalami DSS
(Setiawati, 2011).
Penelitian Anders, et al, (2011), menggambarkan bahwa anak yang berusia 6-10
tahun berisiko tinggi mengalami kejadian Dengue Shock Syndrome (DSS) walaupun
kematian lebih tinggi terjadi pada anak yang lebih kecil usianya dan terjadi penurunan
angka kematian seiring bertambahnya usia.
4. Jenis Kelamin Anak
Jenis kelamin mempengaruhi status kesehatan karena ada penyakit yang terjadi
lebih banyak atau hanya ditemukan pada perempuan atau hanya pada lakilaki
(Muliani & Maryani, 2010).Anak laki-laki lebih rentan terkena infeksi dibandingkan
perempuan karena produksi immunoglobulin dan antibodi secara genetika dan
hormonal perempuan lebih efisien dalam memproduksi immunoglobulin daripada
laki-laki (Soedarmo, dkk, 2010). Hasil penelitian Harisnal (2012) mempunyai
hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian DSS dengan
OR=3,25. Namun hasil penelitian Tammu Batti (2014) tidak ada perbedaan hubungan
yang signifikan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan terhadap kejadian DSS
dengan nilai p=0,637.
5. Tingkat Pendidikan Ibu
Pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan tertentu, sehingga sasaran pendidikan
itu dapat berdiri sendiri. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi
pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi.
Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang
didapat. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan
seseorang dengan pengetahuan tinggi, maka akan semakin luas pula pengetahuannya.
Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak bearti
mutlak berpengetahuan rendah pula (Notoadmodjo, 2003 : 16).
Pendidikan menuntut manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya yang
dapat digunakan untuk mendapatkan informasi sehingga meningkatkan kualitas
hidup. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan memudahkan seseorang
menerima informasi sehingga meningkatkan kualitas hidup dan dan menambah luas
pengetahuan. Pengetahuan yang baik akan berdampak pada penggunaan komunikasi
secara efektif (Alimul Hidayat, 2005:80).
6. Jenis Pekerjaan Ibu
Pekerjaan adalah aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk
mendapatkan penghasilan (Dhimas, 2008).Menurut Thomas yang dikutip oleh
Nursalam (2003), pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan terutama untuk
menunjang kehidupannya dan keluarga. Orang yang bekerja cenderung memiliki
sedikit waktu untuk mengunjungi fasilitas kesehatan sehingga akan semakin sedikit
pula ketersediaan waktu dan kesempatan untuk melakukan pengobatan
(Notoadmodjo, 2007).
7. Tingkat Pendapatan Orang Tua
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang paling menentukan kuantitas
maupun kualitas dalam memenuhi kebutuhan hidup.Tingkat seseorang untuk
memenuhi kebutuhan hidup disesuaikan dengan penghasilan yang ada, sehingga
menuntut pengetahuan yang dimiliki harus dipergunakan semaksimal mungkin.Begitu
pula dalam mencari bantuan ke sarana kesehatan yang ada, mereka sesuaikan dengan
pendapatan orang tua.
Tingginya angka kejadian DSS tidak lepas dari faktor pendapatan orang
tua.Semakin rendah pendapatan orang tua semakin rendah pula anak mendapatkan
pertolongan medis.Demam yang muncul pada anak sering dianggap lumrah dan
hanya perlu minum obat antidemam seadanya dan terbatas.Murahnya obat anti
demam membuat orang tua tidak memeriksakan anak ke tempat pelayanan kesehatan,
padahal demam lebih dari 3 hari disertai mual-mual hebat atau adanya nyeri ulu hati
harus dijadikan pertimbangan untuk segera melakukan pemeriksaan.
8. Status Gizi Anak
Nutrisi merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam membantu proses
pertumbuhan dan perkembangan serta mencegah terjadinya penyakit. Terpenuhinya
kebutuhan nutrisi pada anak diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup serta
mencegah morbiditas dan mortalitas.Status gizi yang baik sangat berpengaruh
terhadap kondisi kesehatan anak (Hidayat, 2005).
Status gizi dapat mempengaruhi derajat berat ringan penyakit.Hal ini didasari oleh
adanya teori imunologi dimana gizi yang baik meningkatkan respon antibody.Reaksi
antigen dan antibody yang berlebihan menyebabkan infeksi dengue lebih berat.
Pernyataan tersebut diperkuat dengan teori antigen antibody, dimana virus dengue
dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi degan antibody, membentuk “virus
antibody kompleks” yang akan mengaktivasi komplemen, aktivitas ini akan
menghasilkan anafilaktosin C3A dan C5A sebagai mediator yang mempunyai efek
farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat vasoaktif dan prokoagulant
sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syok hipovlemik) dan perdarahan
(Soegijanto, 2008).
Menentukan klasifikasi status gizi harus menggunakan ukuran baku yang sering
disebut sebagai refence. Ukuran baku yang digunakan adalah antropometri status gizi
anak Kemenkes RI tahun 2011. Indikator IMT/U merupakan indikator yang paling
baik untuk mengukur keadaan status gizi yang menggambarkan keadaan status gizi
masa lalu dan masa kini karena berat badan memiliki hubungan linear dengan tinggi
badan.(WHO, 2007).
Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan Indeks Massa Tubuh
menurut umur (IMT/U) pada anak usia 0-60 bulan dan kelompok usia 5-18 tahun.
Tabel 2.1 Klasifikasi IMT/U menurut Kemenkes RI 2011 pada anak usia 0-60 bulan
dan usia 5-18 tahun

Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score) Ambang Batas (Z-Score)


Usia 0-6 bulan Usia 5 – 18 tahun
Sangat Kurus <-3 SD <-3 SD
Kurus -3SD s/d <-2 SD -3 SD s/d <-2 SD
Normal -2SD s/d 2 SD - 2 SD s/d 1 SD
Gemuk >2 SD > 1 SD s/d 2 SD
Obesitas > 2 SD
Penelitian yang dilakukan oleh Tammu Batti (2014), bahwa status gizi
berhubungan dengan kejadian DSS dengan nilai p=0,019. Sedangkan Saniathi (2009)
menjelaskan bahwa obesitas adalah faktor risiko terjadinya syok pada DBD dimana
risiko DSS pada anak obese 4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan anak non
obese.
9. Kadar Hematokrit
Indikasi adanya kebocoran plasma dapat dilihat dari pemeriksaan
Hematokrit.Hematokrit merupakan volume (persentase) dari darah lengkap yang
terdiri dari Sel Darah Merah (SDM). Peningkatan hematokrit ≥20% mengindikasikan
adanya peningkatan permiabilitas pembuluh darah sebagai bukti sudah dicurigai
adanya kebocoran plasma dari pembuluh darah yang dapat menyebabkan syok,
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala (Kemenkes RI,
2010).
Menurut WHO (2009), nilai hematokrit biasanya mulai meningkat pada hari
ketiga dari perjalanan penyakit dan makin meningkat sesuai dengan proses perjalanan
penyakit DBD. Angka hematokrit harus dipantau sedikitnya 24 jam sekali untuk
mengenal secara dini DBD. Pada DBD yang berat atau DSS hematokrit diperiksa
setiap 3-4 jam.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa nilai hematokrit terdapat pengaruh
dengan kejadian DSS. Penelitian Suganda Yatra (2015) menunjukkan adanya
pengaruh hematokrit dengan kejadian DSS dengan OR 3,53. Sedangkan Tammu Batti
(2014) menyampaikan bahwa kadar hematokrit yang meningkat >49% berisiko 2,339
kali berisiko untuk DSS.
10. Kadar Trombosit
Trombosit merupakan salah satu komponen darah yang diproduksi pada sumsum
tulang yang berfungsi pada proses pembekuan darah. Jumlah normal trombosit dalam
darah 150.000 – 450.000/mm3 . Trombosit berperan penting dalam pembentukan
bekuan darah, trombosit dalam keadaan normal bersikulasi keseluruh tubuh melalui
aliran darah, namun beberapa detik setelah kerusakan suatu pembuluh darah,
trombosit tertarik ke daerah tersebut sebagai respon terhadap kolagen yang terpajan
dilapisan subendotel pembuluh darah, trombosit melekat pada permukaan yang rusak
dan mengeluarkan beberapa zat diantaranya histamine dan serotonin yang
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah (Rosdiani, 2015).
Penurunan jumlah trombosit atau trombositopenia merupakan jumlah trombosit
≤100.000/mm3 dan sering ditemukan pada hari ke 3-8 sakit.Penurunan jumlah
trombosit darah merupakan indikasi diagnosis DBD sehingga setiap penderita
dilaksanakan pemeriksaan darah lengkap dan dilihat nilai trombositnya (WHO,
2009).Trombositopenia selalu dijumpai pada kejadian DBD terutama pada kasus
syok. Telah dilakukan penelitian dengan menggunakan trombosit yang menunjukkan
bahwa hitung trombosit pada awal perawatan dan 24 jam perawatan dapat digunakan
sebagai prediktor terjadinya syok (renjatan) pada kasus DBD anak.
Berdasarkan penelitian Tammu Batti (2014), didapatkan kadar trombosit
berhubungan dengan kejadian Sindrom Syok Dengue (SSD) dengan OR 0,030.
Penelitian ini sejalan dengan Harisnal (2012) menyebukan bahwa jumlah trombosit
yang turun berisiko 4 kali terkena DSS.Sedangkan penelitian Dewi RL (2014) tidak
terdapat hubungan antara trombosit dengan kejadian DSS.
11. Riwayat Infeksi DBD Sebelumnya
Individu yang terinfeksi virus dengue yang pertama kali akan terkena demam
dengue dan individu tersebut akan memiliki kekebalan seumur hidup terhadap
serotipe yang menginfeksi pertama kalinya. Namun kekebalan tersebut maksimal 6
bulan sampai 5 tahun terhadap serotipe virus dengue yang lain (Soedarto, 2012).Hal
ini disebabkan karena serotipe virus dengue memiliki 4 serotipe berbeda yang dapat
menyerang seseorang terutama dengan daya tahan tubuh yang rendah.Selama ini
diduga bahwa derajat beratnya penyakit DBD dijelaskan dengan adanya peningkatan
dari multiplikasi virus di dalam makrofag sebagai akibat infeksi dengue
sebelumnya.DBD hanya terjadi apabila seseorang memiliki virus dengue sebelum
terinfeksi oleh dengue serotipe lain dalam jarak waktu tertentu, dan infeksi yang
kedua oleh serotipe DEN-2. Teori ini disebut sebagai The Secondary Heterologous
Infection Hypothesis(Hikmah, dkk, 2015)
Penelitian Suganda Yatra (2015) menjelaskan bahwa riwayat infeksi DBD
sebelumnya meingkatkan risiko terjadinya DSS dengan OR 8,05. Sedangkan
penelitian Setiawati (2011) dengan desain penelitian cross sectional menyatakan
bahwa riwayat menderita DBD sebelumnya tidak berhubungan signifikan dengan
DSS dengan OR 0,001.
12. Lama Sakit Sebelum Masuk Rumah Sakit (Pre Hospital)
Demam merupakan gejala klinis dari penyakit DBD yang mempunyai ciri khas
seperti pelana kuda, sehingga pada saat demam turun orang tua sering mengira bahwa
kondisinya sudah membaik, namun sebalikya kondisi tersebut dapat menandakan
masuk ke fase yang lebih berat yaitu fase kritis.Pada saat fase kritis tersebut, maka
seseorang baru datang berobat ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan medis
(Setiawati, 2011).
Lama sakit pada penyakit DBD terdapat tiga fase, yaitu fase demam, fase kritis
dan fase penyembuhan. Pada fase demam terjadi demam mendadak pada hari 1-3
penderita mengalami panas badan dengan mencapai suhu > 39°C.Fase kritis terjadi
pada hari ke 4-5 dengan disertai demam yang turun secara mendadak dan sering
dikira penderita sudah sembuh namun justru pada saat itu penderita mengalami fase
kritis.Sedangkan pada fase penyembuhan berlangsung pada lebih dari 7
hari.Umumnya penderita DBD yang telah berhasil melewati fase kritis akan sembuh
tanpa komplikasi dalam waktu kurang lebih 24 sampai 48 jam setelah syok.
Penelitian Sugandra Yatra (2015) bahwa lama demam sebelum MRS >4 hari
mempunyai risiko terjadi DSS dengan OR 5,5. Penelitian ini sejalan dengan Harisnal
(2012), menyebutkan bahwa lama sakit>4 hari sebelum masuk rumah sakit
berpengaruh dengan kejadian DSS dengan OR 3,15.
13. Keterlambatan Berobat
Perjalanan penyakit DBD yang tidak spesifik, seringkali penderita datang ke
rumah sakit sudah dalam keadaan gawat (parah) dan akhirnya banyak yang tidak
tertolong.Faktor yang sering terjadi membuat penderita DBD menjadi gawat (syok)
adalah keterlambatan masyarakat datang berobat atau ke fasilitas kesehatan (Adjad,
2006).
Keterlambatan berobat dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
a. Keterlambatan berobat karena pasien tidak memahami keadaan penyakitnya
(lama sakit sebelum dirawat).
b. Keterlambatan berobat karena pasien mengupayakan pengurusan rujukan
untuk jaminan biaya perawatan.

Pasien DBD yang sakit seharusnya dapat dilakukan perawatan yang cepat dan
tepat. Penyakit DBD mempunyai ciri khas demam seperti “pelana kuda”, diawali
dengan demam tinggi dan hari keempat suhu tubuh turun yang terkadang
diasumsikan penderita sudah sembuh. Sehingga pengobatan mungkin terabaikan dan
pasien memasuki fase kritis dengan kondisi yang semakin menurun.Terkadang
kondisi yang mulai memburuk atau kondisi syok pasien baru dibawa ke pelayanan
kesehatan sehingga penanganan sudah mengalami keterlambatan dan berdampak
kematian (Satari& Meiliasari, 2004).

Penderita DBD yang datang ke rumah sakit sering mengalami keterlambatan


sehingga sudah masuk dalam fase kritis yang memungkinkan terjadinya syok yang
lebih tinggi.Namun pasein DBD yang tidak mengalami syok cenderung datang
berobat lebih awal dibandingkan dengan mereka yang mengalami syok. Dari 80%
pasien demam yang dirawat dirumah sakit selama 3 hari sebelum dibawa ke rumah
sakit 30,4% diantaranya mengalami syok. Kejadian syok terjadi pada hari sakit ke 4-
7, kebocoran plasma terhebat terjadi setelah tiga hari dan berlangsung selama 24-48
jam, namun lama demam dirumah kurang tepat diketahui karena penentuan lama
demam berdasarkan anamnesis dari orang tua (Raihan, 2010).

Hasil penelitian Saraswati (1999) mempelihatkan gambaran klinis masuk RS,


didapatkan sebagian besar kasus masuk perawatan RS setelah demam 3-5 hari, paling
cepat 2 hari dan paling lama 6 hari. Pasien yang tidak mengalami syok cenderung
datang berobat lebih awal.

14. Riwayat Genetik


Menurut Eppy (2012), keterlibatan beberapa HLA (Human Leukocyte Antigen)
dan polimorfisme genetik umum dapat mempengaruhi kerentanan
terhadapDBD.Polimorfise genetik merupakan varian gen stabil yang berefek minor
terhadap regulasi atau fungsi protein, tetapi berperan penting dalam suseptibilitas
terhadap suatu penyakit.Berbagai studi membuktikan bahwa polimorfisme dapat
merentankan penyakit DBD dan DSS. Sedangkan beberapa alel Human Leukocyte
Antigen (HLA) dan non-Human Leukocyte Antigen(nonHLA) telah diketahui
berhubungan dengan beratnya penyakit. Beberapa faktor genetik yang dapat
mempengaruhi suseptibilitas individu terhadap DBD yaitu :
1. Gen HLA
a. HLA kelas I : HLA-A, -B dan -C
b. HLA kelas II : HLA-D, -DR, -DP dan -DQ
c. HLA kelas III :gen pada daerah kelas III mengokode sejumlah protein, yakni
protein komplemen (C4A, C4B, C2 dan Bf), TNF-α, TNF-β, serta heat shock
protein.
2. Gen non-HLA
a. Reseptor Fcɣ
b. Reseptor vitamin D
15. Faktor Lingkungan (Environment)
Lingkungan adalah kondisi atau faktor yang berpengaruh, bukan bagian dari agent
dan host tetapi mampu menginteraksikan agent dan host.Lingkungan dalam penelitian
ini secara tidak langsung dapat menjadi faktor risiko terjadinya DSS yaitu wilayah
tempat tinggal, akses pelayanan kesehatan dan pelaksanaan rujukan.
16. Wilayah Tempat Tinggal
Menurut Supartha dalam Artikel Penelitian Kesetyaningsih, dkk (2012), dalam
masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community)
dan masyarakat perkotaan (urban community).Secara umum pada daerah perkotaan
kasus DBD cenderung meningkat dari pedesaan. Kondisi lingkungan, sosial ekonomi
dan gaya hidup/perilaku masyarakat antara kota dan desa berbeda, namun penyakit
DBD tetap menjadi masalah baik di kota maupun desa. Lingkungan tempat tinggal
didaerah perkotaan lebih rapat yang dapat menyebabkan penularan DBD didaerah
perkotaan lebih efisien mengingat jarak terbang nyamuk Aedes yang hanya 50-100 m
dan kebiasaan nyamuk bergantiganti gigitan sebelum kenyang.
Walaupun banyaknya kejadian DBD di daerah perkotaan meningkat, namun
secara pengetahuan mengenai derajat keparahan DBD di perkotaan cenderung
berbeda dengan pedesaan.Rendahnya pengetahuan di pedesaan mengakibatkan
lamanya dalam pengambilan keputusan yang masih berdasarkan pada budaya
“berunding” yang berakibat pada keterlambatan berobat.Sehingga kejadian DBD
yang berkembang menjadi DSS diwilayah pedesaan semakin parah
17. Akses Pelayanan Kesehatan
Akses pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang harus dicapai oleh
masyarakat, tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial ekonomi, organisasi dan
bahasa. Salah satunya yaitu keadaan geografis yang dapat diukur dengan jarak, lama
perjalanan, jenis transportasi dan hambatan fisik lain yang dapat menghambat
seseorang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (Littik, 2008). Akses ke
pelayanan kesehatan disini lebih dikaitkan dengan individu anggota masyarakat yang
mengalami masalah kesehatan atau sakit dalam upaya mencari atau menggunakan
pelayanan kesehatan yang tersedia dimasyarakat.Kemudahan penderita DBD untuk
menjangkau pelayanan kesehatan dari tempat tinggalnya, baik dari segi transportasi,
jarak dan lama waktu tempuh (Hikmah, 2015).
18. Pelaksanaan Rujukan
Dalam pencarian pengobatan terhadap kasus DBD agar tidak terjadi DSS dengan
diagnosis secara dini maka penderita DBD dapat dirawap di rumah sakit dan dapat
dilakukan usaha-usaha untuk mengurangi kemungkinan penderita jatuh kedalam
syok, cepat ditangani pada waktu syok masih ringan (Dewi, dkk, 2006).Rujukan
adalah pelaksanaan pemindahan penderita DSS ke tempat pelayanan kesehatan yang
memiliki peralatan lebih lengkap dan tenaga penolong yang lebih ahli berdasarkan
rujukan dari pelayanan kesehatan tempat penderita DSS berobat sebelumnya.
Hasil penelitian Harisnal (2012), menunjukkan bahwa penderita DBD yang
mengalami rujukan dari puskesmas berpeluang 4,5 kali mengalami DSS
dibandingkan penderita DBD yang berobat langsung ke RS atau melakukan rujukan
dari dokter umum dan dokter spesialis.

ASUHAN KEPERAWATAN
PRODI KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK

A. IDENTITAS KLIEN
Nama : An F
Usia :5 th
Jenis Kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Suku/ Bangsa : Melayu/ Indonesia
Pendidikan : Tk
Pekerjaan : Pelajar
Alamat asal : Jl. Sawo
No. RM :
Tanggal Masuk : 3 Maret 2020
Tanggal Pengkajian : 3 Maret 2020
Diagnosa Medik : Dengue Syok Syndrome
Golongan Darah : -
Penanggung Jawab & Biaya : Orangtua

B. IDENTITAS PENANGGUNG JAWAB


Nama : Ny Y
Usia : 35 th
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku/ Bangsa : Melayu/Indonesia
Pendidikan : D3
Pekerjaan : PNS
Alamat Asal : Jl. Sawo
Hubungan dengan Klien : Orangtua

C. RIWAYAT KESEHATAN KLIEN


1. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
a. Penyakit yang Pernah Diderita: ibu klien mengatakan anaknya tidak memiliki riwayat
penyakit

b. Riwayat Alergi: ibu klien mengatakan anaknya tidak ada alergi

c. Tindakan Operatif yang Pernah didapat: ibu klien mengatakan anaknya tidak pernah
dioperasi

2. Riwayat Kesehatan Saat ini


a. Alasan Masuk RS: ibu klien mengatakan anaknya demam sudah 7 hari, tidak ada
muntah, demam naik turun
b. Keluhan Utama Saat ini (saat didata): demam, anak gelisah, dan rewel, suhu klien
naik turun, klien mengatakan nyeri abdomen saat dipalpasi, nyeri seperti dittusuk
dengan skala 8 dan hilang datang. selama sakit klien rewel dan menangis saat perawat
mendekat, gelisah, tidak mau berpisah dengan orang tua
D. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA
Orang tua mengatakan tidak ada riwayat penyakit keluarga

E. STRUKTUR KELUARGA/ GENOGRAM

F. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Baik
2. Kesadaran : Composmentis GCS -> E: 4 V: 5 M: 6
3. Tanda-tanda vital : TD 103/70 mmHg, N 103 x/menit, S 36,5 ˚C, RR 39 x/menit,
SPO2 99 % o2 2lpm nasal kanul
4. BB dan TB : 16 kg

5. Sistem Pernapasan
Dada, Thorax, & Paru-paru
Inspeksi : Dada klien tampak simetris, pengembangan dada kiri kanan simetris,
tidak ada lesi dan edema

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, pengembangan dada klien simetris tidak ada
krepitasi dan massa

Perkusi : Terdengar bunyi resonan pada paru

Auskultasi : Vesikuler

6. Sistem Kardiovaskuler
a. Jantung
Inspeksi : tidak tampak pembesaran iktus kordis, dan vena jugularis

Palpasi : tidak ada nyeri tekan dan tidak terasa pembesaran vena jugularis

Perkusi : terdengar suara dullness di ick e 3-5

Auskultasi : tidak terdengar suara abnormal, s1s2 tunggal, regular, tidak ada
suara tambahan
b. Capillary Refill Time (CRT) : <2 detik

7. Sistem Persarafan
a. Sensasi Nyeri :

b. Reflek (Fisiologis & Patologis) :

c. Pemeriksaan rangsang meningeal (jika ada) :


(kaku kuduk, brudzinski I-II, Lasegue, Kernig)

d. Nervus I-XII :

e. Kekuatan otot& Tonus otot :

5555 5555
5555 5555

f. Pola Istirahat & Tidur

8. Sistem Pencernaan
a. Mulut dan Kerongkongan
Inspeksi : Mukosa bibir tampak pucat, gigi tampak lengkap

Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan

b. Abdomen
Inspeksi : tidak terdapat lesi maupun distensi
Auskultasi : bising usus 20x/m

Palpasi : Terdapat nyeri abdomen seperti tertusuk dengan skala 8 dan hilang
datang

Perkusi : dulness

a. Anus: tidak ada benjolan


b. Pola Nutrisi: dalam pemberian obat klien menggunakan NGT

c. Pola Eliminasi (BAB): klien BAB 1x sehari

9. Sistem Perkemihan
a. Pola Eliminasi (BAK): klien terpasang kateter, urine berwarna kuning dan berbau
khas

b. Genitalia: normal

c. Penggunaan alat bantu berkemih: klien menggunakan kateter

10. Sistem Muskuloskeletal


a. Ekstrimitas:
Atas : ekstemitas atas tidak terdapat fraktur maupun hambatan
Bawah : ekstemitas atas tidak terdapat fraktur maupun hambatan
Kekuatan Otot :
5555 5555
5555 5555

b. Aktivitas/ kegiatan: klien hanya terbaring di tempat tidur, pemenuhan ADL di bantu
oleh perawat dan keluarga

11. Sistem Integumen


a. Kulit:
Inspeksi : Tidak ada lesi maupun edema

Palpasi : turgor kulit baik

c. Rambut & Kuku rambuut dan kuku tampak bersih


d. Pola Kebersihan (Hygiene): pemenuhan adl dibantu perawat dan keluarga. Pampers
di ganti saat kotor dan penuh
12. Sistem Persepsi Sensori
a. Telinga
Inspeksi : Simetris
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Uji Pendengaran :
b. Hidung
Inspeksi : simestris, terpasang nasal kanul 2 lpm
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Kemampuan menghidu : sulit terkaji (klien kurang kooperatif)
c. Mata
Inspeksi : simetris
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Uji Kemampuan penglihatan (dapat digabungkan dalam PF saraf nervus cranial)

G. DATA PSIKOLOGIS
1. Status Emosi : selama sakit klien rewel dan menangis saat perawat mendekat, gelisah,
tidak mau berpisah dengan orang tua

2. Konsep Diri

3. Gaya Komunikasi & Pola Interaksi : klien tampak lemah

4. Pola Koping : koping klien kurang efektif dilihat dari klien yang tampak selalu rewel

H. DATA SOSIAL
1. Hubungan Sosial: selama sakit klien menjadi lebih rewel

2. Gaya Hidup : keluarga mengatakan gaya hidup klien sederhana

I. PENGETAHUAN TENTANG PENYAKIT


Keluarga pada awalnya mengira klien hanya demam biasa

J. DATA SPIRITUAL
1. Keyakinan terhadap Tuhan

2. Kegiatan ibadah selama sakit:klien tidak sholat

K. DATA PENUNJANG ( Laboratorium, Radiologi, Biopsi, dll)


Hasil pemeriksaan lab tanggal 3 maret 2020

Parameter Hasil Satuan Nilai Normal


Leukosit 8.00 10*3/uL 4.5-11
Eritrosit 4.52 10*6/uL M:4.6-6.0 F:4.6-6.0
Hemoglobin 12.3 g/dL M:14-18 F:12-16
Hematokrit 34.6 % M:36-54 F:36-54
MCV 76.5 fL 82-92
MCH 27.2 pg 27.0-31.0
MCHC 35.5 g/dL 32.0-37.0
Trombosit 81 10*3/uL 150-440
RDW-CV 11.9 % 11.5-14.5
RDW-SD 32.8 fL 35-47
PDW 12.2 fL 9.0-13.0
MPV 10.0 fL 7.2-11.1
P-LCR 26.5 % 15.0-25.0

Hasil pemeriksaan lab tanggal 4 maret 2020

Parameter Hasil Satuan Nilai Normal


Leukosit 6.69 10*3/uL 4.6-11
Eritrosit 5.11 10*6/uL M:4.6-6.0 F:4.6-6.0
Haemoglobin 12.4 g/dL M:14-18 F:12-16
Hematokrit 38.6 % M:36-54 F:36-54
MCV 75.5 fL 82-92
MCH 24.3 pg 27.0-31.0
MCHC 32.1 g/dL 32.0-37.0
Trombosit 80 10*3/uL 150-440
RDW-CV 12.4 % 11.5-14.5
RDW-SD 33.1 fL 35-47
PDW 14.7 fL 9.0-13.0
MPV 10.8 fL 7.2-11.1
P-LCR 32.9 % 15.0-25.0

L. MEDIKASI/ PENGOBATAN

Ranitidine 3x16 mg (jam pemberian: 08.00, 16.00, 24.00)


Sirup Sulcrafat 3x1 sdt (5ml) (jam pemberian: 08.00, 16.00, 24.00)
Psidi 3x1 sdt (5ml) (jam pemberian: 08.00, 16.00, 24.00)
Vip Albumin 2x1

ANALISA DATA

No Data Etiologi Diagnosa


1 DS: Proses penyakit ketidak efektifan
ibu klien mengatakan anaknya termogulasi
demam sedah 7 hari
ibu klien mengatakan suhu
tuh=buh anaknya turun naik

DO:
klien tampak lemah
suhu tubuh klien naik turun
TD 103/70 mmHg
N 103x/m
S 36.5 C
RR 39 x/m
SPO2 99% O2 2lpm dengan
nasal kanul
2 DS: Prosedur tindakan gangguan rasa
ibu klien menngatakan anaknya nyaman
gelisah
ibu klien mengatakan anaknya
rewel
ibu klien mengatakan anaknya
kurang nyaman berada di RS
DO:
klien tampak gelisah dan rewel
klien sering enangus dan
mengeluh tidak mau dilakukan
tindakan perawatan dan tidak
nyaman dengan peralatan yang
digunakan
DS: Prosedur ketakutan
ibu klien mengatakan anaknya tindakan,
rewel kedatangan
ibu klien mengatakan anaknya perawat
tidak mau ditinggal sendiri

DO:
klien rewel
klien ridak mau berpisah dengan
orang tua
klien selalu menangis saat
perawat akan melakukan
tindakan

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

No Diagnosa NOC NIC Rasional


ketidakefekt setelah dilakukan - monitor - mengetahui
ifan tindakan TTV/2 jam keadaan
termogulasi keperawatan 1x24 umum klien
jam diharapkan - monitor - menentukan
keseimbangan suhu tanda intervensi
klien dalam batas hipertermi & selanjutnya
normal dengan KH: hipotermi
suhu tubuh stabil - tingkatkan - memenuhi
36,5 – 37 C intake cairan kebutuhan
tidak ada kejang dan nutrisi cairan
- hitung
- memantau
balance
cairan tubuh
cairan
- berikan anti
- mengurangi
pieretik jika
demam
perlu
gangguan setelah dilakukan - gunakan - menjalin
rasa tindakan pedekatan hubungan
nyaman keperawatan yang nyaman bina trust
selama 2x24 jam klien/
diharapkan klien - jelaskan keluarga
merasa nyaman prosedur - memahami
dengan KH: yang akan maksud
status lingkungan dilakukan tindakan
yang nyaman
- dorong
mampu mengontrol
keluarga
cemas - klien merasa
untuk
agresi aman dan
menemani
pengendalian diri nyaman
anak
- klien merasa
nyaman
- dengarkan
dengan peuh
perhatian
ketakutan setelah dilaukan - gunakan - menjalin
tindakan pendekatan hubungan
keperawatan 2x24 yang tenang bina
jam diharapkan dan trustklien/
ketakutan klien meyakinkan keluarga
berkurang dengan - jelaskan - memahami
KH: prosedur prosedur
ketegangan/kegelis yang akan
ahan berkurang dilakukan
dapat - meningkatka perasaan
mempertahankan n rasa tenang dan
performa peran dan nyaman dan rileks
hubungan sosial mengurangi
rasa takut
- menyediakan - ketakutan
aktivitas klien
pengendalian teralihkan
IMPLENTASI DAN CATATAN KEPERAWATAN

Tanggal Waktu Implementasi Evaluasi


3/3/2020 15.00 - .    monitor TTV/2 S: klien mengatakan ingin
jam pulang
ketidakefektifan
- monitor tanda
termogulasi O:
hipertermi &
hipotermi Klien lemah, tampak pucat,

- tingkatkan intake terpasang O2 dengan nassa

cairan dan nutrisi kanul lpm, NGT

- hitung balance cairan TD: 94/66 mmhg

N 112x/menit

RR: 50x/menit

S: 37,3 C

SPO2 99%

CM: 351 cc (jam 18.00)

CK: 160

IWL: 93,3

CK+IWL= 253,3

BC : + 97,7 CC/ 7 Jam

A : ketidakefektifan
termogulasi

P : temperature regulation
3/3/2020 15.00 - gunakan pedekatan S : klien mengatakan tida
yang nyaman ingin dipegang
gangguan rasa
- jelaskan prosedur
nyaman yang akan dilakukan O : klien lemah, berbaring
- dorong keluarga ditempat tidur dan selalu
untuk menemani berontak ingin segera keluar
anak dari rumah sakit
- dengarkan dengan
A ; Gangguan Rasa Nyaman
penuh perhatian
P : anxiety reduction
3/3/2020 15.00 - gunakan pendekatan S: klien mengatakaan ntidak
yang tenang dan mau dipegang
Ketakutan
meyakinkan
O:
- jelaskan prosedur
- meningkatkan rasa Klien lemah dan berbaring

nyaman dan ditempat tidur serta tidak

mengurangi rasa mau didekati perawat, setiap

takut didekati klien berontak, klien

- menyediakan hanya mau pegang oleh

aktivitas keluarganya

pengendalian. A: Ketakutan

P: pengurangan ketakutan
4/3/2020 15.00 - .    monitor TTV/2 S: klien mengatakan ingin
jam pulang
ketidakefektifan
- monitor tanda
termogulasi O:
hipertermi &
hipotermi Klien lemah, tampak pucat,

- tingkatkan intake terpasang O2 dengan nassa

cairan dan nutrisi kanul lpm, NGT

- hitung balance cairan TD: 103/70 mmhg

N 103x/menit

RR: 50x/menit
S: 38 C

SPO2 98%

CM: 322 cc (jam 12.00)

CK: 750

IWL: 80

CK+IWL= 830

BC : - 508 CC/ 6 Jam

D: 7,8 cc/kgBB/jam

A : ketidakefektifan
termogulasi

P : temperature regulation
4/3/2020 08.00 - gunakan pedekatan S : klien mengatakan tidak
yang nyaman ingin dipegang
gangguan rasa
- jelaskan prosedur
nyaman O : klien lemah, berbaring
yang akan dilakukan
ditempat tidur dan selalu
- dorong keluarga
berontak ingin segera keluar
untuk menemani
dari rumah sakit
anak
- dengarkan dengan A ; Gangguan Rasa Nyaman

penuh perhatian P: anxiety reduction


4/3/2020 08.00 - gunakan pendekatan S: klien mengatakaan ntidak
yang tenang dan mau dipegang
Ketakutan
meyakinkan
O:
- jelaskan prosedur
- meningkatkan rasa Klien lemah dan berbaring

nyaman dan ditempat tidur serta tidak

mengurangi rasa mau didekati perawat, setiap


didekati klien berontak, klien
takut hanya mau pegang oleh
- menyediakan keluarganya
aktivitas
A: Ketakutan
pengendalian.
P: pengurangan ketakutan

DAFTAR PUSTAKA

Alimul Hidayat, A.Aziz , 2006, Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep
dan Keperawatan Jilid 1, Salemba Medika, Jakarta
Andreset al, 2011, Epidemiological Factors Associated with Dengue Shock Syndrome
and Mortality in Hospitalized Dengue Patients in Ho Chi Minh City, Vietnam.
Am.J.Trop.Med. Hyg., 84(1), pp.127-134 A Wawan dan Dewi M, 2010, Teori dan
Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Manusia, Nuha Medika,
Yogyakarta.
Chen, Khie, dkk, 2009, Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah Dengue.
Medicinus, Vol.22, No 1
Departemen Kesehatan RI, 2004, Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
Jakarta : Depkes RI Direktorat Jenderal P2M & PL
Dewi RL, 2014, Faktor-Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Terjadinya Renjatan
pada Penderita Demam Berdarah Dengue Anak di RSUD Labuang Baji Makassar.
Skripsi Universitas Hasnuddin Makassar.
Rosdiani, 2015, Hubungan Trombositopenia dan Hemokonsentrasi Terhadap Kejadian
Sindrom Syok Dengue pada Pasien Anak dengan Demam Berdarah Dengue di
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar 2015.
Tantracheewathorn M.D, dkk, 2007, Risk Factors Of Dengue Shock Syndrome In
Children. J Med Assoc Thai Vol.90, No.27, 272-277.
Tammu Batti, Alpin, 2014, Faktor Faktor Risiko Terjadinya Sindrom Syok Dengue
(SSD) Pada Anak Di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit Tingkat II Pelamonia
Makassar. Skripsi, Universitas Hasanuddin Makassar 2014.
WHO, 2009, Dengue Guildelines For Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control.

Anda mungkin juga menyukai